Tuesday, March 1, 2011

Wali Songo, Wayang dan Toleransi Beragama yang Konstruktif

http://suarapembaca.detik.com/read/2011/03/01/111429/1581856/471/wali-songo-wayang-dan-toleransi-beragama-yang-konstruktif?882205471


Selasa, 01/03/2011 11:14 WIB


Muhammad Fakhryrozi - suaraPembaca


Jakarta - Tidak mudah mengharmonikan sebuah bangsa multietnik yang didalamnya terdapat beragam etnis, bahasa, suku bangsa dan agama. Diperlukan sikap yang luar biasa bijaksana yang menyertai rasa identitas yang kental dalam masyarakat Indonesia. Salah satunya dalam beragama.  Konflik antar agama dan keyakinan yang bahkan sampai berujung anarkis dan memakan korban sudah berkali-kali terjadi di Indonesia.

Isu agama tidak henti-henti mewarnai permasalahan sosial di Indonesia. Tidak jarang atas nama agama, toleransi dan persaudaraan sesama anak bangsa dikesampingkan. Selanjutnya kekerasan menjadi sesuatu yang dibenarkan dengan alasan menegakan hukum Tuhan, Sesuatu yang lebih banyak dikarenakan kurangnya kedewasaan berpikir serta lemahnya kearifan beragama itu sendiri dalam diri umat beragama.

Indonesia adalah negara majemuk yang mayoritas rakyatnya beragama Islam. Dari sekitar 230 juta jiwa lebih penduduknya 85,2 % adalah Muslim.Ide-ide dan aspirasi umat Islam sejak dahulu memegang peranan penting dan mempengaruhi perjalanan bangsa Indonesia.

Dari mulai tindak tanduk Sarikat Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan yang berjuang melawan kolonialisme, Nahdatul Ulama yang didirikan Hasyim Asy’ari yang membangun Islam kultural, sepak terjang parpol-parpol Islam di pemerintahan hingga kiprah FPI di perkotaan. Aspirasi dan tuntutan umat Islam memang tidak bisa dianggap sepele.
Pandangan Islam sebagai ideologi menuntut tidak hanya aktualisasi yang bersifat ritual namun juga sosial hingga politik. Aliran pemikiran ini bercokol di banyak kalangan umat Islam.

Pemikiran bahwa Islam adalah sistem hidup yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif ini melandasi berbagai gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia. Saat eskalasi gerakan ini menguat terjadi benturan nilai dengan sistem nilai lain misalnya sekularisme. Benturan ini menjadi isu besar saat terjadi di negara heterogen seperti Indonesia.

Jika menengok latar historis asimilasi Islam dengan negara majemuk Indonesia, sesungguhnya kehadiran ajaran Islam itu sendiri terjadi melalui asimilasi yang sangat halus. Terdapat sebuah paradigma yang cukup unik dimana sangat bisa diambil sebagai pelajaran dalam konteks kekinian.

Asilmilasi Islam dengan Nusantara dilangsungkan dalam suasana yang damai. Islam ideologis yang menghajatkan pewarnaan agama dalam sendi-sendi kehidupan dapat diakomodasi pada saat yang bersamaan potensi konflik karena benturan nilai dapat diredam. Sebuah pelajaran yang sangat relevan menghadapi problema kemajemukan hari ini.

Saat dominasi kerajaan Hindu-Budha mulai pudar pada sekitar abad ke-17 Walisongo mengambil peran membangun masyarakat Jawa dengan tata nilai baru. Para Walisongo ini adalah kaum intelektual yang mereformasi dinamika sosial masyarakat Pulan Jawa dan dalam berbagai bentuk manifestasi peradaban mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya,Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana. Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka.Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.

Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.

Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang,bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.

Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka,sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah,doktrin keesaan tuhan dalam Islam. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring,leher dibuat memanjang,lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.

Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.

Fakta sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam hadir ke bumi pertiwi tidak dengan penumbangan kekuasaan maupun agresi militer ataupun jalan-jalan pemaksaan lainnya, namun melalui jalan damai yaitu akulturasi budaya. Secara cerdas Walisongo menginisiasi pencerdasan dan pembangunan masyarakat secara kultural dan dari sanalah penyebaran Islam dilakukan.

Sebuah pelajaran berharga mengenai bagaimana menyikapi perbedaan.Bahkan kita melihat bagaimana wayang sekalipun yang notabene berasal dari ajaran animisme yang sangat kontras dengan ajaran Islam dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan Islam setelah dilakukan modifikasi terlebih dahulu.Para penyebar agama Islam di tanah air dahulu mencoba menggali dan memahami adat istiadat dan khazanah budaya yang ada terlebih dahulu untuk kemudian dimanfaatkan untuk berdakwah.

Pelajaran lainnya adalah bagaimana misi keagamaan yang diemban para wali disertai dengan kerja-kerja sosial sehingga menghasilkan sebuah kerja relijius yang lebih membumi dan mampu diterima dengan basis penerimaan yang kuat.Upaya mereka dengan membangun pusat-pusat pendidikan dan penggerak ekonomi merupakan buktinya.
Hal ini menjadi pelajaran bagi segenapa elemen bangsa bahwa perbedaan keyakinan agama diantara kita tidak menjadi panghalang untuk bersama menjalin harmonisasi dalam melaksanakan pembangunan.

Bahkan aktivitas relijius sepatutnya juga memiliki implikasi positif bagi tatanan sosial masyarakat bukan sekedar upaya propaganda jargon-jargon kosong semata bahkan malah berujung pada konflik atau bahkan kekerasan terhadap sesama. Walisongo dan para penyebar agama Islam pada masa lalu di Nusantara telah membuktikan bahwa ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin dan dapat menjadi harapan dalam memperbaiki dan membangun masyarakat.

Penulis adalah Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpad 2010/2011

Muhammad Fakhryrozi
Jalan Sarikaso III No. 35/ 177 B, Bandung
fahry.rozi@yahoo.com
085624189094

No comments:

Post a Comment