Friday, August 28, 2020

Anomali Pemberantasan Radikalisme

 http://harakatuna.com/anomali-pemberantasan-radikalisme.html

Hasin Abdullah by HASIN ABDULLAH

Radikalisme tak ada habisnya menggerogoti umat beragama di negeri Indonesia, pelbagai tuduhan kaum ekstremis di lingkaran kelompok-kelompok Islam radikal mengatakan, isu tersebut memang sengaja diproduksi oleh aparatur negara. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pihak berwenang, dan yang sedang berkuasa memimpin atas kendali kekuasaan.

Persepsi yang mengakar di lingkaran kelompok-kelompok Islam radikal, isu yang paling sentral di negeri ini yaitu ketimpangan sosial ekonomi, bukan radikalisme. Prasangka buruk tersebut, dapat kita garis bawahi bahwa statement mereka membuktikan pemahaman, pemikiran; atau ideologinya mengarah terhadap ekslusivisme, dan transnasionalisme Islam.

Seiring kemajuan teknologi informasi, ragam media sosial menjadi pintu senyap indoktrinasi radikalisasi agama yang menyasar generasi milenial, termasuk yang memiliki pemahaman agama yang dangkal. Celah itu dengan mudah mereka terpapar, dan mampu bertindak main hakim sendiri diakibatkan pengaruh ideologi yang cukup ekstrem-fundamental.

Menurut Bahasan, benih-benih radikalisme bisa terlihat dari pelbagai postingan maupun komentar di media sosial yang cenderung pada ujaran kebencian, provokasi, kasar, dan lain sebagainya. Sehingga penegakan hukum dan tim siber perlu bekerja keras dalam mencegah paham-paham radikal yang bertebaran di internet atau media sosial.(sumber: antaranews.com, 06/08)

Media sosial seakan-akan menjadi kehidupan nyata pertumbuhan radikalisme-terorisme, sama seperti adanya asap tak mungkin jika tak ada api. Tentunya, kelompok radikal yang memiliki cara pandang yang tekstual terhadap teks-teks Islam. Khamami Zada (2002) dalam penelitiannya, menegaskan organisasi yang radikal. Ialah, Laskar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan Majelis Mujahidin. Selain itu, ada juga Khilafatul Muslimin.

Ciri-ciri kelompok radikal Islam itu ada, adalah munculnya gelombang kritik destruktif terhadap negara, berkeinginan menegakkan syariat, khilafah, dan negara Islam Indonesia (NII), serta mereka berani membenturkan agama dengan negara. Seperti halnya, Pancasila versus Khilafah, UUD 1945 versus al-Qur’an, dll. Oleh karena itu, arus radikalisme akan selalu berkembang di negeri ini selama tak ada tindakan dari aparatur negara.

Menangkal Radikalisme

Banyak macam tentang radikalisme menurut versi dutadamai.id (2020): Pertama, radikalisme keyakinan, ini memiliki karakter mengkafirkan segala hal yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka. Kelompok ini cenderung merasa setiap tindakan orang lain salah, dan dengan gampang menggolongkan orang lain sebagai orang kafir yang dianggap tidak akan masuk surga kecuali kelompoknya sendiri.

Kedua, radikalisme tindakan, ini memiliki karakter menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan atau memenuhi hasratnya dengan sebuah tindakan yang mengatasnamakan agama, dengan berdalih bertindak atas dasar agama mengganggap seluruh tindakannya paling benar walau dengan cara kekerasan, dan pembunuhan, hingga pengeboman sekali pun.

Ketiga, radikalisme politik, ini memiliki karakter dengan tujuan menginginkan perubahan ideologi negara dengan tujuan agar mereka dapat berkuasa, dan menjalankan sistem pemerintahan yang dianggap benar oleh kelompok mereka. Kelompok ini cenderung menilai Pancasila sebagai sumber terhambatnya pembangunan negara, baik dari sisi sumber daya  manusia, infrastruktur maupun kesejahteraan masyarakatnya.

Pada kenyataannya, semua jenis radikalisme memang benar adanya mulai dari merongrong kekuasaan negara, mengkafirkan umat Islam di luar kelompoknya, dan menghina ulama yang berbeda dalam persoalan siyasah (negara) maupun khilafah (institusi). Fenomena maraknya radikalisme semakin berani unjuk gigi di setiap kanal media sosial.

Youtube, misalnya, adalah media sosial yang teridentifikasi sarang tumbuhnya radikalisme. Kelompok pengasong khilafah tahririyah alias Hizbut Tahrir di Indonesia tak pernah absen mengulas isu khilafah. Bahkan, setiap ada persoalan di negeri ini solusinya adalah khilafah. Sungguh ide mereka sangat membuat kita jengkel, dan marah. Karena itu, menciptakan suasana yang resah

Radikalisme dalam bentuk apa saja mampu membuat masyarakat ketakutan, sebab, dari radikalisme. Seseorang bisa mengarah pada terorisme; atau paham transnasional lain yang bertentangan dengan Islam. Maka dari itu, negara, hukumnya fardu ain menegakkan, dan melawan kaum ekstremis yang masih bersikap keras/radikal terhadap negara.  Kelompok radikal sangat pandai, dan menggunakan agama tertentu untuk menjustifikasi keyakinan semua orang yang tidak sejalan dengan pemikirannnya.

Agenda Preventif

Selain negara mempunyai agenda preventif untuk mengkonter Islam radikal-teroristik, juga dapat menggunakan sarana media sosial sebagai obat penangkalnya. Konteks yang dinarasikan, adalah Islam damai, bukan Islam radikal yang melekat pada ekstremisme kekerasan (violence extremism). Yang sebenarnya Islam sendiri tak mengajarkan hal tersebut.

Alexander (2020) mengatakan, media salah satu alat tempur mempunyai peranan penting dalam menggiring opini publik, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi deradikalisasi yang tepat sebagai pembelajaran ke seluruh publik yang ada. Dalam artian, konten kontra narasi radikalisme, dan terorisme. Paling tidak, kita dapat menggunakan sarana media atau media online untuk mempersempit ruang gerak paham radikal.

Salah satu cipta karya yang dikelola generasi Indonesia adalah Harakatuna Media, yang memiliki media online Harakatuna.com. visi-misinya mengkampanyekan semangat Islam dan kebangsaan guna menangkal wacana-wacana radikalisme di kehidupan nyata, dan dunia maya. Ide di setiap konten menawarkan solusi pada negara, agar radikalisme tak hanya dicegah oleh aparat saja. Namun, juga oleh generasi milenial.

Aparatur negara dapat menggunakan pendekatan hukum dengan menjerat pelaku penyebaran radikalisme, baik di lembaga pendidikan maupun media sosial. Sedangkan masyarakat bisa memakai internet atau media sosial untuk membangun literasi melalui tulisan yang kontra produktif, kibijakan tersebut setidaknya membuat negara terbantu menyelesaikan persoalan-persoalan paham radikal yang masih merajalela di negeri ini.

Keberhasilan kelompok Islam radikal adalah mempropaganda gerakan hijrah lewat literatur keagamaan yang ekstrem pada generasi milenial; atau kaum terpelajar. Untuk itu, penguatan literatur keislaman harus juga lebih masif disebar-luaskan sebagai upaya menangkal radikalisme. Terutama, di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non-formal.

Islam rahmatan lil ‘alamin merupakan langkah strategis menangkal paham-paham radikal-teroristik, sosialisasi keislaman ramah harus menjadi agenda rutin sebagai bentuk deradikalisasi radikalisme, agar ideologi mereka tak ada lagi di Indonesia. Kerjasama aparatur negara dengan masyarakat harus menjadi  pilihan efektif untuk menangkal paham-paham radikal.

Hasin Abdullah

http://www.gagasahukum.hasinabdullah.com

Thursday, August 27, 2020

Muhti, Muhammadiyah tapi HTI

 Pwmu.co | Portal Berkemajuan

https://pwmu.co/158133/08/13/muhti-muhammadiyah-tapi-hti/


Muhti, Muhammadiyah tapi HTI. Kolom ditulis Dr Sholikh Al Huda MFil.I, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur; Direktur Kedai Jambu Institute Surabaya.
Sholikh Al Huda (Sketsa ulang foto Atho’ Khoironi/PWMU.CO)

Muhti, Muhammadiyah tapi HTI. Kolom ditulis oleh Dr Sholikh Al Huda MFil.I, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya; Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur; Direktur Kedai Jambu Institute..

PWMU.CO – Bukan rahasia lagi jika ada sebagian aktivis Muhammadiyah ‘berasa’ Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok ini boleh disebut Muhammadiyah-HTI atau disingkat Muhti. Fenomena tersebut akan dipotret secara fenomenologis.

Mengutip Alfred Schutz dalam bukunya The Phenomenology of The Social Word (1972), secara umum pembacaan fenomenologis dalam ilmu sosial merupakan alat baca untuk membantu memahami berbagai gejala atau fenomena (sosial, budaya, politik, ekonomi dan keagamaan) yang sedang terjadi di masyarakat.

Alat baca fenomenologis tidak dalam rangka melakukan justifikasi atau penilaian benar-salah atau baik-buruk terhadap gejala atau fenomena tersebut. Tetapi berposisi hanya dalam rangka memotret ‘apa adanya’ dalam rangka mencari makna terhadap fenomena tersebut.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka tulisan ini merupakan ikhtiar dalam rangka memotret gejala atau fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di gerakan Muhammadiyah. Yaitu gejala munculnya varian baru ber-Muhammadiyah yang dipengaruhi oleh ideologi politik-keagamaan HTI.

Kajian ini tidak dalam rangka melakukan justifikasi salah-benar, baik-buruk antara ideologi politik-keagamaan Muhammadiyah dan HTI. Walaupun posisi HTI secara hukum, menjadi organisasi terlarang beraktivitas di Indonesia. Tetapi secara ideologi politik keagamaan HTI sulit untuk dimatikan ditengah pergulatan dinamika pemikiran politik Islam.

Dar al-Ahdi wa al-Syahadah

Secara aktivitas-organisatoris Muhti tetap di Muhammadiyah. Namun paradigma ideologo-politik-keagamaanya cenderung dipengaruhi atau bersepakat HTI.

Relasi seperti ini berakibat sering terjadi ‘clash‘ ataua ketidaksepahaman di kalangan aktivis Muhammadiyah dalam memahami dan menyikapi posisi ideologi atau sikap politik Muhammadiyah di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal, sikap politik Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara resmi sudah diputuskan dalam muktamar ke-47 di Kota Makassar.

Dalam keputusan yang sudah di Tanfidzkan dalam Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) Nomor: 01/September 2015 itu diputuskan bahwah Negara Pancasila sebagai ‘Dar al-Ahdi wa al-Syahadah’.

Muhammadiyah memandang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang di Proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara Pancasila yang ditegaskan atas dasar falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Pancasila secara esensi selaras dengan nilai ajaran Islam.

Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar as- syahadah) untuk menjadi negara yang aman-damai (dar as-salam) sebagai bagian cita-cita pembentukan baldathun thaiyibathun wa rabbun ghafur yang diridhai oleh Allah SWT.

Pancasila sebagai dasar NKRI adalah ideologi negara yang mengikat seluruh komponenen bangsa Indonesia. Pancasila memang bukan agama tetapi subtansinya selaras dengan nilai ajaran Islam. Jadi dapat dikatakan Pancasila adalah ‘islami’ karena substansi setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Oleh karena itu segenap umat Islam termasuk Muhammadiyah harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa as-Syahadah atau negara tempat bersaksi dan pembuktian diri dalam mengisi dan memajukan kehidupan kebangsaan.

NKRI Final

Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa mempunyai peluang besar untuk mengamalkan etos fastabiqul al-khairat dan tampil sebagai kekuatan terdepan (a leading force) untuk mengisi dan memimpin kehidupan kebangsaan yang maju, adil, makmur berdaulat sejajar dengan negara-negara yang maju dan perberadaban tinggi.

Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa Pancasila sebagai ideologi kebangsaan Indonesia dan NKRI sebagai sistem kebangsaan (negara dan pemerintahan) merupakan kesepakatan yang sudah final, selesai dan mengikat bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.

Sehingga sikap politik kebangsaan Muhammadiyah sudah sangat jelas menolak segala upaya pergerakan kelompok yang ingin mengganti ideologi Pancasila dan NKRI dengan ideologi politik lain. Mulai dari ideologi komunisme yang diusung PKI hingga ideologi politik khilafahisme yang diusung HTI.

Fenomena ini menarik untuk diungkap sebagai bagian dari pengembangan kajian aliran pemikiran Islam. Juga sebagai bagian dari membangun kewaspadaan gerakan Muhammadiyah, yang mudah terinfiltrasi ideologi gerakan keagamaan ‘baru’ yang manhaj dakwahnya yang berbeda dengan Muhammadiyah.

Ciri-Ciri Muhti

Dari amatan di lapangan, setidaknya ada empat ciri atau karakter Muhti. Pertama, secara paradigma politik bersepakat dengan gagasan politik HTI daripada gagasan politik Muhammadiyah.

Secara paradigmatik Muhammadiyah mengusung ideologi politik moderat-subtantif dalam memahami relasi agama dan politik dalam kehidupan publik kebangsaan. Sementara paradigma politik HTI cenderung mengusung ideologi politik formalistik-integralistik dalam memahami relasi agama dan politik dalam publik kebangsaan.

Kedua, Muhti juga cenderung masih terus mempersoalkan dan menolak Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan NKRI sebagai sistem pemerintahan Indonesia, karena dianggap bagian dari sistem demokrasi.

Dan sistem demokrasi dianggap sebagai sistem dari Barat yang kafir, maka ditawarkan distem politik “khilafahisme” yang dianggap sesuai dengan sistem ajaran politik Islam. Bagi mereka sistem NKRI yang berideologi Pancasila dianggap tidak Islami sehingga harus diganti dengan sistem khilafah.

Ketiga, Muhti cenderung mudah terlibat terhadap agenda atau model dakwah yang digunakan HTI dalam rangka memperjuangkan kepentingan politiknya dengan cara-cara mobilisasi massa melalui demonstrasi di jalanan.

Biasanya melibatkan keluarga—bapak, Ibu, anak—diajak demo dengan slogan “Khilafah adalah Solusi dari Semua Masalah”

Keempat, Muhti enderung menggunakan idiom-idiom bahasa publik-politik yang berbahasa Arab yang dianggap lebih Islami. Fenomena ini merupakan dampak dari interaksi intens antara aktivis Muhammadiyah dengan gerakan HTI.

HTI merupakan salah satu organisasi jaringan Islam transnasional yang ‘diimpor’ ke Indonesia. HTI merupakan bagian dari jejaring gerakan Hizbut Tahrir (HT) internasional yang awal berdirinya di Baitul Maqdis Palestina tahun 1953, dengan tokohnya Sheikh Taqiyuddin An Nabhani.

Sheikh Taqiyuddin awalnya adalah tokoh Ikhwanul Muslimin Yordania. Awal pendirian HT dimaksudkan sebagai partai politik independen. Tujuan utamanya adalah mendirikan Negara Khilafah sebagai satu-satunya cara untuk mewujudkan Sistem Islam dalam kehidupan. Saat ini kantor pusat HT di Beirut Lebanon dengan Ketua Sheikh Atha’ Abu Rasytah.

Beda Muhammadiyah dan HTI

Adapun watak utama dari gerakan HTI adalah gerakan dakwah politik yang menggunakan media dakwah sosial keagamaan sebagai alat propaganda kepentingan politiknya. HTI berpandangan khilafah solusi dari semua keruwetan kehidupan mulai dari aspek sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan politik.

Sementara watak utama gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah amar makruf nahi mungkar. Muhammadiyah lebih fokus pada pemberdayaan dan pengembangan tata kehidupan. Seperti keagamaan, sosial, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi, dan pemberdayaan perempuan agar lebih maju dan berdaya sehingga dapat terwujud masyarakat Islami yang utama.

Muhammadiyah mengusung politik adi luhung atau high politik yang mengedepankan nilai dan keseimbangan hidup. Ini yang dimaksud politik moderat- subtantif. Bukan mengusung politik praktis dalam rangka perebutan kekuasaan dan penerapan sistem Islam secara formalistik.

Semoga tulisan yang sederhana ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mohon maaf jika ada kurangnya. Hanya Allah yang punya kesempurnaan ilmu. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni.

Fenomena Muhammadiyah FPI

Pwmu.co | Portal Berkemajuan 

https://pwmu.co/157103/08/02/fenomena-muhammadiyah-fpi1/


Fenomena Muhammadiyah FPI. Kolom ditulis Dr Sholikh Al Huda MFil.I, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur.
Sholikh Al Huda penulis Fenomena Muhammadiyah FPI (Sketsa ulang foto Atho’ Khoironi/PWMU.CO)

Fenomena Muhammadiyah FPI. Kolom ditulis Dr Sholikh Al Huda MFil.I, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur.

PWMU.CO – Bukan rahasia lagi jika di kalangan Muhammadiyah ada sebagian warganya yang ‘berwarna’ Front Pembela Islam (FPI).

Kelompok itu boleh disebut Muhammadiyah FPI atau disingkat Mufi. Secara organisatoris mereka tetap aktif di Muhammadiyah tetapi pemikiran-pemikirannya dipengaruhi oleh FPI, terutama oleh Habib Rizieq Shihab.

Tiga Ciri Mufi

Setidaknya Mufi dicirikan tiga hal. Pertama, mereka lebih bangga terhadap gaya kepemimpianan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab dari pada ‘Imam’ Muhammadiyah Prof Haedar Nashir.

Konsekuensinya, Mufi lebih patuh terhadap seruan dakwah Habib Rizieq Shihab dari pada seruan Prof Haedar Nashir. Bahkan mereka sering melawan maklumat atau kebijakan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Kedua, kelompok ini cenderung mengkritik model dakwah Muhammadiyah yang dalam mempraktikkan ajaran dakwah amar makruf nahi mungkar dianggap kurang tegas alias lembek.

Menurut kelompok ini, dakwah Muhammadiyah terkesan apatis terhadap aksi kemungkaran yang terjadi masyarakat. Muhammadiyah dianggap terlalu mengutamakan amar makruf dari pada nahi mungkar.

Hal ini berbeda dengan model dakwah FPI yang dianggap lebih tegas dan berani dalam memerangi aksi kemaksiatan di masyarakat.

Ketiga, Mufi lebih suka gaya dakwah FPI dengan model aksi massa (demonstrasi) di lapangan atau dakwah model swipping sebagai wujud nahi mungkar.

Sementara gaya dakwah yang selama ini dipraktikkan oleh Muhammadiyah adalah dakwah pembinaan spiritualitas, pemberdayaan ekonomi, filantropi sosial-kesehatan, proses kesadaran melalui pendidikan, kritik solutif—melalui jihad konstitusi—secara konstitusional.

Namun model dakwah ini oleh Mufi dianggap kurang tegas dan berani karena perubahannya berlangsung lama.

Islam Transnasional

Secara umum, ideologi dan manhaj dakwah keagamaan FPI dengan Muhammadiyah memiliki perbedaan. Ideologi keagamaan yang diusung FPI secara geneologi terkait erat dengan ideologi Islam transnasional.

Menurut Prof Azyumardi Azra, gerakan Islam transnasional menjadikan ‘radikalisme’ keagamaan sebagai basis gerakan.

Ideologi semacam itu gampang diterima oleh masyarakat karena dianggap hal baru dan memberikan gambaran keagamaan baru, yang sebelumnya dianggap stagnan.

Gambaran di atas diperkuat oleh Prof Masdar Hilmy, bahwa ideologi radikalisme Islam memiliki potensi menyebar dan meremas secara halus dan samar tanpa diketahui secara pasti oleh kelompok lain, termasuk di Muhammadiyah.

Situasi tersebut tentu akan berdampak pada pergeseran karakter ideologis maupun sosiologis dakwah keagamaan di Muhammadiyah. Dan pada akhirnya dapat mengubah wajah keagamaan di Indonesia.

Muhammadiyah Rawan Diinfiltrasi

Fenomena Mufi, hemat penulis, disebabkan Muhammadiyah rawan dan gampang terinfiltrasi oleh ideologi Islam transnasonal. Penyebabnya, pertama, dengan menasbihkan sebagai organisasi pembaharuan Islam (tajdid), maka kecenderungan Muhammadiyah lebih terbuka dan responsif dengan isu-isu baru. Termasuk perkembangan gerakan dan ideologi Islam transnasional dari Timur Tengah.

Kedua, dengan mengusung gerakan pemurnian (tanzih)—yang secara subtantif mirip dengan ideologi yang diusung oleh gerakan Islam transnasional—kesempatan untuk terjadinya proses infiltrasi dan hegemoni sosio-ideologi di tubuh Muhammadiyah lebih terbuka.

Fenomena Mufi adalah dampak perebutan kuasa ideologi dan sosial antargerakan Islam. Artinya, para aktivis Muhammadiyah terbuka kemungkinan tertarik dengan ideologi lain, termasuk FPI, dan meninggalkan ideologi Muhammadiyah.

Kalau tahapan ini sukses, maka tahap selanjutnya adalah perebutan kuasa sosial. Maksudnya adanya penguasaan terhadap akses dan sumber sosial Muhammadiyah.

Fenomena infiltrasi ideologi sosio-keagamaan secara umum merupakan potret dari praktik perebutan pengaruh antara Muhammadiyah dengan gerakan lain di masyarakat, di antaranya FPI.

Perebutan dominasi kuasa ideologi dan sosial merupakan proses perebutan dominasi kebenaran ajaran keagamaan yang dianggap lebih benar dari pada ajaran keagamaan Muhammadiyah.

Efek dari proses perebutan kuasa ideologi dan sosial adalah terjadinya radikalisasi ideologi. Yakni gejala mengerasnya ideologi dampak dari proses perubahan paradigma pola pikir aktivis Muhammadiyah terhadap sistem dan karakter ideologi Muhammadiyah yang selama ini diyakininya.

Juga menyebabkan erosi ideologi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Yaitu sebuah proses melemahnya komitmen dan militansi ber-Muhammadiyah.

Implikasi infiltrasi ideologi Muhammadiyah pada gilirannya dapat berdampak pada perubahan wajah Islam Indonesia. Yaitu perubahan karakter ideologi Islam Indonesia yang dikenal dengan moderat, tawasuthtawazun—atau sering disebut ideologi Islam rahmatalilalamin—berubah wajah Islam Indonesia yang radikal, formalis, dan serba sama (homogenitas).

Semoga tulisan ini dapat dijadikan kewaspadaan Muhammadiyah. Selamat Milad Ke-111 Muhammadiyah. Semoga selalu memberi manfaat bagi semua makhluk di alam. (*)

Fenomena Muhammadiyah FPI, Editor Mohammad Nurfatoni.