Friday, February 11, 2011

Ahmadiyah dan Toleransi Beragama

http://suarapembaca.detik.com/read/2011/02/10/151619/1568709/471/ahmadiyah-dan-toleransi-beragama?882205471


A. Hairul Umam - suaraPembaca
Kamis, 10/02/2011 15:16 WIB


Jakarta - Kabar pilu terulang kembali bagi Ahmadiyah. Kini 3 orang tewas dan 4 luka parah akibat penyerangan terhadap jamaatnya di Cikeusik, Pandeglang Banten. Sejauh ini pihak kepolisian belum menetapkan satupun jadi tersangka atas tragedi mematikan ini.

Dari dua sumber terdapat pro kontra siapa yang menyulut terjadinya bentrokan ini. Ada yang menuturkan jamaat Ahamdiyah awalnya memprovokasi warga. Tapi laporan ini segera dibantah oleh Mubarik, Humas Ahmahdiyah yang menyatakan tidak mungkin jamaat Ahmadiyah menentang warga apalagi membuat keributan karena mereka jumlahnya minoritas.

Peristiwa kekerasan ini bertepatan dengan perayaan kerukunan umat beragama damai dalam perbedaan di tengah para tokoh lintas agama menggiatkan semangat toleransi antar agama pada minggu, 6 Februari 2011 di Glora Bung Karno, Jakarta.

Tapi yang jelas kekerasan atas nama apapun lebih-lebih menghilangkan nyawa seseorang adalah perbuatan melanggar hukum dan terlarang. Pelakunya harus ditangkap dan diberikan hukuman seberat-beratnya. Tidak ada agama satupun di dunia yang membolehkan pemeluknya untuk membunuh orang lain.

Indonesia dengan semboyan Binneka Tunggal Ika terus diuji. Keberadaan Ahmadiyah yang telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia masih dianggap ancaman bahkan lebih serius ancamannya dibandingkan koruptor dan teroris. Tidak heran jika jamaat Ahmadiyah yang sudah puluhan tahun tinggal di bumi pertiwi ini selalu diuber-uber keberadaannya. Padahal mereka tidak mengganggu warga apalagi menjarah uang negara seperti Gayus dan koruptor lainnya.

Mengapa masih ada kelompok-kelompok tertentu yang sangat geram atas keberadaan Ahmadiyah? Apakah betul mereka menentang Ahmadiyah atas panggilan agama? Adakah motif ekonomi dan politik yang mendorong gerakan mereka sehingga mampu bertindak bringas dengan cara membakar fasilitas Ahmadiyah seperti musholla, masjid, sekolah,
rumah, mobil dan melenyapkan orangnya?

Besar kemungkinan pelakunya adalah mereka yang anti agama. Kalaupun mereka mengaku beragama, agama hanya dijadikan alat legitimasi untuk membenarkan aksi brutalnya. Hanya agama barbar dan semangat setan saja yang bisa mendorong pemeluknya untuk melakukan aksi kekerasan. Bisa saja aksi warga yang digerakkan secara sistematis ini, motifnya adalah ekonomi dan politik di tengah kehidupan masyarakat yang miskin dan penggangguran.

Toleransi Beragama

Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk toleran. Al-Qur’an yang menjadi rujukan dalam kehidupan sosial dan beragama dengan tegas menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama termasuk apakah menjadi Kristen atau Ahmadiyah pun.

Surat An-Nahl: 125 Tuhan berfirman "Tak ada paksaan dalam agama". Surat Yunus: 99, "Dan jika Tuhan menghendaki, tentu berimanlah semua manusia yang ada di bumi. Karena itu patutkah engkau memaksa manusia sehingga mereka jadi mu’min (percaya)".

Islam sebalikanya memberikan tuntunan yang sangat maju dan beradab yaitu dengan kata-kata yang lembut, sopan dan tidak anarkis. Surat  Al-Hajj: 40., "Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik."

Potret kehidupan sosial umat Islam antar umat beragama terdahulu menunjukkah kehidupan yang mesra dan saling hormat satu sama lain. Hubungan ini dapat digambarkan pada zaman nabi Muhammad SWT saat berada di Madinah, dimana di kota itu orang-orang Yahudi dan Nasrani dapat menjalankan ritual agamanya secara bebas tanpa rasa takut sedikitpun. Begitu juga pada masa Khulafaur Rasyidin, ketika Islam berkuasa di daerah yang sebelumnya telah dikuasai oleh kerajaan Romawi.

Perbedaan agama dan penafsiran atas teks tertentu pada suatu kitab suci adalah keniscayaan yang tak terbantahkan. Ini terjadi secara alamiah akibat perbedaan waktu dan tempat di mana manusia itu tumbuh dan berkembang. Lihat saja para mujaddid, pembaharu Islam terdahulu seperti Imam Maliki, Hambali dan Syafi’e ide-idenya tentang penafsiran ajaran Islam selalu berbeda-beda.

Bukankah perbedaan itu suatu berkah yang patut disyukuri sehingga memungkinkan satu sama lain berdiskusi. Saling melengkapi apa yang diyakininya sebagai suatu kebenaran.

Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Gus dur, jangan terlalu banyak mengambil peran Tuhan untuk menilai benar dan salah. Padahal kebenaran yang sesungguhnya adalah hanya Tuhan yang bisa menilainya. Manusia hanya bisa menafsirkan yang tentu saja penafsirannnya berpotensi salah dan benar.

Terlepas Ahmadiyah dicap sesat menyesatkan bagi kelompok tertentu, mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang harus dilindungi. Mereka berhak untuk hidup tenang dan bebas menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut sebagaimana warga lainnya di Indonesia.

Indonesia sebagai negara hukum, semua warganya harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Tidak boleh main hakim sendiri. Jika ada kelompok tertentu yang mencoba untuk menghakimi kelompok lain itu berarti pelecehan pada agama dan negara.

Sudah saatnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyodo bertindak cepat dan tegas pada pelaku kekerasan ini. Bukan membiarkan apalagi memeliharanya yang setiap waktu bisa dimunculkan sesuai dengan kepentingannya.

Kebebasan dan toleransi beragama merupakan nilai yang sangat penting dan perlu dijunjung tinggi oleh setiap komponen bangsa Indonesia. Kebebasan ini merupakah hak individu umat manusia yang paling dasar seperti halnya kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan menjalankan ibadah dengan bebas, bekerja, dan menggunakan waktu luang sesuai dengan pilihannya sendiri serta menikmati rasa aman dari pembatasan sewenang-wenang pihak lain.

SBY sebagai kepala pemerintahan berkewajiban menjamin warganya hidup dalam kondisi di mana setiap individu bangsa Indonesia dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual yang tertinggi dengan tidak dihalangi orang lain sebagaimana jamaat Ahmadiyah.

Besar harapan dari penulis, sudah saatnya umat beragama lebih bijak menyikapi perbedaan keyakinan dalam beragama. Pemahaman agama yang sempit dan kurang sensitif pada kelompok lain dapat dipastikan keliru memahami agamanya.

Tragedi Ahmadiyah yang menelan nyawa cukuplah kita jadikan pelajaran berharga untuk kembali pada ajaran agama yang sebenar-benanrya dengan menghadirkan nilai kasih Tuhan yang penuh toleran tidak hanya dirasakan dalam kehidupan pribadi, kelompoknya tapi juga dengan kelompok lain.

Dengan demikian impian hidup penuh damai dalam keragaman akan menjadi kenyataan bagi Indonesia yang maju dan penuh kasih sayang.

*Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka Jakarta

No comments:

Post a Comment