Sunday, March 20, 2011

Rongrongan bagi NKRI

http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/rongrongan-bagi-nkri/4688
Jumat, 18 Maret 2011 | 11:43


Setelah hampir tiga minggu muncul beberapa peraturan gubernur (pergub) yang melarang aktivitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah pusat belum juga menunjukkan sikap tegas. Selama ini yang ada hanyalah pernyataan sporadis dari menteri dalam negeri, menteri agama, dan jaksa agung, yang menyatakan pergub tak bertentangan dengan surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani ketiga pejabat tersebut. 

Sejauh ini tak ada pernyataan resmi pemerintah untuk menyikapi pergub yang berlaku, antara lain di Jawa Timur, Banten, dan Jawa Barat (Jabar). 

Setidaknya ada dua penyebab sikap pemerintah tersebut. Pertama, pemerintah sengaja melempar bola panas Ahmadiyah kepada kepala daerah yang secara tegas melarang aktivitas JAI, atau kedua, pemerintah sengaja menggantung kasus Ahmadiyah yang sesewaktu bisa dimanfaatkan untuk mengalihkan isu tertentu yang memang ingin dihindari.

Bagi kita, sikap abu-abu dan ketidaktegasan pemerintah mengkonfirmasi berbagai sikap yang ditunjukkan selama ini, yakni selalu ragu-ragu dan tidak tegas menyikapi persoalan hakiki manusia, yakni kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan, dalam berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, tak jarang pemerintah pun ragu bersikap dan terkesan ambivalen. Misalnya, dalam hal pembatasan subsidi BBM.

Sejak Soeharto lengser, isu agama dan keyakinan menjadi sangat sensitif. Tak ada pejabat negara yang bersikap tegas terhadap isu tersebut. Akibatnya, kasus-kasus kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan tertentu melonjak signifikan. Diktator mayoritas dan tirani minoritas tak lagi menjadi isapan jempol. Banyak gereja dibakar, larangan beribadah seolah menjadi hal lumrah, dan JAI selalu dijadikan sasaran amuk massa. Seolah tak ada lagi perlindungan bagi kaum minoritas. Sekelompok orang yang membawa bendera agama tertentu boleh sesukanya menganiaya saudara-saudaranya sebangsa. Aparat keamanan pun tak bernyali untuk menghentikan anarkisme atas nama agama. Pluralisme yang diakui konstitusi pun semakin kehilangan eksistensinya. 

Ketiadaan sikap tegas itu membuat pemerintah daerah, khususnya Muspida Pemprov Jawa Barat melakukan langkah lebih jauh, yakni menggelar “Operasi Sajadah”. Operasi ini bertujuan “menyadarkan” JAI.  Juru Bicara Pemprov Jawa Barat, Rudi Gandakusuma mengatakan operasi itu sesuai Peraturan Gubernur Jawa Barat tentang larangan aktivitas Ahmadiyah. Operasi ini sama sekali tidak bertujuan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Jawa Barat. 

Bagi kita, sejumlah Pergub yang melarang aktivitas JAI, bahkan diikuti “Operasi Sajadah”, merupakan tindakan yang berlebihan dan melawan peraturan perundangan. Dalam UU tentang Pemerintahan Daerah jelas disebutkan bahwa agama merupakan urusan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah jelas tak berhak membuat peraturan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Bahkan, negara tak memiliki hak untuk mengurus keyakinan warga negara.  Negara lewat aparat penegak hukum hanya bisa bertindak jika ada pelanggaran hukum positif. Misalnya, melontarkan kata-kata penghinaan, mengancam, menghancurkan dan merusak harta benda orang lain, serta mencabut nyawa orang lain. Namun, pengadilan tidak bisa mengadili dan menjatuhkan sanksi terkait keyakinan seseorang. Akidah yang diyakini adalah wilayah privat yang tidak boleh dicampuri negara! 

Apalagi, operasi tersebut mengikutsertakan aparat TNI yang selama ini dikenal sebagai pengayom seluruh rakyat. Bantahan yang disampaikan Menko Polhukam dan Panglima TNI bahwa tak ada perintah kepada aparat TNI terlibat dalam operasi tersebut menjadi langkah awal untuk menghentikan operasi tersebut. 

Terkait kenyataan itu, kita kembali mendesak pemerintah, khususnya Presiden SBY, untuk menentukan sikap terhadap JAI. Sikap itu harus berlandaskan pada amanat konstitusi yang melindungi setiap warga negara apa pun agama dan keyakinannya. Salah satu wujud ketegasan itu adalah mencabut SKB yang telah membatasi hak-hak sebagian warga negara. SKB yang tak dikenal dalam hierarki peraturan perundangan di Indonesia justru menjadi pemicu berbagai konflik terkait Ahmadiyah. Desakan tersebut tak hanya disampaikan kalangan yang mempertahankan pluralitas di Indonesia, tetapi juga 27 anggota Kongres Amerika Serikat yang merasa prihatin dengan kondisi kebebasan beragama di Indonesia yang terancam dengan kehadiran SKB tersebut. 

Selain itu, kita juga mendesak Kepolisian untuk secepatnya membawa semua kasus kekerasan atas nama agama ke penuntut umum. Penganiayaan dan pembunuhan warga Ahmadiyah di berbagai tempat, perusakan gereja di Temanggung, serta kasus-kasus sejenis, harus diprioritaskan penyelesaiannya. Selain itu, langkah pencegahan juga harus aktif dilakukan untuk menghindari kejadian serupa. 

Berbagai rongrongan terhadap NKRI, khususnya terkait agama dan keyakinan, harus ditindak tegas. Sebagai bangsa yang dibangun dengan nilai-nilai kebersamaan sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tak boleh lagi ada ruang yang menafikan perbedaan. Nilai-nilai kebersamaan yang terus merekat dan direkatkan akan mengokohkan NKRI.

No comments:

Post a Comment