Tuesday, March 1, 2011

Perbedaan Agama Itu Final

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content_96/read/perbedaan-agama-itu-final/


Selasa 01. of Maret 2011 13:05
OLEH: KRISTANTO HARTADI




WARTAWAN kawakan Aristides Katoppo, melalui surat elektronik, mengajak suatu hari nanti digelar diskusi membahas pengembangan jurnalisme profetik (prophetic journalism) seraya menyertakan sebuah artikel dari Umar Natuna berjudul “Jurnalisme Profetik, Panggilan Pers Masa Depan” (Kompas, 9 Februari 2011) yang ditulis menyambut Hari Pers Nasional.

Saya coba mencari di Google, dan ternyata menemukan tulisan yang mirip dan ditulis oleh M Sjafii Anwar di harian Republika tahun 1994 bertajuk “Agama, Pers, dan Pencerahan Peradaban”.  

Tentu saja membahas gagasan jurnalisme profetik sangatlah baik, karena menekankan keberpihakan pers kepada masalah orang kecil agar diperhatikan orang besar, dan agar para wartawan bekerja dengan berpedoman pada kode etik dan profetik moral. Disebut jurnalisme profetik karena ia tidak semata menulis atau melaporkan berita dan peristiwa secara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab, melainkan juga memberikan “petunjuk ke arah transformasi atau perubahan”.

Media memang bertanggung jawab dan harus punya kemampuan “kenabian” untuk menunjukkan jalan dan arah (trend), bukan sekadar melaporkan secara akurat kejadian demi kejadian hari ini yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. 

Menurut hemat saya, arus politik dunia saat ini dikuasai dengan apa yang disebut prophetic politics (politik ketuhanan), dan hal itu pernah saya ungkapkan pula dalam forum ini beberapa waktu lalu (Sinar Harapan, 8 Februari 2011). “Tuhan” dipakai sebagai motif dan alasan memenangkan berbagai kompetisi bernuansa politik, apakah itu dengan cara-cara demokratis atau tidak. Biasanya pihak yang kalah adalah kaum sekuler atau mereka yang percaya pada sekulerisme alias pemisahan antara ketuhanan dengan kehidupan politik praktis.     


Namun bahaya politik profetik itu adalah terjadinya “tren” peningkatan konflik bermotif agama di muka bumi. Data yang dihimpun Monica Toft menunjukkan pada periode 1940-1960, konflik yang dipicu isu agama hanya 24 persen, 1970-an naik menjadi 36 persen, 1980-an naik menjadi 41 persen, lalu naik terus menjadi 43 persen pada 1990-an, dan pada 2000-an sudah mencapai 47 persen. Mungkin kita bisa memasukkan di angka itu berbagai aksi kekerasan bermotif agama yang terjadi di Indonesia belakangan ini.

Perbedaan Final 

Atas undangan dari Reformed Center for Religion and Society, Sabtu (26/2), di Auditorium John Calvin yang megah di Kawasan Kemayoran, saya ikut mendengar ceramah Dr Os Guinness, pakar masalah agama-agama, kebijakan publik, dan hubungan internasional, dari Brooking Institution & Woodrow Wilson Center. Pertemuan itu sendiri bertajuk “Truth Pluralism & Public Life”. 

Guinness menguraikan bahwa dalam sejarah dunia, agama ternyata juga menjadi korban berbagai “aksi penyerangan”. Di situ juga termasuk bagaimana agama dikeluarkan dari kebijakan atau kehidupan publik (gerakan sekulerisme seperti yang terjadi di Prancis, Turki, negara-negara komunis), pelarangan pengajaran agama di sekolah milik publik di Amerika Serikat (namun pada sisi lain teori evolusi dari Darwin boleh diajarkan), atau  menyerang agama dengan mengedepankan hak-hak asasi manusia (contohnya perjuangan kaum homoseksual untuk mendapat kesetaraan), dan lain-lain.  

Berbagai konflik atas nama agama yang meningkat belakangan ini antara lain karena dunia kita sedang berubah. Heterogenitas muncul di mana-mana akibat migrasi antarbangsa. Terpaan media juga membuat dunia hampir tanpa batas sama sekali. Perang budaya dan konflik antarperadaban pun tak terelakkan.  

Konflik-konflik itu muncul karena ketidakmampuan seke­lompok orang dalam ma­sya­rakat untuk menerima kenyata­an bahwa kebebasan beragama adalah sesuatu yang hakiki, suatu kebebasan nurani. Orang berhak memilih Tuhan yang mereka percaya dan sembah. Maka, bila ada perbedaan, itu adalah hal yang sangat wajar. 

Guinness menilai perbedaan agama merupakan hal yang sudah final, tidak bisa diubah lagi, sehingga satu-satunya cara adalah dengan dialog bersama, sampai semua pihak memetik manfaat dari dialog itu. 

Namun kesadaran untuk berdialog itu harus dibangun melalui pendidikan (bila itu di sekolah) dan penyadaran (bila itu di masyarakat) mengenai pentingnya civilitas atau kewarganegaraan, bahwa setiap orang dalam masyarakat punya hak dan kewajiban, termasuk dalam hal beragama. 

Kalau yang diajarkan itu bukan nilai-nilai kebersamaan dan dialog, yang terjadi adalah desakan-desakan seperti pembubaran suatu aliran agama, atau serangan terhadap tempat ibadah agama lain, atau persekusi terhadap umat yang mempunyai agama berbeda. 

Jadi, tidak ada salahnya kita mengkaji lagi apakah bangsa ini sudah menanamkan nilai-nilai kewarganegaraan itu secara baik atau tidak? Tentu saja media juga punya peran membangun nilai-nilai kebersamaan itu melalui jurnalisme profetik supaya “tren” konflik bernuansa agama bisa dibalik.

No comments:

Post a Comment