Tuesday, October 26, 2010

Beribadah Perlu Setor Biaya Keamanan

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/beribadah-perlu-setor-biaya-keamanan/
Jumat, 22 Oktober 2010 14:26
Negara Absen

Jakarta - Umat kristiani membutuhkan biaya tinggi untuk beribadah.

Sebab, untuk beribadah harus menyetor biaya keamanan untuk meng hindari gerudukan massa. Hal itu dikatakan Romo Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Hak Kon ferensi Waligereja Indo nesia, dalam diskusi publik “Masih Adakah Pluralisme di Indonesia?” yang digelar Megawati Institute di Jakarta, Kamis (21/10).

“Saat ini orang, terutama umat kristiani, perlu biaya tinggi untuk beribadah karena tidak mendapatkan izin membangun rumah ibadah. Akhir nya, mereka beribadah di hotel, ruko, dan sebagainya. Setiap bulan mereka harus menyetor kan uang sebagai biaya keamanan karena bila tidak, di lakukan akan digeruduk massa,” ujarnya. Selain Benny, hadir juga sebagai pembicara Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari dan mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letjen (Purn) Kiki Syahnakri.

Benny mengatakan, negara telah absen dan ambigu memberikan perlindungan sehingga membiarkan segelintir pelaku kekerasan beraksi. Ia meng ingatkan, kalau aparat terus melakukan pembiaran, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara teror. “Ketika negara lemah, pe laku merasa mendapatkan imunitas,” ujarnya. Ia menegaskan tidak ada istilah ma yoritas-minoritas di dalam agama sebab hal itu hanya ada di dalam sosiologi politik.

Benny yang juga pengurus Setara Institute menyampaikan hasil riset yang menyatakan eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khu susnya yang dialami jemaat kristiani dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2008 ada 17 kasus, tahun 2009 ada 18 kasus, sementara pada tahun 2010 hingga bulan Juli tercatat 28 kasus. “Kasus terbanyak, yakni 16 kasus, terjadi di Banten. Sisanya terjadi di daerah-daerah di Provinsi Jawa Barat lainnya,” ujarnya.

Sementara itu, Kiki Syahnakri mengatakan, hanya ideologi Pancasila yang bisa menjamin keberadaan pluralisme. Namun, kata dia, untuk melakukan hal itu dibutuhkan pemimpin yang tegas. “Memberikan ideologi-ideologi lain, seperti pasar bebas atau kapitalisme, masuk ke Indonesia sama saja dengan mengurangi peran negara,” katanya.

Sementara itu, Hajriyanto mengatakan, demokrasi mengharuskan adanya pluralisme. Oleh karena itu, tanpa toleransi dan pluralisme, demokrasi hanya akan menjadi formalitas. Cacat-catat yang terjadi di dalam praktik pluralisme di Indonesia selama ini, kata dia, banyak terjadi karena faktor-faktor di luar kepentingan agama. 

No comments:

Post a Comment