Monday, May 30, 2011

Atasi Kemacetan di Surabaya, MTI Usul Hidupkan Trem

http://www.surya.co.id/2011/05/30/atasi-kemacetan-di-surabaya-mti-usul-hidupkan-trem
SENIN, 30 MEI 2011 | 19:37 WIB



SURABAYA | SURYA Online - Jalur trem (kereta yang dijalankan oleh tenaga listrik atau lokomotif kecil) di Jalan Diponegoro-Pasar Kembang, Kota Surabaya, yang sekarang akan dibangun jembatan layang (flyover) perlu dihidupkan kembali sebagai upaya untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di kawasan tersebut.
“Jalur trem di kawasan tersebut cukup layak untuk mengurangi kemacetan dibandingkan dengan pembangunan ‘flyover’,” kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Joko Setijo, di Surabaya, Senin (30/5/2011).
Menurut Joko, pemerintah pusat harus segera mewujudkan hal itu, karena sangat disayangkan kalau jalur trem dihapus, lalu di lokasi itu justru ditancapkan bangunan flyover.
“Jalur trem di Jalan Diponegoro tercatat mulai dari kawasan Karangpilang-Wonokromo-Jalan Diponegoro-Jalan Pasar Kembang-Stasiun Pasar Turi-Jalan Indrapura dan tembus ke kawasan Ujung di Tanjung Perak itu sangat bermanfaat dan mampu mengurang polusi udara jika jalur trem yang ada berupa trem listrik,” ujar Joko.
Bahkan, lanjut Joko, pembangunan jalur trem lebih murah dibandingkan dengan pembangunan flyover. Berdasarkan penghitungan MTI, pembangunan jalur trem hanya menghabiskan biaya sekitar Rp 13 miliar per kilometer.
Bila jalur trem Ujung-Karangpilang sepanjang 21 km dihidupkan kembali hanya membutuhkan biaya Rp 273 miliar. Meski biaya ini belum termasuk halte, stasiun, dan depo, namun biaya itu dipandang lebih kecil dari pembangunan jalan layang Diponegoro-Pasar Kembang yang panjangnya sekitar 705 meter, tapi membutuhkan anggaran Rp 175 miliar per kilometer.
“Dari dua sisi itu saja, trem banyak untungnya daripada flyover, karena itu kami harapkan jalur trem di Diponegoro dihidupkan kembali seperti zaman Belanda sampai sekitar 1960-an,” kata Joko.
Terkait dengan ini, pihak MTI mendapat kabar dari konsul Indonesia di Jerman bahwa beberapa kota di negara itu akan menghibahkan tremnya ke Surabaya.
“Syarat utama untuk bisa mendapatkan hibah trem tersebut di antaranya Surabaya harus menjadi ’sister city’ dengan salah kota di Jerman, yakni kota Hamburg atau Bremen. Kalau sudah ada hubungan sister city dengan salah satu kota itu, Jerman akan menghibahkan tremnya ke Surabaya,” papar Joko Setijo.

Tuesday, May 24, 2011

Skenario Film Hanung Ternyata Ditulis Oleh Fritjof Schuon Tahun 1932

http://kedaiberita.com/Film/skenario-film-hanung-ternyata-ditulis-oleh-fritjof-schuon-tahun-1932.html
TUESDAY, 03 MAY 2011 11:29 EDDY PILIANG


kedaiberita.com - “Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan… Aku pindah agama bukan berarti aku mengkhianati Tuhan.”

Kata-kata itu betul-betul saya garis bawahi, satu bulan sebelum Film ? garapan hanung launching. Entah kebetulan atau tidak, kalimat dalalm cuplikan film ? tersebut ternyata persis dengan bunyi surat Fritjof Schuon kepada Albert Ossey, tahun 1932. Coba anda bandingkan:

“Have I ever said that the path to God passes through Mecca? If there were any essential difference between a path that passes through Benaris and one that passes through Mecca, how could you think that I would wish to come to God “through Mecca,” and thereby betray Christ and the Vedanta? In what why does the highest spiritual path pass through Mecca or Benares or Lhasa or Jerussalem or Rome. Is the Nirvana of Mecca different from the Nirvana of Benares?”

Yang artinya kira-kira begini: Apakah aku pernah bilang bahwa jalan menuju Tuhan hanya bisa dilalui lewat Mekkah? Jika disana ada perbedaan mendasar antara jalan yang melewati Benaris (India) dan satu yang melalui Mekkah, bagaimana mungkin Anda berpikir bahwa aku ingin datang kepada Tuhan "melalui Mekah," dan dengan cara demikian mengkhianati Kristus dan Vedanta? Mengapa jalan spiritual tertinggi melewati Mekah atau Benares atau Lhasa atau Jerussalem atau Roma? Apakah nirvana dari Mekah berbeda dengan nirvana dari Benares?


fritjof
Bentuk-bentuk pertanyaan menyentil itulah yang dipakai Schuon untuk menyadarkan orang-orang agar tidak mengklaim bahwa agamanya adalah paling benar. Fritjof Schuon adalah seorang kelahiran Swiss yang mencoba memetakan jalan berbeda untuk menuju satu Tuhan tanpa harus mengkhianati Tuhan itu sendiri.

Pergulatannya mencari spiritualitas mengantarkannya bertemu Rene Guénon (baca: Gino) salah seorang freemason kenamaan dari Perancis. Sejak berusia 16 tahun, Schuon telah membaca karya Guénon, Orient et Occident. Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun.

Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938. Schuon akhirnya memeluk Islam dengan nama Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami.

Bagi Schuon, agama memang berbeda pada tiap-tiap simbolnya. Orang Islam mendirikan shalat, umat Kristen berdoa di gereja, dan Hindu beribadah demi Nirwana. Namun, bagi Schuon, pada substansinya masing-masing agama merujuk pada satu Tuhan yang sama.

Kalimat inilah yang kemudian ia namakan menjadi religio perennis (agama abadi) dan diterjemahkan Nurcholish Madjid empat puluh tahun kemudian dengan nama inklusifisme. Apa yang dimaksud agama abadi tidak lain ada kebenaran abadi yang dibawa masing-masing agama hingga saat ini.

Menariknya kalimat “In what why does the highest spiritual path pass through Mecca or Benares or Lhasa or Jerussalem or Rome” itu pula yang menggema di pikiran Komarudin Hidayat hingga kemudian ia berujar:

“Implikasi praktisnya dalam beragama adalah tidak setiap kaum beragama yang agamanya diakui sebagai satu-satunya yang benar secara otomatis adalah jaminan memperoleh keselamatan. Demikian sebaliknya, tidak setiap kaum beragama yang agamanya diakui sebagai sesat dan kafir sekalipun tidak secara otomatis memperoleh neraka dan kesengsaraan di akhirat kelak”

Perenialisme berbeda dengan New Age, jika New Age meminta manusia untuk tidak mementingkan lagi agama, perenialisme masih butuh agama. Karena agama adalah kunci ekspresi spiritualitas seseorang, walau tidak lama kemudian perenialisme menyatakan tidak semua agama benar, sekaligus tidak semua agama salah. Yang salah jika sebuah agama tertentu mengklaim diri paling jitu. Ini problem, bagi pengikut “agama” Schuon.

Pemikiran Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteris pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain.

Schuon ini nampaknya didorong oleh suatu motif agar antar agama-agama yang ada di dunia tidak terjadi pertentangan. Tapi teorinya cenderung membenarkan semua agama. Padahal Islam adalah agama yang justru menjelaskan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada agama-agama sebelumnya.

Rupanya ini pula yang dimaksud Hanung. Filmnya berjudul ?, walau memang rilis tahun 2011, namun sejatinya skenario itu sudah ditulis oleh Schuon jauh hari Hanung hanya mengkopinya ke layar kaca lewat tokoh Rika, Surya, dan Hendra.

Yang menjadi pertanyaan sekarang sebenarnya sederhana: apakah Hanung Bramantyo adalah juga seorang freemason sama dengan Schuon? Semoga saja tidak.


Referensi
Adnin Armas, Gagasan Fritjof Schuon Tentang Titik Temu Agama-agama, dalam Jurnal Islamia, Dibalik Pahama Pluralisme Agama, (Thn 1 No 3: Pustaka Khairul Bayyan, 2004)
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001)
Dinar Dewi Kania, Mewaspadai Kebangkitan Filsafat Perenial, Makalah Diskusi Sabtuan INSISTS, 16/04/2011
Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: Paramadina, 1995
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta : Penerbit Kompas, 2001)

Thursday, May 19, 2011

Aksi Bom dan Deradikalisasi

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147881

Kadang terasa getir di hati kita mengikuti aksi-aksi terorisme kontemporer --apa pun dan di mana pun-- selalu saja dikaitkan dengan Islam atau gerakan Islam. Setidaknya kata "Islam" selalu terbawa-bawa (atau sengaja dibawa-bawa), baik oleh mereka yang menuduh maupun yang dituduh sebagai pelaku. Lihat saja, ketika terjadi peristiwa pengeboman WTC 9/11 dan Stasiun Kereta Api Madrid, Spanyol, belum genap lima jam, para analis langsung menyatakan bahwa ini pasti Islam.

Di Indonesia, ketika bom meledak di gereja, pasti orang berspekulasi bahwa pelakunya Islam. Tetapi, heran, ketika bom meledak di masjid Polres Cirebon, pelakunya kok juga dikatakan Islam. Bahkan, ketika paket bom dikirim ke berbagai sasaran yang cenderung meluas dan tanpa pola sepanjang Maret-April 2011, ada juga spekulasi bahwa itu dilakukan gerakan lama ekstremis Islam. Maka, tidak mengherankan (dan jangan ketawa) jika bom di gereja dalam film yang berjudul Tanda Tanya (?) karya Hanung Bramantyo pun, ternyata pelakunya Islam. Pahit, memang!

Tidak syak lagi bahwa "gerakan Islam" kini menjadi satu-satunya pelaku bom dan pengebom bunuh diri (suicide bomber) di dunia. Pada masa lalu yang tidak terlalu jauh, masih ada gerakan radikal Irish di Irlandia, ekstremis Hindu dan Sikh di India yang mengebom Perdana Menteri Rajiv Gandhi, atau Macan Tamil di Sri Lanka yang juga sangat dikenal sering melakukan bom bunuh diri.

Sekarang gerakan-gerakan itu telah mereda. Tinggallah para pengebom yang beraksi dengan mengatasnamakan atau membawa-bawa Islam. Indonesia, yang sejak dulu dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharjo, beberapa warsa setelah reformasi, mulai marak ketularan aksi terorisme.

Jika di Palestina, orang masih paham mengapa mereka --termasuk kaum perempuan seperti yang digambarkan Barbara Victor dalam Army of Roses (1986)-- melakukan bom bunuh diri: frustasi yang luar biasa atas penindasan HAM Israel atas bangsanya. Bisa dibayangkan, hampir setiap hari ada orang Palestina (ayah, suami, atau saudaranya) dibunuh di depan mata, tanahnya dirampas, dan permukiman mereka dikurung dalam tembok laksana penjara raksasa. Apalagi, peristiwa biadab itu berlangsung terus-menerus sejak 1940-an, yang ironisnya dilakukan di depan mata dan hidung dunia internasional yang mengaku beradab.

Juga jika bom bunuh diri itu dilakukan orang di Irak atau kawasan Timur Tengah lainnya, di mana politik Barat, khususnya Amerika, di kawasan itu memang sangat vulgar. Jika di negara-negara atau kawasan lain, intervensi politik dan ekonomi Barat dilakukan dengan "halus", di bawah permukaan, dan bersifat rahasia, maka di Irak invasi Amerika dilakukan tanpa tedeng aling-aling dan vulgar. Sebelum serangan di bawah payung PBB yang sekarang ini, berapa kali, misalnya, Amerika mengebom Libya dengan sewenang-wenang?

Lantas, pertanyaannya, apa alasan bom bunuh diri di negeri ini sekarang ini? Atau dengan kata lain, manakala itu semua digerakkan oleh suatu ideologi, maka "genre" ideologi macam apa ini? Jika itu sebuah gerakan (harakah), maka itu gerakan jenis apa? Dan, jika di balik aksi-aksi itu ada aktor intelektual sebagai pemimpinnya, maka kira-kira seperti apa orangnya dan kayak apa muslihat atau "karisma"-nya?

Pertanyaan-pertanyaan itu relevan, apalagi karena disinyalir akhir-akhir ini marak kembali gerakan radikal semacam NII dengan genre baru. Beberapa mahasiswi dan karyawati pun sudah ada yang kena dan masuk dalam gerakan ini. Sangat menarik untuk mengetahui bagaimana mereka bisa diindroktrinasi sehingga sampai pada kesimpulan bahwa gerakan NII-lah yang akan menjadi satu-satunya solusi atas problem akut bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, serta carut-marutnya semua persoalan bangsa dan negara sekarang ini. NII seakan-akan bisa menjadi obat mujarab, cespleng, dan tombo teko loro lungo!

Gerakan ini terkait erat dan organis dengan faktor-faktor yang multidimensional dan kompleks. Saya khawatir, fenomena ini semacam gerakan mesianisme atau milenarianisme, sebagaimana dulu terjadi pada pemberontakan radikal petani (lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, 1984).

Saking putus asa karena tertindas, mereka menganut kepercayaan yang isinya mengharapkan kedatangan Ratu Adil yang dipercaya segera turun ke dunia ini untuk menyelesaikan berbagai macam kesulitan hidup menuju zaman keemasan. Gerakan semacam ini ada di seluruh dunia secara universal jika masyarakat mengalami keputusasaan yang meluas dan berkepanjangan akibat kemiskinan dan beban kehidupan yang berat.

Jika demikian halnya, maka deradikalisasi macam apa yang bisa dilakukan? Manakala fenomena ketidakpuasan sosial, bahkan frustrasi sosial, yang diakibatkan beratnya tekanan kehidupan dan kemiskinan semakin meluas seperti sekarang ini, bukankah cara mengatasinya harus juga secara menyeluruh? Wallahua'lam.
 

Hajriyanto Y. Thohari
Wakil Ketua MPR
[PerspektifGatra Nomor 24 Beredar Kamis, 21 April 2011] 

Sunday, May 15, 2011

Ajaran Pancasila Harus Direvitalisasi

http://nasional.kompas.com/read/2011/05/07/04010297/Ajaran.Pancasila.Harus.Direvitalisasi
Sabtu, 7 Mei 2011 | 04:01 WIB



Jakarta, Kompas - Pengajaran Pancasila sebagai dasar negara di dunia pendidikan harus direvitalisasi. Pola indoktrinasi dan penafsiran tunggal oleh negara semasa Orde Baru telah mengerdilkan Pancasila dan membuatnya ditinggalkan sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.


Demikian desakan sejumlah kalangan, Jumat (6/5), tentang dihapuskannya pendidikan Pancasila dari sekolah di semua jenjang pendidikan serta perguruan tinggi. Mereka yang berpendapat, antara lain, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra; Direktur Reform Institute Yudi Latif; Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Budi Susilo Soepandji; anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah; serta sejumlah praktisi pendidikan dan pemimpin organisasi massa.


Azyumardi mengatakan, Pancasila yang dulu menjadi mata kuliah wajib sekarang memang tidak diajarkan lagi di perguruan tinggi. Ini berbahaya karena siswa dan mahasiswa tidak lagi mengenal dasar berbangsa dan bernegara. Mahasiswa bisa tergoda pada ideologi lain, seperti liberalisme, kapitalisme, militerisme, komunisme, kekhalifahan, dan ideologi lain, tanpa mengenal Pancasila.


”Padahal, nilai-nilai Pancasila yang digali dari masyarakat, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, rela berkorban, dan nilai-nilai luhur lain, terbukti efektif menyatukan bangsa ini,” kata Azyumardi.


Memang setelah pengajaran Pancasila dilakukan secara represif oleh Orde Baru, Pancasila memiliki stigma di mata masyarakat. Karena itu, lanjut Azyumardi, diperlukan revitalisasi pengajaran Pancasila di semua jenjang pendidikan.


”Pengajaran Pancasila perlu dikontekskan dengan kondisi kekinian serta dibandingkan dengan ideologi-ideologi lain untuk membuktikan bahwa Pancasila yang paling cocok untuk Indonesia,” kata Azyumardi.


Yudi Latif mengatakan, Pancasila sebagai dasar pendidikan kewarganegaraan mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersama, multikulturalisme, dan demokrasi berdasarkan musyawarah yang juga menghormati kelompok-kelompok minoritas.


”Pancasila berbeda sekali dengan demokrasi liberal yang tak memberi ruang sedikit pun kepada minoritas. Pancasila mengajarkan moral kolektif sebagai warga negara,” ujar Yudi Latif yang juga penulis buku Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas.


Direktur Program Wahid Institute Rumadi dan Yudi Latif sependapat, negara bukan lagi penafsir tunggal Pancasila. Justru semua kelompok masyarakat seharusnya dilibatkan dalam mewacanakan Pancasila sebagai moralitas hidup berbangsa dan bernegara.


Penghapusan Pancasila dari pelajaran di sekolah juga bukan tindakan tepat. ”Dampak negatifnya bisa kita prediksi,” kata Suryo Susilo, Ketua Forum Silaturahmi Anak Bangsa.


Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah Sabran Achmad tak setuju jika pengajaran Pancasila dihapus.


”Pertikaian antarkelompok dan konflik agama yang sering terjadi saat ini karena nilai Pancasila, seperti kerukunan dan toleransi, ditinggalkan masyarakat. Sekarang malah pendidikan Pancasila dihapus,” kata Sabran.


Akan dirombak
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang berlaku saat ini akan diubah karena memunculkan interpretasi dan pemahaman yang berbeda-beda di setiap sekolah. Interpretasi berbeda juga terjadi untuk mata pelajaran Kewarganegaraan yang di dalamnya masih mengulas nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan RI.


Untuk itu, pemerintah berencana merombak kurikulum dengan mengambil alih empat mata pelajaran, yakni Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika. ”Keempat pelajaran itu itu adalah perekat sekaligus menjadi identitas nasional kebangsaan,” ujar Nuh.


Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji menegaskan, ideologi Pancasila bukan sekadar hafalan dan indoktrinasi. ”Lemhannas sedang merumuskan bagaimana mengajarkan Pancasila secara praktik di lingkungan kerja, permukiman, dan pendidikan,” kata Budi.


Anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah, menilai cara penyampaian materi Pendidikan Kewarganegaraan yang tidak disertai keteladanan akan menimbulkan sinisme dari siswa.


Direktur Sekolah Islam Dian Didaktika Murti Sabarini juga menegaskan, guru dan pimpinan negara harus memberikan keteladanan. ”Teori sesempurna apa pun tidak akan bisa dipahami murid jika tidak disertai keteladanan,” ungkap Sabarini.


Pengurus Yayasan Sekolah Islam Harapan Ibu, Sulastomo, mengatakan, nilai dan budi pekerti merupakan sesuatu yang abstrak sehingga tidak bisa dihafalkan.


”Harus diimplementasikan melalui pembiasaan dengan contoh nyata dan keteladanan,” tutur Sulastomo.(BIL/ABK/LUK/ ONG/NDY/BAY/THY)

Pendidikan Pancasila Dihapus, Nilai-nilai Moral Pupus?

http://kocomripat.wordpress.com/2011/05/07/pendidikan-pancasila-dihapus-nilai-nilai-moral-pupus/


Tanpa permisi dan basa-basi.. pagi-pagi sudah bikin emosi.. pertanyakan nilai-nilai toleransi.. di tengah gempuran radikalisasi.. tiga kata mengundang banyak reaksi.. “Ayo baca beritanya. Jgn cuma kejebak headline” begitu kata Pandji Pragiwaksono dalam twitternya. Headline surat kabar nasional ini benar-benar menimbulkan keresahan, mengundang pertanyaan sekaligus penasaran, karena ternyata berita hanya dimuat dalam versi cetak, tak tersedia versi digitalnya, kalaupun ada ternyata harus berlangganan.
Oke.. Koran kini sudah di tangan, hasil nitip teman kantor yang keluar cari cemilan. Saya akan share beberapa paragraf dalam artikelnya..
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman utama)
Pendidikan pancasila dihapus
Nilai-nilai toleransi ditinggalkan
Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama.
Oke.. sampai di sini dulu. See..?? kita ga akan tahu permasalahan kalau hanya membaca 3-4 kata tanpa mengetahui lebih dalam isinya. Dari paragraf pertama saja kita sudah mendapatkan konten yang berbeda dengan judul. Bukan berarti judul tidak sesuai dengan kontennya, hanya saja terkadang judul itu bisa menipu, mengecoh, karena judul memang difungsikan untuk menarik perhatian, membuat penasaran, bahkan memainkan emosi pembacanya.
Penjelasan yang bisa kita peroleh dari paragraf pertama adalah mengenai pergantian judul mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan saja. Loh.. itu kan sama saja dengan Pendidikan Pancasila dihapus! Belum tentu juga, siapa tahu penanaman nilai-nilai Pancasila tetap disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ah, mana bisa?! Nanti, deh.. kita cek kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai SMA. Saya sudah download tadi, semoga saja infonya update :grin:
Saya merasa ada sedikit keanehan kelucuan di sini.
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman 15)
Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sindung Tjahyadi mengatakan, penghapusan Pendidikan Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi bangsa terkesan disengaja karena dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) memang tidak ada tentang kurikulum pancasila.
“Karena UU Sisdiknas tak mencantumkan Pancasila dalam kurikulum, sekolah atau perguruan tinggi tak berani mengajarkan hal tersebut. Dengan kebijakan ini, pemerintah sendiri yang sebenarnya justru mengabaikan nilai-nilai Pancasila,” ungkapnya.
Yang aneh adalah.. sistem pendidikan tersebut diatur dalam UU tahun 2003, berarti sebelum tahun 2003 itu tidak ada “pengaturan” tentang kurikulum Pancasila. Dengan kata lain, kalau dulu ada mata pelajaran bernama Pendidikan Moral Pancasila, berarti ada UU yg mengatur kurikulum Pendidikan Pancasila dong, kan pelajarannya boleh beredar, berarti memang disertakan dalam kurikulum. (FYI: perubahan nama mata pelajaran mulai dari PMP-PPKn-PKn).
Pertanyaan lanjutannya, kenapa mulai tahun 2003 tidak diberlakukan kembali kurikulum Pendidikan Pancasila..??? Adakah yang salah dengan kurikulum tersebut? Oh, ada 1 lagi.. Kalau ga salah, perubahan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganeraan itu sudah dimulai sekitar tahun 2006 (googling), dan sekarang tahun 2011. Correct me if I’m wrong.. So.. kenapa sekarang baru diributkan? Apakah karena momennya pas dengan isu radikalisasi yang belakangan jadi santer diberitakan?
Yang menarik dari artikel ini sebenarnya lebih pada opini masing-masing pihak yang terkait. Coba, deh, simak tulisan yang saya kutip dari Kompas ini:
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman utama & 15)
Sejumlah guru di beberapa daerah, Kamis (5/5), mengatakan, kini sangat sulit menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong-royong, dan toleransi beragama kepada murid-murid karena pelajaran Kewarganegaraan lebih menekankan aspek wacana dan hafalan.
“Sesuai kurikulum, materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Sedikit peluang penanaman nilai dan pembentukan moral anak,” kata Kepala SMAN 1 Lawa, Muna, Sulawesi Tenggara, La Ose.
“Pendidikan karakter yang dibebankan kepada guru tak akan efektif karena kurikulum yang ada tidak aplikatif,” kata Kepala SMA Pembangunan Yogyakarta Maruli Taufik.
Di sisi lain, guru sulit menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme karena sulit mencari teladan atau contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ini.. ini.. yang bikin saya ngakak sekaligus prihatin. Bukan.. saya bukan prihatin karena menurut tulisan tersebut (entah itu opini dari guru atau dari editor) sulit mencari teladan yang nyata. Saya prihatin karena mereka tidak dapat melihat sekitarnya dengan mata dan hati yang terbuka. Teladan atau contoh nyata yang menggambarkan sifat nasionalis atau patriotis, sulitkah??? Seberat itukah makna nasionalisme dan patriotisme? Saya rasa tidak. Kenapa, sih harus mempersulit diri dan mempersempit sudut pandang?
Sudah pernah mendengar nama @JalinMerapi ? Relawan yang berjuang saat bencana erupsi gunung merapi melanda beberapa bulan lalu. Atau sudahkah mereka mendengar tentang @IndonesiaMengajar ? Kumpulan mahasiswa fresh graduate yang mengabdikan diri untuk mengajar di pedalaman. Dan banyak tokoh-tokoh modern yang sebenarnya bisa mereka jadikan sebagai teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Apakah untuk menjadi teladan harus memegang bambu runcing dan maju ke medan perang dahulu? Nasionalisme dan patriotisme tak sesempit itu. Orang-orang yang berkarya dan menciptakan perubahan yang lebih baik untuk bangsa ini juga patut dijadikan teladan. Come on.. era sudah berganti, jangan mengerdilkan sudut pandang.
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman 15)
Guru pendidikan kewarganegaraan SMA Negri 1 Palembang, Sumatera Selatan, Maimun, menuturkan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diberlakukan sebelum tahun 2004 lebih berorientasi pada penanaman nilai-nilai kebangsaan, kerukunan, dan keutuhan bangsa. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan saat ini lebih menekankan agar warga Negara menjadi patuh dan taat hukum,” kata Maimun.
Kondisi ini, menurut guru pendidikan kewarganegaraan SMAN 10 Medan, Sumatera Utara, Derry Marpaung, menyebabkan lunturnya semangat kebangsaan pada para pelajar, terutama berkurangnya kecintaan terhadap bangsa dan kepedulian sosial.
Well.. sebenarnya jika melihat fokus yang ditekankan saat ini, sih, ga salah juga. Mengajarkan siswa untuk patuh dan taat hukum bukan sesuatu yang salah, kan? Mungkin yang dikhawatirkan adalah hilangnya kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai pancasila dalam proses belajar mengajar. Oke.. saya cukup memaklumi hal ini, meski saya bukan guru atau mahasiswa jurusan pendidikan.
Tadi sore saya pinjam buku paket sepupu saya yang kelas 6 SD. Covernya, sih, cukup catchy, menarik, fullcolor, dan mencerminkan keragaman budaya gitu. Tapi… begitu baca daftar isinya, mata saya langsung melotot, jantung saya serasa mau copot :mrgreen:
Dari 6 Bab yang disajikan, hanya Bab pertama yang membahas tentang Pancasila, itupun juga lebih pada proses perumusannya, bukan nilai-nilainya. Fine.. mungkin ini karena buku untuk kelas 6, sudah sepatutnya jenjang yang lebih tinggi mendapat materi yang lebih rumit juga, kan? Tapi, koq saya tetap kurang rela, mengingat apa yang dulu saya dapatkan waktu duduk di bangku sekolah dasar tak serumit sekarang. Ah, ini mah emang karena dasarnya males belajar yang sulit aja.. haha.. enggak, bener, deh.. coba bandingkan sama pelajaran PPKN yang saya dapat waktu kelas 5 SD dulu.
Tadi sore ngubek-ngubek laci buffet dan nemu buku ini, PPKN kelas 5 SD. Mau nyari yang kelas lain ternyata Cuma nemu yang ini, ada juga buku Bahasa Indonesia, Agama, sama IPA. Saya memang masih nyimpen beberapa buku pelajaran SD, sebagian banyak yang hilang, biasanya karena dipinjemin ke tetangga yang juga adik kelas saya.
Dibandingkan dengan materi pelajaran PPKN saya waktu kelas 5 SD ini, wah.. jauh bangeeett… Materi pelajaran yang saya dapatkan waktu itu benar-benar “menguliti” Pancasila. Gimana enggak, kalo selama 3 Catur Wulan (waktu itu masih belum jaman semester) yang dibahas ya tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Mulai dari ketaatan, kebebasan, tenggang rasa, percaya diri, ketertiban, tolong-menolong, sampai tentang kepahlawanan. Dan.. believe it or not, masing-masing Bab cuma berisi materi sebanyak 3-5 halaman, 2 halaman berikutnya adalah soal dan ilustrasi gambar. Ukuran fontnya juga lumayan gede, jadi materinya ga kebanyakan. Waktu itu rasanya guru lebih banyak menjelaskan dan berbicara dengan murid daripada menyuruh muridnya membaca dan mengerjakan soal.
Entah kenapa, apa mungkin karena PPKN adalah pelajaran favorit saya selain kesenian, Bahasa Indonesia dan IPA. Tapi rasanya waktu itu belajar PPKN menyenangkan sekali. Saya suka membaca setiap materi dalam Babnya, belum lagi kalau ada ceritanya, kadang di rumah suka saya baca lagi, mengulang pelajaran di sekolah atau membaca lanjutannya. Ada 1 lagi yang membuat saya betah baca buku ini. Ilustrasi di bagian akhir materi per Babnya itu selalu menarik perhatian saya. Honestly, ilustrasinya memang tidak sekeren ilustrasi2 yang sekarang, baru berupa goresan2 kasar hitam putih, tapi saya suka sekali melihatnya. Rasanya materi yang disajikan waktu itu benar-benar mengena dan membekas sampai saya beranjak tua dewasa sekarang.. :mrgreen:
Ilustrasi dlm buku PPKn kls 5 SD
Okee… sekarang kita beralih kembali pada opini pihak lain dalam artikel surat kabar hari ini.
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman 15)
S. Hamid Hasan, Ketua Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, mengatakan, dalam kurikulum saat ini pendidikan dan penanaman nilai baik-buruk atau nilai kebangsaan tidak diberi tempat utama. “Akibatnya, guru cuma menekankan semua mata pelajaran sebagai pengetahuan saja, tidak menekankan pada aspek pembangunan karakter,” ujar Guru Besar Universitas Pendidikan Bandung ini.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Mungin Eddy Wibowo, mengatakan, nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah termuat dalam kurikulum pendidikan nasional sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. “Namun, pemahaman guru masih terbatas pada tekstual dan belum sampai pada kontekstual,” ungkapnya.
Padahal, dalam kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini, kata Mungin, peran guru sangat penting, terutama untuk merancang kurikulum sekolah yang lebih mengarah pada pembentukan karakter peserta didik.
“Jika guru tak mampu menerjemahkan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan dengan contoh konkret, peserta didik akan kesulitan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Wow.. apakah Anda merasakan hal yang sama dengan saya? Kenapa ini jadinya pihak guru dan pengembang kurikulum terkesan saling lempar kesalahan, ya? Sudah.. sudah.. Pak, Buk.. ngopi dulu sambil ngobrol santai, yuk.. Rupanya perlu ada sinkronisasi antara kedua belah pihak, sekedar membentuk sinergi agar bisa sejalan dan seiya-sekata ;)
Tapi.. tunggu deh, kata Pak Mungin tadi, nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah termuat dalam kurikulum pendidikan nasional sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, lha terus yang dimuat dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang tidak adanya kurikulum pendidikan Pancasila dalam sistem pendidikan nasional itu gimana maksudnya, Pak? Maaf.. saya benar-benar awam, yang dimaksud nilai-nilai Pancasila dan Pendidikan Pancasila ini beda, ya, Pak?
Oke.. untuk sekedar merefresh (semoga bener2 bisa refresh, ga tambah puyeng) mari kita lihat Kurikulum Mata Pelajaran PKn mulai dari SD s/d SMA ini.. (saya sebutkan point “Standar Kompetensi”nya saja, ya)
Kelas I: Kerukunan, Ketertiban, Hak dan kewajiban di sekolah.
Kelas II: Gotong royong-Cinta lingkungan-Sikap demokratis (musyawarah, suara mayoritas)-Nilai-nilai Pancasila (kejujuran, kedisiplinan, dan senang bekerja).
Kelas III: Makna Sumpah Pemuda, Norma masyarakat, Harga diri, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Kelas IV: Sistem pemerintahan desa dan kecamatan, Sistem pemerintahan kabupaten, kota, dan provinsi, Sistem pemerintahan tingkat pusat, Globalisasi lingkungan.
Kelas V: Keutuhan NKRI-Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat dan daerah-Kebebasan berorganisasi-Menghargai keputusan bersama.
Kelas VI: Nilai-nilai juang dlm proses perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara-Sistem pemerintahan Republik Indonesia-Peran Indonesia dalam lingkungan negara-negara di Asia Tenggara-Peranan politik luar negeri Indonesia dalam era globalisasi.
Kelas VII: Norma-norma bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara-Makna Proklamasi Kemerdekaan dan konstitusi pertama-Penegakan HAM-Kebebasan berpendapat
Kelas VIII: Perilaku sesuai nilai-nilai Pancasila-Konstitusi di Indonesia-Perundang-undangan nasional-Pelaksanaan demokrasi dlm berbagai aspek kehidupan-Kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan
Kelas IX: Pembelaan Negara-Otonomi daerah-Dampak globalisasi-Prestasi diri untuk bangsa
Kelas X: Hakikat bangsa dan NKRI-Sistem hukum dan peradilan nasional-Penegakan HAM-Hubungan dasar negara dengan konstitusi-Persamaan kedudukan warga Negara-Sistem politik di Indonesia
Kelas XI: Budaya politik di Indonesia-Budaya demokrasi masyarakat madani-Keterbukaan dan keadilan berbangsa dan bernegara-Hubungan internasional dan organisasi internasional-Sistem hukum dan peradilan internasional
Kelas XII: Pancasila sebagai ideologi terbuka-Berbagai sistem pemerintahan-Peranan pers dalam demokrasi-Evaluasi dampak globalisasi
Bagaimana..?? sudah fresh apa tambah ngantuk? Saya yang jadi mulai ngantuk ini, sekarang jam menunjukkan pukul 00:42 Waktu Nulis Malam2 Sebelum Diposting :grin:
Well.. kalau dicemati dari standar kompetensi kurikulumnya, sih.. porsi nilai-nilai Pancasila memang tak sebanyak jaman saya SD dulu (kelahiran ’85 tunjuk kaki!). Kurikulum kini lebih fokus pada kewarganegaraan, yaiyalah.. wong judulnya memang Pendidikan Kewarganegaraan, hehe.. Materi yang sekarang lebih bisa membuat anak muda jadi “melek politik”. Saya rasa, sih, itu cukup bagus, mengingat bangsa kita memang sedang “lucu-lucunya” (ibarat bayi) dalam membangun demokrasi. Dan memang, sesuai perkembangan era, anak muda memang dituntut untuk lebih mengetahui seluk beluk Negara dan pemerintahan. Sebenarnya saya lebih suka kalau jenjang sekolah dasar diberikan materi tentang nilai-nilai Pancasila saja, baru nanti waktu SMP mulai diajarkan tentang kewarganegaraan dan sistem pemerintahan. Tapi mungkin pemerintah dan para pengembang kurikulum merasa perlu mengenalkan pendidikan tersebut sejak jenjang dasar. Hmm.. tak apalah, toh nilai-nilai Pancasila masih tetap disisipkan, meski memang tidak sedetail 10 tahunan yang lalu. Yah.. pinter-pinternya para pendidik aja untuk mencari celah.. Dan.. tentunya tanggung jawab tidak hanya dibebankan pada pendidik, melainkan juga keluarga. Saling support lah.. ;)
Ada atau tidaknya Pendidikan Pancasila dalam kurikulum tak berhak menyurutkan semangat kita untuk mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang terangkum di dalamnya. Tak ada di kurikulum, lantas tak berani mengajarkannya? Kenapa harus takut untuk mengajarkan kebaikan? Bukankah pancasila itu mengandung nilai-nilai kebaikan?
Tak ada di kurikulum juga bukan berarti hilang begitu saja dari materi ajar, kan? Setiap guru bisa menyisipkan nilai-nilai Pancasila di sela-sela materi yang diajarkannya. Tak perlu memiliki nama mata pelajaran tertentu jika memang tak dikehendaki dalam kurikulum, tak perlu bubuhkan nilai dalam raport jika tak tersedia kolom kosong, karena nilai yang baik pun belum menjamin pemahaman siswa. Yang penting siswa mengerti dan mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Judul boleh ganti.. tapi Pancasila tetap di hati.. ;)