Friday, June 26, 2020

Selimut Khilafah di Kampus Negeri

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170814135918-20-234603/selimut-khilafah-di-kampus-negeri?
Feri Agus Setyawan, CNN Indonesia | Kamis, 17/08/2017 13:34 WIB

Gema Pembebasan, organisasi sayap HTI, menyatakan kadernya dominan di kampus negeri. Mereka menilai Perppu Ormas adalah bentuk kedikatoran.
Gema Pembebasan, organisasi sayap HTI, menyatakan kadernya dominan di kampus negeri. Mereka menilai Perppu Ormas adalah bentuk kedikatoran. (CNNIndonesia/Safir Makki)

Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada beda dengan organisasi lainnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga memiliki sayap di lingkungan kampus. Organisasi itu bernama Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan. Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menyebut organisasi itu bagian dari HTI.

Organisasi ekstra kampus itu dibentuk secara khusus untuk menjaring kader HTI dari kalangan mahasiswa. Gema Pembebasan dibentuk pada 28 Februari 2004 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (UI).

CNNIndonesia.com menemui Ketua Umum PP Gema Pembebasan Ricky Fatammazaman di kompleks kantor HTI, Crown Palace, pada awal bulan ini. Ricky menceritakan awal mula dan tujuan didirikan Gema Pembebasan.


Ricky mengatakan, sesuai dengan Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Gema Pembebasan ingin menjadikan Islam sebagai landasan pergerakan. Selain itu, kata Ricky, pihaknya ingin menegakkan hukum Islam secara menyeluruh.

“Jadikan ideologi Islam ini sebagai mainstream pergerakan. Bicara tentang ini harus kembali pada Islam,” kata dia.

Ricky juga merupakan anggota HTI, namun dia saat ini menolak disebut anggota lantaran organisasi yang mengusung Khilafah itu telah dibubarkan pemerintah beberapa waktu lalu. Dia kini berprofesi sebagai advokat.

Saat menerima CNNIndonesia.com, Ricky baru saja mengikuti sidang gugatan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di MK. Dia menjadi bagian tim kuasa hukum HTI dalam menggugat aturan itu.

Ricky menyatakan, Gema Pembebasan sudah berada di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.

Menurutnya struktur organisasinya tersusun mulai dari pengurus pusat, pengurus wilayah untuk tingkat provinsi, pengurus daerah untuk tingkat kabupaten/kota dan pengurus komisariat untuk di setiap kampus.

Sarjana hukum itu mengklaim kekuatan Gema Pembebasan sudah merata di setiap wilayah hingga sejumlah kampus. Basis terkuatnya, sambung Ricky berada di perguruan-perguruan tinggi negeri.

“Hampir merata di perguruan tinggi negeri dan juga swasta. Mayoritas perguruan tinggi negeri kita ada dan juga diikuti oleh kampus-kampus swasta pilihan, itu hampir ada GP (Gema Pembebasan),” tuturnya.

Ricky menyebut pihaknya menerapkan kaderisasi yang ketat dalam menjaring anggota. Dia mengaku tak menitikberatkan soal jumlah anggota baru.

Menurutnya, Gema Pembebasan merupakan organisasi mahasiswa yang idelogis, sehingga anggotanya harus benar-benar yang memahami Islam dan siap menjalankan syariatnya.

Ketatnya proses rekrutmen itu, lanjut Ricky dilakukan agar terlahir kader-kader ideologis yang militan dan konsisten dalam mempejuangkan serta menegakkan syariat Islam.

“Enggak sembarangan (masuk ke Gema Pembebasan). Kita enggak jual murah, benar-benar kita ini gerakan ideologis, bukan gerakan pragmatis,” tuturnya.

Gema Pembebasan membagi proses rekrutmen mereka dalam tiga tingkatan. Proses kaderisasi ini mereka namakan pelatihan pembebasan satu, pembebasan dua sampai pembebasan tiga untuk tingkatan yang lebih lanjut.

Selimut Khilafah di Kampus Negeri
Aktivis organisasi sayap HTI, Gema Pembebasan yang memprotes Perppu Ormas. (CNNIndonesia/Safir Makki)

Bila ada kader yang ingin menduduki pengurus tingkat wilayah atau pusat, mereka harus mengikuti training pembebasan tiga.

“Jadi semua kampus yang ada di Indonesia ini baik negeri maupun swasta termasuk di perguruan tinggi ini kita masukin, kita kader, kita sampaikan diskusi. Dan tidak ada paksaan, mau ikut ayo, tidak ya silahkan,” tutur Ricky.

Sementara itu struktur organisasi, lanjut Ricky sama seperti organisasi pada umumnya.

Untuk pengurus pusat, strukturnya terdiri dari ketua umum, sekretaris jenderal, bendahara umum, bidang kaderisasi, bidang intelektual hingga bidang opini. Untuk periode kepengurusan sendiri dua tahun sekali.

Organisasi ini identik dengan warna oranye. Logo mereka berupa bola dunia dengan bendera yang identik degan Hizbut Tahrir. Ricky mengklaim kader Gema Pembebasan yang masih aktif hingga saat ini mencapai 60 ribu.

Untuk menjadi anggota Gema Pembebesan selepas mengikuti pelatihan mereka akan mengucapkan janji. Ricky tak mau ritual itu disebut sebagai sumpah, sebagaimana masuk dalam HTI.

Janji ini, kata dia, merupakan hal biasa seperti ketika seseorang masuk dalam suatu organisasi.

“Menjadi mahasiswa yang menjalankan Islam secara kaffah. Itu janji kita. Itu janji akidah kita, sebenarnya masuk organiasai hanya mengingatkan saja. Janji kita sama Allah sudah ada,” tuturnya.

Untuk di Jakarta sendiri, Gema Pembebasan ada di UI, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah hingga Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Selimut Khilafah di Kampus Negeri
Presiden Jokowi dalam satu pertemuan. Gema Pembebasan menilai Jokowi diktator karena menerbitkan Perppu Ormas (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Jokowi Dinilai Diktator
Gema Pembebasan menjadi salah satu organisasi yang getol menyuarakan penolakan terhadap Perppu Ormas, yang diterbitkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Perppu Ormas itu dikeluarkan sebagai dasar pembubaran ormas yang dinilai anti-Pancasila.

‘Korban’ pertama aturan itu adalah HTI. Selang beberapa hari usai Perppu Ormas terbit, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mencabut status badan hukum HTI.

Ricky menilai Perppu Ormas ini merupakan bentuk kedikatotaran pemerintahan Jokowi.

Pasalnya, kata Ricky, pemerintah tak membuka ruang untuk HTI membela diri di pengadilan. Nanti majelis hakim lah yang menentukan apakah HTI bubar atau tidak.

Selain itu, dia menyebut ada gejala paranoid pemerintah dalam menghadapi gempuran dakwah HTI tentang khilafah yang terus meluas.

“Sehingga kita mengatakan Perppu ini adalah hasil dari kediktatoran dan ketakutan. Jadi tidak ada dalam aspek hukumnya yang membenarkan Perppu ini keluar. Enggak ada,” kata Ricky.

Ricky mengatakan pihaknya telah mengonsolidasikan pengurus Gema Pembebasan sampai tingkat komisariat untuk menolak Perppu Ormas. Penolakan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Jokowi.

Menurutnya di tingkat daerah Gema Pembebasan sudah melakukan aksi. Selain itu organisasi ekstra kampus ini juga aktif memanfaatkan media sosial, baik Twitter, Facebook hingga YouTube. Mereka menyampaikan alasan-alasan mengapa Perppu Ormas harus ditolak.

Ricky mengaku, pihaknya juga sudah mengajak sejumlah organisasi mahasiswa lainnya untuk bersama menolak Perppu Ormas. Dia menyebut tak menutup kemungkinan aturan yang diteken Jokowi bisa menyasar organisasi di luar HTI.

“Mahasiswa harus bersatu menolak Perppu ini, karena akan datang masa di mana kita ini jangankan untuk aksi, berpikir saja kita nanti sudah dikatakan pelaku kriminal, sebelum jatuh korban selanjutnya,” tuturnya.

Islamisasi dan Darurat Pancasila Civitas Academica

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170816191710-20-235284/islamisasi-dan-darurat-pancasila-civitas-academica?
Gilang Fauzi, CNN Indonesia | Kamis, 17/08/2017 13:11 WIB

Pemerintah menggalakkan propaganda pembinaan Pancasila di lingkup kampus untuk melawan infiltrasi ideologi yang dianggap mengancam falsafah Bhineka Tunggal Ika.
Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Jakarta, CNN Indonesia -- "Ideologi mesti dilawan ideologi," ujar Presiden Joko Widodo saat ditemui CNNIndonesia.com di Istana bulan lalu (11/7).

Pernyataan itu disampaikan Jokowi menanggapi mewabahnya geliat radikalisme di Indonesia. Dia khawatir betul falsafah keberagaman negeri digembosi pemikiran radikal.

Obrolan santai di meja panjang Ruang Resepsi Istana Merdeka itu dilakukan sehari setelah Jokowi diam-diam meneken Perppu Ormas, yang kemudian menjadi rujukan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (19/7).

HTI dibubarkan karena dianggap mengusung Khilafah --sebuah cita-cita yang dicap pemerintah bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Syahdan, pemberangusan ideologi anti-Pancasila tak cukup dengan mencabut status badan hukum HTI. Jokowi menghendaki ada mekanisme yang bisa membumikan kembali Pancasila di Indonesia dengan menyasar generasi muda yang berkecimpung di lingkungan civitas academica.

Jokowi lantas mengundang 540 mahasiswa dari 110 perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia. Mereka dikumpulkan di Istana Bogor, Sabtu pekan lalu (12/8), untuk menjadi pilot project program Penguatan Pendidikan Pancasila.

Doktrin semangat falsafah Pancasila disuguhkan, salah satunya, lewat nonton bareng film dokumenter pidato presiden pertama RI Sukarno berjudul Pantja-Sila: Cita-Cita dan Realita.


Presiden Joko Widodo bersenam di acara program pendidikan penguatan Pancasila di Istana Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/8). (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

Keesokan harinya (12/8), Jokowi di hadapan ratusan mahasiswa mengatakan bahwa saat ini banyak orang keliru mengira pertarungan ideologi telah usai hanya karena tembok Berlin (Jerman) sudah roboh berbarengan meredanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.

Jokowi menyebut penetrasi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila saat ini merangsek dari segala lini, mulai dari seni, budaya, ekonomi, politik, juga media sosial.

Pancasila, menurutnya, bisa mengarahkan kembali kepada cita-cita bangsa Indonesia sekaligus membendung infiltrasi ideologi dari luar.

"Banyak anak muda saat ini sudah kehilangan karakter bangsa, sehingga perlu diingatkan kembali agar nilai-nilai ke-Indonesia-an tidak hilang karena terjangan infiltrasi ideologi atau pertarungan ideologi yang menjadikan kita kalah," kata Jokowi seperti dikutip Antara.

Kepala Unit Kerja Presiden (UKP) Pemantapan Ideologi Pancasila (PIP) Yudi Latif mengatakan, peluncuran program Penguatan Pendidikan Pancasila merupakan 'gong' dimulainya penanaman materi pembinaan Pancasila di lingkungan kampus.

Pembinaan ideologi Pancasila itu kelak akan menjadi kurikulum wajib yang bakal dipelajari mahasiswa di kampus. UKP PIP bersama Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi saat ini tengah berembuk menggodok formula agar materi pembinaan Pancasila di kampus bisa disuguhkan dengan kemasan yang tidak monoton dan membosankan.

"Tumbuhnya benih radikalisme di kampus itu satu indikator bahwa selama ini Pancasila kurang mampu dibumikan dalam dunia pendidikan," kata Yudi kepada CNNIndonesia.com.


Presiden Joko Widodo saat memimpin upacara Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta (1/6).(CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Gelagat infiltrasi paham radikal di lingkungan akademik sudah diramal sejak jauh hari oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi --yang kini dipercaya Jokowi menjabat Deputi Bidang Pengkajian dan Materi UKP PIP.

Anas mengatakan radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa melalui proses Islamisasi. Proses itu dilakukan secara tertutup dan menurutnya berpotensi memecah belah bangsa.

"Radikalisme ideologi jika tidak dicegah dari sekarang bukan mustahil Indonesia menjadi negara yang porak poranda dan dipecah karena perbedaan ideologi," kata Anas saat ditemui CNNIndonesia.com di acara diskusi Membedah Pola Gerakan Radikal, di Gedung LIPI, Jakarta.

Anas menunjukkan hasil survei bahwa 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak lagi relevan. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyatakan setuju dengan penerapan syariat islam.

Pada survei tahun 2015, empat persen orang Indonesia menyetujui kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka berumur antara 19-25 tahun. Sedangkan 5 persen di antaranya adalah mahasiswa.

"Kalau data ini dipercayai, maka 10 juta umat islam simpatik kepada ISIS. Itu angka yang cukup mengejutkan," ujar Anas.

Dia meminta pemerintah turun tangan agar Islamisasi di dunia mahasiswa dilakukan secara terbuka. Sehingga dalam prosesnya, mereka bisa menerima perbedaan pendapat dari berbagai kelompok.

"Dalam ranah pendidikan sebagai agensi, pemerintah harus campur tangan, Kemendiknas dan Kemenag mestinya punya cetak biru mengawasi persoalan kurikulum dari SD sampai universitas," katanya.

Hizbut Tahrir Indonesia: Menyebar Khilafah di Bumi Nusantara

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170814022839-20-234474/hizbut-tahrir-indonesia-menyebar-khilafah-di-bumi-nusantara?
Wishnugroho Akbar, CNN Indonesia | Kamis, 17/08/2017 14:11 WIB

HTI dibubarkan tanpa mendapat sedikit pun ruang membela diri. Padahal, menurut HTI, gagasan khilafah yang mereka usung tak bertentangan dengan Pancasila.
Anggota atau simpatisan HTI saat aksi di Jakarta tahun 2010. (AFP PHOTO / ADEK BERRY)

Jakarta, CNN Indonesia -- Bulan Juni 2013, puluhan ribu orang memenuhi kursi Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Di antara kibaran panji-panji hitam dan putih serta riuhnya suasana, Ismail Yusanto berdiri di sebuah panggung berukuran cukup besar yang menghadap orang-orang tersebut. Suaranya bergema menyeru slogan mengenai khilafah.

Ismail adalah juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia. Sebuah jabatan yang terbilang cukup prestisius.
 
Ia tak sendirian berorasi di atas panggung. Selain dirinya terdapat beberapa tokoh perwakilan Hizbut Tahrir dari sejumlah negara. Hari itu, Minggu 2 Juni 2013, adalah puncak acara Muktamar Khilafah yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.

Seperti organisasi lainnya --kecuali yang berhaluan komunisme, Hizbut Tahrir Indonesia mengecap buah manis dari gerakan reformasi tahun 1998 yang menumbangkan rezim otoriter Soeharto. 
Keran kebebasan politik dan menyatakan pendapat terbuka seluas-luasnya setelah selama 32 tahun direpresi oleh Orde Baru. Namun HTI yang masuk di Indonesia sejak 1980-an, tak lama mengecap kebebasan tersebut. Hanya empat tahun setelah peristiwa itu, tepatnya 12 Juli lalu, pemerintahan Joko Widodo menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang menjadi dasar pembubaran HTI.


Sejak 19 Juli lalu HTI resmi dibubarkan. Pemerintah mengkategorikannya sebagai organisasi anti-Pancasila. Gagasan khilafah yang mereka usung dianggap bertentangan dengan dasar ideologi negara dan mengancam kesatuan Indonesia.

Pembubaran HTI dilakukan secara sepihak. Tak sedikit pun ruang diberikan kepada HTI untuk melakukan pembelaan. Pun dengan respons masyarakat. Hanya segelintir yang menaruh simpati dan membela. Selebihnya memilih mendukung pemerintah. Di media sosial, HTI kerap menerima tudingan dan penghakiman.

Ismail sendiri tidak kaget dengan apa yang dialami oleh organisasinya.

“Kami tidak mengalami disorientasi (politik) karena kami mengerti apa yang kami hadapi. Dan kami juga tahu apa yang harus dilakukan. Ini kewajiban dakwah, baik ada organisasi maupun tidak, dakwah itu terus berjalan. Jadi tidak pernah mengalami disorientasi,” kata Ismail saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

Gagasan Khilafah
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari gerakan Pan Islamis Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani di Yerusalem pada 1953 silam. 

Sebagai gerakan transnasional, Hizbut Tahrir juga berdiri di sejumlah negara lain di kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, hingga Eropa. Di beberapa negara Hizbut Tahrir terang-terangan menjadi sebuah partai politik.

HT mengusung cita-cita mewujudkan khilafah Islam di dunia. 

Hizbut Tahrir Indonesia: Menyebar Khilafah di Bumi (EMBG)
Aktivis HTI. Ormas Islam ini mengusung khilafah namun menolak disebut bertentangan dengan Pancasila. (AFP PHOTO / JEWEL SAMAD)

Khilafah sendiri merujuk pada sebuah institusi dan kepemimpinan politik. Tujuan khilafah adalah mempersatukan seluruh umat Islam di dunia dalam sebuah institusi politik supra negara (khilafah) yang dipimpin oleh seorang khalifah.

Mengutip Rancangan Undang Undang Dasar Daulah Khilafah milik Hizbut Tahrir, Abu Bakar Muhamad bin Ismail dalam bukunya Mengenal Lebih Dekat Hizbut Tahrir [Indonesia] menyebut khalifah mewakili umat dalam kekuasaan dan pelaksanaan syara.

Dia bertanggungjawab, salah satunya terhadap politik dalam dan luar negeri, serta urusan militer. Khalifah diangkat oleh umat tetapi umat tak berhak memberhentikan khalifah. Jabatan khalifah tak dibatasi waktu.

Adapun kekhilafahan sebagai institusi politik disebut Ismail bukan sesuatu yang asing. Dalam sejarah Islam, terdapat sejumlah kekhilafahan yang diawali pada masa Khulafa Rasyidin selama 30 tahun dan berakhir di era Turki Utsmani.

Kekhilafahan nantinya akan menerapkan hukum Islam (syariah) yang mengatur segala interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. 

Selain penerapan syariah, khilafah juga untuk memperkuat ukhwah (persaudaraan) dan dakwah Islam. Ismail mengatakan, saat ini ketiga hal itu tak berjalan efektif karena tidak ada institusi (kekhilafahan) dan kepemimpinan politik (khalifah) sebagaimana dicita-citakan Hizbut Tahrir.

Menegakkan khilafah adalah sebuah kewajiban, namun Ismail membantah jika HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila. Ismail menyebut khilafah sebagai ajaran Islam sehingga tidak mungkin bertentangan dengan Pancasila.

"Malah ada sebagian yang mengatakan justru khilafah itu paling cocok dengan sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab," kata dia.

Khilafah juga disebut tak bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ismail menuturkan, meski melintasi batas negara, khilafah tak akan menegasi NKRI. 

Ia mengklaim Indonesia akan menjadi pusat kekhilafahan. Dengan demikian, kata dia, terwujudnya khilafah justru akan menguntungkan Indonesia karena bertambahnya luas negara. 

"Pertanyaannya kita mau berubah atau tidak? Untuk sesuatu yang lebih besar, lebih bagus, lebih agung, lebih hebat. Kan, pertanyaannya begitu, kan," ujar Ismail.

Evolusi Bukan Revolusi

Zeyno Baran dalam HIZB UT-TAHRIR Islam’s Political Insurgency,  mengungkapkan tiga tahapan strategi yang dijalankan Hizbut Tahrir. 

Pada tahap awal, kata Zeyno, HT fokus membangun organisasi atau partai dengan cara merekrut anggota dan menyebarluaskan gagasan mereka.  

Fase kedua HT mulai berinteraksi dengan umat dalam skala yang lebih luas lewat interaksi politik dan kebudayaan. Tujuan akhir dari fase ini adalah untuk menyadarkan umat sekaligus membuat mereka mendukung agenda politik partai.

Fase terakhir adalah merebut kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan Islam, namun, tak seperti organisasi Islam garis keras pada umumnya, upaya HT merebut kekuasaan disebut dilakukan lewat cara nonkekerasan. 

Hizbut Tahrir Indonesia: Menyebar Khilafah di Bumi (EMBG)
Foto: AFP PHOTO / BAY ISMOYO

Dalam konteks Indonesia, HTI tak pernah secara terang-terangan menyatakan agenda politiknya merebut kekuasaan.

HTI bahkan secara sadar mengakui bahwa cita-cita khilafah yang mereka usung tak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini. Meski demikian HTI meyakini cita-cita mewujudkan masyarakat Islami dapat terwujud secara perlahan. 

Ismail mengambil contoh soal fenomena larangan memakai jilbab di sekolah yang ia sebut pernah terjadi pada awal 1980-an di Indonesia.

"Alasannya tidak cocok. Bahkan ada tudingan anti-Pancasila pada waktu itu. Tapi dakwah jalan terus. Meyakinkan bahwa kerudung ini ajaran Islam. Apa yang terjadi? 11 tahun kemudian berubah, aturan disesuaikan bahkan kerudung dijadikan seragam resmi SMA, SMP, bahkan SD," kata Ismail.

Melanjutkan Mimpi Khilafah
Apa yang dicita-citakan Hizbut Tahrir sebenarnya telah mendapat banyak kritik dan sanggahan, baik dari intelektual hingga tokoh agama Islam.

Dari tokoh Islam, mereka yang menolak Hizbut Tahrir umumnya mengakui bahwa khilfah merupakan bagian dari khasanah pemikiran Islam, tetapi menolak jika khilafah disebut sebagai kewajiban yang musti didukung oleh semua umat Islam.

Sementara dari kalangan akademisi melihat khilafah sebagai cita-cita utopis. Sebagian menyamakan utopia khilafah dengan cita-cita komunisme yang ingin mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Di Indonesia, khilafah juga dianggap mengancam prinsip negara kesatuan.

Bekas aktivis HTI yang kini dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya, Ainur Rofiq Al-Amin menilai dari segi hukum positif, cita-cita yang diusung HTI dapat dikategorikan sebagai tindakan makar. 

Tak hanya itu, Ainur juga mengkritisi kepemimpinan khilafah yang menurutnya dapat menjelma menjadi model kepemimpinan absolut.

Di antara kritik dan sanggahan itu, pukulan paling keras kepada HTI tentu saja berasal dari pemerintah melalui Perppu tentang Ormas. Sebab lewat Perppu itu, pemerintah tak hanya membubarkan HTI sebagai organisasi, namun juga berusaha menyingkirkan ideologi atau gagasan yang diusung organisasi tersebut.

Hizbut Tahrir Indonesia: Menyebar Khilafah di Bumi (EMBG)
Menko Polhukam Wiranto saat menjelaskan pro dan kontra pembubaran HTI. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Sejarah telah mencatat bahwa upaya melarang ideologi merupakan sebuah pekerjaan sia-sia, betapa pun ketatnya larangan tersebut.

Kesia-siaan itu tampaknya juga akan berlaku dalam kasus HTI. Terlebih, HT bukan organisasi kemarin sore. Apa yang terjadi di Indonesia sudah pernah dialami oleh aktivis dan pengurus HT di sejumlah negara seperti Mesir, Jerman, hingga Saudi Arabia.

Dalam artikel bertajuk Setelah HTI Dibubarkan: Konsistensi atau Kompromi?, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya dari Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf menyebut HT justru mampu bertahan di sejumlah negara yang melarang keberadaannya.

"Wilayah di mana HT mampu berkembang meski dilarang adalah sejumlah negara pecahan Uni Soviet seperti Kyrgistan, Kazakhstan dan Tajikistan. Di tengah lemahnya kekuatan oposisi, HT mengisi ruang kosong dan menjadi saluran perlawanan masyarakat dan kelompok-kelompok etnis tertentu yang miskin dan tertindas," kata Ahnaf.

Di Indonesia, tentu saja, kemampuan HT dalam bertahan di tengah represi masih harus diuji.

Ahnaf sendiri memprediksi akan ada perubahan strategi dari HTI untuk menyiasati larangan dari pemerintah.

Yang paling realistis, menurutnya, adalah dengan beraliansi atau menyalurkan kekuatannya melalui kekuatan-kekuatan politik di luar pemerintahan yang dijamin kebebasannya dalam kerangka demokrasi dan konstitusi.

Kepada CNNIndonesia.com, Ismail jelas menolak opsi tersebut. Namun sejarah selalu mempunyai cara tersendiri dalam menentukan arah perjuangan sebuah kelompok. 



Wednesday, June 24, 2020

Kesalehan artifisial

https://threadreaderapp.com/thread/1274859852146151424.html



Dalam sebuah laman facebook teman saya, mendadak ada banyak sekali postingan terkait dengan keputusannya untuk berhijrah. Ia memposting beragam video ustadz yang memberikan ceramah tentang kewajiban seorang muslimah untuk menutup aurat.



Tak lupa dengan imbuhan gambar berikut captionnya yang berkaitan dengan segala ancaman neraka dan juga sangsi sosial bagi para perempuan yang tidak segera memutuskan untuk berhijab.
Hijab dalam pengertian teman saya, juga harus yang lebar dan besar agar menjadi muslimah yang kaffah alias tidak setengah-setengah, begitu penjelasannya kemudian. Mereka yang memutuskan untuk berhijrah, menurutnya,
tak cukup hanya dengan menggunakan jilbab segi empat ukuran sedang yang biasa dipakai sehari hari. Ia haruslah syar’i.

Transformasi hijrah yang ia pahami, harus dimulai dari menutup aurat, itupun ditandai dengan penggunaan hijab syar’i.
Dan dari hijab syar’i, kemudian makna hijrah akan semakin paripurna jika beralih dengan penggunaan cadar. Disini, cadar dipahami sebagai ujung dari segala rangkaian proses berhijrah bagi muslimah.
Meskipun juga tak jarang, penggunaan cadar justru dipahami sebagai langkah awal atau penanda visual bagi muslimah yang ingin berhijrah.

***

Di lain kesempatan, ketika jemput anak sekolah, saya iseng bertanya kepada seorang kawan
. Ia juga seorang ibu, muslim, dan kebetulan tidak memakai jilbab. Saya mencoba membuka obrolan kami, dengan menunjukkan gambar dari postingan instagram sebuah kajian Islami beserta captionnya yang kurang lebih bertuliskan seperti berikut.
“Kasihan wanita yang keluar rumah tidak pakai jilbab, dosanya terus mengalir selama dia di luar rumah”.

Di bawah caption tersebut, turut disertakan sebuah dalil yang paling sering dikutip sebagai rujukan utama hukum pemakaian jilbab. Yaitu, Surat Al-Ahzab ayat 59.
Saya bertanya dengan sederhana, bagaimana responnya ketika membaca caption di atas?

Tentu saja ia sangat paham bahwa pertanyaan saya tersebut tidak bermaksud menjustifikasi atau mengintimidasi.
Saya benar-benar ingin tau, bagaimana ia, ketika dihadapkan dengan sebuah anjuran berjilbab namun memakai redaksi yang lebih gemar menakut-nakuti dengan segala ancaman surga neraka yang mereka imajinasikan.
Caption tersebut tidak memiliki relevansi sama sekali dengan dalil di bawahnya. Ia bukanlah sebuah ayat Al-Qur’an, pun juga bukan sebuah hadis yang sebenarnya jg masih harus diverifikasi melalui Jarh wa Ta’dil.
Ia, juga bukanlah seonggok ayat yang berdiri sendiri tanpa sebuah konteks yang melatarbelakangi. Tapi baiklah, saya tidak akan terlalu jauh membahas dalil dan hukum jilbab. Saya lebih tertarik membahas bagaimana kesalehan diri perempuan dipahami
selaras dengan realita sosial masyarakat yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bukan kesalehan visual pun artifisial yang acapkali memenuhi beranda media sosial masa kini.
Kembali ke kawan saya tadi. Ia menunjukkan wajah sedikit kikuk, dan dengan penuh kesadaran merespon begini.

“Saya tidak paham masalah begituan. Saya hanya paham bahwa masih banyak kebaikan lain yang bisa dikerjakan sekarang. Siapa yang tahu hati seseorang.
Aku cuma bisa husnudzan kepada Tuhan. Semoga jerih payahku saat memasak selepas shubuh untuk keluarga, menjaga anak-anak dengan segala kerepotan, dan juga usahaku mengurus orang tua yang sakit di rumah, juga dijadikan pertimbangan Allah jika aku berhak dapat pahala.
Aku tidak tahu, yang tahu hanya Allah. Yang penting aku juga jaga diri baik-baik.”

Saya manggut-manggut, seraya berkelakar dengan sedikit guyonan, karena memang kami sedang asik berbincang akrab.
Kami, masing masing pulang, dengan pertanyaan-pertanyaan janggal yang menggelayuti pikiran.

***

Pulang dari sekolah, seperti biasa kami memilih untuk melewati kampung dan area persawahan dekat rumah,
karena anak-anak kami selalu ingin lihat sapi di salah satu kandang di pinggir jalan.

Seorang ibu, paruh baya, terlihat sedikit kerepotan naik sepeda. Ia menggendong balita kecil di depannya dengan selendang jarik yang sebagian ujungnya menutupi kepala si anak
untuk melindungi terik matahari siang yang bisa-bisa menusuk kepala si bocah. Di boncengan belakang, terlihat sebuah keranjang lusuh berisi rantang, ceret, dan beberapa perlengkapan makan untuk dibawanya ke sawah tepat beberapa meter depan kami.
Kebetulan ibu itu berjilbab pendek nan sederhana. Ia mengenakan kaos pendek dan rok yang menyingsing keatas dikarenakan harus bersepeda.
Imaji cara berpakaian perempuan salehah yang diposting teman saya, dengan kostum baju dan jilbab syar’i sebagai simbol berhijrah dan kesalehan, seketika menyeruak.
Juga,tentang caption dari postingan instagram milik sebuah kajian keislaman diatas yang mengatakan bahwa perempuan keluar rumah tanpa jilbab maka setiap langkahnya dipenuhi dosa. Betapa sedihnya saya membayangkan nasib ibu tersebut,jika narasi keagamaan nampak begitu mengerikan.
Dalam hati, saya bertanya, ditujukan kepada siapa sebenarnya rentetan dalil tak berkonteks yang ada di beranda-beranda kajian Islami tersebut? Apakah potret wanita salehah adalah mereka dengan semua atribut yang berbau syar’i? Apakah hanya mereka yang berhak membaui surga?
Jika imaji salehah haruslah demikian, lantas bagaimana nasib ibu tadi yang tidak memakai baju tertutup seperti yang diimajikan mereka yang kerap mereduksi nilai-nilai agama melalui simbol-simbol artifisial?
Bagaimana nasib kawan saya yang dengan sabar mengurus keluarga sendiri dengan orang tua yang sakit di rumah, sedangkan ia tak berjilbab?

Bagaimana nasib ibu tersebut, yang keluar rumah dengan tidak berjilbab, berjibaku untuk suatu keharusan
demi mencukupi kebutuhan makan keluarganya esok hari? Guna memenuhi kebutuhan anak-anak mereka untuk bisa mencicipi bangku sekolah? Bekerja seharian di ladang dengan membawa balita kecil,
yang tak lagi memikirkan betapa populernya kata-kata hijrah yang justru menjauhkannya dari substansi kesejahteraan keluarga, demi menghidupi titipan Tuhan? Apakah harus berjilbab untuk membayar segala penat, lelah, tanggungjawab seorang ibu untuk mendapatkan ganjaran?
Ke siapa sebenarnya dalil-dalil tersebut ditujukan? Apakah hanya untuk perempuan urban, perempuan muslimah kelas menengah, yang sanggup membeli puluhan atribut dan simbol-simbol keagamaan lainnya tanpa berfikir keras tentang bagaimana mereka makan untuk esok?
Potret kesalehan perempuan muslimah sudah sedemikian dikapitalisasi, dan direduksi oleh mereka yang gemar menafsirkan teks teks suci secara bias. Dan kemudian dipopulerkan oleh ragam budaya populer, yang semakin menjauhkan nilai agama dari realita kehidupan masyarakat pedesaan.
Khususnya di lingkungan kami.

Kuntowijoyo membahasnya dengan menjelaskan bahwa cara beragama antara satu dan lain sektor serta lapisan sosial masyarakat punya diferensiasi, dan juga mempunyai karakteristik yang berbeda pula, didasari atas kriteria kelas sosial, umur, sex,
lingkungan sosial dan budaya. Kenyataannya, uniformasi beragama dianggap sebagai sesuatu yang ideal.

Apakah konsep beragama secara kaffah yang dipahami komunitas hijabers, para niqab squad, ibu-ibu kekinian nan syar’i,
akan sama dengan pemahaman kaffah bagi ibu dengan sepeda sembari menggendong balitanya tadi?

***

Hadirnya media baru menjadi salah satu faktor penting bagaimana pengertian hijab sebagai simbol agama lambat laun mulai berubah.
Hal ini juga ditunjang oleh bergesernya otoritas keagamaan dari teks-tradisionalis menuju popularitas relasional.

Oleh otoritas-otoritas baru inilah, hijab kemudian kerapkali ditafsirkan secara literal yang tak punya relasi dengan kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar.
Ia ditafsirkan dengan bentuknya yang tunggal, tanpa melihat konteks sejarah juga kondisi sosial budaya.

Upaya penyeragaman cara beragama masyarakat hanya akan menghasilkan agama yang tidak dapat dimaknai secara menyeluruh.
Tercerabutnya agama dari simbol-simbol yang justru lebih populer hanya akan mereduksi agama itu sendiri. Karena selain mempunyai dimensi keatas, agama juga mempunyai dimensi kebawah yaitu sosial ekonomi.
Artinya, ketika agama tak mampu diterjemahkan dalam bahasa kemanusiaan sehari-hari, ia layaknya sebatas simbol tak bernilai.