Thursday, May 5, 2011

Radikalisme Agama: Penistaan Berbalut Eksklusivitas

http://www.buletininfo.com/?menu=news&id=7836

Serangan bom bunuh diri yang mengguncang Masjid di Polres Cirebon, Jawa Barat, kembali menghangatkan debat tentang hubungan agama dan kekerasan. Kelompok Islam radikal, begitu juga opini dominan di Barat, mengaitkan terorisme dengan tradisi Islam.

Radikalisme dengan serangkaian aksinya yang penuh kekerasan telah menjadi sebuah gambaran masa depan yang suram.

Terorisme pada dasarnya adalah soal orang-orang yang memberontak dan terpinggirkan. Perlu diperhatikan, kekerasan selalu berhubungan dengan dislokasi sosial. Sebagian besar anak muda di beberapa negara Barat yang terlibat radikalisme Islam, secara sosial tidak terkait konflik di Timur Tengah dan tanpa tradisi pendidikan agama yang kuat. Mereka juga mengadopsi simbol-simbol Barat dan berlatar belakang pendidikan tinggi. Kelompok ini terbentuk dari campuran kelas menengah terpelajar yang terpinggirkan dan juga berasal dari kelas pekerja yang terpinggirkan.

faktor munculnya radikalisme ekstrim bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh faktor teologis. Sungguhpun radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan pada umumnya juga selalu berujung dengan kegagalan, namun adalah sebuah kenaifan mengkritisi fenomena radikalisme tanpa mencermati dan memahami situasi dan kondisi di seputar kemunculannya.

Kemunculan suatu gerakan sosial seperti halnya gerakan-gerakan keagamaan tidak lepas dari kondisi struktur sosial yang lebih luas yang melingkupinya, baik itu struktur kehidupan masyarakat maupun negara. Ketika kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik dinilai tidak "sejalan" dengan faham yang dianut sebagian kelas masyarakat, tidak sedikit manusia yang kemudian mengambil jalan 'pintas' dengan mengatasnamakan agama.

Kelompok manusia berhaluan radikal ini kebanyakan merasa ”terlahir kembali” sebagai muslim atau memilih ”masuk Islam” dengan alasan seperti diungkap Lionel Dumont (mualaf asal Perancis yang ikut perang Bosnia), ”the muslims are the only ones to fight for the system”, yang mengartikan bahwa menjadi muslim adalah sebuah cara untuk memerangi sistem. Sebagai gambaran, Al Qaeda, misalnya, tidak menyerang Basilika Santo Petrus di Roma, tetapi WTC dan Pentagon.

Sebagai bukti, Osama bin Laden telah menjadikan AS sasaran perlawanan karena sistem atau kebijakan global yang diterapkannya. Jika dicermati, saat ini hanya ada dua gerakan perlawanan yang mengklaim dirinya sebagai "Gerakan Internasional" anti dominasi barat.

Pertama adalah para aktivis antiglobalisasi yang cenderung berhaluan kiri atau lebih dikenal dengan New Left (Social Democrat), dan kedua adalah kelompok Islam radikal.

Ketidakadilan, kemiskinan, keterpinggiran politik, tampaknya menjadi alasan utama kemunculan ke dua ideologi tersebut. Terdapat sebuah thesis yang menyebutkan bahwa radikalisme Islam adalah sebuah bentuk respon atas ketegangan-ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik.

Klaim sebagai ”pembela umat” akhirnya berhasil memikat elemen radikal dari komunitas muslim yang tercerabut dari akar-akar sosialnya yang tengah mencari struktur perlawanan anti-imperialis yang bersifat global. Namun, keterlibatan individu-individu militan di Indonesia cenderung selalu menerjemahkan keterlibatannya secara personal, terputus dari komunitas naturalnya (keluarga, etnik, dan bangsa) untuk kemudian melakukan perlawanan di luar wilayah identitas kolektif yang nyata.

Penekanan jihad sebagai kewajiban individual, tampaknya, memenuhi kesepian hidup para militan yang terpinggirkan dari masyarakat dalam perjuangan menegakkan komunitas baru yang bersifat imajiner dan eksklusif.

Namun ada yang berubah dari sisi religiusitasnya, bukan agama atau isi ajaran Islam itu sendiri, yakni adanya hubungan personal penganut agama dengan keyakinan yang dipaksakan oleh "Amir". Para "Amir" yang memimpikan kekhalifahan Islam ini terus berupaya menyebarkan paham Islam fundamentalis dengan memanfaatkan konflik dan ketidakadilan global disertai jargon-jargon permasalahan di Timur Tengah.

Ironisnya, banyak kalangan muda kita yang tengah mencari jati diri dan adanya sebersit ketidakpuasan mereka atas lingkungan serta sistem akhirnya terjerumus menjadi korban eksploitasi para Amir tersebut.

Karena itu, tidak heran jika kelompok radikal cenderung anti-intelektual, karena yang dibutuhkan adalah pemimpin karismatik yang mampu menyediakan kumpulan norma dan nilai ”siap jadi” dan ”mudah didapat”. Para "Amir" ini kemudian berupaya terus memasarkan Doktrin Ideologi Fundamentalis berbalut kerangka perilaku eksklusif yang memasarkan "Iman" (faith) secara sporadis, untuk memenuhi dahaga para individu-individu yang diliputi kekosongan, kehampaan dan lilitan kesulitan ekonomi.Ke tiga hal inilah yang menjadi trigger (pencetus) radikalisme.

Asumsi bahwa penyebab radikalisme adalah karena faktor ekonomi diakui politisi Barat, seperti Martin Indyk, seorang diplomat AS. Ia memperingatkan bahwa siapa pun yang ingin mengurangi bahaya Muslim militan harus terlebih dahulu memecahkan masalah ekonomi, sosial dan politik yang menyebabkan gerakan itu menjamur.

Selain itu, permasalahan mendasar munculnya radikalisme adalah terbatasnya akses ekonomi dan pendidikan pada sebagian kelompok masyarakat.

Kasus-kasus radikalisme keagamaan mengklaim dirinya berlawanan dengan kekuasaan yang dianggap berhaluan sekuler dan kapitalistik, yang dipandang berdampak pada kesengsaraan rakyat akibat kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kaum marginal.

Kondisi ini semakin diperparah dengan maraknya tuduhan atas ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan menghukum para koruptor kelas kakap, serta terbukanya jurang ketidakadilan yang akhirnya mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang secara jelas akhirnya menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan.

Selama bangsa Indonesia dibangun berdasarkan "penyatuan politik" ketimbang "penyatuan budaya", maka tidak mengherankan jika yang terjadi kemudian adalah munculnya ‘ledakan-ledakan sosial’ yang berpotensi ditunggangi berbagai kepentingan. Bangsa kita masih dihadapkan pada minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat.

Oleh karena itu, perlawanan terhadap radikalisme mutlak menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, media maupun masyarakat. Masyarakat harus mulai membentuk kantung-kantung perlawanan sosial dan tanggap terhadap setiap indikasi "eksklusivisme agama" yang dapat merusak keindahan pluralisme sebagai berkah bagi bangsa kita sejak dahulu.


Albi Putra Shiddiq
Lembaga Kajian Manarul Qolbu

No comments:

Post a Comment