Tuesday, September 5, 2017

Rise of identity politics causing split in Indonesia, says researcher

http://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2017/09/03/rise-of-identity-politics-causing-split-in-indonesia-says-researcher/
 September 3, 2017

Alissa Wahid says this growing Muslim group feels they are the rightful owners of the world and non-Muslims are the enemy.

Alissa-Wahid-1

KUALA LUMPUR: An Indonesian researcher today warned that the country was seeing a rise in identity politics, causing a split between Muslims and others.
Alissa Wahid, from Gusdurian Institute, Indonesia, said religious extremism is taking place with Muslims feeling they are the rightful owners of the world.
“And non-Muslims are the enemy,” she told FMT.
Due to this perspective, she said the Muslims felt they should stop having any relationship with non-Muslims.
“They are using identity politics. That is the first thing they do to give the group an identity,” she added.
She said the group promoted the use of hijab for women, beards for the men and encouraged polygamy.
This group, which is growing in size, does not attend talks held by ulama as they feel they are not preaching the pure version of Islam, she added.
Earlier, Alissa gave a talk at the regional conference entitled, “State of Democracy in Southeast Asia: Achievements, Challenges, Prospects”.
Alissa is one of the children of former religious leader Abdurrahman Wahid, better known as Gus Dur, who served as president of Indonesia from 1999 to 2001.
Alissa said Indonesia had been faring much better in terms of democracy than some Southeast Asian countries.
“But we cannot compare the situation now with that which existed before. We need to strengthen democracy in Indonesia again.
“There is identity politics. Political candidates are chosen based on their religious background.”
She said it has reached the point of threats where people were disowned by the community if they voted for candidates of a different religion.
Alissa noted that since last year, religious tensions have been high, with communities refusing to carry out burial rights if someone votes for candidates of a different religion.
She said with presidential elections approaching in 2019, she was worried that identity politics was gaining momentum in Indonesia.
One of the reasons for this was due to the election of the governor or mayor by members of the public, she added.
“Before, they were elected by members of parliament. Now, they are elected by the masses.”
In Indonesia, it is more a case of religious tensions rather than communal tension, she added.
For instance, a Christian girl was not allowed entry into a public school as the majority of the students were Muslims.
Only when the father raised the issue with authorities was the girl finally allowed into the school.
Another example was the rise of gated communities based on communities of the same religion.
Such practices served only to bring about inequality in human rights, Alissa said.
“Even though not very dominant, this movement is on the rise.”
She said civil rights groups in Indonesia are strengthening their work by creating awareness on civic education and on creating responsible citizens.

Thursday, May 4, 2017

Suara Hati Anak Negeri

https://www.facebook.com/mayanovarini/posts/10154740320024542

Indonesia. Beberapa tahun lagi, gw akan lepas kewarganegaraan. Udah cukup lah.
Pendidikan ga bagus;
budaya baca sekarat;
pergaulan konsumtif, banyak nongkrong, makan sana sini tapi minim kreatifitas dan pengetahuan;
macet;
polusi;
jalan sana sini disiul-siul;
ditanya kapan kawin mulu;
ditanya kapan punya anak (padahal I just want to be a dog parent);
budaya ga kompatibel;
LGBT dihujat dan dianggap penyakit (asli tolol bin goblok yang mikir begini, tapi sygnya banyak banget!!!! *facepalm),
sex dianggap tabu - padahal yang salah itu sex tanpa pengaman;
ngecek pap smear aja ditanya dokter "Udah nikah?";
ganja dilarang;
semua orang ngerokok kaya alay;
minum alkohol dikit, udah belagak kaya gangster;
punya tato dipandang kaya napi atau pelacur yang obsesi seninya salah kaprah;
denger kata narkoba aja langsung panggil pak RT, RW, Lurah, Camat (di SF, biasa aja kaliiiiii, cocaine, ganja, ecstasy. Ga ada kerennya, ga ada spesialnya, ga ada efek 'wiiiih gw anak bandel, keren deh', dan ga perlu dihina atau dikriminalisasi kaya mucikari jual anak di bawah umur. Klo ga suka, ya ga usah pake. Cuma paling dibilang goblok aja klo lo ngabisin duit cuma untuk drugs);
bosen dikira tajir;
bosen ditanya "Udah ibadah belum?" (Gw denger orang doa aja geli);
bosen ditanya "Kapan pulang" (Keluarga Indo tuh posesif bin parno bin insecure banget);
Tapi dari dulu juga udah begitu.... cuma yang jadi the last straw-nya itu adalah ketika akhirnya penegakan hukum semakin mentoleransi ekstrimisme Islam.
Sentimen buruk terhadap minoritas tionghoa bangkit lagi. Sentimen terhadap PKI bangkit lagi, padahal apa itu komunisme orang juga ga banyak yang tahu, jadi banyak yang buta sejarah, salah kaprah dan rame-rame mengganggu ketentraman masyarakat. Ingat, pembunuhan terhadap jutaan orang yang tertuduh terlibat PKI adalah kekejaman dan kebiadaban terhadap hak asasi manusia, manusia yang diciptakan Tuhan yang kalian sembah dan bela. Jutaan korban yang buta politik, dituduh mendukung komunisme, padahal keterlibatan mereka hanya sebatas tertarik akan dan berpatisipasi di aktivitas sosial dan kreatifitas usungan PKI (kelas tari, kelas menjahit, dsb). Di jaman baru merdeka gitu, semua porak poranda, ga ada facebook, ga ada grup hura-hura (klub motor, klub pecinta bola bekel, etc), tanah air masih tertatih-tatih merehabilitasi dan membangun kota-kotanya, masa sih mereka ga mau memanfaatkan kesempatan baik? Lalu mereka dibunuh. Dan sentimen yang buta sejarah dan tanpa empati begini adalah penghinaan besar terhadap kemanusiaan dan akal sehat.
Banyak banget ketidakseimbangan spiritualitas dan pengetahuan di masyarakat, bahkan di orang-orang yang gw kenal secara pribadi. Yang merasa benar tapi juga merasa korban (aneh kan?), merasa dihina, merasa dizalimi, dan kadang bangga memamerkan agama sebagai faktor kemajuan hidupnya. Padahal... HIDUPNYA mundur, bukan maju. Hahaha. Dan orang yang begitu, ga akan lu lihat ada bibit-bibit tendensi mengejar atau menghormati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sibuk bela agama, ngutip ayat, mikirin tuhan, mikirin dosa. Tapi ga mikir... ini otak bisa dipake untuk mikir terapi kanker, HIV, malaria, transplantasi organ, stem cell, pembangunan infrakstruktur, pembangunan moda transportasi (di California, kita udah lihat perencanaan pembangunan lalu lintas bawah tanah khusus mobil listrik, tanpa dikemudikan manusia). Di sini, ga ada yang mikirin agama lu apa. Di sini ga ada yang mikirin umur lu berapa, pacar lu siapa, lu tidur sama siapa, lu pake drugs apa, lu hina dewanya siapa kek itu kebebasan berbicara-lu. Yang percaya tuhan ya punya tempatnya sendiri. Hidup jadi nyaman, enak belajar, banyak orang hebat dan inspiratif, banyak project yang menarik, enak banget berada di garda depan menyaksikan perkembangan teknologi, karena teknologi itu yang akan membawa kemajuan spesies kita menuju level yang lebih hebat, dimana manusia lebih pintar, lebih sehat, lebih kuat dan berumur sangat panjang. Bukan doa-doa dewa dewi anu itu yang akan membawa kemajuan itu semua. Facebook ini bukan didesain pake doa, laboratorium ga jalan pake doa, pesawat ga terbang pake doa, eliminasi sel kanker ga bisa pake doa, eksplorasi Mars ga bisa pake doa, mendarat di Bulan ga pake doa, handphone ga dibikin pake doa, sampe kutang lo aja ga dibikin pake doa.
Sementara gw yang berada di lingkungan progresif begini.... eneg banget lihat kelakuan orang di tanah air yang sibuk bela agama. Kesel juga, karena perkembangan mereka akan menjadi intimidasi yang menekan generasi muda untuk jadi progresif, liberal, open-minded dan science-driven. Coba lihat Habibie, dia manusia sosial berkultur Indonesia - yang seimbang. Dia relijius, tapi juga science-driven. Makanya dia pro konsensus, cinta damai dan konstruktif. Itu yang gw maksud. Bukan berarti kepercayaan dan pengetahuan ga bisa hidup berdampingan. Tapi kita butuh keseimbangan. Jangan pupuk ekstrimisme. Teknologi tanpa budaya dan cinta kasih akan jadi mesin kapitalisme yang mengeksploitasi manusia lain dan memperburuk kesenjangan sosial.
Banyak korban ekstrimisme dan yang mengidap defisit ilmu pengetahuan itu tidak menyadari kekurangan daya pikir mereka, kelemahan logika dan critical thinking. Terkadang mereka terekspos akan realita asing melalui social media, dimana mereka melihat orang-orang bersekolah di luar negeri, orang-orang yang menemukan inovasi ini itu, orang yang terlibat riset ini itu, orang-orang yang hasil penemuannya telah dinanti jutaan manusia, orang-orang yang potensi, bakat dan keahliannya dihargai masyarakat luas; bagi mereka... orang-orang ini kafir, ga nyata, bukan bagian dari grup mereka, tak terjangkau, harus dilupakan, dsb. Padahal... tidak ada kata terlambat untuk belajar dan membantu masyarakat dengan cara yang konkret. Ada beasiswa, bisa kerja serabutan ini itu, selalu ada jalan untuk menjadi orang yang lebih terdidik. Tapi apa daya... esktrimisme sudah menjalar, dan semakin sulit menolak godaan menjadi orang penting dengan cukup bermodalkan mulut besar dan aksen cengkok arab. Karena betul, belajar mengejar ilmu pengetahuan itu berat. Berat sekali. Banyak pengorbanannya. Tapi itulah hidup, susah asal bermanfaat bagi masyarakat harus diterima dengan ikhlas. Daripada beken, diciumi tangannya, tapi keberadaan kita cuma membawa musibah dan memecah belah persatuan masyarakat.
Dan.... akhirnya generasi muda hasil kungkungan agama import yang umatnya bordering schizophrenic cuma bisa jadi penonton.... dari jauh.... sangat jauh. Realita mereka hanya sebatas baju sorban, sendal jepit, nasi bungkus lalu "BAKARRRRRR!!!" "BUNUH!!!!" "PENGGAL!!!!!" "NISTA!!!!!!"
Man. This country is going down.