Saturday, July 20, 2013

Pelajaran dari Mesir




http://sorot.news.viva.co.id/news/read/430536-pelajaran-dari-mesir
Suryanta Bakti Susila, Erick Tanjung, Zahrul Darmawan




VIVAnews - Kepada Ikhwanul Muslimin, kita seharusnya berterima kasih. Berpuluh tahun lampau, organisasi yang lahir nun di Bahariah Mesir itu, begitu bersemangat mendukung kemerdekaan Indonesia. Adalah Hassan Al Banna, pendiri organisasi itu yang berkali-kali mendesak Belanda meninggalkan Indonesia. 

Dan mereka tidak sekedar berpekik. Ketika kemerdekaan kita hendak direngut kembali 1945, Hassan Al Banna giat melobi pemerintah Mesir. Melobi pemerintah sejumlah negara Arab agar mengakui negara baru Indonesia. Pengakuan itu penting demi mengunci Belanda di forum-forum Internasional.    

Di Kairo Hassan Al Banna juga menerima sejumlah pejuang kemerdekaan yang datang dari Jakarta. Tidak susah menemukan foto masa lampau itu, di mana Hassan Al Banna menerima Haji Agus Salim, menerima Sjahrir dan sejumlah tokoh yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan. 

Ikhwanul Muslimin bahkan pernah menggelar demonstrasi besar-besar di Mesir dan menyerukan dukungan atas kemerdekaan Indonesia. Dan juga karena lobi mereka, Mesir kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia. 

Menurut catatan Wikipedia.com, Mesir adalah negara pertama yang secara de facto mengakui kemerdekaan Indonesia. Meski saat itu masih dalam status  belum sepenuhnya merdeka –Mesir  merdeka penuh 18 Juni 1953-- pengakuan negeri itu mendorong sejumlah negara lain memberi pengakuan yang sama dan melempangkan jalan Indonesia di dunia diplomasi. 

Indonesia dan Mesir kemudian merdeka, dan punya sejarahnya sendiri-sendiri. Berganti rejim, berganti pemerintahan dengan dinamikanya masing-masing. 

Apakah gerakan model Ikhwanul Muslimin itu kemudian berkembang di dunia, termasuk di Indonesia?

Menurut Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Ali Munhanif, penyemaian pemikiran Ikhwanul Muslimin terjadi pada 1970-an, terutama karena pemerintahan sejumlah negara sudah mulai berwatak otoriter. 

Ikhwanul Muslimin, katanya, populer sebagai referensi perlawanan gerakan oposisi terhadap negara di bawah pemimpin yang otoriter. Di Indonesia di bawah Soeharto,  Zia ul Haq di Pakistan, dan Mesir di bawah Anwar Sadat yang kemudian dilanjutkan Husni Mubarak. 

Buku-buku karya pemikir Ikhwanul Muslimin, katanya, banyak yang diterjemahkan dan dijadikan referensi pergerakan para aktivis kampus pada era tahun 1980-an. 

“Buku-buku itu menginspirasi anak-anak muda di kampus untuk berkiblat pada gerakan-gerakan Islam transnasional,” kata peraih Ph.D di Departemen Ilmu Politik Mc Gill University, Montreal, Kanada, itu.

Dan setelah kejatuhan Husni Mubarak di Mesir, Ikhwanul Muslimin menang lewat proses pemilu yang sangat demokratis. Mohammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin menjadi presiden. 

Celakanya  ekonomi tak kunjung membaik, oposisi memprotes cara dia memimpin dan Mursi kemudian ditumbangkan oleh militer negeri itu. Tapi situasi Mesir tak kunjung membaik.

Dunia terbelah dengan kejatuhan Mursi itu. Ada yang mendesak agar kursi presiden dikembalikan kepada Mursi dan banyak pula yang menampik Mursi kembali. Bagaimana Indonesia melihat kejatuhan Mursi?

Menurut Ali Munhanif, ada dua pandangan yang mempengaruhi Muslim Indonesia menyikapi krisis politik di Mesir itu. Pertama, menjadikan kasus tumbangnya Mursi sebagai pelajaran bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi jauh lebih penting daripada kebijakan yang sifatnya ideologis.  

Kedua, ada juga gerakan Islam yang menilai bahwa apa yang terjadi di Mesir bakal menjadi rumus umum bahwa kelompok-kelompok sekuler didukung oleh militer selalu tidak menghendaki kelompok Muslim memimpin negara. 

Muslim Indonesia, kata Ali, mayoritas memandang yang pertama. Dengan demikian, lanjutnya, kecil kemungkinan lembaga di Indonesia yang terinspirasi model gerakan Ikhwanul Muslimin akan menggalang dukungan terhadap Mursi secara terbuka. Sebab, kalau mereka melakukan itu justru menjadi kontra produktif, selain juga karena lebih berkonsentrasi menjelang 2014. 

Ali memberi catatan bahwa terjungkalnya Mursi dari kursi kekuasaan harus dipahami para pemimpin umat Islam sebagai kesalahan Mursi sendiri. Kebijakan Mursi dalam menyusun kabinet, dalam mengedepankan konstitusi, serta dalam proses-proses perubahan, membuat kekuatan militer di sana tidak sabar. 

Di Indonesia

Terlepas dari apa yang terjadi di Mesir, kelompok apa saja di Indonesia yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin?  

”Di Indonesia sebetulnya tidak banyak. Pertama adalah PKS, kemudian HTI. Meskipun mereka tidak menamakan diri sebagai partai. Itu keliru karena Hizbut itu artinya partai. Hizbut Tahrir artinya partai pembebasan,” kata Ali.

Tapi Ketua DPP PKS, Agoes Purnomo, membantah bahwa Ikhwanul Muslimin dan PKS sama. Ikhwanul Muslimin, katanya,  besar dan berkembang di Mesir, sementara PKS di Indonesia. 

”Kalau Ikhwanul Muslimin sistem kaderisasinya lebih ketat. Kalau persamaannya adalah dari segi doanya dan wiridnya sama,” ujar caleg PKS di daerah pemilihan Jawa Tengah VII itu.

Bagaimana dengan Hizbut Tahrir? Menurut Juru Bicara, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, sejumlah kalangan memang menilai lembaganya punya hubungan khusus dengan gerakan keislaman yang tumbuh di negeri Mesir itu.

“Bahwa Hizbut Tahrir itu adalah gerakan yang didirikan oleh Syekh Taqiyudin al-Nabhani banyak dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin,” kata Yusanto ditemui VIVAnews di Crown Palace, Jakarta, Selasa 16 Juli 2013. 

“Bahkan ada yang mengatakan bahwa HTI itu adalah pecahan dari Ikhwanul Muslimin. Nah terhadap anggapan itu, kami katakan itu tidak benar.”

Yusanto mengakui ada sejumlah kesamaan antara HTI dan Ikhwanul Muslimin pada unsur-unsur ataupun simbol yang diusung. Tapi, dia melanjutkan,  sisi konsepsi dan pemikiran keduanya banyak yang berbeda. Meskipun, HTI tidak bisa mengklaim benar-benar steril dari pengaruh Ikhwanul Muslimin. 

Ikhwanul Muslimin, kata Yusanto, didirikan Hasan al Banna pada 1928 setelah runtuhnya Khilafah Utsmani di Turki. 

Sementara, HTI didirikan oleh Taqiyudin pada 1953. Taquyudin memang pernah kuliah di al Azhar Mesir, tapi, kata Yusanto, “Dia tidak pernah ikut Ikhwanul Muslimin. Juga tidak berinteraksi dengan Hasan al Bana. Itukan rentang waktu yang berbeda.”

Perbedaan yang mencolok di antara keduanya, lanjut Yusanto, adalah dalam memandang demokrasi. Ikhwanul Muslimin mengalami metamorfosis dari tahun ke tahun dan akhirnya menerima dan terlibat dalam sistem demokrasi. Sesuatu yang di masa Hasan al Bana tidak dilakukan. 

“Di masa Hasan al Bana, kritik terhadap demokrasi itu sangat keras. Bahkan Hasan al Bana itu mengharamkan partai politik. Melarang mengikuti pemilu dan segala macam. Jadi pokoknya jauhlah dari kebiasaan politik. Sesuatu yang sekarang ini tidak dilakukan (HTI). Artinya beda sekali dengan Ikhwanul Muslimin,” papar Yusanto.

Jalan Keluar

Yusanto menjelaskan bahwa masalah yang sesungguhnya terjadi di Mesir bukanlah soal pribadi presiden, yang dilengserkan lalu diganti orang lain. Masalah sesungguhnya terletak pada rejim secara keseluruhan dan konstitusi yang diterapkan.  

Itu sebabnya, lanjut Yusanto, “Hizbut Tahrir menyerukan untuk menjadikan kesetiaan hanya karena Allah, guna menegakkan syariah dan menguatkan agamanya.” 

Sementara Agoes Purnomo dari PKS menegaskan bahwa Mursi dan Ikwanul Muslimin menang secara demokratis dalam Pemilu. Seharusnya kalau mengalahkan harus dengan cara yang demokratis juga. “Peristiwa kudeta itu adalah kejahatan terhadap demokrasi,” kata Agoes Purnomo.  

Ikwanul Muslimin di Mesir, katanya, sudah biasa dirundung peritiwa seperti itu. Sejak tahun 60-an, 80-an dan 90-an mereka pernah mengalami situasi politik seperti sekarang ini. “Jadi sudah tidak kaget lagi mereka atas kejadian itu.” 

Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Mahfudz Siddiq, menilai bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis politik di Mesir adalah mengembalikan kekuasaan kepada Presiden Mursi dan Ikwanul Muslimin, yang telah dirampas secara paksa. 

Semua kekuatan harus duduk bersama. Jalan ini harus ditempuh, sebab jika tidak, kekacauan politik di Mesir bisa menular ke negara-negara demokratis baru di sekitarnya.

Indonesia, kata Mahfudz, harus mengambil peran mencari jalan keluar dari krisis itu. “Sebab selama ini pengalaman demokrasi di Indonesia sering dijadikan rujukan oleh negara-negara yang sedang mengalami Arab Spring,” kata Ketua Komisi I DPR Bidang Luar Negeri itu.

Ketua Bidang Humas Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menilai bahwa apa yang terjadi di Mesir, tidak akan berpengaruh terhadap Indonesia. ”Pengaruhnya secara langsung tidak ada,” kata Mardani Ali Sera. PKS, katanya,  hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi Mesir. “Tak ada yang khusus," katanya.


Mimpi Buruk Ikhwan Muslimin
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/430531-mimpi-buruk-ikhwanul-muslimin
Denny Armandhanu

VIVAnews – Di terik kemarau yang menyengat, jutaan orang di dekat masjid Rabiah al-Adawiyah, Nasr City, tetap bergeming. Semangat mereka masih menyala-nyala, meski Ramadan kali ini puasa di Mesir berlangsung 14 jam sehari.  

Sembari beribadah –mengaji, shalat dan berdoa- lautan simpatisan Ikhwanul Muslimin membuat lokasi itu persis seperti Mekkah saat musim haji, ketimbang aksi demonstrasi. Berbagai lapisan dan usia berkumpul.  Anak-anak bawa bendera. Orang tua membagikan makanan berbuka.

Mereka tegas mengatakan, tak akan beranjak sampai tuntutan dipenuhi: kembalikan Mohammad Mursi ke tampuk pemimpin. "Allah menolong kami, baik puasa atau sedang tidak puasa, karena kami punya tujuan, dan tujuan kami benar," kata Ahmad Khalil, seorang guru. Tugasnya jadi penjaga keamanan pada demonstrasi itu. Di tengah suhu lebih dari 32 derajat celcius, dia tetap semangat.

Inilah krisis paling serius yang dihadapi Ikhwanul Muslim (IM) dalam 85 tahun umurnya. Ini jugalah yang mungkin menjadi impian sekaligus mimpi buruk Hassan Al-Banna, pendiri gerakan itu. Impian terwujud karena akhirnya IM bisa berkuasa. Mimpi buruk karena kekuasaannya itu hanya seumur jagung.

Didirikan di Ismailiyah, Mesir,  tahun 1928,  Ikhwanul Muslimin telah menjadi organisasi Islam terbesar dengan jutaan pengikut di seluruh dunia. Gerakan itu adalah organisasi politik Islam pertama di era kolonial. IM menerapkan teori pemikir Islam Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh pada awal abad ke-20. Afghani dan Abduh percaya, Islam lemah menghadapi dominasi Eropa karena umatnya menyimpang dari ajaran sejati. 

Berbagai organisasi baik politik praktis, maupun radikal banyak terilhami oleh organisasi ini. Gerakan yang dicerahkan oleh visi Ikhwanul Muslimin yang berupaya memperoleh kekuatan politik di Aljazair, Tunisia, Yordania, Sudan, Palestina, termasuk juga Indonesia (Baca bagian 3: Pelajaran dari Mesir). 

Adalah Hassan al-Banna, guru agama lulusan Darul Ulum yang mendirikan IM. Usia Al Banna masih muda waktu itu, baru 22 tahun. Dia ingin menandingi kekuasaan asing di Mesir, sekaligus menegakkan syariat Islam di negara itu. Mengutip dari jurnal Military Review, dengan slogan “Islam adalah Solusi Semua Hal”, pria kelahiran tahun 1906 di Mahmudiya ini menegaskan syariah harus berdiri jika rakyat Mesir ingin bermartabat dan terhindar dari kemiskinan.

Gerakannya pun tumbuh. Sepuluh tahun pertama, IM berhasil membangun cabang di seluruh Mesir.  Sasarannya masyarakat akar-rumput yang jengah pada ketimpangan. IM masuk melalui kampus dan serikat pekerja, mengincar juga keluarga-keluarga Muslim.  IM bahkan berhasil meluaskan jaringannya hingga ke Suriah, tepatnya ke Aleppo. 

Mereka berpedoman pada Al-Quran dan hadits, serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Gerakan itu juga menganjurkan membersihkan hati, kebugaran jasmani, memperluas pemahaman soal Islam, membentuk pemerintahan Islam, mengembangkan infrastruktur ekonomi syariah, dan mempererat hubungan antara Ikhwan –sebutan pengikut IM- dan dunia Islam.

Tahun 1938, Banna menyurati pemerintah Mesir dan pemimpin dunia Arab. Dia menyerukan penegakan hukum Islam, melarang perjudian, prostitusi, riba, monopoli, buku-buku, lagu-lagu, dan pemahaman yang merusak keislaman.

Awal berdiri, IM berkecimpung di bidang politik, pendidikan dan sosial. Pada Perang Dunia II, barulah IM mendirikan  sayap militan dan pengadilan semi yudisial untuk mengeluarkan fatwa, dan mengadili mereka yang mengkhianati negara dan agama. IM bahkan menerbitkan medianya sendiri yang terbit berkala.

Pada awal 1940an, IM mendirikan kamp latihan gerilyawan di Bukti Mukatam, Kairo. Sayap militan ini sangat terorganisir, sampai mampu mengumpulkan banyak senjata saat Perang Arab-Israel tahun 1948. Pada akhir Perang Dunia II, anggota IM di Mesir saja sudah dua juta orang, dari 2.000 cabang. 

Friksi muncul. Apakah mereka harus tetap berada dalam sistem, atau keluar, dan membentuk militansi sendiri. Dari sini nantinya tercipta sempalan-sempalan militan, Jemaah Islamiyah yang berdiri 1979, dan Tanzim al-Jihad yang diberangus oleh Presiden Anwar Sadat. 

Al-Banna terbunuh

Tahun 1948, sayap militan IM diduga berada di balik pengeboman kompleks perbelanjaan Circurrel, pembunuhan Hakim Ahmed Al-Khizindaar, dan Perdana Menteri Mahmoud al-Nuqrashi Pasha. Pemerintah Mesir berang.

Hassan Al-Banna dibunuh pada 12 Februari 1949, oleh orang tak dikenal di pasar Kairo. Pelakunya diduga anggota pasukan khusus suruhan Raja Farouk. Hingga kini, tidak ada yang ditahan atas pembunuhan tersebut (lihat Infografik: Derap Ikhwanul Muslimin).

Sebelum terbunuh, Gamal Abdel Nasser pernah mendekati Banna  pada tahun 1946 untuk membantunya menggulingkan monarki Mesir. Nasser membujuk Banna untuk menggabungkan kekuatan IM dengan pasukan Opsir Bebas yang dipimpinnya.

Akhirnya tahun 1952 Raja Farouk terguling, Nasser berkuasa. Dalam pemerintahannya, para Ikhwan menanggung kecewa. Ikhwan hanya diberi posisi di kementerian agama. Hubungan kedua kubu kian renggang saat Nasser menafikan visi negara Islam Al-Banna, dan merangkul masyarakat Kristen Koptik serta sekuler di Mesir.

Terjadi percobaan pembunuhan atas Nasser tahun 1954. Ikhwan disalahkan. Akibatnya, gerakan IM kembali dilarang. Ribuan anggotanya dipenjara dan disiksa. Salah satunya adalah Sayyid Quthb yang tewas di tiang gantungan Penjara Tura pada 1966. Kendati begitu, gerakan ini masih terus berkembang di bawah tanah.

Dalam penjara, tahun 1964, Quthb menghasilkan buku berjudul Ma'alim fi al-Tariq (batu pijakan).  Dalam buku itu, dikatakan pemimpin dipilih bukan hanya karena dia Muslim. Tapi harus di pilih oleh ummat, pemimpin juga harus bebas korupsi, dan bukan diktator. 

Oleh para kelompok radikal, buku ini ditafsirkan sebagai pembenaran melawan pemerintah dengan kekerasan. Beberapa yang terinspirasi adalah  Islamic Jihad dan al-Qaeda.  Salah satu pentolan al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, dan Mohammed Atef diketahui adalah mantan anggota IM.  Tidak heran, media massa dan peneliti barat menjuluki Quthb “guru para teroris”.

Puncaknya adalah pembunuhan Presiden Anwar Sadat tahun 1981 oleh kelompok jihad yang oleh beberapa kalangan disebut dengan nama “Quthbis”. Buku ini juga jadi bukti radikalisme IM yang dihadirkan di pengadilan melawan Quthb. 

Kendati diberangus oleh setiap kepemimpinan Mesir, IM masih aktif berpolitik. IM bergabung dengan aliansi yang dibentuk Partai Wafd tahun 1984. Tahun 1987, IM bergabung dengan Partai Pekerja dan Liberal, berhasil jadi kelompok oposisi utama di Mesir.

Kemajuan pesat terus terjadi hingga pada 2000, Ikhwan dapat 17 kursi di majelis rendah Dewan Rakyat. Lima tahun kemudian, kelompok ini mendapatkan suara yang mencengangkan. Kandidat independen simpatisan IM mendapatkan 20 persen kursi. Membuktikan kecintaan masyarakat yang besar pada organisasi bentukan Banna ini.

Presiden Husni Mubarak tidak bisa terima. Dia takut kekuasaan IM akan meluas dan mengancam pemerintahannya. Akhirnya Mubarak memerintahkan penangkapan ratusan Ikhwan, dan mengamandemen konstitusi.

Dalam konstitusi yang baru dikatakan, “setiap aktivitas dan partai politik tak boleh didasarkan atas pondasi agama, kandidat independen tak boleh mencalonkan jadi presiden”. Mubarak juga membentuk undang-undang terorisme yang memungkinkan aparat menahan tersangka teror dan melarang perkumpulan publik.

Arab Spring

Tahun 2010, Revolusi Arab, atau Arab Spring pecah dari Tunisia. Negara-negara Timur Tengah dan Afrika tertular, tak ketinggalan Mesir. Ikhwan diam-diam ikut dalam demonstrasi menentang pemerintahan Mubarak.

Presiden yang telah berkuasa tiga dekade itu tumbang pada Februari 2011. IM langsung menggalang kekuatan dengan mendirikan partai Kebebasan dan Keadilan (FJP). Partai ini berhasil memenangkan hampir setengah jumlah kursi di Dewan Rakyat, membuktikan dukungan pada IM masih sangat besar. 

Partai bernafas Islam, Nour, jadi pemenang kedua, menjadikan kelompok Islam memegang kendali 70 persen kursi di majelis rendah. Hal sama terjadi di majelis tinggi atau Dewan Syuro. Berarti, Ikhwan dan sekutunya bisa menentukan 100 anggota dewan konstituen yang bertugas merancang konstitusi baru Mesir.

Kelompok liberal dan sekuler panik. Menurut mereka komposisi parlemen tak merefleksikan keberagaman masyarakat di Mesir.  Ketakutan kian menjadi saat pada tahun 2012, Ketua FJP Mohammed Mursi jadi presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis.

Mursi memenangkan 51 persen suara, melawan mantan komandan angkatan udara Ahmed Shafiq. Mursi diangkat pada 30 Juni 2013. Pada pidatonya dia menekankan bahwa pemerintahannya menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, sipil dan modernitas, sekaligus menghargai kebebasan beragama, dan hak-hak menyampaikan aspirasi.

Tapi langkah berikut dari Mursi yang membuat oposisi makin gerah.

Al-Arabiya memberitakan, dalam beberapa bulan setelah terpilih, Mursi menunjuk para Ikhwan di berbagai posisi pemerintahan. Lima di berbagai kementerian, delapan di kantor presiden, tujuh gubernur, 12 asisten pemerintahan, 13 dewan pemerintahan, 12 walikota, semuanya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Mereka bertugas mengatur 40 juta rakyat Mesir. Oposisi berpikir, Mursi hendak meng-Ikhwanul-Muslimin-kan Mesir.

Dia memberhentikan jaksa penuntut yang menentangnya. Keputusan ini dianggap inkonstitusional oleh banyak pihak. Mursi juga memecat Jenderal Mohammed Tantawy, mantan menteri pertahanan era Mubarak. Padahal Tantawy adalah salah satu jenderal yang mendorong Mubarak lengser. Kepercayaan militer pada Mursi pun goyah.

Di bidang ekonomi, Mursi dianggap gagal meningkatkan pendapatan dan taraf hidup. Langkahnya mengamandemen undang-undang pajak malah justru memicu kenaikan harga. Permintaan pinjaman US$4,8 miliar juga belum disetujui IMF. 

Desember 2012, rancangan konstitusi disetujui, termasuk di dalamnya adalah meningkatkan peran Islam dalam pemerintahan. Publik menyetujui konstitusi ini melalui referendum nasional Desember tahun lalu. 

Saat itu, Mursi mengeluarkan dekrit yang memerintahkan militer melindungi institusi nasional dan tempat referendum. Oposisi menganggapi Mursi menyalahgunakan kekuatan militer. Oposan semakin naik pitam. 

Dalam setahun di Mesir, ada 558 demonstrasi, 514 mogok kerja, dan 500 aksi duduk. Militer pada akhir Januari lalu memperingatkan, krisis politik ini bisa membahayakan negara.

Tamarod

Akhir April 2013, oposisi membentuk gerakan “Tamarod” atau pemberontak. Mereka mengumpulkan petisi keluhan soal kegagalan Mursi memperbaiki keamanan dan ekonomi Mesir. Mursi juga dituduh mendahulukan kepentingan Ikhwanul Muslimin ketimbang negara dan rakyat.

Peringatan setahun kekuasaan Mursi pada 30 Juni lalu ditandai demonstrasi jutaan massa Tamarod, menuntutnya mundur. Lalu kisahnya berkembang menjadi semacam “mimpi buruk” bagi gerakan yang telah mengakar di Mesir itu. 

Bentrokan terjadi, korban terluka dan tewas berjatuhan. Militer pada 1 Juli memberikan Mursi 48 jam untuk membenahi Mesir dan menggelar referendum. Mursi tampik ancaman militer.

Akhirnya pada 3 Juli, Jenderal Abdel-Fattah al-Sisi menyatakan Mursi bukan lagi presiden. Militer mengangkat ketua mahkamah konstitusi Adly Mansour sebagai presiden sementara. Kabinet yang dibentuk Mansour terdiri dari berbagai lapisan di Mesir, kecuali, tentu saja, Ikhwan.

Mursi ditahan di tempat rahasia, Ikhwan kembali mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Militer keluarkan perintah tangkap pada 300 anggota Ikhwan, termasuk pemimpinnya Mohammed Badie. Aset-aset Ikhwan dibekukan. Mereka diselidiki atas tuduhan pemicu kekerasan.

Massa IM bangkit. Marah atas kudeta militer yang menurut mereka mencederai demokrasi. Betapa tidak, Mursi terpilih secara demokratis dan baru setahun memimpin. 

Bentrokan terjadi saat puluhan ribu massa IM demonstrasi di depan markas Garda Revolusi, tempat Mursi diduga ditahan. Sedikitnya 54 orang tewas, ratusan lainnya terluka. Lebih dari 400 orang ditahan. Tentara dituduh menghujani massa demonstran dengan peluru. Padahal sebelumnya militer mengklaim membolehkan demonstrasi damai.

“Mereka membunuh para martir ketika sedang shalat! Jika mereka menghadapi kami dengan peluru, maka kami akan berdiri di depan tank!” kata Soraya Naguib Ahmed, wanita bercadar, menggambarkan peristiwa 8 Juli itu kepada Gulf Times.

Sekitaran masjid Rabiah Al-Adawiyah, Nasr City, bagian utara Kairo, jadi lautan Ikhwan. Ratusan ribu orang datang berbondong-bondong menggunakan bus dari seantero Mesir. Ayah terlihat menggendong anak balitanya. Beberapa wanita berniqab mengenakan payung. Satu suara, mereka menuntut Mursi kembali memimpin.

“Jiwa kami, darah kami, untuk Islam,” teriak mereka serentak. Siap mati. 

“Kami tetap di sini dan tidak akan pergi. Kami datang membawa anak-anak kami untuk mendukung demokrasi dan presiden kami, yang pertama kali terpilih secara demokratis di dunia Arab,” kata Amer Ali, mantan anggota parlemen yang pernah dipenjara 13 tahun pada pemerintahan Mubarak. 

Ali Jauh-jauh datang dari Assiut  ke Lembah Nil. Putranya yang berusia dua tahun, Mahmoud, duduk di atap mobil mengibarkan bendera Mesir kecil. Istrinya di dalam, merekam menggunakan tablet, putrinya yang masih menyusu tertidur di sampingnya.

Ali, satu dari jutaan Ikhwan di tempat itu. Ini minggu kelima mereka bercokol di Nasr City. Mendirikan tenda. Berbaur. Berdoa. Berjuang. “Saya yakin Mursi akan kembali ke posisinya. Semua ketidakadilan ini akan berakhir,” ujar Ibrahim Mohamed, mahasiswa dari Delta Nil.

No comments:

Post a Comment