Friday, April 8, 2011

Wahabisme: Alhamdulillah atawa Innalillah?

http://madina-online.net/index.php/wacana/perspektif/902-perspektif/374-wahabisme-alhamdulillah-atawa-innalillah


DITULIS OLEH ABDUL MOQSITH GHAZALI   





KAMIS, 07 APRIL 2011 20:55
Di tengah kecenderungan masyarakat Islam yang 
dianggap mengidap penyakit TBC (takhayyul, bid’ah, 
dan khurafat), Wahabisme muncul untuk 
menghancurkannya.
Dengan semboyan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah 
(kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits), mereka 
berdakwah untuk mengajak umat Islam mengikuti 
ajaran Islam yang benar: Wahabisme.


Berpusat di Arab Saudi, Wahabisme yang didirikan oleh Muhammad 
ibn Abdul Wahab ibn Sulaiman al-Najdi pada abad ke-18, adalah 
salah satu sekte berpaham keras dalam Islam. Muhammad ibn Abdul 
Wahab lahir di Uyaynah, termasuk daerah Najd,bagian Timur Kerajaan 
Saudi Arabia sekarang, tahun 1111 H/1699 M dan meninggal dunia 
tahun 1206 H/1791 M. Ia belajar ke sejumlah guru terutama yang 
bermazhab Hanbali. Ayahandanya, Abdul Wahab, adalah seorang 
hakim (qadhi) pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal.
Kelompok Wahabi mengklaim dapat mengembalikan umat Islam kepada 
ajaran Islam dan akidah yang murni. Mereka ingin kembali kepada al-
Qur’an dalam makna yang harfiah. Al-Qur’an dianggap hanya deretan 
huruf yang tak berkaitan dengan konteks di sekitar. Dengan pendekatan 
ini, mereka menolak sejumlah tradisi (al-‘urf) yang tumbuh subur dalam 
masyarakat. Semua keadaan ingin dikembalikan pada keadaan zaman 
Nabi Muhammad. Mereka tak setuju rasionalisme yang berkembang 
dalam filsafat Islam. Demi literalisme al-Qur’an, Ushul Fikih mereka 
acuhkan.

Literalisme kaum Wahabi terus mengungkung mereka. Wahabisme 

menghendaki Islam yang “murni” dan “asli”—tentu dalam pengertian 
mereka. Dengan semangat purifikasi ajaran Islam, mereka menampik 
sejarah. Wahabisme menyeleksi kemodernan. Islam dalam pengertian 
Wahabisme tak boleh dijamah tangan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, 
tak aneh jika tahun 1920-an, Wahabisme mengharamkan telepon dan 
radio masuk Mekah.

Akibatnya, pemurnian berujung di jurang kegagalan. Wahabisme tak 

dikehendaki umat Islam. Sebagian ulama Sunni tak menghendaki jika 
Wahabisme dianggap menjadi bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 
Kakak kandung Muhammad ibn Abdul Wahab sendiri, Sulaiman ibn Abdul 
Wahab, menolak keras ideologi Wahabisme.

Wahabisme sebenarnya tak punya teologi yang unik. Ia hanya 

mendramatisasi doktrin-doktrin lama yang cenderung kaku dan rigid. 
Sebagaimana umumnya umat Islam lain, Wahabisme mendasarkan 
ajaran dan doktrinnya pada tauhid. Jika Mu’tazilah mengkampanyekan 
tauhid, itu juga yang dilakukan Wahabisme. Lalu ada apa dengan konsep 
tauhid Wahabisme?

Sejumlah pihak menilai bahwa tauhid Wahabisme adalah tauhid 

ekstrem. Dengan konsep tauhidnya, Wahabisme mudah mengirimkan 
vonis kafir kepada kelompok-kelompok Islam yang berbeda tafsir dengan 
dirinya. Mereka tak menyetujui tawassul, ziarah kubur, tradisi tahlil, dan 
lain-lain. Ujungnya adalah penghalalan darah orang lain untuk 
ditumpahkan. Walau tak mendaku sebagai pelanjut Kelompok Khawarij, 
Wahabisme memiliki kesamaan gerakan: menyukai kekerasan. Alkisah, 
makam Zaid al-Khaththab—saudara kandung Sahabat Umar ibn 
Khaththab—pernah dihancurkan Kelompok Wahabi. Tahun 1802, mereka 
menyerang Karbala.

Wahabisme kini tumbuh di Indonesia. Sejumlah ma’had 
atau pesantren 
yang mengusung ideologi Wahabisme bermunculan. Seorang teman yang 
sedang meriset Wahabisme di Indonesia mencatat tak kurang dari 14 
pesantren di Indonesia yang menyebarkan doktrin Wahabisme.

Dibanding data statistik pesantren di Indonesia yang ribuan jumlahnya, 

angka 14 memang kecil. Tapi fenomena penyebaran doktrin Wahabisme 
ini sudah sangat merisaukan. Atas keadaan ini, sebagian mengucapkan 
Alhamdulillah, dan sebagian yang lain berkata Innalillah. Wallahu A’lam 
bis Shawab.

No comments:

Post a Comment