Monday, February 28, 2011

"Pemerintah Lempar Tangung Jawab"

http://nasional.inilah.com/read/detail/1279422/pemerintah-lempar-tangung-jawab

Oleh: Santi Andriani
Nasional - Selasa, 1 Maret 2011 | 09:15 WIB

Serahkan Ahmadiyah ke Pemda


INILAH.COM, Jakarta - Langkah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyerahkan penyelesaian Ahmadiyah ke pemerintah daerah (pemda) membuat geregetan anggota Komisi II DPR Akbar Faisal. Anggota dewan dari Fraksi Hanura itu pun menilai pemerintah pusat lepas tanggung jawab.

"Saya sama sekali tidak mengerti cara pikir pemerintah. Itu yang membuat saya seringkali tidak respek terhadap pemerintah pusat. Ini kelihatan sekali pemerintah tidak mau menanggung risiko, lalu menyerahkan ke daerah," kata Akbar ketika dihubungi INILAH.COM, Selasa (1/3/2011).

Seusai rapat dengan Komite IV DPD RI, di Gedung DPD RI, Senin 28/2/2011), Gamawan mempersilakan pemda membuat dan memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) sebagai peraturan pelaksana untuk memperkuat surat keputusan bersama (SKB) tiga Menteri soal Ahmadiyah.

"Kalau dalam rangka penguatan SKB, Perda itu silakan saja, tak apa-apa sebab di situ ada pengawasan," tegas Gamawan.

Sebaliknya, langkah itu dinilai Akbar semakin menunjukkan sifat pemerintah pusat yang kekanak-kanakan dan cenderung lempar tanggung jawab. Yaitu ketika kasus Ahmadiyah telah menelan tiga warga meninggal dalam peristiwa Cikeusik, Banten, beberapa waktu lalu, pemerintah lalu menyerahkan persoalan ke daerah.

"Di mana posisi pemerintah dalam melindungi warga negaranya? Bukan masalah SKB yang dinilai tidak efektif, tapi masalahnya adalah posisi pemerintah yang tidak jelas. Permasalahan yang sudah seperti ini, pemerintah lalu justru menyerahkan ke daerah," ujar Akbar.

Akbar berjanji fraksinya akan mempertanyakan terkait kebijakan itu ke Mendagri dalam rapat dengar pendapat dengan Mendagri mendatang.

"Sampai sudah ada yang meninggal pun pemerintah masih bisa mengeles. Soal keyakinan adalah urusan setiap orang dengan Ilahi. Namun yang menjadi persoalan ketika sudah korban meninggal, dimana peranan kepala negara. Lalu kenapa tiba-tiba ada aturan seperti itu, betul-betul pemerintah kekanakan-kanakan," pungkasnya. [nic]


Wednesday, February 23, 2011

Ahmadi Juga Manusia

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/02/24/Opini/krn.20110224.228061.id.html


OPINI


Saiful Mujani, DOSEN FISIP UIN JAKARTA



Alinea terakhir tulisan tanggapan Saudara Qosim Nursheha Dzulhadi (www.hidayatullah.com, 21 Februari 2011) atas tulisan saya (“Dalam Bayang-bayang Kuasa Umat”, Koran Tempo, 9 Februari 2011) sebagian menggambarkan semangat di balik seluruh tulisan saya yang ditanggapinya tersebut. Qosim mengatakan: "Ketakutan Saipul Mujani-lah yang berlebihan melihat reaksi terhadap Ahmadiyah saat ini. Dia khawatir jika konsep HAM-Barat tak bisa lulus dan diterima dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Padahal memang sudah terbukti bahwa HAM-Barat hanya merugikan 'umat Islam', tidak lebih."


Saya takut atas perkembangan terakhir yang menimpa orang Ahmadiyah yang nyawanya melayang karena keyakinan mereka yang sesat? Ya. Atau mungkin lebih tepatnya saya marah dan geram betul, bukan takut, atas melayangnya nyawa manusia seperti itu. Bukan karena mereka Ahmadiyah, melainkan karena mereka manusia. Saya pun akan sangat geram kalau orang yang membenci Ahmadiyah harus hilang nyawanya hanya karena benci terhadap Ahmadiyah. Saya juga akan sangat takut kalau ada orang harus mati hanya karena ia berkeyakinan bahwa Ahmadiyah sesat. Apakah saya berlebihan bersikap seperti itu? Sepanjang kita tetap manusia, saya kira tidak. Sebaliknya, bila ada orang yang merasa tidak sangat takut dan cemas akan kejadian itu, saya gagal memahami manusia jenis apa dia.


Poin-poin utama tulisan Qosim bahwa Ahmadiyah sesat, saya setuju. Ulama dunia sudah menghukum bahwa Ahmadiyah sesat juga saya tahu. Tapi apakah orang sesat harus dilarang hidup di sebuah negeri, dan apalagi dibunuh, karena kesesatannya itu, akan selalu saya tentang. Ini berlaku bukan hanya bagi Ahmadiyah, juga pemeluk agama atau paham agama lain. Bukan karena agama atau paham agamanya, melainkan karena ia manusia. Tidak ada kompromi tentang nyawa manusia apa pun agama dan paham agamanya.


Apakah sikap saya tersebut merupakan sikap dan pandangan HAM Barat? Saya tidak peduli. Mau dari Barat, mau dari Timur, mau dari Islam, mau dari agama lain, saya tidak peduli sepanjang itu menghargai nyawa manusia. Sebaliknya, paham agama apa pun, ideologi apa pun, kitab apa pun, tidak punya nilai di mata saya kalau dia tidak menghargai manusia, dan apalagi mau membenarkan penghilangan nyawa manusia karena perbedaan paham keagamaannya tersebut.


Cara pandang yang mengutamakan manusia seperti itu memang relatif baru dalam sejarah umat manusia, bukan hanya dalam sejarah umat Islam, tapi juga dalam sejarah umat lain. Bukan hanya dalam sejarah Timur dan Arab, tapi juga dalam sejarah Barat. Penghargaan terhadap manusia adalah temuan baru jika dibandingkan dengan sejarah manusia yang jauh lebih panjang. Pembunuhan terhadap manusia karena perbedaan paham keagamaan juga menjadi bagian dari sejarah Barat, seperti halnya sejarah Islam. Karena kita punya sejarah seperti itu, bukan berarti kita dibenarkan melakukan pemusnahan terhadap nyawa manusia hanya karena berbeda paham keagamaan tersebut. Ini sikap yang relatif baru, dan kita tidak boleh dibelenggu oleh sejarah masa lalu kita yang tidak menghargai manusia.


Dalam tulisan saya yang ditanggapi itu, sekilas saya mengungkapkan sejumlah perbedaan paham dalam wilayah akidah yang amat mendasar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Tujuannya untuk mengatakan bahwa perbedaan paham keagamaan yang sangat mendasar pun ada dalam khazanah Islam dan mengapa kita sekarang tidak belajar dari sejarah itu. Saya memang kurang menegaskan bahwa perbedaan paham akidah dalam sejarah itu kemudian menjadi bencana, saling bunuh, muncul peperangan, ketika perbedaan paham itu melekat dengan kekuasaan. Dan kita tidak boleh mengulang persekutuan tidak suci antara agama dan politik itu. Sumber kekerasan atas nama agama itu terjadi ketika ulama dan penguasa berselingkuh.


Pada Abad Pertengahan, dalam Islam maupun Kristen, perselingkuhan yang memang tidak pernah suci itu terjadi, dan membawa bencana. Bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi agama itu sendiri yang sejatinya membawa pesan perdamaian dan toleransi, bukan peperangan dan bukan pula membunuh manusia. Perbedaan akidah itu ada, dan masing-masing mengklaim paling benar. Sampai di situ tidak menjadi persoalan. Tidak jadi persoalan bagi saya kalau Qosim berkeyakinan bahwa akidah atau paham Islamnya paling benar dan yang selain itu sesat, sejauh keyakinan itu tidak dipaksakan kepada orang lain lewat negara sedemikian rupa, sehingga paham yang selainnya harus dimusnahkan dari negeri ini seperti yang dialami Ahmadiyah yang tak boleh mendakwahkan keyakinannya. Seperti halnya paham Mu'tazilah tentang barunya Al-Quran, dan sebaliknya paham Asy'ariah tentang qadim-nya Al-Quran, tidak menjadi masalah kalau saja Mu'tazilah tidak memaksakan pahamnya lewat kekuasaan khalifah Al-Makmun--sehingga muncul kebijakan negara yang mengkafirkan dan melarang mereka yang menolak paham tersebut . Dan sebaliknya, ketika khalifah Mutawakil berkuasa dan menganut paham Asy'ariah, paham Mu'tazilah juga dilarang.


Saya, dari keluarga dengan paham akidah Ahlussunah, berpaham seperti Asy'ariah itu. Tapi, ketika ada orang Islam lain mengikuti paham Mu'tazlah, apa hak saya melarang dia? Misalnya, dia mengatakan kepada saya bahwa yang Mutlak, Yang Abadi, hanya Allah. Selainnya tidak mutlak, atau relatif. Kalau Al-Quran abadi dan mutlak, maka ada dua abadi dan dua mutlak, yakni Allah dan Al-Quran, dan ini bertentangan dengan prinsip dasar Islam, Tauhid, yang meyakini hanya ada satu yang mutlak ataupun yang abadi, yakni Allah SWT. Dia katakan, barang siapa menduakan Tuhan, meyakini ada yang abadi dan ada yang mutlak selain-Nya, maka ia seorang musyrik yang tidak bisa diampuni dosanya. Atas paham seperti ini, kita harus bilang apa? Apa kita harus memeranginya? Subhanallah!


Perbedaan akidah itu ada, dan sangat manusiawi, dan perbedaan itu melahirkan bencana ketika negara ikut campur menyensor akidah seseorang atau sekelompok orang. Pandangan bahwa perbedaan itu hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan cabang (furu') atau fiqh, bukan ushul yang bersifat mendasar, itu adalah klaim umum ulama mainstream. Padahal klasifikasi yang mendasarnya hanya tafsiran, bukan atas dasar sebuah ayat yang dinilai qat'i (pasti). Jangankan melarang beda paham agama atas dasar tafsir, atas dasar nash (teks) yang qati' pun, kalau harus memusnahkan manusia, tidak boleh terjadi di negara kita yang bukan negara Islam ini.
Meskipun penghargaan terhadap manusia di negeri kita masih sangat lemah, saya merasa beruntung dan bangga lahir dan menjadi warga Indonesia sekarang ini, karena penghargaan terhadap manusia di negeri ini relatif lebih baik dibanding di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, seperti di Timur Tengah ataupun Asia Selatan seperti Pakistan. Di negara-negara itu, jangankan berbeda paham akidah, berbeda sikap politik pun tidak dibenarkan, dan dimusnahkan kalau menjelma dalam bentuk tindakan seperti yang kita saksikan dalam hari-hari belakangan ini. Kita tahu bagaimana persekongkolan ulama dan penguasa di negara-negara itu. Tak terbayangkan ada Wahabisme tanpa kekuasaan keluarga kerajaan Ibn Sa'ud, dan demikian juga sebaliknya, dan kita tahu bagaimana manusia, terutama perempuan, diperlakukan di kerajaan itu sampai hari ini.


Kita punya Konstitusi yang melindungi kebebasan paham beragama dan mempraktekkannya sesuai dengan keyakinannya tersebut. Konstitusi inilah yang harus jadi dasar untuk menilai apakah paham dan perilaku kita, termasuk dalam hubungan antar-paham agama, menyimpang atau tidak menyimpang, bukan sebuah paham keagamaan tertentu. Barangsiapa yang menyebarkan paham dan apalagi melakukan tindakan yang bertentangan dengan Konstitusi tersebut, ia harus diluruskan, dibina, atau paling banter dibui. Tapi tidak boleh dibunuh, siapa pun dia, termasuk orang Ahmadiyah (Ahmadi). Wallahualam.

Menentang logika para pembela (Ahmadiyah)

http://fauzimubarok.multiply.com/journal/item/57


Posted by pembela on May 4, '08 3:32 AM for everyone

Melihat beberapa kali penolakan yang dilakukan oleh para pembela Ahmadiyah, seperti pak Todung Mulya Lubis dan Siti Musdah Mulia, dengan dalih membela HAM. Indah sekali argumentasi yang disampaikan oleh mereka. Sepintas nampak benar, tapi jika kita mendalami logika berpikir mereka, justru kita bisa dapatkan logika balik yang dapat menjadi anti-argumen dari semua yang telah mereka sampaikan itu.

Sayang aku lagi ga nyatet satu per satu artikel yang mengangkat dan mendukung para 'pembela' ini. Tapi secara general, beberapa statement mereka telah terangkum dalam tulisannya pak Munarman berikut ini.

***

Pro kontra pelarangan Ahmadiyah terus bergulir. Setelah diberi kesempatan selam 3 bulan, ternyata tidak ada yang berubah dari Ahmadiyah. Ahmadiyah dinilai tidak konsisten dengan 12 butir pernyataan yang sebelumnya disepakati Ahmadiyah. Akhirnya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Kejaksaan Agung merekomendasikan Ahmadiyah untuk menghentikan aktivitas.
Pihak yang kontra terhadap pelarangan Ahmadiyah sebagian besar berpijak pada HAM. , terutama kebebasan berkeyakinan dan beragama. Beberapa argumentasi pembela Ahmadiyah tentu saja perlu dikritisi.

Pertamamelarang Ahmadiyah dianggap telah melanggar HAM dan UUD 1945. Dalam UUD 1945 kebebasan berkeyakinan ini dijamin konstitusi. Dalam Editorial Media Indonesia ditulis : Begitulah, sangat jelas bahwa menurut konstitusi, kebebasan meyakini kepercayaan sesuai hati nurani adalah merupakan hak asasi manusia. Ia juga merupakan hak konstitusional warga, yang harus dilindungi dan dibela negara. Namun, hak itulah yang sekarang dicopot negara dari warga Ahmadiyah dengan cara menghentikan aktivitas Ahmadiyah. Sebuah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai melanggar HAM dan juga konstitusi.
Argumentasi diatas seakan-akan benar. Namun yang terkesan dilupakan  editorial Media Indonesia, dalam Bab XA tentang HAK ASASI MANUSIA pasal 28 J  point 2 tertulis : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan utnuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal yang sama dijelaskan dalam pasal 29 Duham, pasal 18 ICCPR.
Artinya, pelaksanaan HAM bukanlah tanpa batas. Negara bisa melakukan intervensi atau melarang dengan pertimbangan nilai-nilai agama. Karena masalah Ahmadiyah adalah persoalan agama Islam, maka pertimbangan nilai-nilai agama Islam-lah yang patut diperhatikan dan dijadikan rujukan  oleh negara. Dalam pertimbangan Islam , perkara Ahmadiyah ini sudah sangat jelas, merupakan paham kufur yang menyimpang dari Islam.
Penting juga dibedakan antara kebebasan beragama dengan kebebasan menodai agama. Untuk perkara yang pertama, negara memang sudah sepantasnya memberikan jaminan. Namun bukan pula berarti memberikan jaminan terhadap kebebasan menodai dan menghina agama. Apa yang dilakukan Ahmadiyah adalah penghinaan terhadap agama Islam, dengan menjadikan Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi. Padahal sudah sangat jelas dalam Islam tidak ada nabi dan Rosul setelah wafatnya Rosulullah SAW.
Sungguh mengerikan kalau antara kebebasan beragama dan kebebasan menodai agama tidak dibedakan atas nama HAM. Sangat mungkin dengan mengatasnamakan keyakinannya sekelompok orang sholat bukan menghadap kiblat tapi ke arah Monas, sholat dengan dua bahasa, mungkin juga sambil telanjang. Kalau berdasarkan keyakinan berarti tidak bisa dilarang, sungguh mengerikan. Kalau logika diatas diikuti apa yang dilaukan oleh Wilders, Salman Rushdie, yang menghina Islam tidak bisa disalahkan, sekali lagi sungguh mengerikan.  
Pembatasan HAM justru dilakukan oleh negara-negara yang mengklaim dirinya kampium HAM. Di Perancis , Jilbab dilarang, dengan alasan mengancam sekulerisme, padahal jilbab adalah kebebasan beragama. Di sebagian besar negara Eropa, siapapun yang mengkritik dan mempertanyakan kesahihan peristiwa hollacoust akan diseret ke pengadailan , padahal bukankah itu bagian dari kebebasan berpendapat ?

Kedua, muncul anggapan kalau Ahmadiyah dilarang oleh negara, berarti negara telah mengadopsi penafsiran tunggal, dengan kata lain negara melakukan monopoli penafsiran. Lagi-lagi hal ini patut dipertanyakan, sebab dalam banyak hal, negara memang melakukan monopoli. Dalam logika demokrasi, monopoli negara ini sah-sah saja, kalau hal itu merupakan aspirasi masyarakat banyak yang kemudian ditetapkan oleh undang-undang.
Lihat saja, meskipun ada yang tidak setuju dan berbeda tafsir tentang impor beras,kenaikan BBM, privatisasi, tetap saja negara melakukannya. Sebab hal itu telah ditetapkan dalam undang-undang yang diklaim merupakan keinginan rakyat banyak. Lantas, kalau negara mengadopsi bahwa Ahmadiyah dilarang karena dianggap menodai agama Islam dimana salahnya ? Apalagi mengingat mayoritas elemen umat Islam di Indonesia sepakat bahwa Ahmadiyah itu menyimpang dari Islam, termasuk dua ormas Islam terbesar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. MUI yang merupakan representasi ormas Islam di Indonesia juga telah menetapkan fatwa sesatnya Ahmadiyah ini. Lantas kenapa bukan suara mayoritas yang dirujuk ?
MUI juga bukan sendiri, kesesatan Ahmadiyah telah ditetapkan oleh Rabithah Alam Islamy. Referensi utama Islam (mu’tabar) dalam kitab tafsir, fiqh, aqidah maupun syariah yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren tidak satupun yang membenarkan  penilaian Ahmadiyah bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi dan ada nabi baru setelah Muhammad saw. Pandangan ini hanyalah pandangan pendukung Ahmadiyah saja. Jadi keliru kalau ini dikatakan monopoli penafsiran MUI.  

Ketiga, ketika membedah editorial Media Indonesia (19/04/2008) dengan judul Hak Konstitusional Warga , Saiful Mujani mengatakan, sah-sah saja siapapun mengatakan Ahmadiyah sesat, tapi negara tidak boleh memihak. Jelas logika ini sangat berbahaya. Sesuatu yang jelas-jelas sesat kenapa dibiarkan ? Justru negara harus bertanggung jawab agar kesesatan itu tidak meluas. Negara justru dalam posisi keliru kalau membiarkan kesesatan meluas di masyarakat. Kalau logika Saiful Mujani diikuti akan membayahakan masyarakat. Sudah jelas-jelas lesbian atau homoseksual itu keliru, termasuk berkembangnya paham ateis-komunis, tapi negara tidak boleh melarang.

Keempat, larangan terhadap Ahmadiyah baik oleh MUI atau Negara telah menyebabkan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Logika ini seperti ini mengabaikan fakta bahwa terjadinya kekerasan justru karena negara tidak bersikap tegas terhadap Ahmadiyah yang menyebabkan sebagian masyarakat tidak sabar . Disinilah letak penting negara harus segera melarang Ahmadiyah. Justru untuk menghindari tindakan kekerasan.

Kelima, ada anggapan apa yang diyakini oleh Ahmadiyah tidak berbahaya, karena tidak pernah merusak secara fisik dan melakukan tindakan kriminalitas. Berbahaya tidaknya sesuatu tidaklah selalu ditunjukkan oleh tindakan fisik. Melakukan fitnah, menghina, bukanlah kekerasan fisik, tapi tindakan tersebut sangat berbahaya dan juga dianggap tindakan kriminal.
Dalam pandangan Islam, masalah Ahmadiyah ini adalah persoalan  aqidah. Sementara masalah aqidah adalah masalah yang paling pokok dalam Islam. Pengakuan nabi Palsu jelas akan merusak aqidah umat Islam. Termasuk menghina Rosulullah, menghina Al Qur’an adalah perkara penting karena berhubungan dengan aqidah. Karena sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas, kalau tidak apa yang dikhawatirkan seperti konflik horizontal akan semakin membesar dan berlarut-larut.    

Oleh Munarman 
An Nashr Institute , mantan Ketua YLBHI

Source : (http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/05/02/menyoal-logika-ham-pembela-ahmadiyah/)

Friday, February 18, 2011

Yudi Latief: Negara Tak Boleh Mewakili Agama Tertentu

http://www.jpnn.com/read/2011/02/18/84705/Yudi-Latief:-Negara-Tak-Boleh-Mewakili-Agama-Tertentu-


NASIONAL - SOSIAL
Jum'at, 18 Februari 2011 , 11:41:00


JAKARTA - Direktur Reform Institute, Yudi Latief mengatakan, negara harus memahami hakikat kemajemukan antar dan intra-agama. Karenanya katanya, negara tidak boleh mewakili agama tertentu, tapi harusnya memberikan perlindungan kepada semua agama.

"Sebelum Indonesia terbentuk, itu sudah ada agama Hindu, Budha dan Islam. Bahkan Ahmadiyah sudah ada. Negara harusnya memahami hakikat kemajemukan antar dan intra-agama. Negara tidak boleh 'beragama', tidak boleh mewakili satu agama, tapi harus melindungi agama," kata Yudi Latief dalam diskusi di Komplek Parlemen DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (18/2).

Diskusi bertajuk "Mengatasi Permasalahan Amuk Massa" itu, juga diikuti oleh Abdul Aziz (anggota DPD asal Sumatera Selatan), serta Slamet Effendy Yusuf (Ketua PBNU).

Yudi sendiri lantas menunjuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, sebagai bentuk ikut campurnya negara dalam urusan agama. Menurutnya, SKB itu sebenarnya tidak perlu, jika negara memahami tugasnya sehingga tidak muncul kekerasan.

"Itu urusan orang dengan Tuhannya, kalau mau sesat. Tugas negara itu menjamin konstitusi. Kalau negara mengambil peran (soal agama), akan kesulitan mengambil posisi, karena pemimpinnya akan terus berganti. Akibatnya, banyak kekerasan, karena negara tidak jelas berkonstitusi. SKB tidak perlu," katanya.

Masih menurut Yudi, dalam hal pembubaran Ahmadiyah, negara pun  tidak boleh ikut campur. "MUI (juga) tidak boleh meminta kepada negara untuk membubarkan Ahmadiyah," tukasnya. (awa/jpnn)

Membaca Kembali Riwayat Ahmadiyah di Indonesia

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=18588
Oleh Bonnie Triyana, Majalah Historia Online
Jum'at, 18 Februari 2011 , 07:05:00 WIB

SEORANG lelaki telungkup bersimbah darah. Sekarat tak berdaya. Seperti belum puas, beberapa orang beringas yang berdiri mengelilinginya memukulkan lagi sebilah bambu. Plak!! Sebuah pukulan mengenai bagian belakang kepala lelaki malang itu sekaligus mengakhiri riwayat hidupnya. Pekik takbir terus menggema, merayakan kematiannya. Adegan itu tampak dari sebuah tayangan video insiden berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten (6/2) lalu dan sekaligus terparah semenjak tiga tahun terakhir. 

Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. 

Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.

Ahmadiyah berhasil meraih pengikut dari kalangan terdidik yang bisa dengan cepat menerima ajarah Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke Indonesia menuai respons dari beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana. Sebagian kelompok muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.

Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekira 10 organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang antusias. Sejumlah suratkabar ternama seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya acara.

Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite Munazarah ditunjuk sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator mengumumkan peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat, meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan Ahmadiyah.

Baik pada malam pertama dan kedua panelis mengajukan argumennya masing-masing. Ahmad Hassan mempertanyakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton. Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan, acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada yang saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di Ende. Untuk menepis sassus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.

Dalam artikelnya itu Sukarno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah. “Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu.”

Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. “Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk maken van den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.”

Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal “pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak berbicara santai dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.

Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, tiga tahun setelah pertemuan itu, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang pengesahan jamaah Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953. Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia.

Keputusan itu merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi warga Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Ahmadiyah sebagai organisasi yang memilki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi keagamaan lainnya. Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sekaligus wajib menaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.

Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei hingga 1 Juni 1980 memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.

Dari Ensiklopedi Islam yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang diketuai Prof Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga disebutkan beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir dan Takdir-Nya. Masih dari Ensiklopedi Islam, sebagaimana dikutip dari buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, kedua golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Khatamul Anbiya (nabi penutup). “Namun”, demikian Harun Nasution dan Tim Penyusun, “Mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad SAW. Rupanya itulah pangkal perselisihan yang tak kunjung usai.

Perselisihan penafsiran itu sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde Lama. Pelaku kekerasannya tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde Lama Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.
Di era pemerintah Gus Dur jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas. [**]

Artikel ini dimuat pertama kali di www.majalah-historia.com dengan judul "Ahmadiyah di Indonesia". Ditayangkan di Rakyat Merdeka Online atas izin penulis dan www.majalah-historia.com.

NU: Manusia dan Negara Tak Berhak Nyatakan Ahmadiyah Sesat

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=18550
Kamis, 17 Februari 2011 , 21:59:00 WIB
Laporan: Hendry Ginting
 
RMOL. Manusia atau negara tak berhak menentukan sebuah ajaran, termasuk Ahmadiyah, sesat atau tidak. Sebab yang berhak memutuskan siapa yang sesat atau tidak, bukan manusia atau negara, tapi Allah SWT.

Selain itu, kalau ada orang yang tersesat justru harus disayangi, bukan digebukin atau dibunuh.

"Kalau memang dia tidak bisa berubah kita serahkan ke Allah. Bukan wilayah kita atau negara merubah keyakinian orang. Ini ajaran Tuhan. Kalau pun kita melihat agama orang perspektif agama kita tetap saja dilihat tidak sehat," kata Rais PBNU, Masdar F Masudi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR bersama pimpinan ormas Islam, di gedung DPR, Jakarta malam ini (Kamis, 17/2).

Masdar menceritakan, pada tahun 1990, dia pernah pernah berdialog dengan Rais Am PBNU, yang memiliki pesantren. Di sebelah pesantren tersebut terdapat masjid Ahmadiyah. Tapi, Masdar menandaskan, masjid Ahmadiyah tesrebut tidak pernah dirusak massa dan jemaatnya tidak pernah mengalami kekerasan.

"Tapi kenapa tiga tahun lalu ini Ahmadiyah diserang pasukan berjubah dari luar. Keberagaman kita diekspresikan dengan kebencian. Seharusnya kita yang beragama mengedepankan kehalusan hati bukan kebengisan," katanya dengan miris. 

Skeptisisme terhadap Agama

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/382637/38/

Friday, 18 February 2011 

oleh:  
KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah      
 
KATA agama, sebagaimana juga kata religion,memiliki puluhan definisi sehingga kata yang sama bisa memiliki makna dan maksud berbeda di antara mereka yang mengucapkannya.

Di Indonesia ada yang membuat perbedaan tegas antara agama dan kepercayaan kepada Tuhan. Yang pertama diyakini datang dari Tuhan melalui Rasul-Nya yang kemudian terabadikan pesan ilahi itu ke dalam kitab suci,sedangkan yang kedua tidak mengenal konsep ketuhanan dan kerasulan.Tetapi, kategori yang populer dengan istilah ”agama langit”dan ”agama bumi” ini juga mengundang perdebatan.

Baik bumi dan langit keduanya adalah ciptaan Tuhan. Di Indonesia banyak penganut aliran kepercayaan yang juga meyakini Tuhan sekalipun tidak memiliki konsep kenabian. Dalam berbagai literatur,umat Buddha hampir tidak pernah bicara tentang Tuhan.Begitu pun Kong Hu Cu yang lebih dikenal sebagai filsafat hidup.Tetapi, karena terikat konstitusi negara yang berlandaskan Pancasila, keduanya yang telah resmi diakui sebagai agama mesti mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Pengakuan ini langkah bijak untuk memperoleh perlindungan hukum dan administrasi karena keberadaan sebuah agama atau aliran kepercayaan memerlukan perlindungan hukum.Tetapi,urusan keyakinan yang bersifat pribadi, negara tidak bisa mencampuri. Di Barat pernah terjadi skeptisisme terhadap lembaga keagamaan karena dianggap korup dan terlibat berbagai konflik dan perang berdarah-darah.

Munculnya faham humanisme-sekularisme dan Marxisme antara lain dipicu oleh kebobrokan organisasi dan penguasa gereja waktu itu yang menekan penalaran ilmiah serta lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan dengan mengatasnamakan Tuhan. Butuh waktu sangat lama gereja dan agamaagama di Barat untuk bisa menarik kembali simpati masyarakat Barat yang sudah merasa hidup damai dan nyaman tanpa agama.Mereka percaya kepada Tuhan, tetapi enggan bergabung dengan lembaga keagamaan.

Tidakhanya terjadidiBaratyang mayoritas Kristiani, di dunia Islam pun gejala ini mulai tampak terjadi. Berbagai ekspresi keagamaan dengan bahasa kekerasan dan kebencian telah menimbulkan kekecewaan dan skeptisisme di kalangan remaja- remaja dan mereka yang tengah tertarik mempelajari agama. Saya berjumpa kalangan eksekutif kota yang tengah tertarik mempelajari Islam yang merasa kecewa melihat materi dan metode dakwah yang dirasakan kurang tepat bagi kalangan intelektual dan eksekutif yang pergaulannya lintas agama dan bangsa.

Berbagai tindak kekerasan atas nama agama yang mendominasi pemberitaan di media massa juga membuat kecewa. Agama yang selalu dibayangkan sebagai sumber kedamaian, ilmu pengetahuan,dan kebajikan hidup ternyata diwarnai dengan fanatisme- ekstremisme yang tidak memberi ruang untuk berdialog dengan santun,cerdas,dan bersahabat. Agama lalu menjadi pemisah dan sumber kecurigaan serta persaingan yang tidak sehat dalam kultur sebuah perusahaan atau perkantoran.

Ini sangat tidak sehat dan akan menggerogoti profesionalitas dan produktivitas kerja.Semestinya agama menjadi pendorong untuk berlomba dalam berprestasi, sebagai tali pengikat persahabatan yang saling menghargai perbedaan,bukan penyebar suasana pengap,ruwet,curiga,dan saling gertak. Orang yang mudah terpancing untuk marah, apa pun alasannya, akan mudah ditunggangi dan dibelokkan oleh mereka yang menyimpan agenda politik partisan.

Mereka sangat rentan dimanfaatkan sebagai ujung tombak untuk melukai atau menusuk kelompok tertentu. Ini sudah sering terjadi di mana-mana. Ironisnya, banyak di antara mereka yang dijadikan sebagai ujung tombak merasa jadi pembela agama dan berjuang di jalan Tuhan, dan seringkali menunjukkannya dengan berperilaku brutal terhadap orang di luar kelompoknya meskipun sesama muslim. Akhir-akhir ini banyak orang mulai merasa skeptis terhadap ormas dan gerakan keagamaan karena isu keagamaan yang mencuat ke permukaan selalu seputar soal kekerasan dan pertikaian.

Media massa pun sering tidak selektif dan edukatif dalam menyajikan beritanya.Simbol-simbol keulamaan dalam Islam seperti kiai, ustad, dan habib yang semestinya dijaga kehormatannya, kemudian tercoreng dan tak lagi memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat. Padahal di Indonesia ketiganya memiliki konotasi ahli agama atau pendakwah agama yang dihormati. Terhadap fenomena seperti itu, ada tiga macam bentuk respons.

Pertama, ada kelompok mayoritas yang bersikap moderat dan memilih diam,dua kutub lainnya adalah mereka yang bersuara lantang dan terkesan galak dalam membela Islam, dan mereka yang bersikap skeptis dan sinis pada organisasi dan gerakan keagamaan. Di Barat pernah muncul slogan: Spirituality-Yes, Religion-No. Ada lagi ungkapan lain: Yes to God,No to Religion. Bukan mustahil bahwa di Indonesia slogan-slogan seperti ini bisa saja berkembang.(*)

    

Sadisme dalam Beragama

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/382621/
Friday, 18 February 2011

Kekerasan bernuansa agama muncul kembali. Dampaknya sangat buruk dan mencederai rasa kemanusiaan kita. Penyiksaan dan sadisme terjadi di Cikeusik atas nama keyakinan dan egoisme.

Demikian pula yang terjadi Temanggung. Seolaholah kita tidak hidup di negara bernama Indonesia, tidak pernah mengenal Bhinneka Tunggal Ika. Menyedihkan,mengecewakan, sekaligus menyeramkan. Negara dan aparatusnya pun dituding lalai dan menjurus pada pembiaran peristiwa itu. Juga pada peristiwaperistiwa lainnya yang biasanya mengorbankan kalangan minoritas. Negara tidak mampu mengendalikan sekelompok orang yang membolehkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Berbagai peristiwa kekerasan terakhir di Tanah Air, baik yang diliput media maupun tidak,kerapkali menunjukkan ketidakmampuan ini.

Kutukan sebagai Minoritas dan Berbeda

Menjadi ‘minoritas’ dan ‘berbeda’ di negeri ini laiknya merupakan kutukan saja. Hampir tidak ada jaminan untuk bisa hidup damai di negeri yang konstitusinya nyata-nyata menjamin kebebasan berkeyakinan dan perbedaan. Negeri yang elitnya gemar mengumbar kata-kata ‘pluralisme’ dan ‘kebhinekaan’ di mulut, dan kerap menodainya dalam penerapan. Kita tidak siap berbeda, tidak siap untuk berdialog menyelesaikan masalah.Maka atas dasar keyakinan, darah pun ditumpahkan di mana-mana atas nama Tuhan.

Hampir semua manusia di bumi ini hidup beragama dan bertuhan. Dan semua ajaran agama tidak ada yang mengajarkan saling berbunuh satu sama lain. Semuanya mengajarkan kasih sayang dan hidup rukun antarsesama. Kenyataannya, tidak jarang umat beragama justru bertambah buas kepada lainnya atas nama kebenarannya sendiri. Dalam situasi inilah kalangan minoritas merupakan sasaran empuk untuk dikorbankan. Karena itu jugalah negara sebagai mediator diharapkan bisa menjadi aparat yang netral dan wajib melindungi kaum minoritas yang sangat rentan dengan serangan dan ancaman.

Tantangan ‘hidup bersama’ dan menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama semakin rumit, kompleks, dan bahkan terlalu banyak tantangan salah satunya dari negara sendiri yang kerap tidak objektif dalam menyikapi sesuatu. Negara menjadi alat untuk semakin memojokkan kaum lemah dan tak berdaya, dan bukan membuka ruang yang lebih luas untuk berdialog memecahkan masalah.

Kendatipun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama,melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas ‘agamaku’, ’keyakinanku’ justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku seharihari yang bermuatan kekerasan. Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu.Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Pluralisme Indonesia merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kekayaan. Menafikannya berarti juga menafikan keniscayaan, dan tidak menghargai perbedaan.Kekhawatiran lahir bila pluralisme sebagai rumah bersama semakin hari semakin terancam akibat ada kebijakan dan ulah aparat pemerintah yang bertindak netral.Aparat pemerintah yang “tidak berani” menggunakan kekuasaannya untuk memberikan jaminan kepada setiap warga untuk mempergunakan hak asasinya tanpa ada hambatan.

Kebersamaan adalah roh dan kata kunci dalam upaya semakin mendewasakan makna pluralisme di negeri kita.Kita tidak bisa membayangkan hidup di negeri plural seperti Indonesia tanpa kebersamaan. Dalam kekuatan mayoritas yang menekan dan aparatur pemerintah yang memberikan jaminan yang rendah,roh pluralisme itu sendiri akan musnah perlahanlahan.

Negara-Gagal

Salah satu persoalan mendasar dalam demokrasi Indonesia adalah kebebasan menjalankan ibadat dan keyakinan.Pada 2007 misalnya berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi sangat nampak di permukaan. Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok- kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik dengan nyata.

Ironisnya, dari pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Sejumlah 92 pelanggaran dilakukan oleh negara (commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap sesat.Termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu.

Sedangkan 93 tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan pembiaran (ommision) terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga atau kelompok.Ini merupakan bentuk kegagalan negara. Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan,merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.

Aparat hukum bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman massa.Padahal institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang. Hukum pun tak lagi dipercaya. Negara telah gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Negara bahkan telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan. Bila dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan.

Ruang Dialog

Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama.Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.Kebijakan yang berpeluang menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya perlu dibahas ulang.

Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat dan berkeyakinan adalah hak warga paling asasi,dan hanya rezim komunis yang melarangnya.Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa ada ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi?(*)

Benny Susetyo
Sekretaris Dewan Nasional Setara,
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI       

KH Muhaimin, Merajut Kedamaian Lintas Agama

http://ciputraentrepreneurship.com/entrepreneur/nasional/sosial.html?start=9

Sosial
Kamis, 13 Januari 2011 14:31  

Lewat berbagai kegiatan kemanusiaan yang digelutinya, KH Abdul Muhaimin memiliki misi lebih luas. Dia berupaya merajut kedamaian lintas agama dalam bingkai kebinekaan bangsa.

kh_ahmadPengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat di Kotagede, Yogyakarta, itu berusaha mewujudkan misinya dengan beragam cara. Pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Merapi, November 2010, KH Abdul Muhaimin mengunjungi 13 gereja di DI Yogyakarta yang menampung pengungsi beragama Islam.

Kunjungan itu dilakukan setiap hari menjelang maghrib, selama hampir satu bulan. Di gereja-gereja itu KH Muhaimin memberikan siraman rohani kepada para pengungsi dan memimpin acara pengajian.

Sosok KH Muhaimin telah dikenal dalam berbagai gerakan perdamaian antaragama di Yogyakarta. Pada 24 Maret 1997, bersama 70 pemuka agama lainnya, KH Muhaimin mendeklarasikan berdirinya Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB). Deklarasi dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Ummahat yang didirikannya karena saat itu tidak ada yang berani menjadi tempat deklarasi FPUB.

Pendeklarasian FPUB berkaitan dengan seringnya terjadi kerusuhan yang mengatasnamakan agama. Hingga saat ini dia masih aktif sebagai koordinator FPUB yang terus mengampanyekan perdamaian dalam keberagaman.

Kunjungan ke gereja-gereja yang dia lakukan saat erupsi Merapi merupakan salah satu upaya meredam konflik agama. Kegiatan ini dimulai menyusul peristiwa pengusiran 200 pengungsi Merapi dari Gereja Katolik Ganjuran, Bantul, DI Yogyakarta, oleh sekelompok orang.

”Kelompok ini mengusung isu Kristenisasi dan melarang pengungsi bernaung di gereja. Padahal, saya sama sekali tidak melihat adanya upaya Kristenisasi saat itu. Ulah kelompok ini justru menambah kekhawatiran pengungsi yang tengah gundah dan membuat pihak gereja ketakutan,” katanya.

KH Muhaimin menuturkan, Al Quran memberikan kisah-kisah dramatis mengenai eratnya hubungan Muslim-Kristiani pada zaman dulu. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak pernah ada masalah di antara agama-agama tersebut.

Menurut bapak delapan anak ini, meruncingnya konflik akibat perbedaan agama di Indonesia merupakan imbas dari politik internasional Amerika Serikat yang diskriminatif terhadap masyarakat Muslim. Kondisi ini juga dipicu oleh kebijakan yang menekan dari pemerintah Orde Baru.

”Masyarakat Indonesia sekarang ini sebenarnya korban dari semua keruwetan politik itu. Sebenarnya, bangsa Indonesia dari dulu adalah bangsa yang rukun dan bisa menghargai perbedaan,” tuturnya.

Keprihatinan akan meningkatnya permasalahan karena perbedaan agama ini membuat KH Muhaimin mengambil tindakan-tindakan yang sering mendapat kecaman dari rekan-rekannya sendiri.

Kecaman ini datang salah satunya karena dia sering menerima undangan untuk memberikan sambutan dalam peringatan Natal. Jumat pekan pertama tahun 2011, KH Muhaimin kembali diundang memberikan sambutan dalam peringatan Natal di sebuah institusi pemerintah.

Dari tempat memberikan sambutan pada perayaan Natal itu, KH Muhaimin langsung berangkat ke masjid untuk shalat Jumat. ”Kegiatan saya di gereja atau memberikan sambutan pada peringatan Natal tak mengurangi keislaman saya. Toh, saya tidak pernah mengikuti ritus agama lain,” tuturnya.

Namun, selain kecaman, keteguhan dan keterbukaannya dalam mengupayakan perdamaian lintas agama ini mendatangkan persahabatan dari beragam kalangan dan agama di seluruh dunia.

Sejak 1990-an, KH Muhaimin membuka pintu pondok pesantren asuhannya bagi semua pemeluk agama yang ingin mengetahui kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku tamu pondok pesantren yang berada di tengah perkampungan itu tercatat banyak pemeluk agama lain, seperti pemuka agama Buddha, Katolik, Kristen, dan Hindu, dari dalam dan luar negeri.

Chika Yoshida, mahasiswi Buddha asal Universitas Chiba, Jepang, pernah tinggal di Pondok Pesantren Nurul Ummahat selama 1,5 bulan. ”Satu-satunya komunitas Muslim yang tak bisa ditembus globalisasi adalah komunitas pesantren,” tulis Yoshida di buku tamu.

Pondok pesantren khusus putri itu telah dikunjungi tamu dari 70 negara, termasuk komunitas agama dari Palestina, utusan Presiden AS Barack Obama, dan para biksu Buddha. Mereka meninggalkan kesan positif.

KH Muhaimin mengatakan, membuka pintu pondok pesantren adalah upaya memberikan jalan bagi masyarakat yang berbeda agama untuk belajar satu sama lain dan untuk saling menerima.

Kesadaran akan keberagaman itu tumbuh dari masa kanak-kanak Muhaimin. Terlahir dalam keluarga Nahdlatul Ulama di tengah masyarakat Muhammadiyah, Muhaimin telah mengenal perbedaan sejak kecil. ”Saya selalu puasa dan merayakan Idul Fitri berbeda dengan para tetangga saya. Namun, bagi saya, perbedaan itu justru indah karena tetangga pun menghormati kami,” tuturnya.

Erupsi Merapi meninggalkan beragam pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Dia kini tengah sibuk membantu pembangunan kembali saluran-saluran air serta penghijauan kembali hutan lereng Merapi yang rusak akibat lahar dan awan panas.

Misi untuk merajut perdamaian dalam keberagaman itu masih terus diusungnya. Untuk pemasangan pipa air, misalnya, dia bekerja sama dengan biarawati Katolik di kawasan tersebut. Dia juga berkoordinasi dengan Yoseph Suyatno Hadiatmojo Pr, pastor di Gereja Somohitan, Girikerto, Turi, Sleman, Koordinator Kampanye Damai FPUB yang juga tengah memasang pipa saluran air di bagian barat Sungai Boyong.

Untuk penghijauan, KH Muhaimin merancang penanaman pohon oleh anak-anak dari berbagai agama. Di tangannya, kemanusiaan pun menjadi alat untuk menggapai kemanusiaan yang lebih luas. (*/Kompas Cetak)


Wednesday, February 16, 2011

Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah)*

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html


Rabu, 16 Februari 2011 | 07:12 WIB
TEMPO InteraktifPada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”
Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.
Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.
Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.
Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?
Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.
Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.
Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.
Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.
*)
Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania 

Monday, February 14, 2011

PBNU: Sering Pekikkan Jihad Sesungguhnya Runtuhkan Wibawa Islam

http://www.detiknews.com/read/2011/02/10/195628/1568930/159/pbnu-sering-pekikkan-jihad-sesungguhnya-runtuhkan-wibawa-islam?nd992203605
Kamis, 10/02/2011 19:56 WIB
M. Rizal - detikNews


Jakarta - Banyak pelaku kekerasan memekikkan jihad dan takbir sebelum memulai aksinya. Para pelaku kekerasan ini beranggapan mereka tengah berjihad membela agama Islam.Padahal sesungguhnya tindakan itu justru merusak kewibawaan dan meruntuhkan Islam. Tidak ada satu pun dalil yang membenarkan melakukan kekerasan atau pembunuhan karena perbedaan keyakinan.

"Orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam," kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi.

Banyak faktor yang menyebabkan makin seringnya pecah kekerasan atas nama agama. Faktor itu yakni pengaruh masuknya faham radikalisme dari Timur Tengah. Selain itu juga kelambanan penanganan pemerintah melalui alat keamanan negara dalam mencegah tindak kekerasan.

Salah satu terpenting adalah bentrokan antar faham keagamaan dan keyakinan ini justru ditimbulkan akibat dakwah atau ajakan yang tidak dilakukan secara bijaksana. Selain sering memaksakan agar orang masuk sesuai keyakinan diri sendiri, juga dipicu sikap kesombongan keimanan yang ditunjukan umat beragama itu sendiri. "Kesombongan atas keimanan ini paling berbahaya," kata Masdar.

Berikut wawancara detikcom dengan Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas'udi di
kantornya di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat:

Bagaimana tanggapan anda soal penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten?

Pertama-tama yang ingin saya tegaskan, negara itu wajib melindungi rasa aman dari
seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama, keyakinan maupun suku dan
sebagainya. Itu pertama yang harus betul-betul ditunaikan tanpa tawar-menawar lagi.
Dan untuk itu, negara sudah memiliki segala persyaratan yang dibutuhkan, ada aparat
kepolisian dengan perangkatnya termasuk untuk penindakan sampai intelijennya. Kalau
polisi tidak sanggup, bisa menggunakan aparat lainya seperti militer.

Kalau perlu Nahdlatul Ulama (NU) siap membantu dan amankan segenap warga. Jangan
sampai ada kezaliman di antara warga dan sesama warga. Pertumpahan darah itu mutlak
harus dihidarkan. Satu nyawa hilang itu sudah terlalu banyak. Kalau nyawa sampai
hilang bukan karena nyawa, tapi itu sama saja menghilangkan seluruh umat manusia,
ini adalah sesuai Alquran.

Jadi membiarkan seorang warga negara terbunuh tanpa alasan pembunuhan, maka
sebenarnya sama saja membiarkan seluruh warga negara ini terbunuh. Bahkan di dalam
Alquran bukan hanya seluruh warga negara, tapi seluruh umat manusia, bila ada nyawa
seorang dibiarkan melayang tanpa alasan yang setimpal.

Berkaitan dengan soal keimanan, negara kita kan bukan negara agama, bukan negara
agama tertentu. Tetapi negara yang melindungi keyakinan segenap warganya, maka
negara tidak boleh mendiskriminasi perlindungan kepada warga negara atas pertimbangan keyakinan tertentu, itu tidak boleh. Dan, NU berada di belakang misi
negara itu.

Apakah konflik terjadi karena perbedaan keyakinan di antara warga itu sendiri?

Itu yang sebenarnya tidak boleh. Perbedaan keyakinan memang tidak mungkin dihindari,
karena agama memang teksnya terlalu mendalam dan luas. Oleh karena itu tafsir
terhadap teks agama itu suatu keniscayaan. Tidak ada suatu ajaran agama yang hanya
ada satu tafsir dan semua tafsir sebenarnya itu dilindungi. Bahwa ada yang mengaku
dirinya benar dan yang lain itu salah, itu biasa. Tetapi kalau semua mengaku benar dan semua mengaku yang lain salah, maka sesungguhnya tidak ada yang mutlak benar.

Perbedaan keyakinan tidak bisa menjadi alasan untuk memaksa keyakinan saya terhadap
orang lain. Karena yang memberikan petunjuk ke jalan benar itu hanya Allah.
Innaka laa tahdi man ahbabta walakinnallaaha yahdi man yasya, sesungguhnya kamu tidak bisa memastikan hidayah kepada orang lain, hanya Allah lah yang dapat memasukan hidayah kepada hamba-Nya yang dikehendaki (surat Al Qoshosh ayat 56).

Di dunia ini kan bukan surga dan juga bukan neraka. Jadi di sini itu ada yang baik
dan ada yang buruk, ada yang kafir, ada yang mukmin, ada yang tersesat dan ada yang
mendapatkan hidayah, inilah dunia. Jangan berpikir dunia ini adalah surga, dan semuanya harus mukmin. Dan jangan berpikir bahwa dunia ini adalah neraka, semuanya harus kafir, tidak seperti itu.

Soal surga-neraka, tersesat dan mendapatkan hidayah hanya Allah yang tahu. Bahkan
dalam Islam, kalau ada orang mengkafirkan orang lain, maka boleh jadi sesungguhnya
dia kafir. Jadi jangan gampang mengkafirkan orang. Anda boleh saja meyakini seyakin-yakinnya apa yang anggap anda imani benar, tapi jangan pada saat yang sama mengaku sayalah satu-satunya paling benar, orang lain salah atau menuding keyakinan orang lain itu salah.

Jadi bagaimana sebaiknya menghadapi jemaat Ahmadiyah?

Saya ambil contoh di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat asuhan almarhum KH
Ilyas Ruhyat (mantan Rais Am PBNU), di sekitar itu sudah berpuluh-puluh tahun ada
sebuah masjid Ahmadiyah. Pas bertetanggaan dengan pesantren, dan dari dahulu
tidak pernah ada santri yang menggruduk atau mengejek anggota jemaat Ahmadiyah.
Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, itulah yang terjadi di
lingkungan NU sebenarnya.

Bahwa anda memiliki keyakinan seperti itu dan anda bertekad menjalankannya, itu hak
anda. Memang kita memang mempunyai kewajiban moral untuk melakukan dialog, memberi tahu atau dakwah. Tetapi melakukan dakwah mengajak orang mendekatkan dengan keyakinan kita harus dengan bil hikmah atau bijaksana. Tidak ada kata paksaan dalam dakwah itu. Apabila kita sudah berdakwah atau kita sedikit bermujadalah (perdebatan). Kok masih tidak mau menerima apa keyakinan kita, ya sudah, kewajiban kita sudah gugur. Tidak ada keimanan yang bisa dipaksakan. Mungkin orang bisa dipaksa tubuhnya, tapi hatinya tidak bisa dipaksa.

Dakwah yang paling efektif itu dakwah melalui perilaku, bukan dengan kata-kata, apalagi dengan kekerasan. Kalau orang Islam memperlakukan orang lain dengan kekerasan dan kekejaman, itu sebetulnya dia sedang melecehkan secara telak agamanya sendiri. Karena orang akan bertanya, loh agamanya mulia, tapi kenapa perilaku dan akhlaknya buruk dan kejam? Jadi orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam.

Kawasan Cikeusik, Pandeglang, Banten walau dikenal masyarakatnya keras tapi belum pernah terjadi bentrokan antar keyakinan agama. Apakah ini ada rekayasa untuk memicu kekerasan itu sendiri?

Memang belakangan ini, sekitar sepuluh tahun belakangan terakhir ini pengaruh dari
kelompok-kelompok radikal yang dibiayai dengan uang yang banyak dari Timur Tengah
menjalar ke mana-mana. Meskipun kita ketahui dalam dunia Islam, perbedaan mazhab dan perbedaan tafsir itu sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman para sahabat itu sudah ada orang menafsiri sebuah ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda. Jadi
sesungguhnya itu sudah alami dan memang tafsir itu bisa berbeda-beda.

Tapi tafsir yang berbeda dan diikuti dengan pemaksaan, penistaan sampai pembunuhan
baru belakangan ini lebih marak. Jadi dahulu pernah ada pada zaman klasik itu. Misalnya konflik antara lain dengan kaum Khawarij dan Syiah sampai pertumpahan darah dan lainnya. Kemudian orang berpikir bila lama-lama seperti ini bisa habis, maka wisdom atau kearifan yang muncul, bahwa tidak ada di dunia manapun yang memiliki satu tafsir, tapi banyak dan berbeda-beda.

Untuk mensikapi adanya tafsir-tafsir yang berbeda ini, ya sudah kita sama-sama
menghormatinya. Bahwa kami juga minta dihormati untuk mengikuti tafsir kami, sebagaimana anda juga kami menghormati untuk mengikuti tafsir anda. Itulah yang
paling fair (adil), toh kita sama-sama tidak tahu siapa yang sesungguhnya secara
hakiki di jalan yang benar. Kita hanya berdoa saja kepada Allah SWT untuk dibimbing
di jalan yang benar. Kita tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah sepenuhnya berada
di jalan yang benar, itu tidak boleh karena itu namanya takabur.

Kita salat setiap hari lima waktu ada 17 rakaat, kita setiap rakaat selalu baca Al Fatihah dengan doaihdinash shiroothol mustaqiim, tunjukilah kami ke jalan yang benar. Itu artinya apa? Orang Islam setiap menjalankan ibadahnya sekalipun tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah ada di jalan yang benar. Justru kita harus terus memohon kepada Allah untuk dibimbingnya. Justru kita harus rendah hati dan jauh untuk mengklaim saya sudah ada di jalan yang benar, apalagi sambil menuding orang lain kau sesat dengan diikuti tindakan kekerasan. Ini nauzubillah minzaliq, itu jauh dari kebenaran.

Apakah bisa dikatakan semakin banyaknya tindak kekerasan mengatasnamakan agama karena pengaruh radikalisme Timur Tengah?

Memang tindakan manusia tidak pernah bisa disederhanakan pada satu faktor saja,
selalu ada multi faktor. Taruhlah faktor faham radikalisme itu memiliki peranan,
meskipun tidak seratus persen. Tapi juga ada faktor-faktor lainnya, misalnya
faktor adanya provokator dan yang tidak kalah penting faktor kelambanan aparat
pemerintah dalam bertindak preventif. Ini sangat penting sekali.

Oleh karena itu, ini harus menjadi catatan yang sangat kuat bagi kita bahwa semua
faktor-faktor yang bersifat pemahaman tidak bisa berdiri sendiri. Kalau ada orang
yang berbeda faham, kemudian tumbuh menjadi saling curiga sampai saling membenci.
Tapi kalau aparat keamanan pemerintah bertindak tegas, tentunya tidak akan meledak
menjadi kenyataan. Itu yang kita sesalkan, kenapa aparat keamanan tidak bertindak
tepat waktu.

Sebenarnya beliau-beliau itu sudah tahu ada riak-riak seperti di Banten atau Temanggung, itu sudah diketahui dua hari sebelumnya gelagat-gelagat itu. Persoalannya kenapa tidak dilakukan pencegahan? Sebenarnya itu hak aparat keamanan untuk mencegahnya, apalagi sudah ada tanda-tanda datangnya rombongan dari Solo, Semarang, Pekalongan ke Temanggung untuk melakukan tindakan kekerasan atas protes putusan pengadilan. Kenapa ini tidak dicegat di tengah jalan? Sebelum sampai ke tempat kejadian. Membiarkan mereka sampai ke tempat kejadian dan berkumpul ribuan orang itu pasti
akan sulit sekali. Tapi kan bisa dicegah sebelumnya, kan jarak Pekalongan-Temanggung, Solo-Temanggung tidak dekat. Sepanjang puluhan dan ratusan kilometer kan bisa dilakukan pencegahan. Ini yang kami sesalkan kenapa aparat tidak bertindak semestinya sesuai tanggung jawabnya melindungi masyarakat agar tidak bertumpah darah.

Kelambanan atau kelalaian aparat keamanan dan pemerintah ini bisa diartikan juga sebagai upaya memperkeruh konflik antar kelompok masyarakat beragama ini?

Kelambanan itu bisa dituduh sebagai by omission atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi karena pembiaran dan tidak mengambil tanggung jawab. Sekali lagi kami katakan, aparat keamanan harus ambil tanggung jawab melindungi  masyarakat, apalagi yang menyangkut perbedaan keyakinan ini. NU sendiri akan mensupport aparat keamanan kalau soal ini.

Jadi bagaimana seharusnya menghadapi jemaat Ahmadiyah ini?

Kewajiban kita kepada orang yang berbeda keyakinan, kalau kita merasa terpanggil, ya
dakwah atau mengajak dengan bijak. Kalau memang diperlukan semacam diskusi, dialog
atau berdebat, adu argumentasi dengan cara santun daripada orang yang kita hadapi.
Kalau sudah cara-cara itu kita lakukan dan mereka tidak mau berubah, ya sudah, kita
sudah selesai kewajibannya.

Tidak ada sedikitpun ruang bagi kita untuk memaksa mereka agar meyakini apa yang
kita yakini. Kalau kita memaksakan begitu, lagi-lagi kita telah mengklaim saya sudah
berada di jalan yang sepenuhnya benar dan anda di jalan kesesatan. Kita harus terus
memohon petunjuk kepada Allah SWT. Artinya kita harus lebih redah hati dan jauhkan
mengklaim diri kita sudah berada di jalan yang benar. Kita berdoa semoga kita bisa
dibimbing ke jalan yang benar, bukan kita yakin betul kita sudah berada di jalan yang benar.

Betulkah ada dalil yang membenarkan untuk memerangi kelompok semacam Jemaat Ahmadiyah atau aliran sesat lainnya?

Tidak ada, tidak ada dalil yang mengatakan orang bisa dibunuh karena perbedaan
keyakinan. Memang dalam Alquran ada izin untuk memerangi orang lain dengan alasan
agama, kalau memang kita diperangi. Kalau kita tidak pernah diperangi mereka, ya
kita tidak boleh memerangi mereka.

Justru kalau kita hadapi dengan kelembutan, tentu hasilnya akan lebih baik. Ini sama
ketika Rasulullah SAW akan dibunuh, tapi pedang musuhnya terjatuh. Nabi membiarkannya dan mengampuninya. Itu begitu kuatnya akhlak dan kelembutan hati yang bisa mengubah orang. Cara efektif mengubah keyakinan itu dengan akhlak yang baik, kesalehan amal, bukan dengan pedang.

Begitu juga di NU, kita akan menghadapi kelompok-kelompok ini dengan cara-cara
santun dan dakwah yang bijak. Kalau ada yang melawan dengan kekerasan, kami serahkan kepada negara yang memiliki hak dan tanggung jawab. Negara punya hak monopoli untuk menindak pelaku kekerasan demi melindungi masyarakat lainnya. Tidak boleh masyarakat menggunakan alat kekerasan.

Bagaimana solusinya agar tidak terjadi pemaksaan dan penyerangan kepada kelompok agama yang beda keyakinan?

Jangan kita pernah memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Biarkan itu
diserahkan kepada Allah yang akan memberikan hidayah. Memang dalam beberapa kasus
belakangan ini, banyak yang menunjukan keimanan dengan cara penuh kesombongan.
Padahal kesombongan ini lebih buruk dari kesesatan atau kejahatan itu sendiri serta
lebih buruk dari dosa besar lainnya. Kesombongan atas keimanan kita itu lebih
berbahaya dari yang lainnya. (zal/iy)