Saturday, November 16, 2019

Surat Terbuka kepada Presiden Jokowi

https://www.facebook.com/Lalu.Agus.F.Wirawan/posts/2652971784750276

Pak Jokowi yang begitu saya hormati...

 



Sekiranya ummat Hindu, Budha, Kristen, Konghucu dan aliran kepercayaan ini sudah tak boleh lagi hidup di Indonesia kenapa tak hapus saja pasal tentang persamaan hak dan kewajiban seluruh rakyat itu dari Konstitusi kita UUD 45?

3 minggu sudah saya shalat Jum’at di masjid yang berlokasi di lingkungan dengan mayoritas Hindu Bali, 2 minggu yang lalu saya Jumatan di Masjid At-Taqwa Sanur, minggu kemarin di Masjid Baiturrahman Kuta, dan hari ini, tadi saya shalat di Masjid Al-Hidayah Bedugul Tabanan Bali...
Bahagianya saya ketika air wudhu yang dingin menerpa wajah yang tadinya berasa terbakar panasnya terpaan sinar matahari musim kemarau panjang ini. Dengan hati lega pula saya mengakhiri rakaat kedua sholat saya sambil merasakan kesejukan sepoi angin dari arah Pura Ulun Danu di tepi danau Beratan yang cuma 200 meter dari gerbang masjid megah itu.

Oh, bahagianya ummat Muslim Bali punya saudara sebangsa yang begitu menjunjung toleransi dan harmoni hidup sesama anak Nusantara!

Namun seketika saya menghidupkan HP dan membuka pesan whatsapp, saya terduduk lemas persis diundakan masjid ini...

Seorang sahabat Hindu di Lombok mengabarkan sebuah duka yang begitu menyakitkan hati!
“Lalu.... apa salah kami sampai tega-teganya sekelompok orang menghadang kami yang akan beribadah di Pura Awan Rinjani Desa Sambiq Elen yang dulu Lalu ikut perjuangkan saat Bupati Lombok Utara melakukan hal yang sama dengan alasan meresahkan masyarakat...”

Kemudian saya melihat video pendek yang menunjukkan segerombolan orang yang dengan beringas berteriak mengusir ummat Hindu yang akan beribadah disana!

“Teroris Sundeeeeeellllllll!!!!” Teriak hati saya geram melupakan area masjid tempat suci dimana tak seharusnya saya mengumpat seperti ini! Astagfirullahaladzim!

Beberapa bulan yang lalu, postingan saya yang mempermasalahkan Surat Bupati Lombok Utara yang melarang ummat Hindu beribadah di Pura Awan Rinjani sempat viral hingga terdengar Mendagri saat itu pak Tjahjo Kumolo yang kemudian menegur keras Bupati Lombok Utara.

Konon beberapa waktu kemudian, para sahabat Hindu saya sudah mulai bisa beribadah lagi disitu, bahkan Gubernur NTB mendadak jadi sangat dekat dengan ummat Hindu dan mau hadir pada upacara keagamaan besar yang dilaksanakan pemeluk Hindu se-NTB di sebuah Pura Lombok Barat!

Sebuah fenomena aneh jika dilihat dari status Gubernur NTB (Zulkieflimansyah) yang juga adalah elit PKS, partai yang banyak oknumnya terkenal suka “menakjiskan” ummat lain! Entahlah, mungkin saja TGB, sahabat saya mantan gubernur NTB 2 periode yang terkenal lembut dan nasionalis itu, menegur Bang Zul yang memang menurut saya, terpilih jadi Gubernur NTB berkat dukungan dan slogan “LANJUTKAN IKHTIAR TGB”.

Sayang beribu sayang, kejadian yang berlangsung beberapa hari lalu itu membuyarkan anggapan saya yang mulai membaik pada Gubernur Zulkieflimansyah, karena ketika saya tanya beberapa tokoh ummat Hindu Lombok apakah ada perhatian dari pak Gubernur, mereka kompak menjawab “boro-boro!”.

Hmmm... ternyata komitmen menjaga persatuan bangsa dan membasmi faham radikalisme hanya sampai di pernyataan Presiden Jokowi saja! Karena beberapa hari kemarin, menteri pariwisata pun tega mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hati ummat Hindu Bali dan Kristiani di Toba!

Harapan saya sekarang ada di pak Jenderal (Purn.) Fahrul Razi, Menteri Agama Republik Indonesia itu, pemimpin “Kementerian Agama Republik Indonesia, Bukan Islam Saja!”
Pak Menteri Jenderal, sudilah kiranya untuk menunjukkan ketegasan bapak pada nasib ratusan ribu ummat Hindu Lombok yang selalu terpinggirkan dan terdzolimi dalam melakukan ibadah dan kepercayaannya!

Saya malu pak! Seumur-umur saya hidup di Bali, di tengah lingkungan Hindu, saya tidak pernah sedetikpun diperlakukan tak baik oleh mereka! Waktu SMA di Buleleng, makan tidur dan pendidikan pun saya dibantu oleh saudara-saudara saya yang Hindu, bahkan makanan halal dan tempat ibadah saya pun disediakan khusus oleh mereka!

Di sekolah saya yang cuma punya 2 orang siswa Muslim pada saat itu dihadirkan guru agama Islam dari Panti Asuhan milik NU yang ada di Singaraja, khusus agar saya dan seorang lagi teman Muslim memperoleh hak yang sama untuk belajar pendidikan agama!

Untuk tempat ibadah jangan tanya, di seantero Bali, entah kota atau desa terdapat Masjid yang dibangun sebagian besar nya berasal dari partisipasi ummat Hindu disana!
Lalu apa alasan kita, ummat yang kebetulan saja mayoritas di Lombok ini melarang ummat Hindu membangun tempat ibadatnya? Istigfar kawan! Nabi Muhammad tak perah sekalipun menganjurkan kalian untuk melarang ummat lain beribadah!

Bibit radikalisme yang kemudian berkembang jadi terorisme sesungguhnya berawal dari sikap-sikap intoleran yang muncul dari mulut-mulut para durjana yang menyamar jadi tokoh agama! Bangsa ini sudah terlalu banyak dilukai oleh kelompok penyundal ajaran Tuhan ini!

Saya juga berharap pada pak Jenderal Tito Karnavian, Mendagri kini yang dulunya adalah pendekar sakti pembasmi teroris! Bantu kami pak Tito, tindak tegas semua aparat daerah yang mendukung sikap-sikap intoleran seperti diatas!

Pak Tito, ummat Hindu itu setahu saya pantang meminta minta, termasuk meminta pertolongan hatta pada orang yang telah mereka pilih dan percaya memimpin mereka!
Itu sebabnya bapak akan sangat jarang ketemu ummat Hindu mengeluhkan hal-hal yang seperti ini! Lihatlah betapa selama 5 tahun periode pertama pak Jokowi kemarin, apakah ummat Hindu di Bali minta diistimewakan? Tidak!

Pun juga demikian ketika mereka menderita dan diperlakukan tidak adil seperti sekarang ini!
Bahkan peristiwa pembubaran upacara Hindu di Jogja bilahari tak sama sekali membuat ummat Hindu Bali bereaksi keras berlebihan! Mereka sangat sabar pak!
Dan justru karena itulah saya, ummat Islam yang lama Hidup di tengah lingkungan Hindu ini jadi malu semalu malunya!

Saya harus pulang hari ini pak! Harus!
Sumpah saya malu sekali pada ummat Hindu Bali yang sudah begitu baik pada saya!
Demi Allah! Saya harus lawan orang-orang dzolim penyundal agama saya itu!

Bandara Ngurah Rai Bali
15 November 2019
Dengan Perasaan Malu Bercampur Luka!
Lalu Agus Firad Wirawan

Wednesday, September 4, 2019

TOLAK WISATA HALAL DANAU TOBA

https://twitter.com/Agamajinasi/status/1169083228914950149

thread dari akun Twitter @Agamajinasi

















Wisata halal dan muslim friendly tourism itu BEDA, pak!















https://m.liputan6.com/bisnis/read/4053486/ipang-wahid-danau-toba-diarahkan-ke-muslim-friendly-tourism

https://m.liputan6.com/news/read/4038936/tim-quick-win-bentukan-jokowi-mulai-garab-33-destinasi-di-kawasan-toba

https://m.liputan6.com/lifestyle/read/4029549/pembangunan-pariwisata-danau-toba-ditragetkan-rampung-pada-2020

Yakin gak ganggu budaya lokal? Kalo berkali2 dibohongin mah orang juga males percaya hahaha.


















https://news.detik.com/berita/d-4690582/pemprov-kaji-wisata-halal-danau-toba-jamin-tak-ganggu-budaya-lokal

Muslim friendly (tourism) itu contohnya banyak: Mau sholat gak dilarang Arah kiblat dikasih tau (walaupun ini redundant, segoblok apa elo sampe kudu minta ada arah kibat di kamar hotel? Atau gak punya hp?) Minta makanan/minuman halal tanpa kandungan babi atau alkohol disediain

Tapi yang terjadi di halal tourism itu adalah hal2 seperti ini: - segregated swimming pools Jadi udah mulai dorong lebih jauh. Bukan cuma diakomodasi, tapi juga minta lebih. Yang otomatis mengurangi wilayah orang lain.

Image

- makanan halal yang tadinya cuma tanpa kandungan babi dan alkohol, didorong lebih jauh jadi: - yang motong dagingnya, atau yang mempersiapkan makanannya mesti muslim, kudu syarii - makanan halalnya kudu disertifikasi sama organisasi islam

Kalo ini masih terjadi di Indonesia sih gpp, butcher atau chef atau sertifikasi halalnya SUDAH ada. SUDAH terfasilitasi terlepas ada atau gak adanya wisata halal ini. Tapi bayangin kalo ini terjadi seperti di Thailand, Jepang, atau di negara2 eropa? Dan ini benar terjadi.

Awalnya cuma minta arah kiblat, lalu minta sajadah, lalu minta ruangan untuk sholat, lalu... ... minta kudu ada masjid! Mau jadi turis atau mau menetap tinggal di negara asing, cuk?

Image

Yang menolak wisata halal seperti biasa dilabel jadi islamophobic. Anti islam! Hahahaha. Padahal yg terjadi sebenarnya bukan anti islamnya (toh gak anti situ mau makan makanan halal, mau sholat), tapi kekuatiran agresifnya semangat agama itu disebarkan lewat berbagai macam cara.

Yang pro wisata halal coba punya empati sedikit lah. Taroh dirimu di posisi orang lain. Misalnya neh. Bayangin jika turis2 dari eropa mau berwisata ke aceh tapi kudu minta ada gereja di sana buat kebaktian. Jelas gak masuk akaln

Atau misalnya lagi, misalnya turis2 asing yang hedonis mau mabok2an dan ngobat selama berwisata di aceh. Lalu mereka komplen kalo gak difasilitasi. Juga gak masuk akal!

Jadi "muslim-friendly" atau "whatever-friendly"-nya ini kudu dipikirkan. Sejauh mana loe bisa friendly kalo si "friend"-nya itu agresif, ngelunjak, pushing the boundaries, lalu sampe "dikasih hati minta jantung"?

Letak permasalahannya di situ. Bukan soal islam vs anti islam. Itu justru argumen licik yang sengaja mengaburkan masalah. Itu yang jadi polemik. Makanya wajar ada penolakan. Ketika PROGRAM wisata halal dipaksakan ke daerah2 di mana mayoritasnya justru bukan muslim.

Padahal di daerah2 wisata lokal tsb seperti di danau toba, di bali , sudah ada masjid, sudah ada warung padang, apalagi yang mau didorong? Kenapa mesti bersikeras memproklamirkan daerah tsb sbg wisata halal? Itu yang membuat orang jadi berpikir dan was2.

Belum ditambah di mana sebaliknya, di daerah2 mayoritas muslim, non muslim kesulitan beribadah. Jd polanya sudah terbaca: di daerah mayoritas muslim ditahan supaya non muslim gak berkembang, sementara di daerah2 mayoritas non muslim, semangat2 keagamaan islam menyelinap masuk.

Ini belum ngomongin soal program2 wisata halal di luar negeri ya. Seperti di jepang atau di thailand. Gue tau kok organisasi2 kaya crescentrating atau GMTI. Gimmick semuanya itu.

Cara kerja mereka spt ini: Bikin program halal tourism di negara tertentu, kasih proposal ke penguasa lokal, lalu kolaborasi, lalu undang media untuk liput. Voila! Di media2 judulnya bakal seperti ini: thailand/japan support halal tourism.

Memang ada kenaikan jumlah wisatawan muslim ke negara2 lain. Dan itu tentu bikin happy negara2 tsb, duit masuk. Tapi yang belum terjadi, ketika nanti ada konflik. Ketika para turis itu minta lebih. Sampe sejauh mana permintaan2 itu akhirnya dianggap "too much"? It's inevitable.

Nih gue kasih contoh artikel. Kalo loe biasa nulis artikel loe pasti bisa liat gimmick-nya:

















https://www.bangkokpost.com/business/1696452/thailand-ready-to-tap-busy-muslim-travel-market

Dari artikel2 kaya gitu loe bisa liat inisiatifnya gak berawal dari pemerintah negara tsb. Tapi dari perusahaan2 yang memang punya interest sama halal tourism. Jadi di-twist. Seakan2 ini inisiatif berawal dari dalam sendiri. Padahal bukan.

Elo pro wisata halal, muslim muslimah hijrah, ya silakan. It's your right. Tapi yg dari luar grup lo mungkin akan kepikiran, if all your interests are about your religion, why visiting europe? Why japan? Why thailand? Ternyata emang gak jauh2. Jadinya wisata ziarah. Pilgrimage.

Image
Dan ini Sukre Sarem, si lecturer yang "terpikat" dengan ide halal tourism. Sekilas gue pikir jonru ginting udah pindah ke Thailand.

Image

Betul. Pokoknya asal masuk aja dulu. Dapet dukungan dari pemerintah setempat. Ntar yang serba gak halal digerus secara perlahan. It has happened and will happen again.

Harus diacungin jempol buat penduduk di bali atau danau toba yang menolak wisata halal ini. Mereka sadar agresifnya yang satu ini bagaikan kanker. Kalo pun NKRI udah digerogoti, mereka bertahan bela daerah mereka. Cuma itu yg mereka punya.









Karena memang ada agendanya

Memang jumlah wisatawan muslim itu naik secara global. Walaupun ini grossly counted ya. Karena ngitungnya per negara. Apa semua turis dari Indonesia itu muslim? Dan dari semua turis muslim, apa semuanya itu menuntut adanya wisata halal?

Tapi biarpun naik, tetap secara jumlah, wisatawan global dari negara2 mayoritas non muslim itu masih jauh lebih banyak. Kok gak fokus ke sana? Hahaha.

Yang menggelikan itu, kenapa appeasing ke "wisatawan2 muslim" tapi gak pernah digalakkan untuk appeasing "wisatawan2 non muslim". Of course the former is increasing, but numbers so far have always sided with the latter. I see dishonesty there.

Let's be real. Gak usah ngemeng sana sini. Bungkus dengan kalimat2 persuasif macam2. Mari masuk ke no bullshit zone. Kalo itu gak dilakukan, yah isu2 kaya gini muter2 aja kaya pusaran air di toilet.

Think about this: Lo mau jadi turis ke negara asing kaya jepang, eropa, atau thai. Yg jelas2 muslim di sana minoritas. What do you expect sih? Trus lo ikut tour package, sementara lo kudu stick sama sholat 5 waktu. Apa tournya kudu berhenti nyari masjid utk lo bisa sholat?

Tentu beda kaya perempuan yang misalnya lagi dapet. Trus mesti ganti tampon or whatever. Butuh kamar mandi. Well, EVERYBODY needs a bathroom to pee, to poop. But does everyone or every tourist in a japan or thai need a mosque? Apa mereka butuh kolam renang terpisah dan syari?

Kalo gue jadi turis, dan gue muslim yang strict sama urusan2 syariah, gue pasti bakal cari tourist attractions yang fit sama profile gue. Sama kaya turis2 asing yang maunya surfer, mau hang gliding, mau hiking, apa iya mereka milih tempat2 wisata kaya museum, perpustakaan?

Itu yang gue bilang appeasing. Sampe sejauh mana. Justru umumnya turis berwisata ke daerah lain karena pengen liat sesuatu yang tiap hari dia gak liat, pengen alamin yang extraordinary bukan yang ordinary.

Justru umumnya turis berwisata ke daerah lain karena pengen liat sesuatu yang tiap hari dia gak liat, pengen alamin yang extraordinary bukan yang ordinary.

Joke-nya kemaren itu raja arab ke Indonesia juga begitu kan. Raja dari negara yang strict syariah, wisatanya ke bali. Lah itu make sense. Dia pengen liat pantai. Pengen liat pura.

Ngapain dia ke aceh? Mending tidur di rumah. Sama aja rasanya kan. Rasa syariah.

Itu yang gue bilang appeasing. Sampe sejauh mana.

Salahnya propaganda soal halal tourism di negara2 lain adalah untuk mengadu domba antara Indonesia dengan negara2 lain. Argumen tipikalnya: Negara2 lain aja demen bikin wisata halal, ini kok malah anti? Dasar liberal, sekuler, pluralis!

Tourism itu banyak jenisnya. Lo pikir halal tourism itu mendominasi di jenis2 tourism hahaha. Udah pernah denger kosher tourism lom? Atau haredim tourism? Tuh mirip2 sama halal tourism, malah mereka itu ori. Lebih dulu ada.

Tapi haredim tourism itu gak maksa. Gak agresif. Mereka itu ultra orthodox jews. Mirip kaya amish di amrik. Anti listrik. Anti nonton tv. Mau wisata? Maennya ke gunung. Ke alpen. Meditasi. Cocok. Gak maksa2 orang ikut maunya mereka.








Yup. Trus lo balikin aja argumen2 mereka soal wisata halal: Wisatawan2 non muslim maunya begini. Kita jamin gak bakal ganggu budaya lokal. Inget mereka imbanyak. Bisa datengin profit, ciptain banyak lapangan kerja. Kamu anti? Berarti kamu anti orang lain bisa dapet pekerjaan!

Image


Ini ustadz @ustadtengkuzul  gak ngerti bedanya hak sama privilege.
Feeding yourself itu hak, mendapatkan pekerjaan itu hak. Nyetir itu privilege. Travel (as a tourist) itu privilege. Susah emang anak bungsu dari agama2 tauhid, semua dianggap haknya dia.

Image








Kalo pun ada, angka dan outputnya gak seheboh seperti yang digembar gemborkan di sini. Yang nyelenggarain itu2 aja. Kalo gak tourism company yang ownernya muslim, atau pengusaha muslim lokal di negara itu yg catut2 nama negara dia.

The right to travel itu exist. Ada. Tapi itu ngomongin soal mobilisasi. Misalnya lo pindah rumah. Atau pindah negara. Itu salah satu dari human rights. Tapi kalo lo jadi turis dan kudu travel-ing, itu bukan right. Tapi privilege.

Dan itu baru jadi turis ya. In general. Udah dibilang privilege. Bagaimana dgn lingkup yang lebih sempit: jadi turis muslimin yang menuntut adanya wisata halal? Justru lebih privilege lagi.

Kalo lo anggak pinteran dikit, lo mungkin bisa berargumen: Tapi beragama itu HAM. Dilindungi oleh konvensi PBB! Yup. Di situ menariknya. Ranah privilege dicampur sama ranah hak. Gue kasih contoh, kejadian nyata...

Ada muslim tinggal di luar negeri. SIM-nya dia dicabut (mungkin karena gak bayar denda atau langar lalin berkali2). Lalu dia nyetir tanpa SIM. Ditangkep. Trus komplen kalo hak dia beragama dilanggar, karena dia ngakunya dia mau sholat di masjid.

Dia sholat itu hak. Tapi dia nyetir itu privilege, bukan hak. Boleh sholat. Bahkan di masjid sekali pun. Tapi cara lo untuk pergi ke masjid dibatasi. Silakan jalan kaki. Tapi kalo lo naik mobil padahal sim lo gak ada, ya resikonya ketangkep. Jadi hak dia beragama gak dilanggar.

Gitu juga wisata halal. Lo mau makan makanan halal itu hak lo. Sholat itu hak lo. Tapi kalo lo udah nuntut bahwa selama lo berwisata kudu ada kolam renang yg terpisah, atau kudu ada masjid dekat obyek wisata, atau yg motong daging sapi di resto kudu muslim, itu privilege.

Ini agak mirip sama kejadian2 soal hijab. Lo gak dilarang berjilbab. Bahkan suster2 katolik juga pake veil. Yang biasanya dikeluhkan itu adalah yang nutup muka. Karena wajah adalah identitas. Lo mau pake itu di rumah lo silakan. Tapi kalo udah di publik? Nanti dulu.

Biasanya ada counter-argument yang konyol, misalnya: Apa bedanya sama helm. Pengendara motor pake juga. Itu kan nutupin muka. Betul. Tapi begitu polisi berhentiin loe, kalo polisi minta lo buka helm utk liat muka lo (biar dicocokin sama sim), loe kudu buka. Sama atau beda?

Kalo polisi minta veil lo dibuka supaya bisa liat muka lo, apa polisinya mesti muslim? Atau kudu polisi yang muslimah? Gimana sama paham islam yg muslimah pun gak bisa liat aurat muslimah lain? Jadinya repot kan? Hence, privilege.

Gue bahkan pernah sampe jelasin ke muslim pake analogi gini karena dia gak ngerti: Bayangin ada agama yg atur bahwa sidik jari itu aurat. Trus penganut agama itu ke airport, dan nolak diamb sidik jarinya. Menurut lo gimana? Sidik jari itu kaya wajah. Keduanya identitas.

Jadi seringkali bukan soal hak2 seseorang beragama itu diberangus. But like we said yesterday: the devil is in the details. Permasalahannya itu seringkali soal detail2 agama yang pelik, dan tumpang tindih sama hak2 orang lain bahkan tumpang tindih sama ranah publik.

Tapi hal2 kaya gini gue ragu apa diajarin di (ilmu2) agama. Biasanya hal2 begini justu diajarinnya di pendidikan2 sekuler non-agama, di dunia barat. Ada batas atau distinctive yang jelas antara right and entitlements, antara hak dan privilege, atau antara privat dan publik.

Ini contoh lain, gak usah pake agama; Mendapatkan makanan yg sehat itu adalah hak. Tapi lo bisa gak nyelonong masuk rumah orang lain, trus buka kulkas dia? Dapetin pekerjaan yg layak itu hak. Tapi bisa gak lo dateng ke gedung BCA, misalnya, trus minta posisi direktur?

Btw soal wisata halal ini, gue jadi inget temen gue yang ngebet pengen snorkeling. Tapi masalahnya dia punya seizure (epilepsi). Thus sejak kecil gak pernah mau (belajar) berenang. Gimana coba?

Kemaren itu iseng gue godain dia. Lo ikutan submarine tourism aja. Sama aja efeknya. Bisa underwater tour, dan lo tetep safe.

Gue pikir gak ada salahnya lo minta kolam renang terpisah, atau koki khusus. Itu duit sebenarnya. Kalo ada investor yang mau bikin hotel syarii. Khusus buat lo. Charge-nya pasti mahal. Udah kaya private tour ala billionaires gitu.

Tapi seriously, jaman internet gini, kalo lo mau murah meriah ya gampang. Daripada ikutan bayar tour mahal, mending duitnya lo pake buat beli tv big flat screen, trus lo tonton deh travel documentaries sambil lampu dimatiin. Efeknya gue rasa gak beda2 jauh lol.

Menuntut travel/tourism kudu begini dan begitu, jadinya sama kaya lo bepergian tapi kudu punya "safe space" yang gede. Space-nya itu yang sebenarnya dipermasalahin. Kalo gak mau dipermasalahin, ya tinggal bayar extra. Like I said, private tour. Jamin diakomodasi 100%.

Wisman ke Aceh 2018: 33 ribu Wisman ke danau toba 2018: 250 ribu Ini gak apple to apple loh ya. Propinsi vs 1 wilayah wisata. Perbandingannya 8:1. Orang2 macam ngapain belagak ngomong soal buka pintu rejeki dan income buat warga danau toba. Urus saja aceh itu.

Saking semangatnya malah gak kena mention hahaha. Susah memang kalo argumen2 mereka ini sebatas propaganda aja. Begitu dicek kok angkanya menakjubkan. Jangan2 wisata halal malah bikin jumlah wismannya mirip kaya jumlah wisman di aceh. Ogah.

33 ribu setaun untuk 1 provinsi mah kebangetan. Itu padahal provinsi syariah. Kenapa kok gak menarik banyak wisman yang muslimin? Bukankah menurut kaum islamis, semakin halal semakin meningkat jumlahnya? Gue yakin ini salah satu provinsi yang menyerap jumlah wisman terendah.

Premis argumennya patah sendiri lewat angka. Aneh memang. Mau menerapkan wisata halal, yang disasar malah kantong2 non muslim. Sementara kantong2 muslim yg juga punya tujuan wisata kaya aceh kok gak benar2 digarap. Angkanya segitu2 aja gak dianggap sbg kegagalan.

Makin yakin halal tourism ini cuma sebatas gimmick. Penasaran gue soal dalil2 wisata (bukan travel loh ya, beda itu. Telat ente kalo mau ngutip ayat2 soal travel). Ada yg tau nabi pernah wisata ke mana sih? Yg getol teriak2 soal sunnah nabi mana suaranya?

Love to have someone prove me wrong. Tapi sejauh ini, gue yakin emang gak ada. Karena konsep wisata atau tourism itu emang konsep baru. Konsep yang baru ada mungkin 2-300 taun terakhir ini.

Ini konsep gila sebenarnya. Tapi jadi konsep yang akhirnya diterima mainstream. Jadi normal. Wisata atau tourism itu kasarnya bisa didefinisikan sebagai: Travelling just for fun.

Jadi lo pergi ke suatu daerah, minimal 24 jam, lo nginep di sana, liat2, penasaran, celingak celinguk, trus enjoy the view (kaya gunung, danau, sungai)... ... trus loe balik ke rumah! Sebelum ada konsep ini, orang bakal bilang lo gila. Ngapain lo ke sono. Kaya gak ada kerjaan.

Ya emang karena itu bukan work. Orang bisa berwisata karena bukan pekerjaan. Awalnya dilakukan sama kaum2 bangsawan eropa. Lanjut ke kaum aristokratnya. Ekses dari having too much money and too much time. Berarkhir dilakukan oleh semakin banyak orang.

Wisata ziarah atau pilgrim itu jelas bukan wisata. Itu adalah keharusan. Sebagai bagian dari ibadah. Kenapa jadi berubah, masuk jadi salah satu jenis wisata? Karena akhirnya diurus sama tour operators. Ada duit di situ, bisa making profit.

Ini yg kadang bikin gue dilema. Ngeliat konsep2 modern, kaya internet, atau wisata atau tourism begini, bisa dicampur sama konsep2 yg datang dari abad ke 6 spt syariah atau halal. Gak masalah dicampur. Tapi begitu dicampur, lo mau nariknya ke mana, ke depan atau ke belakang?

Jadi salah satu contoh lain lagi -kaya konsep nation state, konsep demokrasi- yang sebenarnya adalah konsep2 modern. Tapi kemudian dicampur. Originalitasnya jadi hilang. Bagaikan penumpang gelap di kereta yg perlahan bisa ambil alih fungsi masinis. Train is off the rail now.