Wednesday, December 28, 2011

Dialog Imajiner antara Muslim dan David

http://uk.mg4.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=88puja2b2qb72
co-pas dari milis cfbe

Sebuah dialog imajiner antara seorang bernama 'Muslim' dan 'David' muncul di beberapa milis yg saya ikuti seperti ini.
 
Muslim : Bagaimana natalmu ?
David : Baik, kau tidak mengucapkan selamat natal padaku ?
Muslim : Tidak, agama kami menghargai toleransi antar agama, termasuk agamamu, tapi masalah ini, agama saya melarangnya..
David : Tapi kenapa, bukankah hanya sekedar kata2 ? Teman muslimku yg lain, mengucapkannya padaku ?
Muslim : Mungkin mereka belum mengetahuinya... David, kau bisa mengucapkan dua kalimat syahadat ?
David : Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya... Itu akan mengganggu kepercayaan saya...
Muslim : kenapa ? Bukankah hanya kata2 ? Ayo, ucapkanlah ;)...
David : sekarang, saya mengerti.. ;)

Saya tercengang membaca dialog ini. Jelas bahwa si pembuat dialog ingin menyampaikan bhw bagi seorang muslim mengucapkan 'Selamat Natal' sama dengan mengucapkan syahadat dalam Islam...! Bagaimana mungkin ia sesembrono itu?

Pengharaman ucapan selamat natal jelas merupakan masalah khilafiah. Ada ulama yg melarang tapi ada ulama lain yg justru menganjurkan. Salah satunya adalah Syeh Qaradhawi. Beliau menganggap mengucapkan selamat merayakan Natal adalah perbuatan muamalah yg baik utk mempererat hubungan baik dg umat Nasrani. Beliau tidak menganggap ini sebagai bagian dari akidah melainkan muamalah yg baik utk dilakukan.
Selain Syeh Qaradhawi, para ulama Eropa juga menganggap ucapan Selamat Merayakan Natal adalah muamalah yg baik utk dilakukan utk menciptakan toleransi antara umat beragama di Eropa.
Di Indonesia Dien Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan bahwa ia setiap tahun mengucapkan Selamat Natal kepada sahabat-sahabatnya yg beragama Nasrani. Beliau adalah Sekertaris Umum MUI Pusat. Meski pun MUI pernah mengeluarkan fatwa larangan merayakan Natal bersama tapi MUI tidak melarang ucapan Selamat Natal.
Ustad Quraish Shihab yang ahli tafsir Al-Qur'an itu juga menganggap ucapan selamat natal ini sebagai hal yg mubah. Silakan saja kalau mau mengucapkan.

Tentu saja ada beberapa ulama Islam yg berpendapat bahwa ucapan tersebut haram dengan argumen dan dalil-dalil yg mereka punyai. Tapi menganggap bahwa pengharaman tersebut sebagai ajaran Islam dan sama dengan pengucapan syahadat adalah sangat berlebihan. Ucapan Selamat Merayakan Natal itu hanya setara dengan ucapan Selamat Iedhul Fitri. 

Tentu saja si Muslim tokoh imajiner itu berhak utk menganggap ucapan tersebut haram dan bakal mempengaruhi akidahnya. Tapi menganggap muslim lain yg membolehkannya sebagai tidak paham ajaran agama dengan mengatakan 'mungkin mereka belum mengetahuinya' sungguh gegabah. Ini sama artinya dengan MENGHAKIMI muslim lainnya sebagai TIDAK PAHAM ajaran agama Islam soal ucapan selamat natal tersebut. Benarkah umat Islam yg mengucapkan 'selamat natal' tidak mengetahui bahwa ucapan tersebut sama dengan bersyahadat dalam agama nasrani? Bayangkan betapa sembrononya pernyataan ini...! Syeh Qaradhawi dianggap 'belum mengetahui' hal ini...?! Ustad Quraish Shihab 'belum mengetahui'...?! Dien Syamsudin tidak sadar apa yg ia katakan...?! Lantas apa maksudnya kalimat 'mungkin mereka belum mengetahuinya' tersebut...?!

Bagi mereka yg mengharamkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani tersebut sebaiknya melihat bagaimana ulama-ulama besar Al-Azhar di Mesir dan Iran. Mereka tidak hanya memberikan ucapan selamat Natal kepada warga Nasrani di negaranya, tapi juga biasa merayakan Natal di gereja.

Sri Paus pernah mengatakan bahwa orang pertama di dunia yang mengucapkan selamat Natal tiap tahun kepadanya adalah Ayatollah Ruhullah Khomeini. Ulama besar Mesir, Sayyid Muhammad Thantawi, tak hanya membolehkan seorang muslim turut merayakan hari raya Natal tapi juga menghadiri undangan Natal umat Kristen Koptik di gereja-gereja di sana.

Apakah ucapan selamat Natal itu ada dasarnya dalam Islam? Tentu saja ada. Nabi Isa (Yesus) sendiri menyatakan sebagaimana dalam Al-Qur'an 19:22 "Keselamatan atas diriku ketika dilahirkan, ketika meninggal dunia, dan ketika (nanti) dilahirkan kembali."

Jadi siapa sebenarnya yg 'mungkin mereka belum mengetahuinya' tersebut...?!

Jadi silakan tentukan sikap Anda dalam hal ini. Bagi saya ucapan Selamat Merayakan Natal yg saya kirim kepada teman-teman dan umat Nasrani yg saya kenal adalah benar-benar ucapan tulus dari hati saya agar tercipta kedamaian dan perdamaian antara umat beragama. Saya ingin mereka mengetahui dan merasakan bahwa umat Islam sangat toleran pada mereka dan tahu batas antara akidah dan muamalah.

Lion Air, CGK - SUB, 
28 Desember 2011

Salam
Satria Dharma
http://satriadharma.com/

Friday, December 16, 2011

Saya kok merasa belakangan sentimen keislaman saya semakin kuat

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=10151053102650045&id=859770044
Akhmad Sahal

Saya kok merasa belakangan sentimen keislaman saya semakin kuat. Buktinya: 


  • saya sangat geram dgn perilaku polisi syari'ah di Aceh dan penerapan perda-perda syari'ah yang sama sekali tidak syar'i. 
  • saya galau sekali dengan gencarnya ekspor salafisme Wahabi oleh rezim saudi Arabia, yang membikin Islam jadi jumud (beku), seperti fosil yang membatu. Dari sini kemudian merebaklah kepandiran atas nama Islam, seperti tercermin dari munculnya kelompok semacam obedient housewives club, perusakan patung dll. Pandir karena Islam ditampilkan oleh mereka sebagai agama yang sama sekali melecehkan akal budi.

  • saya merasa jengkel dengan khutbah, media, dan situs Islam yang isinya melulu mengobarkan kebencian dan intoleransi. Kelompok islam lain yang berbeda atau menolak mereka dicap sesat. Kelompok agama lain merasa terintimidasi dan tidak nyaman. 

  • Saya bawaannya mau muntab (marah) dengan kedurjanaan walikota bogor dlm soal gereja Yasmin, radikalisme FPI dan sejenisnya, dan terorisme JAT-nya Abu Bakar Baashir. 

  • saya merasa sedih bahwa seruan pembaharuan Islam yang menjanjikan harapan terwujudnya "Al islamu ya'lu wa la yu'la 'alaih" dari orang2 seperti Abduh, Iqbal, Fazlur Rahman, Cak Nur dan Gus Dur semakin lama menjadi suara pinggiran yang hanya sayup-sayup di Indonesia, kalah dengan arus konservatisme dan kekolotan yang didengungkan sejumlah ulama, habib dan ustad.

Perasaan2 semacam itulah yang akhir-akhir ini kerap menggelayuti benak saya. Akibatnya, saya sering merasa malu jadi orang Islam. 

Saya malu karena Islam dalam penampakannya seperti di atas seakan-akan gak ada manfaat dan kontribusinya buat kemanusiaan secara universal. Dia seakan hadir hanya untuk merusak peradaban manusia, dan bukannya membangunnya. Dengan kata lain, umat Islam terbukti gagal menampilkan diri sebagai "khaira ummah" (umat terbaik) seperti dijanjikan Al-Qur'an.

Tapi saya bersyukur pada Allah telah diberi rasa malu semacam itu. Karena itu mengindikasikan bahwa ghirah keislaman saya semakin kuat belakangan ini. Alhamdu lillah!

Sunday, December 11, 2011

Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal HTI

http://www.sarkub.com/2011/mewaspadai-gerakan-politik-islam-radikal-hti/
Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal Hizbut Tahrir Indonesia





Kalimatu l’Haq, uridu biha l’bathil. Kalimatnya benar, tetapi digunakan untuk tujuan yang tidak benar. Pepatah itu mungkin dapat mewakili penjelasan terhadap maraknya fikrah (pemikiran) dan harakah(gerakan) yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok Islam garis keras yang saat ini sedang mempropagandakan paham ajarannya kepada masyarakat, termasuk warga NU hingga ke desa-desa. Bagaimana gerakan ini muncul dan didirikan? Apa misi yang diembannya, serta apa saja penyimpangan yang harus diwaspadai? Tulisan ini dimaksudkan sebagai pembinaan internal terkait pembentengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap warga dan pengurus Nadhlatul Ulama’.
***
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari jaringan internasional Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 di Jerussalem. Pendirinya adalah Taqiyuddin Al-Nabhani bersama para koleganya yang merupakan sempalan dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Al-Nabhani sendiri adalah lulusan Al-Azhar Mesir yang berprofesi sebagai guru sekolah agama dan hakim. Ia berasal dari Ijzim, Palestina Utara.
Hizbut Tahrir menahbiskan dirinya sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya dan kebangkitan bangsa Islam sebagai tujuannya. Meskipun selalu mengusung nama Islam, syari’ah dan dakwah, namun secara tegas, mereka mengatakan bukan sebagai organisasi kerohanian (seperti jam’iyyah thoriqoh), bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga social kemasyarakatan (Brosur HTI: Mengenal Gerakan Dakwah Internasional Hizbut Tahrir, DPP HTI, Jakarta, 2007). Hal ini jelas berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang ditegaskan sebagai jam’iyyah diniyyah-ijtima’iyyah (organisasi keagamaan-kemasyarakatan) dan bukan organisasi politik.
Sistem keanggotaan merupakan ciri khas dari organisasi ini. Untuk mencapai tujuannya, para pemimpin organisasi ini mengambil bahan-bahan ideologis, yang mengikat anggotanya. Pada pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para sarjana mendominasi latar belakang anggota organisasi ini. Namun tahun-tahun belakangan, organisasi ini telah menyebarkan target rekrutmen anggota ke masyarakat umum, khususnya pedesaan, termasuk kepada anggota dan warga Nahdlatul Ulama’.
Modus penyebaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengenalan, penyebaran dan pembai’atan (indoktrinasi) ide-ide dan pemikiran Hizbut Tahrir kepada masyarakat umum. Untuk menyebarkan itu, mereka giat mencetak dan menyebarkan media informasi yang dibagikan secara gratis dan berkala sebagaimana Buletin Dakwah Al-Islam yang disebarkan ke masjid-masjid, organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka juga mengadakan kajian (halaqah) di masjid-masjid yang sudah berhasil ‘dikuasai’ dengan menampilkan tema-tema yang sekilas luhur sebagamana Khilafah Islamiyah, Penjajahan Bangsa Melalui Perempuan, dan sebagainya.
Selain itu, mereka aktif merekrut kader-kader militan yang tersebar hingga di kecamatan bahkan desa sebagai ‘agen’ penyebaran ide baik melalui pamflet, bulletin dan majalah maupun penjelasan langsung door to door. Mereka juga memiliki media umum, sebagaimana majalah bulanan Al Wa’ie, hingga situs internet www.hizbut-tahrir.or.id dan www.al-islam.or.id. Dalam media-media mereka, kerap mengusung slogan-slogan indah, sebagaimana dakwah Islam, khilafah Islamiyah, Kembali ke Syari’at Islam dan Menerapkan Islam Secara Menyeluruh (Islam Kaffah). Dengan berbungkus slogan tersebut, ternyata mereka banyak menuai simpati, khususnya dari warga yang tidak teliti melihat gerakan ini.
Gerakan Islam Politik-Radikal
Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara paket fikrah (pemikiran) dan harakah(gerakan) Islamiyah mutakhir luar negeri yang masuk ke Indonesia dalam kurun dasa warsa terakhir. Dari gerakannya, jelas sekali mereka muncul dan terbentuk dari situasi politik dan perkembangan Islam di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel serta semangat anti Barat dan Amerika. Ketertindasan Islam di daerah konflik timur tengah khususnya di Palestina cukup mendorong mereka untuk membentuk pemerintahan islam internasional, yang sering disebut-disebut dengan istilah Khilafah Internasional. Dengan asumsi tersebut, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia harus dimobilisasi untuk mendukung khilafah yang nantinya akan dipimpin oleh khalifah yang akan diangkat sebagai pemimpin Islam.
Mereka menganggap kaum muslimin saat ini hidup di alam darul kufur (Negeri Kafir) hanya karena diterapkannya hukum-hukum Negara yang tidak berdasarkan Islam. Kondisi ini mereka rumuskan dengan cara menganalogkan secara sempit dengan periode Nabi SAW ketika di Makkah. Sebagai contoh, untuk Indonesia, mereka menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai bagian dari hukum-hukum kufur yang oleh karena itu harus diganti, baik konstitusi dan Dasar Negara maupun pemerintahannya.
Misi inilah yang berlawanan dengan Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyyah yang telah berhasil mengislamkan Indonesia sejak era walisongo. Dakwah NU lebih mengarah kepada pelaksanaan syari’at Islam bagi warganya dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Lihat Maklumat Nahdlatul Ulama Keputusan Konferensi Besar NU Tahun 2006). Bahkan melalui Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin, NU telah menyatakan Indonesia (yang waktu itu masih dikuasai oleh penjajahan Belanda) sebagai Darul Islam (Negara yang dihuni oleh ummat Islam) dimana ada kebebasan bagi warganya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan aturan syari’at Islam, tanpa harus mempermasalahkan struktur negara.
Sebaliknya, pandangan radikal Hizbut Tahrir memaksa mereka untuk selalu memandang struktur Negara (politik) sebagai tujuan. untuk merealisasikan misinya, mereka menetapkan tiga tahapan yang bila diamati dapat dikatagorikan sebagai sebuah gerakan kudeta berbungkus Islam terhadap pemerintahan yang sah. Dimulai dengan tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqib) yang diambil dari mereka para simpatisannya, kemudian dilanjutkan tahapan berinteraksi dengan ummat(Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah). Kalau dua tahap itu berhasil mereka lampaui, barulah disiapkan tahapan ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan (kudeta), yang dikemas dalam bahasa Marhalah Istilam Al-Hukm. Jelas sekali, organisasi ini murni organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan (walaupun dikemas dengan tema khilafah Islamiyah) sehingga tidak dapat disejajarkan dengan jam’iyah diniyyah-ijtima’iyyah sebagaimana Nahdlatul Ulama’.
Penyimpangan Ajaran dan Aqidah
Untuk mendukung misi politiknya, maka Hizbut Tahrir menggunakan pemahaman syar’I yang dapat mendukung membenarkan langkah-langkah politiknya. Salah satunya, mereka selalu mendesak kaum Muslim untuk berijtihad dalam mengkaji syari’at secara terus menerus. Mereka juga meniadakan semua bentuk ijma’ (konsensus) kecuali ijma’ para sahabat Nabi saw, dan menolak illat (alasan rasional) sebagai dasar bagi qiyas (analog).
Publikasi utama organisasi ini antara lain adalah Al-Takattu al-Hizbi (Formasi Partai), Al-Syakhsiyah al-Islamiyah (Cara Hidup Islam), Nidhom al-Islam(Tatanan Islam), Mafahim Hizbu al-Tahrir (Konsep-Konsep Partai/Organisasi Pembebasan Islam), Nidhomu al-Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Dalam Islam), Nadharat Siyasiyah li Hizbi al-Tahrir (Refleksi-Refleksi Politis Partai Pembebasan Islam), dan Kaifa Hudimat al-Khilafah (Bagaimana Kekhilafahan Dihancurkan).
Menurut kesaksian seorang ulama’ Ahlus sunnah wal jama’ah, yakni Syech Muhamad Abdullah al-Syiby al-Ma’ruf bi al-Habasyi dalam kitabnya Al-’Aroh al-Imaniyah fi Mafasid al-Tahririyah, dikatakan Pendiri organisasi ini telah mengaku sebagai mujtahid mutlak dan melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, serta mengingkari ijma’ di berbagai persoalan pokok agama dan persoalan furu’ agama.
Syech Muhammad juga dapat membuktikan beberapa kebathilan aqidahHizbut Tahrir dari sisi ajaran dengan mengutip kitab mereka, yakni KitabSyakhsiyah Islamiyah. Dalam juz l hal 71-72, disebutkan: Dan semua perbuatan manusia ini tidak ada campur tangan qodlo’ (kepastian) Allah. Karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri”. Lebih lanjut pada halaman 74 tertulis: “Maka mengkaitkan pahala atau siksa Allah dengan hidayah atau kesesatan menunjukkan bahwa hidayah atau kesesatan adalah perbuatan manusia sendiri bukan dari Allah swt “.
Pendapat sebagaimana dalam kitab mereka merupakan pendapat kaum Qodariyah. Sementara qadariyah adalah salah satu firqah yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal jama’ah, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya beliau berkata:“Sesungguhnya perkataan kaum Qodariyah adalah kufur.” Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin Anas dan Imam Awza’I:“Sesungguhnya mereka itu diminta untuk bertobat, jika tidak mau maka dibunuh.”
Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Thowus, dari ayahnya: Sesungguhnya seorang laki-laki telah berkata kepada Ibnu Abbas: “Banyak orang mengatakan perbuatan buruk bukan dengan qodar (kepastian) Allah swt.” Maka Ibnu Abbas menjawab: “Yang membedakan aku dengan pengikut Qodariyah adalah ayat ini: (sambil membacakan Al Qur’an Surat Al An’am ayat 149, yang artinya) “Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”..
Hizbut Tahrir juga tercatat pernah berfatwa tentang pergaulan yang bertentangan dengan konsep makarimal akhlaq. Dalam salah satu edaran fatwanya, tahun 1969 mereka menulis: Tidak haram hukumnya berjalan dengan tujuan akan berzina atau berbuat mesum dengan seseorang. Yang tergolong maksiyat adalah perbuatannya”.
Selanjutnya, dalam edaran fatwa Hizbut Tahrir tertanggal 24 Rabi’ul awal 1390 H, pemimpin mereka menghalalkan berciuman meskipun disertai dengan syahwat. Sementara Dalam edaran fatwa tanggal 8 Muharam 1390 H, ditulis:Dan barang siapa mencium orang yang baru tiba dari bepergian, baik laki-laki atau perempuan, serta tidak untuk bermaksud melakukan tujuan zina, maka hukumnya adalah halal”.
Bukan itu saja, dalam hal penetapan hokum syar’i, mereka cenderung ceroboh dan menganggap enteng. Dalam kitab Al-Tafkir hal. 149, dijelaskan:Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenaya, maka menggali hokum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapapun, dan mudah bagi siapaun, apalagi setelah mempunyai beberapa kitab lughot (tata bahasa arab) dan fiqh Islam”. Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit (muhibbul aman/ahmad hakim jayli)

Wednesday, November 9, 2011

The Roots of Moderate Islam in Indonesia

By Mun’im Sirry


Over the past few years we have witnessed the growing number of Western scholars exploring the particularity of Indonesian Islam from that of the Middle East. This is true not only to the extent that some Indonesianists such as Robert Hefner of Boston University are successfully demonstrating that Indonesia is not a periphery of the Muslim World, but also able to point out certain elements of its distinct and attractive features.

Apart from the fact that Indonesia is home of the largest Muslim community in the world, Islam in Indonesia has ostensibly gained more attention in the Western scholarship. A distinguished scholar of Middle East, Dr. Bassam Tibbi, for instance, calls Indonesia as a model for the Islamic civilization in transition to the 21st century. He bases his argument on the ground that “It represents a model for religiously and ethnic-culturally different communities to live together in peace and mutual respect.”

Another expert of Middle Eastern Islam, Giora Eliraz of Hebrew University at Jerusalem – who shifted his intellectual interest to Indonesia – in his recent work, Islam in Indonesia (2004), argues that although the Middle East has had significant impact on Islam in Indonesia, but once certain Islamic ideas and streams of thoughts diffused to Indonesia from the Middle East, they underwent some modifications and exhibited an inclusive and pluralist character.

To make his point, Eliraz refers to the “venture” of the ideas of the great Egyptian reformer Muhammad Abduh to the country. While in his homeland (Egypt) Abduh’s progressive idea gained support only among a tiny group of reformers, in Indonesia it transformed into the largest modernist Muslim organization, Muhammadiyah, which along with the traditionalist organization NU (Nahdhatul Ulama) represents the mainstream of Moderate Islam in Indonesia.

The question now arises: What explains this moderation, in contrast to the explosive growth of militancy in so many Muslim majority countries? There are probably several parts to a complete answer. Some argues that the moderate feature of Indonesian Islam can be traced back to the way in which Islam was firstly introduced to the archipelago by foreign traders. The culture developing along the coast under the influence of the traders included traits like egalitarianism, dynamism, entrepreneurship, and independence, which affected the ideology and practice of Islam in the country significantly. As a result, the Indonesian people are now basically egalitarian in their outlook, an important ingredient for a functioning tolerance.

In line with this argument is the fact that the type of Islam that entered into the archipelago was sufistic in nature. This makes Indonesian Muslims very receptive to the local context which eventually leads them to an inclusive understanding of who and what can be considered Islamic. In 1960s the renowned American anthropologist Clifford Greertz drew a line between abangan (syncretist Muslims) and santri (practicing Muslims) to indicate the diverse religious orientations in the country.

However, one should not forget that there was a long history of moderation among both the traditionalists and the modernists. NU had in the 1930s issued a fatwa (religious degree) declaring Dutch rule legitimate. The early leaders of Muhammadiyah focused more on internal reform (tajdid), making better Muslim one by one, as opposed to capturing the state in the name of Islam.

In addition, we may take into account some recent developments that make this religious and political moderation among Indonesian Muslims is possible. First, much credit must be given to a remarkably creative and dedicated group of young religious and social thinkers and activists who chose early in the New Order of Suharto regime to reject the Islamic state approach. At the height of the New Order’s political repression of Islam during the late 1970s and early 1980s, new pattern of thinking emerged in the umma (Muslim community), particularly among younger intellectuals, which would have a major impact on the nature of political articulation of Islam. This phenomenon, which was initially called the “reform movement” (gerakan pembaruan), is perhaps best summed up in Nurcholish Madjid’s 1972’s dictum: ‘Islam yes, Islamic party no.’ This new generation is, to large extent, quite successful in desacralizing the notion of Islamic state.

Second, at the same time, the New Order’s own stance towards Islam began to change from the late 1980s. A series of legislative and institutional concession to Islamic sentiment provided tangible evidence of this. Prominent among them were the promulgation of Islamic family law in 1989, the establishment of ICMI (Indonesian Muslim Intellectual Association) in 1990, lifting a ban on female state school students wearing jilbab (head cover) in 1991, the founding of an Islamic bank (Bank Muamalat) in 1992, and abolition of the state lottery. All these gave a strong impression to Muslims that they could live in accordance with Islamic teaching even though the state is not Islamic one.

Third, the tendency toward a moderation has also something to do the success that Islamic institute of learning has had played in enlightening Indonesian Muslims, especially UIN (State Islamic University). There are 27 UINs throughout Indonesia along with a hundred of STAINs (State Institute of Islamic Studies) which introduce a progressive understanding of Islam.

Fourth and yet more importantly is the introduction of a new way of understanding Islam especially by those who studied in the West. At least, in the last two decades, we have witnessed an increasing number of Muslim students fromIndonesia enrolled in various Western universities. Many people, including myself, think that this can partly be explained by the shifting direction of study among Muslim societies of Southeast Asia from the Middle East to the West. When these students return to their home country, they promote different approaches to the study of Islam – approaches in which Islam is no more seen as a static object, but rather as a dynamic process of understanding. It seems that those who studied in the West are well-equipped with methodologies and research capabilities so as to present an “Islam” more adaptable and amendable to social change.

It is worth mentioning that many Indonesian students who pursued their graduate studies in the West occupy the highest position of influence in Indonesia, academically and politically. They are also able to develop a different picture of Islam – an Islam that is compatible with the modern notions of human achievements, such as democracy, human rights, civil society, etc. Just to give an illustration: three prominent American Muslim scholars – Ismail al-Faruqi (1921-1986) from Palestine, Fazlur Rahman (1919-1988) from Pakistan, and Seyyed Hossein Nasr (b. 1933) from Iran, who are generally regarded as among the best known and intellectually influential Muslim scholars of the twentieth century, and whose ideas and thoughts are not welcomed in their respective countries, but Indonesian Muslims have taken the historic step of welcoming them and their ideas when they were not welcomed in their native lands.

I think it is not an exaggeration or even overly optimistic to say that this recent development will pave the way for the emergence of what we may call a “moderate Islamic network” between the United States and Indonesia.

Mun’im Sirry, Indonesian Muslim scholar and author of several books, including Resisting Religious Militancy (Jakarta: Airlangga, 2003).

Benarkah Habib itu keturunan Nabi SAW? Masih Diragukan !

http://www.rimanews.com/read/20111105/45824/benarkah-habib-itu-keturunan-nabi-saw-masih-diragukan
Sabtu, 5 Nov 2011 01:53 WIB




CHICAGO,RIMANEWS-  Cendekiawan Muslim dari Paramadina, A.Mun'im Sirry MA, kandidat PhD di University of Chicago, AS mempertanyakan bahwa Apakah mereka yang mengaku sayyid atau habib itu betul-betul keturunan Baginda Nabi?

Menurutnya, Dalam studi yg dilakukan sejumlah ahli genetika, sebagian besar orang yang mengaku ngaku sayyid itu sebenarnya bukan keturunan Nabi. M.R. Rafiee, A. Sokhansanj, Naghizadeh dan Farazmand melakukan uji DNA di Iran sementara Elise Belle, Saima Shah, Tudor Parfitt dan Mark Thomas di India-Pakistan.


Hasil penelitian mereka sama: Mereka yang mengaku sayyid atau habib itu bukan keturunan Nabi. Lho, kalau di Iran dan India-Subcontinent saja tidak benar, bagaimana dgn orang-orang mengaku sayyid dan habib di Indonesia? Jelasnya, sayyid dan habib itu adalah konstruk sosial utk tujuan kehormatan dan legitimasi.


Dalam kesempatan lain, Munim Sirry menyingkapkan bahwa banyak ulama dan intelektual Muslim mengagumi reformasi dalam Kristen, hingga ada yang menyebut mereka itu "Muslim Luther." Tapi, kekaguman Muhammad 'Abduh terhadap reformasi Kristen melebihi ulama-ulama lain. 'Abduh dgn sangat gamblang menuturkan kekagumannya dalam Risala al-tawhid-nya yang sudah menjadi klasik itu. Beliau mengatakan, misalnya, bahwa Kristen-nya para reformer itu sudah sangat dekat dgn Islam.


Bahkan, katanya dalam facebook lebih lanjut, agama mereka itu tdk ada bedanya dgn agama yang dibawa Nabi Muhammad kecuali beda nama. Termasuk dalam hal ibadah, kata 'Abduh, hanya beda dalam bentuk, bukan substansi. Saya tdk tahu, apakah ada ulama yang membuat pengakuan lebih gamblang dan tegas dari mufti besar ini, bahkan dari aktivis-aktivis lintas agama sekarang.

Opini: Keislaman Indonesia

http://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/09034780/Keislaman.Indonesia
Oleh Komaruddin HidayatRektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta





Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalo orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab, katanya.


Kalo saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang  keberislaman  masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia  menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak dimana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang kemudian dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan Hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam  adalah  maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata,  persamaan hak bagi setiap warga Negara untuk memperoleh pelayanan Negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam  ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan:

it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings at least when it
comes
to economic, financial, political, legal, social and government policies.

Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah  Malaysia  (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistam (147), dan terburuk adalah Somalia (206).

Negara barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Setikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya atau pada sistem pemerintahnya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.

Semarak dakwah dan ritual

Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar:  mengapa  semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tidak mampu mengubah  perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru  dipraktikkan di negara-negara sekuler?


Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk  mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau  seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam shahadat, shalat, puasa,  zakat, haji dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin  sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: kelimuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas.  Hal yang terakhir inilah, menurut Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan  cara  melakukan penelitian tandingan. Jadi jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan Hadis. Lalu diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. 

Sunday, September 25, 2011

Suicide Bombing at Indonesian Church Injures 22



http://www.nytimes.com/aponline/2011/09/25/world/asia/AP-AS-Indonesia-Church-Explosion.html?ref=asia




SOLO, Indonesia (AP) — A suicide bomber blew himself up inside an Indonesian church as hundreds of worshippers were filing out after the Sunday service, injuring at least 22 people, police said.
The bomber's mangled body lay at the entrance of the Tenth Bethel Gospel Church. Around him, screaming people were splattered in blood.
Police Chief Gen. Timur Pradopo said the low-intensity device appeared to be attached to the man's stomach.
"We are now waiting for DNA test results to confirm his identity," Pradopo said. "We hope to reveal it soon."
A woman working at an Internet cafe near the church in the Central Java town of Solo said the man had visited her shop an hour before the explosion and browsed websites about al-Qaida and a local Islamist group.
He left a bag behind containing a copy of the Quran, a mask and a cellphone charger, Rina Ristriningsih told The Associated Press. She said all of the items had been confiscated by police.
Indonesia, a predominantly Muslim nation of 237 million, has been hit by a string of suicide bombings blamed on the al-Qaida-linked network Jemaah Islamiyah and its offshoots since 2002, when a strike on two Bali nightclubs killed 202 people, most of them foreign tourists.
Subsequent attacks targeting restaurants and hotels have been far less deadly, however, and the last occurred more than two years ago, thanks in large to a security crackdown that led to the arrests and convictions of dozens of suspects.
But bombings by solo "jihadis" targeting Christians, security officers and Islamic sects deemed blasphemous by hard-liners have continued.
Djoko Suyanto, a top security minister, told reporters that Sunday's attack should serve as a reminder that prospective suicide bombers, some without clear motives, are still out there.
It appeared that the bomber entered the church through a side door, mingled with worshippers, and then, when the service was over, headed out with them.
He detonated his device near the entrance, killing himself and wounding at least 22 people, said Pradopo, the police chief.
"Everyone was screaming," Fani, a witness, told Metro TV. Like many Indonesians she goes by only one name.
"I saw fiery sparks and, near the entrance, a man dead on the ground, his entrails spilling out. People around him were splattered with blood."
Members of the congregation said they did not recognize the bomber.
"He walked about 4 meters (yards) behind me," Abraham, who attended the service, told El Shinta radio. "I believe he was disguised as a churchgoer."
Indonesia is a secular nation with a long history of religious tolerance, but a small extremist fringe has become more vocal — and violent — in recent years.
Critics say President Susilo Bambang Yudhoyono, who relies heavily on Islamic parties in parliament, has remained largely silent as minorities have been attacked by hard-liners or seen their houses of worship torched or closed.
However, he was quick to speak out after Sunday's attack.
"Whoever is behind such violence has to be arrested," he said, adding that neither religious nor ethnic differences can justify such actions. "Crime is crime, terrorism is terrorism."
Yudhoyono said there were indications the assailant may have been linked to a terror network in the West Java town of Cirebon that carried out a suicide attack on a mosque packed with police in April.
Thirty people were injured in that attack.
___
Associated Press writers Niniek Karmini and Ali Kotarumalos in Jakarta contributed to this report.