Monday, December 17, 2012

Setara Institute: Seiring dengan Demokrasi, Intoleransi Meningkat

http://jaringnews.com/keadilan/umum/30108/setara-institute-seiring-dengan-demokrasi-intoleransi-meningkat
Novel Martinus Sinaga

Konferensi pers Setara Institute di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, 17 Desember 2012. (Jaringnews/Novel Martinus)


Terdapat 264 peristiwa pelanggaran kebebasan/berkeyakinan serta 371 tindakan pelanggaran dalam perspektif HAM.
JAKARTA, Jaringnews.com - Setara Institute dalam laporan mengenai kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2012 mengemukakan, praktik intoleransi, diskriminatif dan kekerasan masih terus terjadi. Bahkan, tahun ini terjadi peningkatan..

Dalam laporan per 15 Desember 2012 tersebut, Setara mencatat, terdapat 264 peristiwa pelanggaran kebebasan/berkeyakinan serta 371 tindakan pelanggaran dalam perspektif HAM yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir.

"Peningkatan jumlah peristiwa dan tindakan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terlihat meningkat dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Terdapat peningkatan dalam jumlah peristiwa dan tindakan yang terjadi," ujar Wakil Ketua Setara Institute, Tigor Naipospos, dalam konferensi pers yang digelar Setara di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (17/12).

Adapun temuan tahun 2012 tersebut mengalami peningkatan cukup signifikan. Tahun 2011, terjadi 144 peristiwa dan 299 tindakan intoleransi. Tahun 2010, ada 216 peristiwa dan 286 tindakan. Kemudian berturut-turut 200 peristiwa dan 291 tindakan di 2009, 265 peristiwa dan 367 tindakan di 2008, serta 135 peristiwa dan 185 tindakan.

Sekedar catatan, laporan pemantauan ini membagi empat kategori tindakan pelanggaran, subjek hukum dan pertanggungjawaban. Pertama, tindakan aktif negara (by cimission). Kedua, Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by ommision). Ketiga, tindakan kriminal warga negara. Keempat, tindakan intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat.

KPAI Desak Pemerintah Atasi Radikalisme Agama di Sekolah

http://www.voaindonesia.com/content/kpai-desak-pemerintah-atasi-radikalisme-agama-di-sekolah/1564744.html

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah untuk menindak tegas sekolah yang mengajarkan fanatisme dan radikalisme agama.


JAKARTA — Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi mengatakan sejumlah sekolah telah mengajarkan intoleransi dan mengarahkan siswa untuk memiliki fanatisme terhadap ajaran agama tertentu.

Kepada VOA Jumat (14/12), Badriyah mengatakan bahwa indoktrinasi semacam itu sudah berjalan melalui kegiatan yang sistematis di sejumlah lembaga pendidikan, dan akan berbahaya jika dibiarkan.

Anak, menurut Badriyah, sangat rawan menjadi korban indoktrinasi dan juga rentan untuk meneruskan tradisi intoleransi.  Ia menambahkan kurikulum pendidikan harus betul-betul memiliki muatan yang mengajarkan toleransi.

“Radikalisme di sekolah itu terjadi dari level yang paling dini sampai level perguruan tinggi, antara lain melalui proses indoktrinasi bahwa yang lain yang tidak sama seperti kita adalah musuh kita, boleh kita serang, boleh kita perangi,” ujar Badriyah.

“Bahkan kami mendapatkan pengaduan dari guru TK di Depok, yang kemudian ayahnya mengeluarkan anaknya dari TK tersebut, karena anaknya pulang mengatakan bahwa ‘Oh, itu berbeda agamanya dengan kita, berarti dia boleh dibunuh’.”

Badriyah mengatakan kasus indoktrinasi seperti itu juga dapat terjadi melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan yang ada di sekolah.

Sebelumnya, hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian selama Oktober 2010 hingga Januari 2011 menunjukkan bahwa 49 persen siswa di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi) cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral.

Survei ini dilakukan terhadap 1.000 siswa dari 100 sekolah menengah pertama dan atas di Jabodetabek.

Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian Bambang Pranowo mengungkapkan paham radikal bisa masuk ke sekolah dengan berbagai cara, seperti kegiatan ekstrakurikuler.

“Ada kegiatan yang memanggil orang dari luar untuk memberikan materi, ceramah mengenai ideologi seperti NII (Negara Islam Indonesia) secara meyakinkan,” ujar Bambang.

Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ibnu Hamad mengatakan para kepala sekolah harus dapat mengontrol setiap kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti siswa, apalagi kalau kegiatan tersebut memanggil pihak dari luar.

Khawatir dengan kondisi di sekolah tersebut, tokoh agama Romo Franz Magnis Suseno mengatakan pendidikan ke arah toleransi harus dimulai.

“Di situ ada dua poin yang penting. Yang pertama bahwa toleransi bukan berarti mengatakan semua keyakinan sama dan sebagainya. Dan yang kedua, belajar menerima bahwa orang dengan keyakinan yang berbeda. Nah yang dua hal itu yang harus diajarkan pada anak [sejak] kecil,” ujarnya.

Thursday, December 6, 2012

The Challenges of Homogeneity in Pluralistic Indonesia

http://www.thejakartaglobe.com/talkback/the-challenges-of-homogeneity-in-pluralistic-indonesia/559939
December 06, 2012 | by Daniel Alan Bey

Dede, a member of the Baduy tribe, sits on a natural root bridge after a long barefoot trek in this November 2011 file photo. The Baduy, with their traditional faith Sunda Wiwitan, is among Indonesian traditional communities not allowed to put their non-mainstream beliefs on ID cards. (JG Photo/Emily Johnson)

Dede, a member of the Baduy tribe, sits on a natural root bridge after a long barefoot trek in this November 2011 file photo. The Baduy, with their traditional faith Sunda Wiwitan, is among Indonesian traditional communities not allowed to put their non-mainstream beliefs on ID cards. (JG Photo/Emily Johnson)

The Nation is a product of popular, unified consciousness – consciousness which is constructed through narrative – which in turn constructs ideology: National ideology. 

The Nation is not natural. It is not simply "there." It is an abstraction transformed into an object which appears natural. Indeed, to quote the historian Benedict Anderson, the nation is an imagined community of people, imagined through national myth, historical narrative and ideology.

The Nation is perhaps best understood through the concept of "the people," a generalized consolidation of the multiple wills inherent within The Nation, or as Michael Hardt and Antonio Negri have defined these multiple wills, "the multitude." 

Indeed, for Hardt and Negri, the concept of "the people" is very different to that of "the multitude." While the former appears as a single will and is realized through homogeneity, best reflected in the acceptance of national sovereignty, the latter is, to quote Hardt and Negri, a "multiplicity… which is not homogeneous or identical with itself and bears an indistinct, inclusive relation to those outside of it." 

This situation is paradoxical and conflicting: On the one hand, "the people" is realized through the crystallization of a single will, while the various wills and actions of "the multitude" directly contradict this generalization.

It is for this reason that every nation must make the multitude into a people. When Sukarno first delivered his Pancasila speech on June 1, 1945, he was acutely aware of the enormous challenges and difficulties the new Indonesian state would face – challenges which still exist today. 

With the fervor of revolution over, the temporary, unified will of the people gave way to the numerous wills of the multitude, and Sukarno – not to mention the other leaders of the new states, such as India's Nehru and Ghana's Nkrumah – was soon confronted with the specific demands of countless tribes and ethnicities. 

These demands, through their plurality and multiplicity, conflicted and continue to conflict with the homogeneity required for the proper functioning of the nation-state, which must repress the multitude and transform it into a single, unified will, the will of the people.

This conflict manifests itself in different ways. First of all, the will of the people is achieved only after a long and difficult struggle, the chief weapons wielded by the state being ideology, which constructs and disciplines the individual, as well as violence, which is used to quell any form of dissent deemed as potentially counter-productive to the process of nation-building. 

The clearest example of this in regards to Indonesia, and the clearest example of the conflicting wills of the multitude, can be found in the histories of East Timor, Aceh and West Papua, all of which rejected national sovereignty and were met with brutal state-violence and force. It would be a mistake to question whether this force was or was not necessary, because without force and violence, the nation-state could not exist. The multitude must be coerced into becoming the people; for this reason, the nation-state is born through violence while its very existence is the continued exercise of such violence.

The recent "National Congress of Faiths to One and Only One God" last month gave around 300 indigenous groups the opportunity to voice their concerns. First and foremost among these concerns was the Indonesian state's failure to recognize their respective traditional religions. This is a perfect example of the multitude's plurality, while it presents the Indonesian state with an uncomfortable reality: The reality that the state has been somewhat ineffective in coercing the multitude into the people. 

Although Sukarno had a deep appreciation for the rich cultural diversity of Indonesia, such appreciation was also balanced with pragmatism. If Indonesia was to become a nation, the people would have to identify first and foremost with the nation, while local beliefs and traditions were promoted only within the dialectic of state nationalism. 

Perhaps that is why Sukarno limited the number of official state religions in Indonesia to just six, a number easier to unite and mold into "the people" than the potentially thousands of traditional beliefs held by Indonesia's diverse population (although, has proven, this unification is still very difficult).
            
Multiplicity, difference and diversity will always stand in opposition to homogeneity, and so the voices of the multitude – represented in Indonesia through the recent "Congress of Faiths" –  will continue to question the state, and in the process, bring the state into question. 

The recent concerns voiced by the indigenous peoples of Indonesia are not concerns unique to Indonesia, however; they are reflective of much of the post-colonial world, where boundaries were constructed in order to resist colonialism and imperialism. These boundaries, however, which manifest themselves in both physical as well as non-physical forms, are largely artificial and often fail to represent an essential or generalized people. It is this conflict which lies at the heart of the post-colonial state: a conflict which, inevitably, leads to crisis.

Saturday, September 22, 2012

Why this man could be good news for 200m Muslims – and everyone else too

http://en.avaaz.org/791/jokowi-jakarta-mayor-indonesia-dirty-politics-prabowo?utm_source=facebook&utm_medium=social_media&utm_content=_left&utm_campaign=indonesia?v=191337120921
by Avaaz Team - posted 21 September 2012 13:11

Governor-elect Joko Widodo gives his remarks in a press conference in Jakarta on 20 September


In the world's fourth most populous country, something is stirring. An up-and-coming "outsider" has been electedgovernor of Indonesia's capital, Jakarta.
It's too early to tell whether Joko Widodo, known as Jokowi, can deliver on his promises. But the fact that his message – of clean politics and religious tolerance – has chimed with so many voters tells us something important. Indonesia's citizens are not only fed up with corruption; they're fed up with the communal hatreds that their leaders have tried to fuel to divide them.
It turns out that in this giant city, as in many places across the world, there's more that brings people together than forces them apart.

Bursting at the seams

Indonesia, the world's most populous Muslim-majority nation, is a young and troubled democracy. Freed from Dutch colonial rule in 1949, the newly independent country experimented with democratic freedoms but moved quickly to authoritarianism under the successive regimes of Sukarno and Suharto. The latter resigned in 1998 following widespread rioting, protests and violence.
Suharto's exit was a vital step forward, but the transition to democracy has not been easy. The military still holds a troubling degree of power; religious and ethnic violence continues to be a problem in a country with over 300 ethnic groups; and corruption and a tired, inflexible bureaucracy is a major brake on Indonesia’s economy – a huge source of frustration for ordinary citizens.
Things in Jakarta are particularly fraught. With 26 million people in the metropolitan area and more than 10 million in the city itself, Jakarta is bursting at the seams. Its streets are gridlockedpublic transport is virtually nonexistent, floods regularly wreak havoc and access to clean water is scarce.

Jokowi – the capital's saviour?

Into the picture comes Jokowi, until recently a relatively unknown mayor and businessman from the Central Javan city of Surakarta. In this small city, Jokowi established a reputation as a clean, down-to-earth problem solver.
Campaigning on the slogan, "Beauty without corruption", Jokowi gradually built a national profile by successfully bringing divided Muslim and Christian communities together, improving conditions for the poor, and strengthening the business, cultural and natural environment of Surakarta.
Now he's determined to bring this well-crafted brand to Jakarta. After securing 43% in the first round of voting in July, he beat the incumbent, Fauzi Bowo, in a second run-off vote this week.

Unity in diversity

Michael Buehler, an expert on Indonesia at Northern Illinois University, says the result largely reflects frustration with Fauzi, who is supported by most of the political establishment. Fauzi has failed to address the city’s huge challenges since he was elected in 2007, and is seen as arrogant and out of touch.
But Jokowi's victory offers a fresh reason for hope. In a country with a long and brutal history of ethnic and religious conflict, he has gone against the grain. After fostering religious harmony in his home city, Jokowichose a Chinese Christian as his running mate for the Jakarta campaign.
His opponents have made dirty and desperate attempts to undermine his growing support by stoking tensions, chiefly directed against the Christian population. But despite surveys showing that the smear campaigns have hurt Jokowi at the edges, most Jakarta residents simply don't care.
This is an incredibly encouraging sign. It shows that enough people have seen through these cheap tricks and have little time for extremism. It underlines what people all over the world really want: clean government, a better standard of living and, quite simply, tolerance and respect between citizens.

A dangerous alliance?

It's not all good news. Jokowi faces huge challenges in delivering on his promises, not least thanks to the entrenched and corrupt bureaucracy he will inherit. More worryingly, he has the backing of a controversial figure: the former general, Prabowo Subianto, whose forces were accused of human rights abuses before the overthrow of Suharto in 1998. Prabowo is now a leading candidate for the 2014 presidential election, and Jokowi is being talked up as his potential running mate.
Many fear a Prabowo victory would signal a return to the bad old authoritarian days. Choosing Jokowi as his running mate would help Prabowo refresh his image as an outsider – despite his firm place within the establishment. While Jokowi would likely go into such a relationship with an agenda for change, there is a risk that he could be co-opted and sidelined. This could pose a great danger to Indonesian democracy.
Those concerns not withstanding, this week's news should still be celebrated. It shows something the Avaaz community has discovered time and again: that the vast majority of people across the world do not support extremism, that most people do not hate – and that whatever a handful of opportunist demagogues would have us think, the world most people want is is a place of peace, honesty and tolerance.
Learn more: Read this excellent briefing by the Global Mail for more on Jokowi's rise and his concerning ties to Prabowo, and learn how the media has spun a fiction about "Muslim Rage" that urgently needs correcting.
Sources: Jakarta Post, Avaaz, Demographia World Urban Areas, Jakarta Globe, Financial Times, Global Mail

Friday, September 21, 2012

Pembatasan agama di dunia meningkat

http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2012/09/120921_religionpractise.shtml
21 September 2012 - 18:20 WIB

Masjid di Istambul


Penduduk di Indonesia, Burma dan Vietnam termasuk yang mengalami pembatasan paling besar terkait kebebasan beragama, menurut sebuah penelitian.
Pembatasan kebebasan beragama ini dilakukan baik oleh pemerintah ataupun masyarakat, seperti terungkap oleh survei Pew Forum, badan penelitian sosial yang berkantor di Washington.
Selain Indonesia dan dua negara tersebut, negara lain yang dikategorikan paling membatasi kebebasan beragama adalah Mesir, Rusia, Bangladesh, Nigeria, India, serta Pakistan.
Secara keseluruhan, Pew Forum mengatakan tiga perempat penduduk dunia tinggal di negara-negara yang membatasi kebebasan beragama.
Pembatasan dalam beragama yang diacu organisasi ini mengacu dari larangan menara masjid di Swiss sampai pada serangan sejumlah kelompok Islam terhadap gereja-gereja.
Pemeluk Kristiani dan Islam merupakan yang paling banyak mengalami tekanan, menurut Pew Forum.
"Pembatasan agama meningkat dan menyebar di dunia antara pertengahan tahun 2009 dan pertengahan 2010," menurut survei 86 halaman itu.

Tiga perempat penduduk dunia

"Karena sebagian dari negara yang melakukan pembatasan paling ketat memiliki penduduk paling padat, tiga perempat penduduk dunia yang berjumlah tujuh miliar tinggal di negara-negara dengan pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat yang memusuhi, naik 70% dibandingkan tahun sebelumnya," lapor survei Pew Forum.
Survei juga menunjukkan bahkan di negara-negara yang dianggap toleran seperti Amerika Serikat dan Swiss, tekanan terhadap penganut agama tertentu juga semakin besar.
Posisi Amerika Serikat naik dari rendah ke moderat dalam periode survei karena adanya sejumlah tahanan yang tidak diizinkan menjalankan ibadah, pembatasan izin tempat ibadah, dan meningkatnya serangan terkait agama.
Serangan terkait agama di Amerika ini termasuk tewasnya 13 orang di Fort Hood, Texas, tahun ini dan gagalnya upaya pemboman Times Square, New York tahun 2010.
Penelitian itu juga menyebutkan pemeluk Kristen mengalami tekanan di 111 negara di seluruh dunia pada tahun 2010, umat Islam di 90 negara, dan Yahudi di 68 negara.
Tekanan terhadap umat Hindu terjadi di 16 negara dan pemeluk Buddha di 15 negara.


Thursday, September 20, 2012

Anies Bawesdan: Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik!!

https://membumikantoleransi.wordpress.com/2012/09/12/anies-bawesdan-ini-soal-tenun-kebangsaan-titik/
September 12, 2012 — Muhammad Hafiz
Oleh: Anies Bawesdan

Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!
Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi.
Janji pertama Republik ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tapi karena diancam saudara sebangsa, maka Republik ini telah ingkar janji.
Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas oleh saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas dimana-mana. Perlindungan minoritas dibahas amat luas.
Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lain.
Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan !
Tenun Kebangsaan itu dirobek dengan diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal.
Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan?
Tidak! Republik ini tidak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya.
Mereka bukan sekadar melanggar hukum tapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan.
Tenun Kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat bhineka. Kebhinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebhinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah !
Tenun kebangsaan ini dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan.
Perajutan tenun inipun belum selesai. Ada proses yang terus menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya.
Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan “warga negara” dan “penganut sebuah agama”.
Perbedaan aliran atau keyakinan tidak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan -bahkan ribuan- tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus, dan belum ada tanda akan selesai minggu depan.
Jadi, di satu sisi, negara tidak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tapi semua adalah warga negara republik yang sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi oleh aturan dan hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan.
Negara memang tidak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Tetapi negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi dialog antar pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apapun boleh, begitu berubah jadi kekerasan maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya.
Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antar penganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antar warga senegara. Dalam menegakkan hukum, negara harus selalu melihat semua pihak semata-mata sebagai warga negara dan hanya berpihak pada aturan di republik ini.
Apalagi aparat keamanan, ia harus hadir untuk melindungi “warga-negara” bukan melindungi “pengikut” keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, maka aparat hadir untuk menangkap “warga-negara” pelaku kekerasan, bukan menangkap “pengikut” keyakinan yang melakukan kekerasan. Pencampuradukan ini salah satu sumber masalah yg harus diurai secara jernih dan dingin.
Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Disini pendidikan berperan penting. Tetapi itu semua tak cukup, dan takkan pernah cukup.
Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Ada saja manusia yang datang untuk merobek. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau “bertarung” menghadapi para perobek itu. 
Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah, bahwa bangsa ini gagah mempesona saat mendirikan negara bhineka tapi lunglai saat mempertahankan negara bhineka.
Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas.
Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan ini efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek, hampir pasti tidak bisa memulihkannya. Tenun yg robek selalu ada bekas, selalu ada cacat.
Ada seribu satu pelanggaraan hukum di republik ini, tapi gejala merebaknya kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk mensejahterakan bangsa semua orang boleh “turun-tangan”, tapi untuk menegakkan hukum hanya aparat yang boleh “turun-tangan”. Jadi saat penegak hukum dibekali senjata itu tujuannya bukan untuk tampil gagah saat upacara, tapi untuk dipakai saat melindungi warga negara, saat menegakkan hukum. Negara harus berani dan menang “bertarung” melawan para perobek itu.
Bahkan saat tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tapi tidak ada kebebasan untuk melakukan kekerasan.
Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya komplit. Jadi begitu ada warga negara yang pilih untuk  melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, maka sikap negara hanya ada satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya saja yang dihukum. Setiap gelintir orang yang terlibat harus dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan!
Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar bahwa memilih kekerasan adalah sama dengan memilih untuk diganjar dengan hukuman yang menjerakan. Ada kepastian konsekuensi.
Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan Negara yang bhineka. Kita bangga dengan mereka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebhinekaan itu secara tanpa syarat? Biarkan kita semua -dan kelak anak cucu kita- bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.
Tulisan dimuat di Harian Kompas, 11 September 2012 Halaman 6 dalam Rubrik Opini

Tak Toleran Itu Melawan Tuhan

http://us.fokus.news.viva.co.id/news/read/345160--memperjuangkan-negara--mengamalkan-islam?fb_action_ids=3535446149807&fb_action_types=og.recommends&fb_source=aggregation&fb_aggregation_id=246965925417366

Melindungi non-Muslim adalah jihad. Musuh adalah mereka yang lalim.

Ismoko Widjaya, Mohammad Adam

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj

VIVAnews - Ada yang istimewa dalam perayaan Idul Fitri 1433 H kali ini. Hari raya itu hanya berselang dua hari dengan perayaan hari ulang tahun Kemerdekaan RI. Pada 67 tahun silam, kala proklamasi kemerdekaan RI dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta, juga terjadi pada suasana Ramadan.

Tentu bukan sebuah kebetulan jika pada perayaan Idul Fitri kali ini mengajak kita memikirkan kembali kehidupan bersama dalam satu bingkai negara Republik Indonesia. Terlebih begitu banyak peristiwa gesekan antar umat beragama, atau meningkatnya intoleransi belakangan ini.
Semua seperti menggugat Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua suku dan agama yang diakui konstitusi. Untuk merenungkan kembali makna kemerdekaan dan tugas umat beragama, khususnya Islam, dalam kehidupan berbangsa,VIVAnews mewawancarai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj, pada Rabu 15 Agustus 2012 lalu di Kantor PBNU, Jakarta Pusat. Berikut petikannya:

Apa pesan Hari Kemerdekaan yang bertepatan Ramadan. Persis saat proklamasi 17 Agustus 1945?Kita bangsa Indonesia juga harus bersyukur karena dulu kita merdeka di bulan puasa hari Jumat. Apa maknanya? Sangat besar maknanya. Kita umat Islam terutama harus betul-betul menjadi taat beribadah sekaligus warga bangsa yang baik. Ketika kita mengamalkan Islam dalam rangka memperkuat negara dan bangsa itu sama dengan ketika kita memperjuangkan negara dalam rangka mengamalkan Islam. Jadi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketika kita membangun kehidupan di dunia itu juga dalam rangka ibadah, kita ibadah pun juga dalam rangka membangun dunia.

Kemerdekaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan seperti apa?Manusia itu subjek dan objek. Sebagai subjek dia adalah khalifatullah, wakil Allah, atau mandataris-Nya. Dimana dia diberikan kebebasan seluas-luasnya membangun dunia ini. Allah menyerahkan bumi ini kepada manusia dan masing-masing punya status yang berbeda-beda. Maka manusia diharuskan melakukan upaya terus menerus sesuai dengan proporsi dan kesempatannya membangun dunia ini.

Tapi sebagai mahluk Tuhan, setiap manusia itu sama. Mulai dari presiden sampai tukang sayur. Sebagai mahluk, objek harus beribadah kepada Tuhan. Memang ada perbedaan di dunia ini, ada yang lebih rendah ada yang lebih tinggi. Tapi manusia dilahirkan sebagai mahluk yang merdeka. Tidak boleh ada perbudakan. Manusia dilarang memperbudak satu sama lain.

Apakah ajaran Islam mengajarkan cinta kasih terhadap sesama manusia?Awal dakwah itu adalah la ilaha ilallah, kita harus menolak selain daripada Allah. Artinya, ketaatan kepada selain Allah itu adalah nisbi dan sangat relatif. Ketaatan yang mutlak dan tanpa ditawar adalah hanya kepada Allah. Kepada sesama manusia kita merdeka. Kepada Allah kita tidak merdeka. Ketika kita berhubungan satu sama lain ada batasan dan aturannya. Hubungan kita dengan Tuhan ya semaunya Tuhan, wong Dia yang menciptakan kita kok. Tuhan perintahkan kita salat lima kali, haji, dan lain-lain itu memang kemauan-Nya. Tapi kalau kita sesama mahluk misalnya saya atasan dan anda bawahan. Jika saya perintah anda maka yang mengatur itu adalah sistem, bukan saya selaku pribadi.

Lantas kenapa ada gejala umat Islam semakin tidak toleran dengan yang lain di sekitarnya?Ya mereka itu menyalahi Islam. Ajaran Islam ini luar biasa, mereka saja yang tidak mengerti. Pemahamannya yang salah atau belum paham. Alquran itu luar biasa. Tidak mungkin di dunia ini hanya satu agama. Seandainya Allah menghendaki semua jadi orang beriman atau mukmin, semua jadi satu agama. Tapi apakah boleh menggunakan kekerasan untuk membuat orang lain beriman? Tidak. Kalau Allah mau dunia ini satu umat, satu bangsa, satu suku, tapi Tuhan kan tidak menghendaki itu.

Jadi dengan keadaan itu ada, bila masih ada orang yang tidak mau toleran berarti melawan kehendak Tuhan. Kalau kita benci dengan orang nonmuslim misalnya, itu melawan Tuhan. Kata nabi, tidak boleh ada permusuhan kecuali terhadap zalimin atau orang yang melanggar hukum.

Peristiwa yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar, bagaimana?Jelas salah.

Muslim yang terpengaruh isu Rohingya lalu melampiaskannya pada kelompok lain, bagaimana?Semua itu salah. Kita orang Islam bakar gereja, salah. Orang Kristen bakar masjid, salah. Orang Islam membunuh orang kristen, salah. Orang Kristen bunuh orang Islam, salah. Jangan lihat agamanya. Lihat kriminalnya. Pokoknya kita tak boleh menganggap orang lain adalah musuh kecuali kepada yang zalim, yang melanggar hukum, pelaku kejahatan, pelaku kriminal. Pembunuh misalnya itu jelas pelaku kriminal, harus dijadikan musuh bersama baik muslim maupun nonmuslim. Koruptor, itu menjadi musuh bersama dan seterusnya.

Indonesia merupakan negara muslim terbesar, apakah perlu merawat keberagaman?Memberi perlindungan terhadap warga masyarakat yang baik-baik tanpa melihat dia muslim atau nonmuslim, itu termasuk jihad. Melindungi orang Kristen yang baik, itu jihad. Kristen minoritas, kita lindungi hidupnya di Indonesia, itu jihad. Memberi perlindungan itu jihad, asal orang itu orang baik-baik. Jadi kita umat Islam wajib melindungi nonmuslim, asal orang itu maksum atau baik atau bukan pelanggar hukum.

Bagaimana caranya?Ya dengan melayani atau mencukupi apa yang dibutuhkan. Kalau kita lebih kaya dan mereka miskin, makan mereka bagaimana itu harus dipikirkan, juga tempat tinggal, pakaian, serta kesehatan. Makanya Shalahuddin Al-Ayyubi melindungi orang Kristen arab, karena kristen arab memang tidak mengajak musuhan. Tapi Kristen romawi yang mengajak perang ya itu yang diperangi.

Jika khazanah peradaban Islam digali, apa yang ideal agar kehidupan lebih ramah ke depan?Agama ini kalau tanpa diintegralkan atau disatukan dengan budaya, bisa bubar. Bisa langgengnya agama itu karena menyatu dengan budaya. Agama sebagai sesuatu yang sakral, datang dari Tuhan, turun dari langit, kepada manusia yang parsial, lemah, terbatas, terikat ruang dan waktu. Oleh karena itu agama harus sesuai dengan kondisi manusia, bukan kondisi Tuhan. Ya dong. Wong agama itu untuk manusia. Jadi agama ya harus sesuai dengan tantangannya manusia. Artinya, harus menyatu dengan budaya manusia.

Ada beberapa ibadah manusia yang menjadi kehendak Tuhan seperti salat, haji, lempar jumrah dan lain-lain. Tapi sisanya agama itu soal sosial atau kemasyarakatan, ada zakat, berhubungan baik dengan sesama manusia, tidak boleh sombong, tidak boleh dengki, dan lain-lain. Itu semua demi kehidupan manusia di dunia ini.

Apakah sekarang ini agama tidak menyatu dengan budaya?Ada beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia itu mereka bukan lakukan Islamisasi, tapi Arabisasi. Ada lagi yang sangat rigid, sulit, memberatkan: tidak boleh lihat perempuan misalnya. Kita ini yang tidak bisa kita capai dengan sempurna ya apa adanya saja kita lakukan. Hidup ini biar mengalir saja, hayati saja, tetap giat bekerja.(np)

Tuesday, August 28, 2012

Mereka sibuk menghitung langkah ayam [reportase kasus Syiah, Sampang]

http://rusdimathari.wordpress.com/2012/08/27/mereka-sibuk-menghitung-langkah-ayam-reportase-kasus-syiah-sampang/
Posted on  by rusdi mathari


Gambar diambil tanpa izin dari cartoonstock.com

Januari silam, saya mendatangi Karang Gayam dan Bluuran, Sampang, Jawa Timur untuk mencari tahu penyebab konflik Syiah-Sunni menyusul pembakaran rumah-rumah orang-orang Syiah dan pengusiran mereka. Inilah hasil reportase dan wawancara saya dengan sejumlah tokoh, kiai, pejabat Pemda Sampang, yang mudah-mudahan bisa membantu menjelaskan mengapa konflik Syiah-Sunni di Sampang tak kunjung berhenti, hingga kemarin harus ada yang tewas sia-sia.

Mendatangi lokasi rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran, Sampang, Jawa Timur yang dibakar massa pada Kamis 29 Desember 2011, ternyata bukan pekerjaan mudah. Bukan saja letak lokasi kejadian yang cukup jauh dari pusat kota Sampang, melainkan yang terutama, sudah berkembang kecurigaan di masyarakat setempat kepada setiap pendatang.
Rumah-rumah itu terletak di dua desa dan kecamatan berbeda. Rumah Tajul Muluk di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Kecamatan Omben; dan rumah Iklil Al Milal di Bluuran, Kecamatan Karang Penang. Iklil dan Tajul adalah kakak-beradik dan dikenal sebagai ustad Syiah. Sejak kasus pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah dari Omben, Januari silam; Tajul lalu dipersalahkan. Dia ditahan, diadili lalu divonis penjara dua tahun oleh majelis hakim PN Sampang, Juli silam karena dianggap mengajarkan aliran sesat.
Dari jalan raya Trunojoyo [arah Sampang-Ketapang], dua desa itu terletak di sebelah timur. Jaraknya sekitar 20-an kilometer ke arah utara kota Sampang. Kendaraan roda empat harus berhenti di tepi jalan raya Sampang-Ketapang itu karena jalan kecil menuju dua desa bisa dilalui hanya oleh kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Ada sebatang sungai yang melintas di jalan kecil itu, dan rumah Tajul Muluk dan Iklil berada di sisi timur sungai.
Polisi dan beberapa tentara dari Koramil/Kodim Sampang terlihat berjaga, mulai dari jalan kecil itu hingga lokasi rumah Tajul dan Iklil. Beberapa penduduk yang ditemui di sekitar lokasi memandang curiga kepada setiap pendatang. Apalagi pendatang dengan penampilan yang berbeda dari warga sekitar. Mereka kuatir yang masuk ke desa mereka adalah penyusup; intel yang sedang mencari tahu pelaku pembakaran; atau orang-orang Syiah yang sedang mengumpulkan informasi. “Sampean Syiah ya Mas? Kok pintar ngomong? Sampean bisa lihat sendiri di sini aman. Saya heran kenapa orang-orang Jakarta meributkan kasus ini,” kata Hali.
Dia anak muda, berbadan gempal. Munif, bapaknya adalah tokoh masyarakat yang disegani di Karang Gayam dan masih kerabat jauh [paman] dari Tajul dan Iklil. Dari Hali pula diperoleh informasi, warga di Karang Gayam banyak yang tidak suka dengan Syiah yang diajarkan Tajul. “Mereka mengagung-agungkan Sayidinah Ali tapi memaki-maki tiga sahabat Nabi yang lain. Siti Aisyah disebut pelacur. Itu disiarkan lewat pengeras suara,” kata dia.
Hali akan tetapi mengaku, tidak mendengar langsung soal itu melainkan hanya dari yang dia dengar dari orang lain. “Kakak ipar saya tetangga Iklil, dia tahu persis dan bisa bercerita,” katanya.
Kakak ipar Hali bernama Dailami. Wajahnya terlihat tua dari usia yang diakuinya, 35 tahun. Dia antara lain bercerita, ajaran Syiah yang dibawa Tajul dan Iklil membolehkan berhubungan badan meskipun istri sedang datang bulan, dan melakukan salat hanya tiga waktu. “Tapi saya juga hanya mendengar dari orang,” katanya.
Dailami menyarankan untuk menghubungi Ahmadussowi alias Sowi di Bluuran. Dia anak muda, usianya baru 28 tahun lewat 3 bulan. Rumahnya di Bluuran berada persis di sebelah timur-utara rumah Iklil. Berjarak kurang-lebih 200-an meter. Orang tua Sowi [bapak] dan orang tua Iklil dan Tajul masih sepupu.
Sama seperti Hali dan Dailami, Sowi pun bercerita tentang ajaran Syiah yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam. Kata dia, Syiah mengharamkan tarawih dan tadarus Alquran. Ketika ditanya apakah dia mendengar langsung ajaran seperti itu disampaikan oleh Tajul atau Iklil, dia menjawab mendengar langsung dari Muhammad Nur. “Dia pengikut Syiah, tapi sekarang jadi anak buah Rois,” kata Sowi.
Nur yang dimaksud Sowi, bertemu dengan saya di kantor Radar Madura, Jalan Diponegoro, Sampang. Dia datang menemani Roisul Hukamah alias Rois, yang datang menemui saya untuk wawancara. Rois adalah adik Iklil dan Tajul, dan disebut-sebut paling menentang ajaran Syiah yang diajarkan kakak-kakaknya. Dia mengenalkan Nur sebagai eks ustad Syiah yang sudah kembali ke Sunni.
Dari mulut Nur inilah, meluncur banyak cerita menyangkut tata cara ritual ajaran Syiah. Orangnya cenderung demonstratif dan pintar berbicara. Dia mengaku ikut Syiah sejak 2006 dan baru keluar empat tahun silam [2008] karena katanya, ajaran Syiah tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Saya saksi hidup,” kata Nur.
Iklil yang dikonfirmasi soal pengakuan Nur itu, hanya tertawa. Dia membenarkan, Nur sebelumnya adalah pengikut Syiah. “Saya bilang ke dia, kalau mau ikut Syiah jangan karena Abah,” kata Iklil.
Abah yang dimaksud Iklil adalah KH Makmun, bapaknya. Dia kiai besar yang pernah hidup dan berpengaruh di Omben dan Karang Penang. Makmun punya 13 anak, tapi yang hidup hanya delapan, yaitu Iklil, Tajul, Rois, Ummu Kulsum, Hani, Fatimah, Achmad, dan Bujur. Delapan bersaudara itu kini pecah karena soal paham Sunni-Syiah. Tajul, Iklil dan Hani satu kelompok [Syiah], Rois dan Ummu Kulsum, kelompok lainnya [Sunni]. Achmad, Bujur dan Fatimah tidak jelas ikut yang mana. Dari pengakuan Rois, Achmad kini stres karena perseteruan keluarga itu.
Iklil bercerita, Nur keluar dari kelompok Syiah bukan karena soal benar-salahnya ajaran Syiah seperti yang selalu dia ceritakan ke mana-mana melainkan karena faktor ekonomi. Seingat Iklil, suatu hari Nur pernah mengutarakan maksud untuk memondokkan anaknya di pesantren tapi tidak punya biaya. Dia mengutarakan hal itu kepada Iklil. Lalu oleh Iklil, Nur diminta bersabar menunggu giliran karena iuran yang dikumpulkan dari jemaah terbatas. Sayangnya Nur tidak sabar dan malah memutuskan keluar dari kelompok Syiah. “Saya tahu siapa Nur,” kata Iklil.
Sunni-Syiah di Madura
Seorang kiai pengasuh pondok pesantren di Kajuk, Sampang menjelaskan, orang Madura yang NU adalah pengikut ahlus sunnah wal jamaah atau Sunni. “Madura itu ya NU. Orang Madura itu toleran. Kalau ada keyakinan di luar itu, silakan. Yang penting tidak menimbulkan keresahan di masyarakat,” katanya.
Dia lalu bercerita tentang pengikut Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan [sebelah barat Sampang] yang dianut oleh keluarga kiai terpandang. Mereka tetap bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka dan tidak ada masalah dengan warga sekitar. Awalnya, kiai itu menyekolahkan anak-anaknya ke Timur Tengah. Ketika anak-anaknya itu pulang ke Tanjung Bumi, mereka mengajarkan Syiah lewat pesantren milik orang tuanya. Para santri dan warga sekitar yang tahu, anak-anak kiai itu mengajarkan Syiah yang dianggap berbeda dengan ajaran Sunni, menarik anak-anak mereka dan meninggalkan pesantren itu.
“Tidak ada kejadian apa-apa tapi para santri dan masyarakat yang tidak setuju dengan ajaran Syiah, satu per satu keluar dari pesantren, dan menjauh. Ini bukti, masyarakat Madura tidak ada persoalan dengan perbedaan. Kalau memang mau mempersoalkan Syiah, mestinya Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan itu sudah lebih dulu ‘meletus’ karena lebih dulu muncul sebelum Syiah di Omben,” kata dia.
Pengikut Syiah di Tanjung Bumi yang dimaksud adalah Keluarga Haidar Syarif dan Habib Ibrahim. Belum jelas benar, kapan mereka mulai mengajarkan Syiah di Tanjung Bumi. Sepekan setelah rumah-rumah orang-orang Syiah di Omben dibakar dan para pengikutnya diusir, pengikut Syiah di Bangkalan diundang Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron ke pendopo kabupaten. Mereka diajak bermusyawarah dengan para kiai di Bangkalan agar kejadian di Karang Gayam dan Bluuran tidak merembet ke Tanjung Bumi.
Dari cerita Iklil, Syiah mulai masuk ke Karang Gayam sekitar 1979 menyusul Revolusi Islam Iran. Orang tuanya [KH Makmun], waktu itu mendapat kiriman bacaan dan buletin tentang Syiah, juga poster-poster bergambar Khomeini. Sejak itu, orang tuanya menjadi pengikut Syiah. Keterangan Iklil dibenarkan Fanan Hasyib, Wakil Bupati Sampang yang juga seorang kiai.
Fanan menerangkan, Makmun [ayah Iklil, Tajul dan Rois] adalah penganut Syiah tapi keyakinan Makmun tidak diajarkan kepada orang lain. Fanan mengaku sudah sering mendengar sepak terjang Makmun termasuk dalam hal ibadah. Salah satunya tidak pernah salat Jumat. Alasan Makmun kata Fanan, seseorang yang akan menunaikan salat Jumat harus bersih dan wangi sehingga tidak ada alasan bagi orang yang kotor dan bau untuk menunaikan salat Jumat. “Celakanya, Kiai Makmun sejak Rabu sudah tidak mandi sehingga punya alasan untuk tidak salat Jumat,” katanya.
Dia menerangkan, ajaran Syiah yang dianut Makmun lantas ditularkan kepada anak-anaknya.
Lalu Iklil [yang tertua], Tajul dan Rois disekolahkan ke pesantren Yayasan Pesantren Islam atau YAPI di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang oleh warga Omben dikenal sebagai pesantren Syiah. Lulus dari YAPI, kakak-beradik itu disekolahkan ke Timur Tengah.  “Rois dan Tajul itu masih bersaudara, begitu juga ulama-ulama di Karang Gayam, semua masih berkerabat,” kata dia.
Dari catatan Pemda Sampang, Tajul bersekolah ke Arab Saudi dan menikah dengan Ummu Kulsum asal Malang Jawa Timur. Ketika kembali ke Karang Gayam pada 1999, Tajul dan keluarganya mulai berdakwa tentang Syiah dan mendirikan pesantren Misbahul Huda. Mulanya Rois juga ikut dan bergabung dengan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia atau IJABI yang diketuai oleh Jalaluddin Rakhmat. Ada kabar, Rois bahkan sempat menjadi bendahara IJABI Sampang tapi Rois membantah hal ini. “Saya hanya menjadi penasihat,” kata Rois.
Iklil bercerita, justru Rois yang paling aktif dan mewakili mereka ke acara-acara yang diselenggarakan oleh IJABI termasuk ketika organisasi mengadakan kongres di Makassar. Rois mengaku keluar dari Syiah, karena menilai ajaran Syiah melenceng dari ajaran Islam. Dia menyebutkan sejumlah alasan. Antara lain soal pernyataan Tajul tentang Alquran yang dianggap sudah tidak otentik. Namun, “Saya tidak pernah mendengar langsung, juga tidak ada saksi,” kata Rois.
Dan menurut Tajul, Rois keluar dari kelompok Syiah karena merasa tidak mendapat posisi dan kesempatan. “Dia itu ditaruh di depan tidak mau, ditaruh di belakang menyeruduk,” kata Tajul.
Di Karang Gayam dan Bluuran, para pengikut Syiah disebut kompolan [kumpulan]. Di masyarakat Madura, sebutan ini diberikan kepada sekelompok orang yang rajin mengikuti acara pengajian. Suatu kegiatan yang sebetulnya jarang dilakukan oleh para santri di pesantren NU. Dengan sebutan itulah, para pengikut Syiah hidup di tengah-tengah masyarakat Omben dan Karang Penang yang mengagungkan kiai dan dikelilingi  ratusan pesantren.
Di Omben dan di kecamatan sekitarnya, warga setempat memang hidup dengan petuah kiai dan syariat Islam yang ketat. Sebagian besar dari mereka, hanya bisa berbahasa Madura dan Arab. Ada sebuah madrasah yang murid-muridnya bahkan tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan tidak tahu cara melaksanakan upacara bendera. “Sampang itu NU, dan Omben adalah pusarnya NU,” kata Hamid, tokoh pemuda dan eks petugas Pencatat Pemilih di Kecamatan Omben.
Cincin akik dan dua hukum
Di Omben dan sekitarnya, masjid dan pesantren memang seperti berbaris di sepanjang jalan Sampang-Ketapang. Itu belum termasuk yang ada di pelosok, di balik-balik perbukitan yang jauh dari jalan raya Sampang-Ketapang. Bila waktu salat tiba, sebelum azan akan terdengar suara orang mengaji yang diputar dari recorderdan disiarkan lewat pengeras suara, seolah sahut-menyahut antara masjid yang satu dengan masjid yang lain. Di masjid-masjid itu, orang-orang yang salat akan tetapi bisa dihitung dengan jari, hanya satu-dua orang.
Sunardi Hamid, Ketua Pusat Kajian HAM dan Lingkungan di Pamekasan menjelaskan, salah satu ciri orang Madura yang NU adalah suka mengenakan cincin akik, membaca qunnut bila subuh, suka tahlilan dan membawa jimat. “Kalau sudah seperti itu, sampean NU sejati, dan kalau ada yang mengatakan jimat itu syirik, itu bukan NU dan pasti dicap Muhammadiyah,” katanya.
Laki-laki yang juga menjadi ketua Himpunan Petani Garam Indonesia dan ketua Lembaga Pertanian NU Pamekasan itu bercerita, di Madura, saat ini banyak politik kepentingan yang dijalankan para kiai. Karena kepentingan itu, seseorang atau kelompok bisa dengan mudah dicap sesat atau alim.
Misalnya jika kepentingan seseorang atau kelompok tertentu berbenturan dengan kepentingan kiai, maka seseorang atau kelompok itu bisa dicap sesat, atau kiai itu akan mengeluarkan fatwa haram. Sebaliknya bila menguntungkan dan mendukung kepentingan kiai, seseorang atau kelompok bisa dicap alim, atau para kiai itu akan mengeluarkan fatwa halal.
“Di dunia ini, siapa yang kuat itu yang menang. Meski pun saya melihat kuning benar, tapi karena orang banyak bilang merah yang benar, saya bisa kalah,” katanya.
Kenyataan itu kata Sunardi berbeda dengan zaman ketika dia masih muda. Dulu para kiai masih menggunakan empat hukum: halal, haram, makruh, mubah, dan riba. Sekarang yang digunakan hanya dua hukum: halal dan haram, dan tidak ada yang membantah. Paham orang lain lalu dengan mudah dicap kafir, dan paham yang mereka anut dianggap paling benar.
Maka tidak usah heran, jika ada warga NU yang suka tahlilan, meski pun tidak pernah salat bisa dianggap sebagai orang alim. Sebaliknya kalau ada orang Muhammadiyah atau yang lain, yang rajin salat dan menjalankan semua ritual ibadah Islam tapi tidak suka tahlilan dan tidak suka jimat, mereka bisa dicap sesat atau kafir. “Semua karena kepentingan dan kebutuhan hidup,” kata Sunardi.
Celakanya, politik kepentingan dan hubungan kiai-umat seperti itu kemudian dipraktikkan oleh umat dengan serta-merta. Contohnya bila ada orang yang meninggal dunia.
Kebiasaan orang Madura bila ada tetangga yang ditimpa musibah kematian, akan membawa segantang beras atau sebungkus gula sebagai tanda ikut berduka. Lalu ketika pulang, pihak keluarga yang berduka akan menitipkan bingkisan berupa nasi dan sebagainya. Kalau ada pihak keluarga yang berduka lupa, atau tidak memberikan bingkisan kepada orang-orang yang ikut melawat, maka dengan mudah orang-orang akan memberi cap keluarga yang berduka itu sebagai pengikut Muhammadiyah, sesat atau kafir. “Saya pernah mencoba menjelaskan bahwa jangan mudah menuduh orang, tapi kiai dan ulama tidak mendukung, saya mau apa?” kata Sunardi.
Pak Ong, sopir yang mengantar saya berkeliling Sampang membenarkan cerita Sunardi. Dia mengaku, di hari ketiga pamannya meninggal, keluarga besarnya sudah menghabiskan tiga ekor sapi untuk selamatan. “Saya tidak tahu, bagaimana nanti kalau selamatan tujuh hari,” katanya.
Pak Ong bukan asli Sampang. Dia berasal dari Sumenep. Dia menetap di Kedungdung, Sampang [tetangga kecamatan Omben] karena istrinya berasal dari Kedungdung.
Dari Pak Ong pula keluar cerita tentang bagaimana perilaku kiai, pada saat bulan Maulid. Di Sampang, kata dia, acara memperingati hari ulang tahun Nabi Muhammad saw. diperingati bukan hanya di masjid atau musala melainkan di setiap rumah penduduk. Dalam satu hari, bahkan bisa ada 11 rumah yang mengadakan maulid meski waktunya tidak bersamaan.
Setiap istri dan setiap ibu, lalu sibuk memasak untuk menjamu undangan dan kiai, tapi makanan yang sudah dimasak oleh mereka pada akhirnya menjadi sia-sia karena tidak ada yang makan. “Bagaimana mau dimakan, dalam satu hari, setiap orang harus menghadiri acara maulid di banyak tempat,” katanya.
Musim Maulid itu biasanya juga menjadi musim panen bagi para kiai. Setiap rumah seolah berlomba-lomba mengundang para kiai, yang tentu saja harus diberi diberi uang saku. Dari uang saku yang diberikan oleh umat itu, para kiai minimal bisa membeli sepeda motor. Namun yang menyedihkan kata Pak Ong, umat yang tidak punya cukup uang untuk merayakan Maulid akan meminjam uang ke tetangga [atau bahkan ke kiai], tentu berikut bunganya meskipun dikemas dengan cara lain.
Tak usah heran jika kemudian, banyak warga yang kemudian terjebak utang hingga musim Maulid tahun berikutnya. “Itulah keadaannya di Sampang. Menyedihkan. Makanya ada orang yang sudah mulai berani bilang, lebih enak ikut Muhammadiyah atau Syiah, tidak repot-repot,” kata Pak Ong.
Muqtadir, aktivis muda NU Sampang punya cerita lain soal hubungan kiai dan umat. Dia adalah murid KH Izzad Raki, salah satu kiai di Sampang yang dianggap netral melihat kasus Syiah di Omben dan Karang Gayam. Kata dia, di Sampang, banyak kiai yang tidak mau datang bila diundang oleh orang-orang miskin, termasuk pada saat acara kematian. Sebaliknya bila yang mengundang orang kaya, mereka akan datang dan memimpin doa.
Persoalan utamanya adalah uang saku atau bingkisan yang akan diterima oleh para kiai: orang kaya dianggap pasti memberi uang saku lebih banyak, sementara orang miskin akan memberi bingkisan sekadarnya. Tentu tdak semua kiai berperilaku seperti itu, tapi Muqtadir memastikan, hal semacam itu sudah menjadi gejala umum di Sampang dan daerah lain di Madura.
“Kalau ada undangan bersamaan, para kiai akan mengutamakan undangan dari si kaya ketimbang si miskin. Padahal hal itu dilarang oleh agama, karena yang harus diutamakan adalah undangan yang lebih dulu datang,” kata Muqtadir.
Sunardi Hamid mengungkapkan, besar-kecilnya uang saku untuk para kiai itu juga ditentukan oleh kendaraan yang digunakan para kiai. Uang saku untuk kiai yang datang hanya dengan menggunakan sepeda motor misalnya, akan berbeda dengan uang saku yang diterima para kiai yang menggunakan mobil. Kiai yang bermobil pun ada kelas-kelasnya. Kalau mobilnya jelek, uang sakunya akan lebih sedikit. Kiai yang datang dengan mobil yang lebih mahal atau mewah, uang sakunya akan semakin tebal. “Kiai sekarang beda mas dengan kiai-kiai dulu,” kata Sunardi.
Dia memberi contoh. Dulu, jika pemerintah membantu pondok pesantren untuk membangun kelas atau lokal madrasah, katakanlah dua kelas, maka kiai akan menjual sapi atau harta benda lainnya agar bantuan pemerintah bisa berwujud menjadi enam kelas. Sekarang, jika kiai dibantu membangun dua kelas, yang dibangun hanya satu kelas. “Sisanya masuk ke kantong kiai,” katanya.
“Dengan kejadian di Karang Gayam ini, Syiah jadi pusat perhatian. Kalau tidak ada kejadian, Syiah tidak akan naik. Para kiai itu sekarang tidak ada yang berani ngomong, tapi kalau ngomong proyek Rp 100 juta mereka mau. Mereka itu maunya kan menambah istri dan beli mobil baru,” kata Hamid.
Pilkada dan asal-usul konflik
Isu NU dan non-NU di Sampang memang menjadi isu sensitif dan bisa dijadikan alat kepentingan. Di kota itu, bahkan seorang bupati hari-harinya harus disibukkan oleh unjuk rasa dari para demonstran yang mengatasnamakan NU. Gara-garanya, perkataan Noer Tjahja. Bupati Sampang itu dituding telah melecehkan NU. Noer yang sewaktu musim Pilkada berpasangan dengan Fanan Hasyib, lalu dituding sebagai pengikut Muhammadiyah. Asal-usul keturunannya juga dipersoalkan. Dianggap bukan keturunan Panji, bangsawan dari Sampang.
“Kalau satu kali mungkin dia salah omong, dua kali dimaklumi. Kalau berkali-kali, pasti ada sesuatu. Muhammadiyah di Sampang ini tidak ada pengikutnya. Dulu masjid Muhammadiyah di sini dilempari batu,” kata Fanan sembari menganggap Noer sudah berkali-kali melecehkan NU.
Fanan dan Noer memang tidak akur. Beberapa pegawai di Pemda Sampang menuturkan, keduanya bahkan sudah tidak kompak setelah enam bulan mereka dilantik 26 Februari 2008. Fanan kini lebih banyak tinggal di rumah dinasnya, dan praktis bisa dikatakan tidak bekerja sebagai wakil bupati. Pada musim Pilkada 2013, Fanan berniat maju sebagai calon bupati, menantang Noer, dan KH Sholahurrobbani [sepupu Fanan] yang dikabarkan juga akan maju sebagai calon bupati.
Fanan menuturkan, dirinya mengikuti berita kasus pembakaran rumah-rumah pengikut Syiah di Karang Gayam dan Bluuran. Sebagai pemimpin di daerah, dia mengaku pembakaran itu bertentangan dengan HAM, tapi sebagai pengikut Sunni dia menentang keras ajaran Syiah berkembang di Sampang.
Dia bahkan setuju, kalau pengikut Syiah seluruhnya dipulangkan ke Iran. “Seperti kata Habib Tohir dari Pekalongan, sebaiknya orang-orang Syiah itu dikembalikan saja ke Iran. Selesai. Tidak usah diajarkan di [Sampang] sini,” kata Fanan.
Di tengah masyarakat dan kiai di Sampang yang mudah memberi cap kepada orang lain yang tidak sepaham sebagai kafir dan sesat itulah, muncul Tajul dengan Syiah. Habib Umar Albayyiti, dari Desa Temoran, Omben, menggambarkan Tajul sebagai orang yang alim, dan suka membantu. “Wajahnya ganteng. Pintar. Dia banyak tamunya, dan punya banyak santri. Kiai lain, sepi. Kiai-kiai di Karang Gayam itu sebetulnya masih kerabat semua dengan Tajul,” kata Umar.
Umar bercerita, apa yang menimpa Tajul dan pengikutnya sebetulnya bisa jadi dipicu oleh faktor cemburu dari para kiai setempat. Tajul dianggap merongrong pamor para kiai yang mulai kehilangan wibawa. Kejadian itu kata dia mirip dengan yang menimpanya pada awal 1999.
Saat itu tengah malam, ratusan orang mendatangi rumah Umar di Temoran. Massa yang membawa obor dan senjata tajam berteriak-teriak meminta Umar keluar dari rumahnya. Umar yang kebetulan berada di sebuah warung yang tak jauh dari rumahnya, segera mendatangi kerumunan massa itu. Dia menanyakan maksud kedatangan orang-orang itu, yang lalu dijawab dengan tuduhan: Umar menyembunyikan maling di rumahnya. Umar mempersilakan orang-orang yang marah itu masuk ke rumahnya untuk memeriksa tapi mereka tidak menemukan yang dicari.
Sampai sekarang Umar mengaku tidak tahu, mengapa orang-orang itu datang ke rumahnya dengan marah. Dia hanya bisa menduga, kedatangan orang-orang ke rumahnya malam itu bisa jadi karena dipicu oleh rasa cemburu dari para kiai di sekitar rumahnya. Pemicunya, rumah Umar sering dan banyak kedatangan tamu. Dari mana saja. Ada yang minta tolong, ada yang cuma silaturahmi dan macam-macam.
“Kejadian [pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah] di Karang Gayam itu, saya kira juga demikian. Ada faktor kecemburuan dari salah satu pihak. Siapa yang iri? Dari cerita Husein kepada saya, Rois itu yang cemburu,” kata Umar.
Husein yang dimaksud Umar adalah salah satu orang kepercayaan Tajul yang menurut Umar sering datang berkunjung ke rumah Umar. Namun menurut Munif, terlalu jauh kalau dikatakan para ulama dan kiai di Omben tersinggung karena Tajul punya banyak pengikut.
Feri Ferdiansyah, Kepala Biro Radar Madura di Sampang menuturkan, Tajul memang beda dengan Rois adiknya. Bukan saja lebih pintar, tapi penampilan Tajul juga lebih tenang. “Nanti kalau bertemu dengan keduanya, sampean bisa lihat sendiri,” kata Feri.
Secara tidak langsung, Mas’udi Cholili Sekretaris PCNU Sampang juga mengakui perilaku dan kepintaran Tajul. Pernah dalam sebuah perdebatan dengan para ulama di Omben, Tajul bahkan hampir mematahkan semua argumen para kiai yang menyesatkan Syiah. Tajul kata Mas’udi menjawab semua pertanyaan kiai, tapi tidak bisa menjawab satu hal. Mas’udi mengaku lupa, satu hal yang tidak bisa dijawab Tajul.
Umar bercerita, suatu hari dirinya menerima undangan dari para kiai di Omben untuk melakukan musyawarah. Undangan itu berkali-kali disampaikan ke Umar tapi Umar tidak pernah memenuhinya karena musyawarah yang diadakan di rumah mendiang Haji Sa’bi [tokoh masyarakat Omben] dinilainya hanya bertujuan untuk mendesak Tajul agar kembali ke Sunni. “Kiai-kiai yang tidak mau ikut dianggap sama dengan Tajul, tapi saya tidak pernah datang. Saya tidak mau,” kata Umar.
Umar tidak ingat kapan pertemuan di rumah Sa’bi dilakukan tapi dari keterangan yang disampaikan Zainal Hambali, Sekretaris Intelijen Daerah Sampang; pertemuan di rumah Sa’bi, kali pertama terjadi pada 20 Februari 2006. Konon hadir para kiai se-Madura dan pejabat Muspika. Penggagasnya adalah KH Ali Kharrar Sinhaji, pengasuh PP Darul Tauhid di Propon, Sampang. Dia masih terbilang paman dari Iklil, Tajul dan Rois.
Belum jelas, mengapa para kiai itu berkumpul di rumah Sa’bi kecuali dengan satu alasan: ajaran Syiah yang dibawa Tajul dianggap telah meresahkan masyarakat. Juga tidak terang mengapa Ali Kharar menggagas pertemuan itu dan Sa’bi kemudian bersedia menjadi tuan rumah pertemuan. Iklil melarang saya menghubungi Ali Kharar.
Satu hal yang agak jelas, pertemuan di rumah Sa’bi itu adalah pertemuan pertama yang khusus menyoal Tajul dan Syiah di Omben dan Karang Penang. Hasil dari pertemuan itu adalah para kiai sepakat untuk meminta Tajul kembali ke Sunni dan melarangnya melakukan aktivitas dakwah [Syiah] untuk sementara waktu. Tajul diberi waktu seminggu untuk menjawab keputusan para kiai itu dan diharuskan datang ke rumah Sa’bi.
Tanggal 26 Februari 2006, Tajul tidak datang ke rumah Sa’bi seperti yang diminta para kiai. Dia mewakilkan dirinya kepada Busry dan KH. Wahab [pamannya]. Dua orang yang mewakili Tajul itu membawa pesan, Tajul bersedia kembali ke Sunni. Selesai.
Masalah muncul kembali pada musim Maulid 2007. Saat itu Tajul berniat mengundang beberapa ustad untuk berceramah di acara Maulid di rumahnya, tapi sebelum acara berlangsung, massa sudah lebih dulu mendatangi rumah Tajul dan meminta para penceramah tidak berceramah di desa mereka. Tajul tidak mengerti,  alasan warga menolak para penceramah Maulid yang didatangkan olehnya.
Di bulan puasa dua tahun kemudian, terjadi kasus ancam-mengancam antara pengikut Tajul dan Rois. Dari catatan Zainal, pemicunya adalah ancaman dari Mat Siri, salah seorang pengikut Tajul kepada Amin. Nama yang terakhir adalah seorang ustad yang berniat mengadakan pengajian Ramadan. Rumah Amin kebetulan berdekatan dengan Mat Siri. Kepada tetangganya itu, Mat Siri kabarnya menyampaikan ancaman, kalau pengajian di rumah Amin menyinggung-nyinggung soal ajaran Syiah, maka dia dan yang lain akan berunjuk rasa ke rumah Amin.
Kasus Mat Siri itu tidak ada kelanjutannya, tapi sebulan kemudian muncul perselisihan antara Zainul Jakfar [anak asuh Rois] dan Mudawi [anak asuh Tajul]. Konon, Mudawi mengacungkan celurit kepada Zainul. Kejadian itu disaksikan oleh para tetangga, sehingga hampir memicu bentrok antara pengikut Rois dan Tajul.
Lalu entah apa hubungannya, FPI Pamekasan dan Ikatan Santri Karang Gayam melaporkan Tajul ke Polwil Madura pada 16 Oktober 2009. Alasan laporan mereka, ajaran Syiah yang dibawa Tajul telah membuat resah masyarakat. Laporan FPI ke polisi itu disertai ancaman, jika polisi tidak memberikan keputusan soal Tajul dan ajarannya, maka mereka akan berunjuk rasa mendatangi kediaman Tajul. Karena laporan FPI itu, kapolres Sampang bersama pejabat lain di Sampang membuat lima keputusan, yang intinya melarang Tajul menyebarkan ajaran Syiah.
Kasus berikutnya muncul 21 Januari 2011 di Bluuran. Gara-garanya, seorang ibu bernama Mitsirah menolak pemberian Rustami, anaknya yang Syiah. Rustami tersinggung dan kabarnya mengucapkan kata-kata yang intinya memutuskan hubungan silaturahmi antara orang tua dengan anak. Saudara Rustami bernama Mistari, yang mendengar ucapan Rustami kepada ibunya, tidak terima. Dia mengancam membunuh Rustami. Para tetangga datang untuk melerai tapi kasus itu tidak berkelanjutan, hingga terjadi kasus pada Kamis 29 Desember 2011: rumah-rumah dibakar dan orang-orang Syiah diusir.
Sembilan perempuan
Rudy Setiadhi, Kepala Bakesbangpol Pemkab Sampang menjelaskan, kasus pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran hanya puncak dari perseteruan panjang antara satu keluarga: Tajul dan Rois. Kali ini yang menjadi akar masalah adalah perempuan. “Bukan cuma satu perempuan, tapi masih ada sembilan perempuan. Halimah itu salah satunya. Dia itu masih anak-anak, masih SD. Rois itu suka kawin cerai, begitulah. Tajul itu tahu kebiasaan Rois, dan Rois tahu isi dapur Syiah,” kata Rudy.
Dia menjelaskan, pihaknya sudah berkali-kali berusaha mendamaikan keduanya, tapi perseteruan terus berlangsung. Beberapa hari setelah Lebaran tahun lalu, keduanya bahkan dipertemukan di ruang kerja Rudy. “Saya bilang ke mereka, ‘Ayolah rukun, tak usah berantam, kalian kan bersaudara’,” kata Rudy.
Rois mengaku tidak tahu persis, penyebab atau pemicu pembakaran rumah-rumah milik saudaranya, di Kamis yang nahas itu. Dia hanya mengatakan, penyebabnya banyak. “Saudara saya Tajul sering mengkhianati perjanjian musyawarah dengan pemerintah dan masyarakat,” katanya.
Terakhir, kata Rois perjanjian itu dibuat di Kecamatan Omben, 17 Desember 2011 atau 12 hari sebelum terjadi pembakaran. Pihak Tajul diwakili oleh Iklil. Isinya berupa pernyataan dari Tajul yang berjanji tidak akan mengadakan aktivitas dakwah demi kemaslahatan umat. Tajul mengonfirmasi surat pernyataan yang dibuat di Kantor Kecamatan Omben sebagai tulisannya, tapi menolak mengakui pernyataan-pernyataan lain karena dianggap rekayasa dan dibuat sepihak oleh orang-orang yang tidak senang kepada dirinya.
Rois akan tetapi tidak menolak, masalah kali ini bisa jadi juga dipicu soal perempuan bernama Halimah yang disebutkan oleh Rudy. Halimah adalah putri Mat Badri. Rois mengaku, perempuan itu telah dipinangnya karena permintaan istrinya Kholifah. Sewaktu dipinang, usia Halimah baru 12 tahun, masih duduk di bangku SD. “Saya sudah tidak mau, tapi istri saya yang meminta agar saya menikahi Halimah,” kata Rois.
Kholifah membenarkan bahwa Halimah sudah dipinang olehnya untuk suaminya. Belakangan, menurut Rois, Tajul meminta dirinya untuk melepaskan Halimah karena mau dinikahi oleh Tajul. “Saya mengalah,” katanya.
Tentu saja cerita Rois dan Kholifah dibantah oleh Tajul, Iklil, dan Mat Badri [orang tua Halimah]. Tajul menjelaskan, Halimah sebetulnya hanya diminta membantu di rumah Rois, bukan dipinang. Karena Rois dikenal sebagai kiai, orang tua Halimah mengizinkan anaknya ikut Rois.
Suatu hari, Tajul didatangi Zainal yang meminta tolong agar meminangkan Halimah untuk Dul Azid, anaknya. Tajul memenuhi keinginan Zainal tersebut dan pinangannya diterima oleh Mat Badri. Karena mengetahui Halimah telah dipinang oleh orang lain, Rois tidak terima dan memanggil Mat Badri, Zainal dan Dul Azid.
Sebelum memenuhi panggilan Rois, tiga orang itu meminta pendapat Tajul: apakah memenuhi panggilan Rois atau tidak. Tajul menyarankan agar tidak memenuhi panggilan Rois, dengan alasan Rois adalah orang yang temperamental dan suka memukul orang. “Saya kuatir mereka dipukul, dan mereka tidak memenuhi panggilan Rois,” kata Tajul.
Kini Halimah tinggal bersama suaminya di Surabaya. Iklil meminta anak perempuan itu tidak usah diekspos, karena kuatir mengganggu sekolahnya.
Preman dan adu jangkrik
Rudy menjelaskan, pembakaran rumah-rumah orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran juga diprovokasi oleh Rois. Dari catatan Zainal yang intel dari Pemda Sampang itu, Rois selama ini memang sering memutar rekaman video soal ajaran Syiah dan mempertontonkannya kepada warga yang ikut pengajian rutin di rumahnya. Rekaman video itu, antara lain berisi soal pembantaian pengikut Sunni oleh pengikut Syiah, dan ritual salat yang konon dilakukan pengikut Tajul di sebuah gereja di Malang.
Dari cerita Iklil, pembakaran atas rumahnya, rumah Tajul dan rumah Saiful adik ipar Iklil [suami Hani] terjadi sistematis. Awalnya dia mendapat kabar dari Bu Misnawi bahwa ada sekelompok orang bersenjata tajam yang menuju rumah Tajul. Itu sekitar jam 9 pagi. Misnawi adalah tetangga Tajul, dia mendapat informasi dari Bu Ali yang melihat ada sekelompok orang bergerombol di jalan menuju rumah Tajul.
Mereka pura-pura memperbaiki jalan, tapi menurut Iklil, sebetulnya justru merusak jalan. Tujuannya agar polisi tidak segera tiba  ke lokasi. “Saat itu saya sudah berusaha menghubungi kapolsek Omben tapi tidak ada di tempat. Saya lalu menghubungi kapolsek Karang Penang agar segera datang ke Karang Gayam. ‘Tolong ke sini, karena saya mendengar informasi ada orang-orang yang hendak datang ke rumah Tajul’,” kata Iklil.
Upaya Iklil sia-sia, karena massa sudah muncul di rumah Tajul dan langsung merusak dan membakarnya. Dari jarak 20 meter, dia melihat dan mengenali beberapa orang yang ikut membakar. Antara lain Hosen dan Hasbullah. Orang-orang itu mengacungkan celurit kepada Iklil.
Di rumah Saiful yang juga ikut dibakar, Iklil mengenali Arifin, Sahrudin, Hudali, Masdi sebagai orang yang ikut membakar. Mereka semua menghunus celurit. Sebelum dibakar, tiga anak Saiful masih berada di dalam rumah. Berkat pertolongan tetangga, tiga anak itu bisa diselamatkan.
Hamid, tokoh pemuda Omben itu bercerita, sebelum massa membakar rumah Iklil, pada siang harinya, rumah itu sebetulnya sudah dijaga 13 polisi tapi karena kalah jumlah dengan massa, polisi itu tidak berdaya. Kapolres Sampang yang datang ke lokasi pada saat kejadian, bahkan juga ikut diancam. Hamid mengaku mengetahui semua itu dari cerita iparnya yang polisi dan ikut berjaga di rumah Iklil. Sementara Munif menjelaskan, salah seorang anak Rois juga ikut membakar.
Hali dan Dailami bercerita, orang-orang yang membakar itu mengenakan tutup wajah. Mereka tiba-tiba muncul dari balik bukit. Munif mendengar, anak Rois ikut pula membakar.
Umar menduga, mereka yang membakar rumah Tajul dan saudaranya bukan hanya berasal dari Karang Gayam, melainkan juga dari Karang Penang. “Mereka itu bukan santri. Itu para bromocorah. Mana ada, santri bawa-bawa celurit dan membakar rumah orang?” kata Umar.
Seorang pengurus PCNU Sampang punya cerita lain soal pelaku pembakaran. Dia mendengar, KH Syafiuddin Wahid, Rois Syuriah PCNU menyampaikan kasus pembakaran itu ada indikasi berhubungan dengan pembebasan Gunjeg dari tahanan polisi. Syafiuddin tak mau memberi penjelasan.
Gunjeg adalah tokoh preman. Dia warga Kecamatan Camplong, Sampang yang ditangkap polisi karena kasus judi sabung ayam. Kono, beberapa politisi berusaha membebaskan Gunjeg dari tahanan tapi Kapolres Sampang, Solehan bersikukuh tak mau melepaskan Gunjeg. Entah bagaimana ceritanya, Gunjeng kemudian bebas. Itu terjadi beberapa hari sebelum peristiwa pembakaran rumah-rumah milik orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran.
Seorang tokoh di Omben yang rumahnya sering dijadikan tempat berkumpul kepala desa mengungkapkan, setidaknya ada delapan kepala desa yang berpatungan masing-masing Rp 5 juta untuk membebaskan Gunjeng, tapi dia tidak melihat ada hubungan Gunjeg dengan kasus pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran. Tajul dan Rois mengaku tahu siapa Gunjeg, tapi Rois menolak keras anggapan dirinya kenal dan berkawan dengan Gunjeg. Iklil mengungkapkan kebiasaan Rois adalah mengadu jangkrik.
Munif punya cerita berbeda. Dia mengaku pernah diminta untuk mendamaikan Rois dan Tajul oleh pihak kepolisian, tapi dia menolak. Alasannya, perseteruan kakak-beradik itu sudah ditunggangi kepentingan politik menjelang Pilkada 2013.
Kiai dari Kajuk Sampang, juga berpendapat, kasus di Karang Gayam dan Bluuran itu telah menjadi dagangan banyak pihak. Dari semula hanya persoalan keluarga, lalu ditarik atau digiring menjadi isu Syiah dan Sunni. Dengan menggiring perselisihan keluarga menjadi isu Syiah-Sunni, ada yang berharap mendapat dukungan.
Dia bercerita, kasus antara Rois dan Tajul sebetulnya sudah berkali-kali dicoba didamaikan tapi tidak selesai, dan sekarang menjadi semakin terbuka. Maka ketika persoalan keluarga ditarik menjadi persoalan paham, yang diuntungkan kata dia, adalah pihak yang selama ini tidak diuntungkan dari sengketa keluarga itu.
“Saya menduga Rois mendapat keuntungan. Dia tahu, masyarakat Madura adalah Sunni. Ini bombastis. Kalau kami, para kiai di Sampang sudah tahu dan paham ada perbedaan antara Syiah dan Sunni, tapi masyarakat yang awam sekarang mulai bertanya-tanya: Syiah itu apa, dan apa perbedaannya dengan Sunni?” kata dia.
Kasus [pembakaran] rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan Bluuran kata dia sudah diprovokasi. “Sudah ada dan terjadi penggiringan opini kepada masyarakat dan berhasil. MUI Sampang, kemarin sudah menyatakan Syiah ajaran sesat. Loh, kenapa baru sekarang setelah terjadi pembakaran?” katanya.
NU dan Albayyinat
Menyusul kasus pembakaran rumah-rumah orang-orang Syiah dan pengusiran mereka, MUI dan PCNU Sampang, juga PWNU Jawa Timur mengambil kesimpulan dan menyebutkan ajaran Syiah sesat. Benar, PCNU dan PWNU tidak secara khusus menyebut Syiah dan hanya menyebutkan ajaran yang dibawa Tajul. Namun pernyataan itu hanya permainan semantik, yang intinya menolak Syiah karena faktanya Tajul adalah pengikut paham Syiah.
Seorang pengurus PCNU pernah mendengar, ada kesepakatan antara PWNU Jatim dan kapolda Jatim untuk tidak lagi menyebut Syiah melainkan hanya akan menyebut ajaran sesat. Informasi ini belum dikonfirmasi. “Kalau menyebut Syiah, itu berbahaya karena ada organisasinya,” katanya.
PCNU dan PWNU mengaku punya alasan mengeluarkan pernyataan ajaran Tajul sesat. M Faidhol, Ketua Tanfiziah PCNU Sampang yang ditunjuk menjadi juru bicara menjelaskan, alasan PCNU antara lain karena masyarakat luas menunggu, pendapat dan sikap NU terhadap ajaran dan provokasi Tajul. Alasan lainnya, agar tidak memperluas wilayah konflik akibat ajaran sesat Tajul dan provokasinya di masyarakat. “Kami meminta Pemkab Sampang mengeluarkan perda sesat karena tujuannya, agar tidak ada keresahan dan konflik atas nama agama,” kata Faidhol.
Dia menyampaikan hal itu dalam pertemuan di pendopo kabupaten Sampang, Selasa 3 Januari 2012. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain, Irjen Hadiatomo [Kapolda Jatim], Palty Simanjuntak [Kajati Jatim], Noer Tjahja [Bupati Sampang], Kapolres Sampang, KH. Abdus Samad Bukhori [Ketua MUI Jatim], KH. Miftahul Akhyar [Rois Syuriah PWNU Jatim], KH. Mutawakil Alallah [Ketua PWNU Jatim], KH. Muhaimin Abdul Bari [Ketua PCNU Sampang], dan Faidol Mubarok [pengurus PCNU Sampang.
Miftahul Akhyar menjelaskan, PWNU Jatim memang mendukung pernyataan PCNU Sampang. Dia mengaku, sudah menurunkan tim ke Sampang untuk mencari tahu akar masalah. Hasilnya: Tajul dinilai mengajarkan aliran sesat, karena antara lain mengajarkan salat hanya 3 kali sehari semalam, mengecam para auliya Batu Ampar Madura, ulama dan kiai dianggap anak zina. “Ini hasil sebagian investigasi Tim kami. Manakala ada kesalahan, kurang akurat, kami siap memperbaiki,” kata Miftah.
Dia menolak anggapan, PCNU dan PWNU sedang berpolitik dalam kasus ini. Dia juga membantah, bahwa PWNU mendapat dukungan dana dari al Bayyinat. “Tolong sebutkan, siapa yang menfitnah tentang dukungan dana itu? NU lebih kaya daripada al Bayyinat. Boleh diaudit, kalau perlu diperiksa KPK. Kebenaran tetap kebenaran. Anda dapat cerita darimana?” katanya.
Al Bayyinat adalah organisasi yang dipimpin Achmad Zein Alkaf. Dia juga pengurus di PWNU Jawa Timur. Kelompok Syiah di Indonesia menuding, organisasi itu sangat anti-syiah dan paling aktif menggalang dukungan untuk menentang Syiah.
Lewat wawancara melalui email, Zein tidak menjawab soal dukungan dana kepada NU. Namun, apakah Al Bayyinat dirancang khusus untuk mewaspadai dan menentang Syiah di Indonesia?
“Para pendiri Albayyinat kebanyakan alumni Mesir, Mekah, Madinah, Yaman dan dari dalam negeri, didukung tokoh tokoh habaib di Indonesia dan luar Indonesia. Kami berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar [mengajak kebaikan dan mencegah perbuatan keji], ” kata Zein.
Dia pun menolak anggapan bahwa mengusir Syiah dari Indonesia dan menyatakannya sebagai aliran sesat bertentangan dengan Pansila dan UUD 1945. “Yang berbahaya bagi Pancasila dan UUD 45 adalah Syiah, karena mereka patuh hanya kepada Imam mereka di Iran,” kata Zein.
Dari semua teori dan penyebab konflik, kemarin kembali pecah kerusuhan di Karang Gayam dan Bluuran. Dua pengikut Syiah tewas, 3 luka-luka. Di kelompok penyerang, dikabarkan 2 orang luka berat. Orang-orang Syiah itu diserang ketika bersikeras kembali ke kampung halaman mereka untuk berlebaran dan bersilaturahmi dengan sanak famili, setelah terusir sekian bulan.
Karena kasus di Omben dan Karang Gayam itu, kini warga  awam pun mulai dengan mudah memberi cap orang-orang Syiah sebagai penganut aliran sesat. Mereka menilai paham mereka benar, sementara paham orang lain yang tidak sama adalah keliru dan kafir. Seperti kata Zein, mereka juga mengaku mengajak ke kebaikan dan mencegah kekejian.
Padahal kata seorang kiai di Omben, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tentu dan pasti tidak membakar, tidak merusak, dan tidak membunuh. Dalam ungkapan bahasa Madura, kiai itu berkata: emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamaccok [mereka hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam].