Monday, August 24, 2020

Banser : Thread by @Ulil

 https://threadreaderapp.com/thread/1297717298220818433.html




Saya mau ngetwit sebentar soal sikap Banser yg dalam beberapa tahun terakhir ini sangat keras terhadap HTI. Banyak kritik diarahkan kepada Banser gara2 sikap seperti ini.

Saya mau meletakkan sikap Banser ini dalam sebuah perspektif yg lebih luas agak lebih fair.

A THREAD

Kasus terakhir yg terjadi di Pasuruan di mana Banser mendatangi sebuah lembaga pendidikan yg ditengarai mengajarkan ajaran khilafah, mendapat sorotan kritis oleh pelbagai pihak.

Kenapa Banser bersikap keras terhadap HTI akhir2 ini? 

Saya sendiri punya sikap sejak awal, pemerintah mestinya tak perlu membubarkan HTI. Kebijakan ini malah membawa ekses buruk: para pendukung khilafah makin mengeras, dan militansi mereka pun menjadi kian menebal.

Membubarkan HTI bukanlah solusi yg tepat. Itu sikap saya. 

Tetapi itu bukan berarti saya sepakat dg HTI. Sejak saya mendirikan JIL pada 2001, musuh gagasan saya yang paling utama adalah HTI. Serangan2 secara tertulis atas saya dan JIL dilakukan secara intensif sekali oleh aktivis2 HTI.

Setiap ceramah, saya sering didemo oleh mereka.

Jauh sebelum Banser bergerak melawan HTI, saya dkk telah melakukan perlawanan gagasan terhadap HTI melalui lembaga JIL. Karena JIL bukan ormas, dan tidak memiliki massa, HTI melakukan "bully" terhadap JIL secara seenaknya.

Sekarang mereka berhadapan dg Banser, dan mati gaya.

Pada masa sepuluh tahun pemerintahan SBY, HTI menikmati kebebasan politik yg besar, hingga mereka berhasil mengadakan Konferensi Internazional Khilafah dua kali di GBK, dengan dihadiri ribuan massa. Bahkan TVRI sempat menyiarkan acara ini, dulu.

Apakah SBY salah? 

Saya mengatakan: tidak. Kebijakan pemerintahan SBY yg seolah memberikan ruang kepada HTI, dalam pengamatan saya, didasari oleh pandangan politik yg reformis. SBY tak mau dilihat sebagai sosok yg mau mengulang kesalahan Orba dulu: yaitu "menindas" kalangan Islam kanan.

Latar belakang militer SBY membuatnya seperti menanggung "beban politik" untuk menunjukkan bhw dirinya beda dg jenderal2 Orba. Dia adalah jenderal reformis yg konsisten dg agenda reformasi.

Komitmen ini ia tunjukkan dg cara tidak menempuh "kebijakan yg keras" pada Islam kanan.

Saya juga tidak menyalahkan SBY karena kebijakan politiknya yg "lunak" pada Islam kanan ini, karena ini adalah bagian dari "trial-and-error" pemerintah Indonesianl pasca-reformasi untuk merumuskan kebijakan yg demokratis dlm menghadapi kelompok Islam kanan. 

Model kebijakan Orba dulu yg "menindas" Islam kanan (dan sekarang dengan skala yg berbeda sepertinya diulang di pemerintahan Jokowi) jelas bukan pilihan yg ideal pada zaman SBY. Jika SBY menempuh kebijakan ini, pastilah dia akan langsung dianggap "copy-paste" dari Orba.

Itulah penjelasan saya kenapa pemerintahan SBY dulu bersikap lunak kepada HTI dan kelompok2 serupa. Dari segi ideologi, jelas SBY tak sepakat dg kelompok kanan ini. Saya tahu benar mengenai hal ini. Tp karena konteks politik yg spesifik, dia tak mau mengambil kebijakan "keras".

Kebijakan SBY yg lunak kepada Islam kanan inilah yg dimanfaatkan HTI untuk "ngegas" melakukan propaganda intensif selama sepuluh tahun. Usaha HTI ini cukup sukses secara relatif. Sejumlah kampus sekuler berhasil mereka jadikan sebagai "sarang" gerakan khilafah, misalnya IPB. 

Saya percaya pada apa yg disebut dg "hukum karma sosial". Ketika sebuah kelompok melakukan propaganda militan selama bertahun2, pada satu titik pasti ada reaksi balik. JIL dulu mencoba melawan propaganda HTI, tetapi gagal, karena JIL tak punya basis massa. JIL bukan ormas.

Di era Jokowi, terjadilah arus balik: Banser dan warga nahdliyyin bergerak melawan propaganda HTI. Apakah arus balik ini pencetus utamanya pemerintahan Jokowi? Menurut saya tidak. Pencetus arus balik ini adalah masyarakat sipil, terutama warga NU.

Pemerintah hanya "makmum" saja. 

Masyarakat sipil sudah gerah dan "getem-getem" melihat tingkah-polah HTI, FPI dan kelompok2 serupa, yg mendapatkan keuntungan dari "pendekatan lunak" selama pemerintahan SBY.

Setiap aksi akan memicu reaksi. Pada era Jokowi ini, gerakan "memukul balik" HTI mendapatkan momentum. 

Alam akan menemukan keseimbangannya. Apa yg terjadi pada HTI sekarang jangan dilihat pada momen saat ini saja, dan diisolasi dari konteks politik besar pasca-reformasi. HTI saat ini, menurut saya, telah menyala hasil perbuatan mereka sendiri. 

Selama bertahun2, HTI mendapatkan kebebasan melakukan propaganda secara agresif sekali. Mereka bahkan berusha masuk ke pondok2 NU. Sikap mereka yg agresif ini akhirnya membuat sejumlah kalangan dalam Islam, terutama warga NU, merasa "muak".

Inilah "karma politik" bagi HTI. 

Saya melihat era SBY dan Jokowi sebagai bagian dari "proses belajar" bangsa kita dalam mencari keseimbangan. Kedua era itu memberikakan pelajaran yg berharga.

Yang jelas, gagasan khilafah sudah mendapatkan perlawanan yg setimpal dari ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.

Apa yg saya perjuangkan melalui JIL bertahun2 lalu untuk melawan propaganda khilafah, dan rupanya gagal, sekarang diteruskan dan digaungkan oleh ormas2 Islam besar.

Saya sungguh senang melihat perkembangan ini. Sekian.

No comments:

Post a Comment