Thursday, May 19, 2011

Aksi Bom dan Deradikalisasi

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147881

Kadang terasa getir di hati kita mengikuti aksi-aksi terorisme kontemporer --apa pun dan di mana pun-- selalu saja dikaitkan dengan Islam atau gerakan Islam. Setidaknya kata "Islam" selalu terbawa-bawa (atau sengaja dibawa-bawa), baik oleh mereka yang menuduh maupun yang dituduh sebagai pelaku. Lihat saja, ketika terjadi peristiwa pengeboman WTC 9/11 dan Stasiun Kereta Api Madrid, Spanyol, belum genap lima jam, para analis langsung menyatakan bahwa ini pasti Islam.

Di Indonesia, ketika bom meledak di gereja, pasti orang berspekulasi bahwa pelakunya Islam. Tetapi, heran, ketika bom meledak di masjid Polres Cirebon, pelakunya kok juga dikatakan Islam. Bahkan, ketika paket bom dikirim ke berbagai sasaran yang cenderung meluas dan tanpa pola sepanjang Maret-April 2011, ada juga spekulasi bahwa itu dilakukan gerakan lama ekstremis Islam. Maka, tidak mengherankan (dan jangan ketawa) jika bom di gereja dalam film yang berjudul Tanda Tanya (?) karya Hanung Bramantyo pun, ternyata pelakunya Islam. Pahit, memang!

Tidak syak lagi bahwa "gerakan Islam" kini menjadi satu-satunya pelaku bom dan pengebom bunuh diri (suicide bomber) di dunia. Pada masa lalu yang tidak terlalu jauh, masih ada gerakan radikal Irish di Irlandia, ekstremis Hindu dan Sikh di India yang mengebom Perdana Menteri Rajiv Gandhi, atau Macan Tamil di Sri Lanka yang juga sangat dikenal sering melakukan bom bunuh diri.

Sekarang gerakan-gerakan itu telah mereda. Tinggallah para pengebom yang beraksi dengan mengatasnamakan atau membawa-bawa Islam. Indonesia, yang sejak dulu dikenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharjo, beberapa warsa setelah reformasi, mulai marak ketularan aksi terorisme.

Jika di Palestina, orang masih paham mengapa mereka --termasuk kaum perempuan seperti yang digambarkan Barbara Victor dalam Army of Roses (1986)-- melakukan bom bunuh diri: frustasi yang luar biasa atas penindasan HAM Israel atas bangsanya. Bisa dibayangkan, hampir setiap hari ada orang Palestina (ayah, suami, atau saudaranya) dibunuh di depan mata, tanahnya dirampas, dan permukiman mereka dikurung dalam tembok laksana penjara raksasa. Apalagi, peristiwa biadab itu berlangsung terus-menerus sejak 1940-an, yang ironisnya dilakukan di depan mata dan hidung dunia internasional yang mengaku beradab.

Juga jika bom bunuh diri itu dilakukan orang di Irak atau kawasan Timur Tengah lainnya, di mana politik Barat, khususnya Amerika, di kawasan itu memang sangat vulgar. Jika di negara-negara atau kawasan lain, intervensi politik dan ekonomi Barat dilakukan dengan "halus", di bawah permukaan, dan bersifat rahasia, maka di Irak invasi Amerika dilakukan tanpa tedeng aling-aling dan vulgar. Sebelum serangan di bawah payung PBB yang sekarang ini, berapa kali, misalnya, Amerika mengebom Libya dengan sewenang-wenang?

Lantas, pertanyaannya, apa alasan bom bunuh diri di negeri ini sekarang ini? Atau dengan kata lain, manakala itu semua digerakkan oleh suatu ideologi, maka "genre" ideologi macam apa ini? Jika itu sebuah gerakan (harakah), maka itu gerakan jenis apa? Dan, jika di balik aksi-aksi itu ada aktor intelektual sebagai pemimpinnya, maka kira-kira seperti apa orangnya dan kayak apa muslihat atau "karisma"-nya?

Pertanyaan-pertanyaan itu relevan, apalagi karena disinyalir akhir-akhir ini marak kembali gerakan radikal semacam NII dengan genre baru. Beberapa mahasiswi dan karyawati pun sudah ada yang kena dan masuk dalam gerakan ini. Sangat menarik untuk mengetahui bagaimana mereka bisa diindroktrinasi sehingga sampai pada kesimpulan bahwa gerakan NII-lah yang akan menjadi satu-satunya solusi atas problem akut bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, serta carut-marutnya semua persoalan bangsa dan negara sekarang ini. NII seakan-akan bisa menjadi obat mujarab, cespleng, dan tombo teko loro lungo!

Gerakan ini terkait erat dan organis dengan faktor-faktor yang multidimensional dan kompleks. Saya khawatir, fenomena ini semacam gerakan mesianisme atau milenarianisme, sebagaimana dulu terjadi pada pemberontakan radikal petani (lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, 1984).

Saking putus asa karena tertindas, mereka menganut kepercayaan yang isinya mengharapkan kedatangan Ratu Adil yang dipercaya segera turun ke dunia ini untuk menyelesaikan berbagai macam kesulitan hidup menuju zaman keemasan. Gerakan semacam ini ada di seluruh dunia secara universal jika masyarakat mengalami keputusasaan yang meluas dan berkepanjangan akibat kemiskinan dan beban kehidupan yang berat.

Jika demikian halnya, maka deradikalisasi macam apa yang bisa dilakukan? Manakala fenomena ketidakpuasan sosial, bahkan frustrasi sosial, yang diakibatkan beratnya tekanan kehidupan dan kemiskinan semakin meluas seperti sekarang ini, bukankah cara mengatasinya harus juga secara menyeluruh? Wallahua'lam.
 

Hajriyanto Y. Thohari
Wakil Ketua MPR
[PerspektifGatra Nomor 24 Beredar Kamis, 21 April 2011] 

No comments:

Post a Comment