Thursday, December 23, 2010

Kerukunan Umat Beragama



http://nasional.kompas.com/read/2010/10/13/14175949/Kerukunan.Umat.Beragama




Rabu, 13 Oktober 2010 | 14:17 WIB
Almarhum KH Abdurrahman Wahid boleh saja mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah. Namun, Antonius Benny Susetyo (42) yakin bahwa Gus Dur, demikian almarhum kerap dipanggil, lebih ingin dikenal sebagai tokoh humaniora (kemanusiaan).
Lebih tepat jika beliau disebut tokoh atau pahlawan pluralisme atau pahlawan pejuang Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar lahirnya bangsa Indonesia,” kata Benny.
Benny, tokoh agamawan atau rohaniwan Katolik, ini bisa yakin menyatakan demikian karena dia menghabiskan sekitar 15 tahun hidupnya bersama tokoh-tokoh agamawan lintas agama lainnya, antara lain almarhum Gus Dur.
Saat itu kerukunan antarumat beragama sedang dalam ujian berat pada periode akhir kekuasaan rezim Orde Baru yang sudah kian absolut. Tanggal 10 Oktober 1996 sebanyak 22 bangunan gereja di Situbondo dibakar massa atau terbakar, terserah hendak menggunakan kata yang mana.
Setelah lebih dari satu dekade peristiwa itu berlalu, Benny melihatnya dengan kaca mata yang lebih baru dan lebih besar (big picture). Waktu itu ia seorang pastor muda yang berada di titik terdalam kemelut itu sebagai rohaniwan Gereja Katolik Bintang Samudra Situbondo.
”Itu peristiwa intoleransi yang ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Siapa yang sebenarnya bermain dan mendapat benefit (keuntungan) politik, sama seperti teori konspirasi lainnya, kita tidak pernah tahu. Namun, pokok persoalan bagi bangsa ini adalah demikian rentannya masyarakat Bhinneka kita ini terhadap provokasi konflik berlandaskan isu agama,” katanya.
Di tengah kekacauan itulah Benny hadir tanpa ragu-ragu. Tampaknya juga didorong oleh keluguannya waktu itu. Hanya dengan ”bersenjatakan” baju kebesaran romonya, jubah liturgi pastor berwarna putih hingga mata kaki dan menggenggam rosario, Benny dengan hati membaja mendatangi pondok pesantren-pondok pesantren dari mana massa berasal.
Untunglah, demikian kesadaran masyarakat Jawa seperti dialami Benny, ada Gus Dur. Menurut Benny, Gus Dur diibaratkan gunung es yang menyiram ketegangan di Situbondo ketika itu. ”Bisa kita bayangkan remuknya hati umat yang harus saya bimbing melihat bangunan rumah ibadah terbakar api tanpa mampu berbuat apa-apa,” tuturnya.
Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saat itu memiliki ”investasi” sosio-politik yang amat besar di Situbondo, yakni nama besar dan hubungan yang dalam dengan para pemimpin pondok pesantren, termasuk hubungan historis dengan almarhum KH As’ad Syamsul Arifin.
”Untuk meredam gejolak itu, tak bisa dilakukan sehari dua hari, berkali-kali dengan terus-menerus bersafari dengan Gus Dur dan sejumlah tokoh kerukunan umat beragama ke berbagai wilayah Tanah Air. Maka terbentuklah embrio Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) yang perlahan-lahan berkembang sebagai standar dan pola baru komunikasi antariman di kemudian hari secara nasional, termasuk di Tangerang lalu,” katanya.
Masa depan 
FKAUB didasarkan bukan dari skema konsep negara – masa itu dengan konsep penataran, melainkan upaya sadar para pemuka agama yang sangat khawatir dan mencemaskan masa depan kebhinnekaan bangsa ini waktu itu.Benny senantiasa teringat bagaimana Gus Dur membangun komunikasi dengan para pemimpin pondok pesantren se-Situbondo dengan kekurangan fisiknya.
”Saya tidak bisa lupa bagaimana Gus Dur menjelaskan perbedaan masjid dan gereja di depan umat. Umat bertanya-tanya mengapa mesti dibuat banyak gereja, bukankah satu gereja cukup, sebab semakin banyak gereja, dipahami sebagai Kristenisasi,” ujar Benny.
Sepak terjang Romo Benny bersama para rohaniwan agama lain waktu itu sungguh membangun wacana baru yang berbeda dengan cara negara membentuk konsep toleransi. Saat inilah ketika praksis keragaman atau pluralitas itu teruji terusmenerus, maka kehadiran visi besar seperti yang dilakukan Romo Benny amat berharga.
”Saya senantiasa memegang amanat Romo Mangun, yang mengingatkan kami para romo. Bahwa pastor Katolik tidak bekerja hanya untuk umat Katolik, melainkan untuk seluruh umat manusia. Lewat itu, antara lain kami bersama para santri aktivis ikut menampung pengungsi Sampit dan banjir bandang di Situbondo,” ucap Benny. (DODY WISNU PRIBADI)

No comments:

Post a Comment