Wednesday, December 29, 2010

Xmas and an epistemic Muslim community



http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/24/xmas-and-epistemic-muslim-community.html


Khairil Azhar, Jakarta | Fri, 12/24/2010 10:28 AM | Opinion



Pamulang, Nov. 27, 2010. The gathering started from something fun but a little bizarre. The host, Neng Dara, a commissioner at the National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan), initially invited us just for a “family” gathering through our mailing list.

There was no indication there would be a serious discussion related to her concerns about Indonesia’s current issues. Then, amid an opening full of laughter, she suddenly talked about Indonesia’s future, especially about the current issue of decreasing tolerance among Indonesians.

The forum, voluntarily founded at the outset as a study group in 1986 by some students of Jakarta State Islamic University, somehow could not be detached from what we can call “something serious”. That night, Saiful Mujani, a world-renowned Indonesian professor and a founder of the forum, talked about his nostalgia of the 1980s, when he and his colleagues brought the forum into being. But he mixed his stories with an apprehension of the contemporary threats of pro-violence religious radicalism. So, there was again happiness as well as concern at the gathering that night.

Perhaps this was a small-scale communicative community given the ideal opportunity to make a speech that German philosopher Jurgen Habermas gave years ago. In the vision he painted, freedom flows and every mind opens. Everyday talk, however trivial it may be, is free from errors such as repression or anything that might hamper honesty or alike. Such a community would enable us to talk with dignity so that everybody has a respected place, regardless of the job he or she does.

In our case, Saiful calls this an epistemic community. It is a forum in which members feel an attachment with such an intellectual spirit in mind. We are all Muslims but we are concerned about our non-Muslims’ sufferings caused by state or majority arbitrariness. The seniors (who are not students anymore) are now working for diverse institutions and companies but they have at least several things in common: Reading books and other reading material, they have political awareness and are actively involved to different extents in social affairs and human rights activities.

Our community is also like a “clandestine” voluntary association with a zest to fight tyranny or such and the status quo. There is a filmmaker among us, for example, and she makes movies sounding social injustice. There is a poet and he writes things without weird that shackle creativity. There is a religious cleric but he talks about Karl Marx and Friedrich Nietzsche without arbitrarily blaming their thoughts.

Another story that night was about the pragmatic tendency of contemporary students’ academic lives. Their propensity toward how to be well-employed, well-paid or well-linked to political figures after their university years is assumed to have weakened their potential to be agents of social change. The evidence is clear: Study groups with strong social academic backgrounds and academically crafted social movements are hardly found nowadays. Instead, most student activities are measured mathematically: post-study financial return or future employment opportunities.

We also see that students’ associations hardly involve themselves in defending minority rights. They might have political protest agendas, for instance, but they don’t seem to have enough awareness of or concern for human rights or racism issues. Their concerns are for catchy political issues, which shows their consciences are developed more by mainstream vistas, not, for example, by fundamental knowledge found through in-depth reading and reasoning.

That night, at the gathering, we were also reminded again about how Indonesia is now traversing the transition to a democracy where everyone, or groups, has a better chance to voice a thought regardless of triviality or even artificiality. But, it is something we accept with gratitude as well as anxiety. This transition allows us to enjoy more freedom than before but at the same time we sadly see, for example, religious radicalism arising with violent inclination.

Now, welcoming 2010’s Christmas, the availability of epistemic Muslim communities in Indonesia seems to be very promising due to peacebuilding efforts. Imagine if members of these communities were everywhere at all institutions. They would influence their surroundings with the notion of a “free market of ideas” as well as the necessity to respect one’s choice. They will better guarantee amity instead of hostility. We will see a Christmas day without cops with cocked-rifles; a Christmas day as it should be.

That’s why, that night, two agendas were agreed. First, our epistemic forum must run as usual at any cost. The very small segment of university students who join our forum will keep learning things that have likely been abandoned in the university curricula: progressive social sciences, enlightening philosophy, logical and rational religious studies, or the way students’ protests must be intelligently conducted.

Secondly, an active participation in the democratization process is a must for everybody. But it could be manifested in various ways. NGO activists will do what they can to endorse the process while university lecturers might be acting as the motivators among their academic fellows. The journalists will ensure that the news voices an atmosphere of freedom, while political observers will keep enunciating people’s welfare as the utmost aim of each polity.

Hopefully, with this and other epistemic Muslim communities, however small they are, we might see a Christmas day as peaceful as an Idul Fitri day. Having a ritual in a church is likely to be as safe as performing an Islamic ritual in a mosque.
The writer is a researcher at Paramadina Foundation, Jakarta.

Tuesday, December 28, 2010

Badan Lintas Agama Desak Pemerintah Selesaikan Soal GKI Yasmin



http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2010/12/26/brk,20101226-301598,id.html



TEMPO InteraktifBogor - Lembaga yang lahir dari enam agama di Bogor, Badan Sosial Lintas Agama, mengimbau kepada seluruh umat beragama untuk saling menghargai satu sama lain.

Ketua Badan Sosial Lintas Agama H. Zaenal Abidin meminta pemerintah daerah dan pusat untuk segera menyelesaikan masalah Gereja Kristen Indonesia Yasmin. ''Kami merasa malu di negara Pancasila, masih terjadi hal-hal semacam ini,'' kata Zaenal di Sekretariat Badan Sosial Lintas Agama Jalan KH. Abdullah Bin Nuh, Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Minggu (26/12).

Ia juga menyampaikan, supaya kedua belah pihak dapat menahan diri dalam menyikapi masalah tersebut. Badan Sosial Lintas Agama mengajak semua umat manusia untuk saling menghargai satu sama lain. ''Karena dalam kebersamaan itu indah, maka akan lebih indah lagi kebersamaan dalam perbedaan,'' Zaenal.

Ia berharap supaya semua pihak menghormati proses hukum yang tengah berjalan.

Kalau memang ada proses hukum yang masih harus diselesaikan, kata Zaenal, segera diselesaikan. ''Jangan sampai menimbun api dalam sekam, mari kita hormati proses hukum,'' katanya.

Diakui Zaenal, pihaknya hanya sebatas mengimbau pemeluk agama. Untuk masalah GKI, ia menyarankan agar kembali pada proses hukum. ''Dalam hal ini Pemkot yang lebih berwenang. Namun kita berharap masyarakat yang beragama kalau memang permasalahan hukum sudah selesai, untuk menghormati proses hukum... Kenapa orang yang akan beribadah dihalang-halangi. Berdirinya Indonesia bukan salah satu agama, namun NKRI,'' kata Zaenal.

Sementara itu salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bogor dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Slamet Wijaya SE. MM yang meninjau ke lokasi, menyampaikan konflik yang terjadi sekarang mengindikasikan ada upaya memecah belah umat beragama. ''Indonesia merupakan negara NKRI, tidak sepantasnya terjadi konflik seperti yang terjadi sekarang,'' kata dia.

Ia berharap jangan sampai satu agama mendiskreditkan agama lain. ''Negara menjamin umat beragama, itu jelas undang-udang mengatakan,'' terangnya.

Menurutnya, lokasi GKI sendiri jauh dari pemukiman. Ia khawatir ada aktor di balik layar yang mensponsori kejadian itu. ''Mari kita sama - sama bicara dengan kepala dingin untuk mencari solusi, karena kita semua satu bangsa,'' ujar Slamet. 
Semalam, puluhan massa mengepung GKI Yasmin. Massa memprotes terkait izin mendirikan bangunan GKI tersebut. Pihak GKI sendiri menyatakan mereka sudah mengantongi izin mendirikan bangunan. 
DIKI SUDRAJAT

Menjadi 'Gus Durian' di Tengah Krisis


http://www.inilah.com/read/detail/1090582/menjadi-gus-durian-di-tengah-krisis


Imron Rosyadi Hamid

Oleh: R Ferdian Andi R
Senin, 27 Desember 2010 | 01:01 WIB


INILAH.COM, Jakarta - Muktamar III Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dipelopori puteri kandung KH Abdurrahman Wahid, Zannuba Arifah Chafshoh alias Yenni Wahid memunculkan figur penting. Ia adalah Imron Rosyadi Hamid.
Selama ini Imron Rosyadi Hamid dikenal sebagai juru bicara PKB Gus Dur. Dalam Muktamar III ia didaulat sebagai Ketua Panitia Pelaksana Muktamar III. Bagaimana sosoknya?
Imron Rosyadi Hamid tak seberuntung politisi PKB yang kini berkiprah di eksekutif seperti Abdul Muhaimin Iskandar (Menakertrans) atau A Helmy Faishal Zaini (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal). Termasuk beberapa politisi dari partai itu yang kini aktif di lembaga legsilatif.
Ia juga tak seberuntung tokoh-tokoh lainnya yang namanya berkibar di Jakarta dan telah menjadi tokoh nasional. Bisa disebut, berkibarnya tokoh muda NU itu tak lepas dari jasa Gus Dur. Singkat kata, mereka menjadi tokoh karena peran penting Gus Dur.
Namun, Imron Rosyadi Hamid, pria asal Malang, Jawa Timur ini justru merapat dengan Gus Dur di tengah situasi politik internal. Saat Gus Dur terdepak dari kursi Ketua Umum Dewan Syura PKB ketika berkonflik dengan A Muhaimin Iskandar.
"Sebelumnya saya aktif di GP Ansor wilayah Jawa Timur," akunya kepada INILAH.COM di sela-sela Muktamar III PKB di Surabaya, Minggu (26/12/2010).
Aktivis Ansor sejak 20 tahun terakhir ini punya alasan mengapa dirinya menjadi 'Gus Durian' di saat krisis. Imron melihat, sosok Gus Dur merupakan tokoh yang menjadi panutan dalam mengusung isu pluralisme, humanisme dan toleransi umat beragama. "Saya kira Gus Dur The Only One," ujarnya.
Atas dasar itulah, Ketua Ikatan Alumni Pascasarjana UI ini menegaskan pilihannya untuk membela Gus Dur terkait saluran politik melalui PKB. "Jadi tidak salah kalau saya membela beliau dalam hal berkaitan dengan PKB," cetusnya.
Alumnus Universitas Islam Malang (Unisma) ini menambahkan, dorongan untuk membela Gus Dur, karena sepeninggal Nurcholis Madjid dan KH Abdurrahman Wahid, menurut Imron, gerakan moderat dalam ancaman.
Menurut dia, gerakan itu harus dilembagakan di lingkungan manapun yang mampu memberikan perlindungan terhadap minoritas. "Mengapa membela Gus Dur, karena saya anggap ikon," tegas peraih beasiswa studi ke Amerika ini.
Pria kelahiran Malang, 18 November 1971 ini termasuk politikus tahan banting. Seperti dalam hajatan Mukatamr III PKB yang dilaporkan ke Polda Jawa Timur oleh PKB Abdul Muhaimin Iskandar, ia menghadapinya dengan santai.
Bukan hujatan terhadap PKB Muhaimin, tetapi justru pujian. "Saya sangat menghargai PKB Muhaimin dengan melaporkan ke polisi. Mereka sadar akan proses hukum, tidak berbuat anarkhis. Itu lebih beradab daripadagruduk-gruduk," ujarnya dengan besar hari.
Menjadi pengikut atau pembela tokoh di saat krisis memang tidaklah banyak. Imron Rosyadi Hamid salah satunya. Menjadi Gus Durian di tengah krisis. [mdr]

Monday, December 27, 2010

Seto Minta Penggembokan Panti Ahmadiyah Dibuka

http://www.politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=16177
2010-12-27 16:00:35



Politikindonesia - Penggembokan Panti Asuhan Ahmadiyah Khasanah Kautsar, Tasikmalaya, Jawa Barat menuai sejumlah kritikan. Salah satunya dari Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto. Anggota Koalisi Advokasi Hak Anak Indonesia itu meminta Kejaksaan Negeri Tasilmalaya dan Kepolisian setempat, membuka gembok di panti asuhan binaan jamaah Ahmadiyah itu.
Seto Mulyadi mengemukakan hal itu dalam konferensi pers di Bakoel Koffee, Cikini Raya, Jakarta, Senin (27/12).

Menurut Kak Seto, sudah 20 hari anak-anak panti asuhan Khasanah Kautsar hidup dalam isolasi penggembokan. "Penggembokan itu menyebabkan anak-anak hidup dalam ketakutan, terasing dan bahaya fisik."

Ketua Dewan Konsultasi Komnas Perlindungan Anak itu menegaskan, aksi penggembokan berpotensi menimbulkan trauma mendalam bagi 10 anak yang diasuh di panti asuhan tersebut. Kak Seto menyayangkan dilibatkannya anak-anak dalam konflik orang dewasa tersebut.

Menurut Kak Seto, untuk dapat bersekolah, anak-anak Panti Asuhan itu harus memanjat pagar setinggi tiga meter. Karena terisolir, suplai makanan juga terbatas. "Kami minta negara segera membuka penggembokan ilegal ini demi masa depan anak-anak panti asuhan."

Seperti diberitakan sebelumnya, kantor jamaah Ahmadiyah Tasikmalaya, yang di dalamnya terdapat panti asuhan, digembok pihak Kejaksaan Negeri dan kepolisian. Ada 10 orang anak yatim piatu yang tinggal di asrama yang kini terkunci itu. Mereka hanya dapat pergi dengan akses terbatas.

Penggembokan bermula, Selasa (07/12) pihak Ahmadiyah mendapatkan SMS dari pihak intel Polres Tasikmalaya. Isinya, pemberitahuan akan ada konvoi ormas Islam dan akan menyegel gedung yayasan milik jamaah Ahmadiyah.

Mubaligh Ahmadiyah, Syihab Ahmad, kepada wartawan, Kamis (09/12), mengatakan, Pada Rabu, jemaat Ahmadiyah dipanggil Kejari dan pihak intel Polres. Mereka meminta agar tidak melaksanakan kegiatan lagi, termasuk salat dan pengajian di tempat itu.

Syihab menambahkan, bangunan itu hanya untuk menampung anak yatim piatu. Sementara kegiatan keagamaan jamaah Ahmadiyah, yang berjumlah sekitar seratusan orang, diadakan di kawasan Jl Perintis Kemerdekaan, Tasikmalaya.

"Kami juga diminta menggembok pagar. Ada dua pagar, kita menggembok pagar pertama dan pagar yang kedua kita biarkan, kemudian kunci pagar pertama diambil dan pagar kedua digembok Kejari. Karena itu kita tidak bisa beraktivitas," jelas Syihab.

Menurut Syihab, aksi unjuk rasa meminta pembubaran Ahmadiyah memang sempat terjadi pada Rabu siang, tapi itu tidak berlangsung lama karena hujan turun. Pihaknya menambahkan tidak ada tindakan anarkistis yang terjadi. "Semua jamaah Ahmadiyah selamat, tak ada yang terluka. Mereka sempat berteriak bakar, tetapi ada pihak kepolisian yang mencegah."
(sa/bhm/na)

Thursday, December 23, 2010

Kerukunan Umat Beragama



http://nasional.kompas.com/read/2010/10/13/14175949/Kerukunan.Umat.Beragama




Rabu, 13 Oktober 2010 | 14:17 WIB
Almarhum KH Abdurrahman Wahid boleh saja mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah. Namun, Antonius Benny Susetyo (42) yakin bahwa Gus Dur, demikian almarhum kerap dipanggil, lebih ingin dikenal sebagai tokoh humaniora (kemanusiaan).
Lebih tepat jika beliau disebut tokoh atau pahlawan pluralisme atau pahlawan pejuang Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar lahirnya bangsa Indonesia,” kata Benny.
Benny, tokoh agamawan atau rohaniwan Katolik, ini bisa yakin menyatakan demikian karena dia menghabiskan sekitar 15 tahun hidupnya bersama tokoh-tokoh agamawan lintas agama lainnya, antara lain almarhum Gus Dur.
Saat itu kerukunan antarumat beragama sedang dalam ujian berat pada periode akhir kekuasaan rezim Orde Baru yang sudah kian absolut. Tanggal 10 Oktober 1996 sebanyak 22 bangunan gereja di Situbondo dibakar massa atau terbakar, terserah hendak menggunakan kata yang mana.
Setelah lebih dari satu dekade peristiwa itu berlalu, Benny melihatnya dengan kaca mata yang lebih baru dan lebih besar (big picture). Waktu itu ia seorang pastor muda yang berada di titik terdalam kemelut itu sebagai rohaniwan Gereja Katolik Bintang Samudra Situbondo.
”Itu peristiwa intoleransi yang ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Siapa yang sebenarnya bermain dan mendapat benefit (keuntungan) politik, sama seperti teori konspirasi lainnya, kita tidak pernah tahu. Namun, pokok persoalan bagi bangsa ini adalah demikian rentannya masyarakat Bhinneka kita ini terhadap provokasi konflik berlandaskan isu agama,” katanya.
Di tengah kekacauan itulah Benny hadir tanpa ragu-ragu. Tampaknya juga didorong oleh keluguannya waktu itu. Hanya dengan ”bersenjatakan” baju kebesaran romonya, jubah liturgi pastor berwarna putih hingga mata kaki dan menggenggam rosario, Benny dengan hati membaja mendatangi pondok pesantren-pondok pesantren dari mana massa berasal.
Untunglah, demikian kesadaran masyarakat Jawa seperti dialami Benny, ada Gus Dur. Menurut Benny, Gus Dur diibaratkan gunung es yang menyiram ketegangan di Situbondo ketika itu. ”Bisa kita bayangkan remuknya hati umat yang harus saya bimbing melihat bangunan rumah ibadah terbakar api tanpa mampu berbuat apa-apa,” tuturnya.
Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saat itu memiliki ”investasi” sosio-politik yang amat besar di Situbondo, yakni nama besar dan hubungan yang dalam dengan para pemimpin pondok pesantren, termasuk hubungan historis dengan almarhum KH As’ad Syamsul Arifin.
”Untuk meredam gejolak itu, tak bisa dilakukan sehari dua hari, berkali-kali dengan terus-menerus bersafari dengan Gus Dur dan sejumlah tokoh kerukunan umat beragama ke berbagai wilayah Tanah Air. Maka terbentuklah embrio Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) yang perlahan-lahan berkembang sebagai standar dan pola baru komunikasi antariman di kemudian hari secara nasional, termasuk di Tangerang lalu,” katanya.
Masa depan 
FKAUB didasarkan bukan dari skema konsep negara – masa itu dengan konsep penataran, melainkan upaya sadar para pemuka agama yang sangat khawatir dan mencemaskan masa depan kebhinnekaan bangsa ini waktu itu.Benny senantiasa teringat bagaimana Gus Dur membangun komunikasi dengan para pemimpin pondok pesantren se-Situbondo dengan kekurangan fisiknya.
”Saya tidak bisa lupa bagaimana Gus Dur menjelaskan perbedaan masjid dan gereja di depan umat. Umat bertanya-tanya mengapa mesti dibuat banyak gereja, bukankah satu gereja cukup, sebab semakin banyak gereja, dipahami sebagai Kristenisasi,” ujar Benny.
Sepak terjang Romo Benny bersama para rohaniwan agama lain waktu itu sungguh membangun wacana baru yang berbeda dengan cara negara membentuk konsep toleransi. Saat inilah ketika praksis keragaman atau pluralitas itu teruji terusmenerus, maka kehadiran visi besar seperti yang dilakukan Romo Benny amat berharga.
”Saya senantiasa memegang amanat Romo Mangun, yang mengingatkan kami para romo. Bahwa pastor Katolik tidak bekerja hanya untuk umat Katolik, melainkan untuk seluruh umat manusia. Lewat itu, antara lain kami bersama para santri aktivis ikut menampung pengungsi Sampit dan banjir bandang di Situbondo,” ucap Benny. (DODY WISNU PRIBADI)

ICRP: Lawan Diskriminasi Atas Nama Agama



http://nasional.kompas.com/read/2010/12/18/19201961/ICRP:.Lawan.Diskriminasi.Atas.Nama.Agama


Laporan wartawan KOMPAS.com Icha Rastika
Sabtu, 18 Desember 2010 | 19:20 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kerukunan beragama di Indonesia dinilai akan semakin suram pada tahun depan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya laporan tindak kekerasan terhadap kelompok agama atau umat beragama tertentu yang terjadi tahun ini.
"Semakin suram ya, melihat laporan dari berbagai NGO pemerhati kebebasan beragama, kok kekerasan semakin menjadi-jadi," ujar Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace atau ICRP, Musdah Mulia, usai pembukaan Konferensi Nasional ICRP 2010, Jakarta, Minggu (19/12/2010).
Dikatakan Musdah, terdapat dua faktor yang menyebabkan tindak kekerasan terhadap umat beragama tersebut terus tumbuh. Pertama, kondisi masyarakat yang tidak berani menyuarakan kekerasan tersebut.
"Seolah membiarkan, karena itu tidak terjadi pada kita," katanya. Kedua, pembiaran pemerintah terhadap masalah kekerasan tersebut.
"Sikap ini yang menyebabkan kekerasan berbasis agama dijadikan hal biasa. Meskipun ICRP harus oposisi dengan pemerintah, kita tidak bisa mendiamkan ini semua," ungkap Musdah.
ICRP, kata Musdah, akan berupaya melawan diskriminasi atau tindak kekerasan terhadap umat agama tertentu tersebut melalui cara advokasi seperti yang selama ini dilakukan.
"Advokasi kepada pemerintah supaya berbagai kebijakan diskriminatif dicabut, menyusun kebijakan publik yang sungguh melindungi hak sipil warga negara," ujarnya.
Juga melalui advokasi kepada kelompok-kelompok yang menjadi korban kekerasan atas nama agama agar kelompok tersebut bersuara meminta keadilan.
Kemudian melalui pendidikan non formal alternatif seperti dengan mempublikasikan penelitian ilmiah yang mengarahkan agar setiap orang dapat mengerti hak dan kewajiban satu sama lain. "Muncul prejudice karena tidak saling kenal saja.
Membangun kesepahaman, pengertian bahwa perbedaan itu tidak harus menjadi masalah," pungkas Musdah yang baru terpilih sebagai ketua ICRP itu.

Thursday, November 11, 2010

Kecurigaan yang Mencederai Kemanusiaan

http://lipsus.kompas.com/merapimeletus/read/2010/11/11/16190055/Kecurigaan.yang.Mencederai.Kemanusiaan

Laporan wartawan KOMPAS Eny Prihtiyani
Kamis, 11 November 2010 | 16:19 WIB

KOMPAS.com — Pagi hari kemarin, Mbah Santo (70) terlihat melamun di pengungsian pendapa rumah dinas Bupati Bantul. Rupaya ia masih teringat kejadian Selasa (9/11/2010) malam, saat ia tiba-tiba dipindahkan dari pengungsian di Gereja Ganjuran ke rumah dinas. Ia pun bertanya, apa yang salah dengan kami?
"Saya tidak tahu kok kami dipindahkan lagi, padahal kami sudah capek pindah-pindah terus. Sebelum mengungsi ke Gereja Ganjuran, kami mengungsi di daerah Babadan, Ngemplak, Sleman. Namun, karena merasa tak aman, kami pun meluncur ke Bantul dan ternyata diterima oleh pihak gereja. Bagi kami, Bantul adalah daerah yang cukup aman karena lokasinya jauh dari Merapi," katanya.
Tak hanya Mbah Santo yang merasa heran dengan pemindahan tersebut. Hal serupa juga dirasakan Tukiyo (37), pengungsi lainnya. Ia sempat mendengar kabar dari para pedagang keliling di sekitar gereja tentang serombongan orang yang mendatangi gereja. Mereka menggunakan baju gamis dan bersorban. Mereka meminta pengungsi yang beragama Islam untuk keluar dari gereja karena curiga ada upaya pengaderan.
"Padahal, saya di gereja hanya mengungsi. Tidak ada ajaran apa pun. Saya ini beragama Islam, dan tidak keberatan kalau harus mengungsi di gereja. Yang penting aman. Mengungsi di masjid juga tidak apa-apa, jika ada yang mau menerima kami," paparnya.
Rombongan pengungsi tersebut berjumlah 98 orang. Mereka berasal dari Dusun Besalen, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Mereka mengungsi begitu mendengar letusan Merapi pada Jumat (5/11/2010) dini hari lalu.
Agus, bagian keamanan Gereja Ganjuran, mengatakan, meski serombongan pasukan bersorban tersebut tidak sampai masuk ke dalam gereja, kedatangan mereka sempat menciptakan kepanikan. "Kami khawatir ada penyerangan atau tindakan lainnya," katanya.
Hindari kecurigaan
Bupati Bantul Sri Surya Widati mengatakan, pemindahan tersebut dilakukan untuk menghindari kecurigaan dari kelompok tertentu. Selain itu, juga memberikan rasa aman bagi pengungsi. Kelompok tersebut mendatangi Gereja Ganjuran pada Senin (8/11/2010).
Untuk menenangkan kelompok tersebut, Sultan Hamengku Buwono X bersama dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas bahkan langsung mendatangi Gereja Ganjuran untuk menjadi mediator antara perwakilan pengungsi dan kelompok yang menaruh kecurigaan. Dalam mediasi tersebut, Kepala Kepolisian Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Joas Feriko Panjaitan juga hadir.
Bencana seharusnya menimbulkan kepedulian dan melahirkan rasa kemanusiaan. Tidak lagi melihat korban bencana dari sudut pandang agama, ras, dan golongan. Semuanya harus ditolong tanpa batas-batas apa pun. Tanpa kecurigaan dan tanpa pamrih apa pun.

Tuesday, October 26, 2010

Attacks multiply against Indon churches

http://www.cathnewsasia.com/2010/10/26/attacks-multiply-against-indon-churches/
Published Date: October 26, 2010



Bishop Johannes Pujasumarta of Bandung, Secretary General of the Bishops’ Conference of Indonesia, has said that the church is greatly concerned about the growing number of attacks on Christian churches.

“The violence and attacks, against Christian churches of all denominations, has grown in recent years and now in the past several days, especially in Jakarta and in the western part of Java island. We are increasingly concerned about it,” Bishop Pujasumarta told Fides.

“Those responsible are small radical Islamic groups that are sowing panic among our people, especially in the Dioceses of Jakarta, Bandung, and Bogor. They are minority groups, but they should be stopped. The violence also increases the indifference of the civil authorities and police, who shrug off the violence. We demand more attention and protection for the Christian communities and that such acts may not remain unpunished,” says the Bishop.
A documented and detailed report, describing the latest incident, was sent to Fides from the Indonesian Christian Communication Forum (ICCF), an organization that brings together leaders of different Christian denominations, and monitors the situation and violence against Christians in Indonesia.

The report, released this week in a public conference in Jakarta, recalled that last October 17 radical Islamic groups threatened to attack a Catholic church in Karanganyar, Central Java. Days earlier, on October 13, in Sukoharjo, in the same area, 12 militants on motorcycles set fire to a Protestant church.

On October 12, there was another attempt, fortunately with little damage, striking St. Joseph’s Catholic Church in Klaten, also in central Java. The Forum recalled that last September a Catholic church was struck in the Province of Pasir, in Borno Indonesia.

According to data provided by the Forum, the attacks against Christian religious buildings have continued to increase since the independence of Indonesia (1945) to date: between 1945 and 1967, two churches were burned; between 1967 and 1969 (after the rise to power of Suharto), 10 were attacked. Between 1969 and 1998, the budget has shot up to 460 attacks (especially after Suharto’s measure regulating the creation of places of worship). But, even after the start of the new era of reforms, the situation does not seem to have improved.

Over the last decade, the Forum has monitored more than 700 attacks, bringing the total number of violent incidents against churches between 1945 and 2010, the dramatic figure of 1,200.

Father Benny Susetyo, Secretary of the Commission for Interreligious Dialogue within the Catholic Bishops’ Conference, in explaining the document, stressed that “the attacks are possible due to the negligence of the police,” noting the significant risk that they “will continue until the violent are guaranteed impunity.”
SOURCE

Beribadah Perlu Setor Biaya Keamanan

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/beribadah-perlu-setor-biaya-keamanan/
Jumat, 22 Oktober 2010 14:26
Negara Absen

Jakarta - Umat kristiani membutuhkan biaya tinggi untuk beribadah.

Sebab, untuk beribadah harus menyetor biaya keamanan untuk meng hindari gerudukan massa. Hal itu dikatakan Romo Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Hak Kon ferensi Waligereja Indo nesia, dalam diskusi publik “Masih Adakah Pluralisme di Indonesia?” yang digelar Megawati Institute di Jakarta, Kamis (21/10).

“Saat ini orang, terutama umat kristiani, perlu biaya tinggi untuk beribadah karena tidak mendapatkan izin membangun rumah ibadah. Akhir nya, mereka beribadah di hotel, ruko, dan sebagainya. Setiap bulan mereka harus menyetor kan uang sebagai biaya keamanan karena bila tidak, di lakukan akan digeruduk massa,” ujarnya. Selain Benny, hadir juga sebagai pembicara Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari dan mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letjen (Purn) Kiki Syahnakri.

Benny mengatakan, negara telah absen dan ambigu memberikan perlindungan sehingga membiarkan segelintir pelaku kekerasan beraksi. Ia meng ingatkan, kalau aparat terus melakukan pembiaran, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara teror. “Ketika negara lemah, pe laku merasa mendapatkan imunitas,” ujarnya. Ia menegaskan tidak ada istilah ma yoritas-minoritas di dalam agama sebab hal itu hanya ada di dalam sosiologi politik.

Benny yang juga pengurus Setara Institute menyampaikan hasil riset yang menyatakan eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khu susnya yang dialami jemaat kristiani dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2008 ada 17 kasus, tahun 2009 ada 18 kasus, sementara pada tahun 2010 hingga bulan Juli tercatat 28 kasus. “Kasus terbanyak, yakni 16 kasus, terjadi di Banten. Sisanya terjadi di daerah-daerah di Provinsi Jawa Barat lainnya,” ujarnya.

Sementara itu, Kiki Syahnakri mengatakan, hanya ideologi Pancasila yang bisa menjamin keberadaan pluralisme. Namun, kata dia, untuk melakukan hal itu dibutuhkan pemimpin yang tegas. “Memberikan ideologi-ideologi lain, seperti pasar bebas atau kapitalisme, masuk ke Indonesia sama saja dengan mengurangi peran negara,” katanya.

Sementara itu, Hajriyanto mengatakan, demokrasi mengharuskan adanya pluralisme. Oleh karena itu, tanpa toleransi dan pluralisme, demokrasi hanya akan menjadi formalitas. Cacat-catat yang terjadi di dalam praktik pluralisme di Indonesia selama ini, kata dia, banyak terjadi karena faktor-faktor di luar kepentingan agama.