Sunday, March 20, 2011

Mengunci Hukum, Mengunci Gereja

http://www.lenteratimur.com/mengunci-hukum-mengunci-gereja/






Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin 
sedang beribadah di trotoar pada malam 
Natal 2010 lalu. Foto-foto: Feri Latief.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengecam keras tindakan Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, beserta aparat kepolisian yang melarang warga untuk beribadah di Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Bahkan, ibadah yang selama ini dilakukan di trotoar sekitar gereja pun tak lagi bisa dilakukan.
Pelarangan ibadah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor dan aparat Kepolisian Resor Bogor, Jawa Barat, terjadi pada Minggu (13/3), di Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin Bogor. Sebelumnya, Sabtu malam (12/3), jemaat sudah ada di sekitar gereja untuk berdoa. Namun, saat subuh mereka diusir oleh polisi. Pagi harinya, mereka sudah tak dapat masuk ke dalam gereja. Tak hanya itu, polisi juga melakukan pemblokiran jalan yang mengarah ke gereja tersebut.
Tindakan Pemerintah Kota Bogor itu didasarkan pada keyakinan bahwa bangunan Gereja Kristen Indonesia Yasmin adalah ilegal. Sebelumnya, Pemerintah Kota Bogor malah sudah membekukan Izin Mendirikan Bangunan dari gereja tersebut. Tindakan pembekuan itu kemudian digugat dan dimenangkan oleh Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung. Keputusan Pengadilan ini berkekuatan hukum pada 9 Desember 2010 melalui Keputusan Mahkamah Agung Nomor 127/PK/TUN/2009.
“Terhadap perkembangan ini, PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia) menyatakan keprihatinan yang sangat dalam atas adanya niat pembangkangan hukum dari aparat negara yang seharusnya menjaga berlangsungnya penegakan hukum. Hal ini merupakan contoh buruk dalam penegakan hukum ke masa depan karena pemerintah daerah melakukan pembangkangan hukum dan pemerintah pusat membiarkannya,” ujar Sekretaris Umum Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Gomar Gultom, Senin (14/3), di Jakarta.
Sementara itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia juga menolak upaya pemindahan lokasi gereja ke tempat lain. Selain tak menyelesaikan masalah, hal tersebut juga akan menciptakan segregasi atau pengasingan agama di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
“Kita juga harus belajar dari kasus HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Ciketing (Bekasi, Jawa Barat), dimana jemaat menerima tawaran relokasi dari Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM), ternyata juga tidak menyelesaikan masalahnya hingga saat ini,” kata Gomar.
Atas alasan tersebut, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengajak semua pihak, terutama Pemerintah Kota Bogor, untuk menaati keputusan Mahkamah Agung sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum. Secara khusus, Persekutuan juga meminta perhatian Presiden, Menteri dalam Negeri, dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan untuk menertibkan aparatnya, dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor, untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif.
***
Persoalan Gereja Kristen Indonesia Yasmin sudah berlangsung cukup lama, yakni sejak 2008. Pada 13 Juni 2006, Izin Mendirikan Bangunan gedung gereja di Kelurahan Curug Mekar, Bogor, Jawa Barat, sudah dikantongi melalui Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 645-8-372. Namun demikian, izin tersebut dicabut secara sepihak oleh Pemerintah Kota Bogor pada 14 Februari 2008 melalui surat nomor 503/208-DTKP. Selanjutnya, pada 10 April 2010, Pemerintah Kota Bogor menggembok dan menyegel kompleks gereja.

Kelompok yang menolak praktik 
ibadah di trotoar.


Sejak saat itu, jemaat Gereja Kristen Indonesia pun melakukan ibadah di trotoar depan gereja pada setiap hari Minggu. Mereka melakukan ibadah ditengah demonstrasi organisasi massa yang menuntut agar trotoar tidak dijadikan tempat ibadah. Di tiap praktik ibadah tersebut, hadir polisi yang melakukan pengawalan (lihat Doa yang Bersaing dengan Amarah).
Walikota Bogor, Diani Budiarto, menjelaskan bahwa awal konflik pihak Gereja Yasmin dengan masyarakat ada di masalah perizinan gedung. Menurutnya, gedung gereja tersebut ilegal sehingga membuat pihaknya harus melakukan penyegelan sampai proses perizinannya jelas.
Saat ditanya bahwa Mahkamah Agung sudah memutuskan bahwa bangunan gereja tersebut adalah legal, ia tak menjawab. Meski demikian, ia mengakui tak memiliki hak untuk melarang agama manapun. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 Ayat 3, memang termaktub kewenangan mengurus agama ada di pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.
“Urusan agama tidak akan jadi masalah kalau perizinan legal. Kita tidak ada hak melarang agama manapun beribadah,” ujar Diani kepada Dewi Angrayni dari LenteraTimur.com, Bogor, Senin (14/3).
Diani mengaku lebih menekankan pada persoalan administrasi perizinan, dan bukan pada tindakan diskriminatif terhadap Gereja Kristen Indonesia Yasmin.
“Masyarakat Kota Bogor pada dasarnya tidaklah intoleran jika proses pendirian rumah ibadah sesuai dengan prosedur,” tambah Diani.
Sementara itu, Muhyidin, tokoh Islam dari Muhammadiyah Kota Bogor, mengatakan bahwa sedarimula izin pendirian gereja tersebut sudah bermasalah. Ia menuding pengurus Gereja Kristen Indonesia Bogor memalsukan sejumlah tandatangan masyarakat untuk menyetujui pendirian gereja tersebut.
Terkait dengan sudah dimenangkannya gugatan Gereja Kristen Indonesia Yasmin atas bangunan tersebut, Muhyidin yang juga petinggi Majelis Ulama Indonesia menyatakan masyarakat tidak percaya dengan persidangan itu. Ia melihat ada data-data yang tidak akurat yang digunakan, yakni tandatangan palsu. Karenanya, meski sudah menang di pengadilan, masyarakat tetap menolak.
Alhasil, ketika Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan keputusan namun tak diamini oleh Pemerintah Kota Bogor, maka keadaan menjadi tidak bergerak maju. Dan yang menjadi korban adalah warga negara yang hendak beribadah.
TM. Dhani Iqbal/Dewi Anggrayni

No comments:

Post a Comment