Tuesday, March 29, 2011

Gereja sebagai Tertuduh: Pusat Kristenisasi

http://www.madina-online.net/index.php/editorial/907-editorial/354-gereja-sebagai-tertuduh-pusat-kristenisasi



DITULIS OLEH ADE ARMANDO   
SENIN, 28 MARET 2011 13:37
 
Penolakan terhadap pembangunan gereja terus berlangsung. Kepastian hukum tak dipedulikan. 
Semua mungkin bermula dari kebencian dan 
kecurigaan.

Kasus terakhir yang memperoleh perhatian 
media adalah penyegelan gereja GKI di Taman 
Yasmin Bogor. Kasus ini mengemuka mengingat 
jemaat gereja tersebut itu sudah menjalani 
segenap proses yang dibutuhkan untuk 
memperoleh kepastian hukum bagi pembangunan rumah ibadat 
mereka.


Bahkan Mahkamah Agung sudah menyatakan bahwa mereka
berhak mendirikan gereja di wilayah itu. Dan toh, Walikota
Bogor mengabaikan begitu saja keputusan hukum yang
seharusnya mengikat itu dengan tetap membekukan IMB
dan menyegel gereja tersebut.

Sang Walikota berkukuh bahwa proses perolehan IMB bagi 

pembangunan gereja tersebut cacat hukum. Sang Walikota
juga menyatakan ia memutuskan untuk menghentikan 
pembangunannya untuk meredam keresahan warga.

Contoh ini menjelaskan betapa seriusnya tekanan yang
diberikan kelompok-kelompok Muslim konservatif untuk
menghambat pembangunan gereja.

Dan ini mengherankan karena umat Islam selalu mengatakan
bahwa dalam Islam ada prinsip menghormati keyakinan umat 
beragama lain. Ayat yang sangat terkenal berbunyi: "Bagiku,
agamaku; Bagimu, agamamu." Prinsip sederhananya: “Kalaupun
kita berbeda, marilah kita tak saling mengganggu dalam hal
keyakinan."

Lantas, mengapa umat Islam nampak begitu saja mengabaikan
ajaran yang sedemikian luhur?

Jawabannya, nampaknya karena ada pihak-pihak yang dengan
sengaja menyebarkan gagasan bahwa gereja bukanlah sekadar
tempat ibadat. Dalam skema ini, gereja dituduh sebagai tempat 
pemurtadan umat Islam agar meninggalkan agamanya untuk
menjadi penganut Kristen. Dan mengingat –menurut kalangan 
konservatif ini– murtad adalah sebuah bentuk kejahatan yang
pantas mendapat hukuman mati, maka pihak yang mendorong
orang menjadi murtad, harus pula dibasmi.

Argumen semacam ini bisa dibaca dalam berbagai penerbitan
dan media online yang membawa suara kubu Islam konservatif,
seperti: Suara Islam, Voice of Al Islam atau Hidayatullah. Salah
satu tokoh yang berpengaruh dari kubu itu adalah Adian Husaini,
yang memperoleh gelar doktor dalam bidang pemikiran dan
peradaban Islam dari Istac, International Islamic University,
Malaysia. Setiap Minggu ia menulis Catatan Akhir Pekan untuk
Radio Dakta di Jakarta dan website Hidayatullah.

Sekitar 11 tahun lalu Adian menulis buku berjudul, "Gereja-
gereja Dibakar: Membedah Akar Konflik SARA di Indonesia."
Buku itu ditulis untuk menjelaskan latar belakang pembakaran 
sejumlah gereja yang dalam beberapa tahun semenjak menjelang 
jatuhnya Soeharto meningkat. Akar masalah yang ditunjuk Adian 
adalah Kristenisasi.

Menurutnya, Kristenisasi merupakan musuh utama umat Islam
di Indonesia. Kristenisasi adalah bagian dari kolonialisme Barat
untuk mencengkeramkan kukunya di dunia Islam. Upaya 
mengkristenkan rakyat Indonesia sudah dilakukan sejak jaman 
penjajahan Belanda, dilanjutkan di masa kemerdekaan dan Orde
Baru, dan masih berlanjut sampai sekarang. Bagi Adian, umat
Islam harus bersatu dalam mencegah kemungkaran yang dibawa
para pemuka Kristen. Dalam konteks peperangan melawan
Kristenisasi itulah, gereja-gereja dibakar.

Sampai saat ini, argumen Adian nampaknya tidak berubah.
Tokoh yang ironisnya duduk sebagai Wakil Ketua Komisi
Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI)
ini secara konsisten menempatkan Kristen sebagai sumber
masalah dalam soal kerukunan umat beragama di Indonesia.

Pada 21 September 2010 lalu, Adian misalnya menulis artikel
dengan judul "Untuk Apa Gereja Didirikan?" Melalui tulisan itu,
Adian menyatakan hendak menyajikan analisis komprehensif
mengenai gelombang kekerasan yang ditujukan kepada gereja-
gereja di Indonesia.

Menurutnya, kedudukan dan fungsi gereja bagi kaum Kristen
berbeda dengan kedudukan dan fungsi masjid bagi umat Islam.
Bagi umat Islam, masjid digunakan untuk shalat lima waktu.
Di pihak lain, gereja bukanlah sekadar persoalan tempat ibadat
belaka, kata Adian, tapi "terkait dengan misi mereka untuk 
mengkristenkan 
Indonesia".

Dengan mengutip sebuah buku yang ditulis seorang tokoh
Kristen Batak yang diterbitkan pada tahun 1964, Adian
menunjukkan bahwa, menurut kaum Kristen, pendirian
sebuah gereja bukan sekedar pendirian sebuah tempat ibadah,
tetapi juga bagian dari sebuah pekerjaan Misi Kristen; agar
masyarakat di sekitarnya "mengenal dan mengikuti Yesus
Kristus".

Dengan kata lain, Adian berargumen, gereja didirikan sebagai
bagian dari misi Kristenisasi. Dalam konteks itulah, kata Adian,
bagi kaum Muslim yang sadar akan keislamannya, soal
pembangunan gereja menjadi tidak sepele. Gereja akan
mendorong umat Islam keluar dari Islam. Gereja adalah sarana pemurtadan.

Karena sedemikian pentingnya arti gereja, menurut Adian,
bisa dipahami bila umat Kristen akan melakukan segala cara
untuk membangun gereja. Tulis Adian: ". . . sejak awal mula
misi dijalankan, gereja sudah menyiapkan diri untuk melakukan konfrontasi, khususnya dengan umat Islam. Bahkan, konfrontasi
itu harus dilakukan dengan mengerahkan jiwa dan raga demi
kemuliaan Tuhan."

Dengan mengutip sebuah buku berjudul "Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan 
Kesatuan 
Tubuh Kristus" (Jakarta: Metanoia, 2003), Adian menunjukkan 
bahwa misi Kristenisasi Indonesia belum berakhir. Ia mengutip 
bahwa sekelompok kaum Kristen evangelis memasang target 
tahun 2020 sebagai masa "panen raya".

Tulis Adian: "Inilah tekad kaum misionaris Kristen untuk 

mengkristenkan Indonesia. Segala daya upaya mereka kerahkan. 
Gereja-gereja terus dibangun di mana-mana untuk memuluskan
misi mereka. Gereja-gereja dan gerakan misi terus bergerak untuk 
meraih tujuan, (yaitu)…supaya semua gereja yang ada di Indonesia 
dapat bersatu sehingga Indonesia dapat mengalami transformasi
dan dimenangkan bagi Kristus."

Tentu saja bukan hanya Adian yang berargumen seperti ini.
Seperti dikatakan, berbagai publikasi yang dilahirkan dari
penerbit-penerbit konservatif tersebut lazim menggambarkan
Indonesia sebagai medan kaum muslim untuk melawan
kemungkaran yang dibawa oleh Kristenisasi.

Argumen-argumen yang dilontarkan Adian dan kawan-kawan
tentu saja mengandung banyak masalah.

Pertama-tama adalah soal keabsahan tuduhan Kristenisasi.
Dalam hal ini ada soal definisi. Penyebaran agama adalah
sesuatu yang alamiah. Islam sendiri menjadi begitu banyak
pemeluknya melalui penyebaran ajaran Islam ke seluruh dunia.
Dengan kata lain, penyebaran ajaran agama tentu saja bukanlah
sesuatu yang dengan sendirinya buruk.

Bahkan bisa dikatakan, adalah lazim bila setiap komunitas
agama berharap bahwa ada peningkatan pemeluk agama yang 
dianutnya. Bila pemeluk Islam percaya bahwa ajaran yang
diyakininya akan menyelamatkan umat dunia, tentu bisa
dimengerti bila ia berharap orang lain mau menerima kebenaran keyakinannya. Demikian pula dengan umat Kristen.

Dengan demikian, bila Kristenisasi didefinisikan sebagai upaya 

sistematis untuk menyebarkan ajaran Kristen sehingga lebih
banyak rakyat Indonesia mau menerima kebenaran Kristen,
seharusnya Kristenisasi bukan menjadi masalah. Bila umat Islam 
merasa khawatir bahwa Indonesia akan diambilalih oleh kaum
Kristen, yang harus dilakukan bukanlah berperang, melainkan menyebarkan ajaran Islam kepada umat Islam sendiri. Tentu
tugas menjaga keislaman orang Islam adalah lebih mudah
daripada mengkristenkan orang Islam.

Kedua, kalaupun ada upaya menyebarkan ajaran Kristen saat ini
tentu saja konteksnya berbeda dengan Kristenisasi di masa
penjajahan Belanda. Di masa itu, hubungan antara penjajah
dan kaum pribumi tidak simetris. Dengan demikian, Kristenisasi
di masa penjajahan bisa nampak tidak layak karena di situ
melibatkan hubungan kekuasaan. Di masa ini, ketika kelompok
Islam berdiri sejajar dengan kelompok Kristen, persoalan relasi 
kekuasaan itu tidak lagi perlu dikuatirkan.

Ketiga, kalaupun ada Kristenisasi yang perlu dipersoalkan itu
tentunya Kristenisasi yang memanfaatkan ketertinggalan dan keterbelakangan umat Islam. Sebagai contoh adalah bentuk-
bentuk bantuan sosial, ekonomi dan pendidikan yang dibarengi
dengan upaya pemaksaan agar pihak yang menerima bantuan 
berpindah agama. Inipun, kalau mau dipermasalahkan, harus 
menyertakan bukti yang menunjukkan pemaksaan itu memang
ada.

Keempat, dan yang terpenting adalah, menganggap gereja sebagai 

bagian dari Kristenisasi tentu saja adalah tuduhan yang sama
sekali tidak pantas. Gereja dibutuhkan oleh umat Kristen untuk 
beribadat. Bahwa gereja juga memiliki fungsi sosial tentu saja
juga bisa dipahami, seperti masjid bukan hanya tempat shalat.
Tapi mengatakan bahwa gereja dibangun untuk melakukan 
pengkristenan masyarakat sekitar tentu saja absurd.

Hampir pasti, mayoritas umat Kristen tidak berhasrat untuk
melakukan Kristenisasi di Indonesia. Bisa saja ada pemuka
agama Kristen yang bercita-cita dapat menyebarkan kebenaran
ajaran Tuhan yang diyakininya ke seluruh Indonesia sehingga
Indonesia menjelma menjadi negara Kristen, tapi jumlah orang 
semacam itu tentu hanya segelintir.

Mayoritas umat Kristen di Indonesia adalah orang-orang yang
bahagia dengan keyakinannya dan akan merasa sangat bahagia
bila diapresiasi kepercayaannya dan tak diganggu untuk
menjalankan hak asasinya untuk beribadat sesuai ajaran
agamanya.

Indonesia adalah negara yang dibangun oleh jutaan manusia
yang memiliki latarbelakang keagamaan dan keyakinan yang
sangat beragam. Negara ini akan damai bila masing-masing
kelompok tak memandang kelompok lain sebagai lawan yang 
mengancam. Bila isu Kristenisasi terus didengungkan, seluruh
umat Kristen akan nampak sebagai ancaman. Yang akan tumbuh
adalah kebencian dan kecurigaan. Yang dilarang nantinya bukan
lagi gereja, tapi, bisa jadi, juga hak hidup mereka yang beribadat di dalamnya. *****

No comments:

Post a Comment