Tuesday, June 2, 2015

Hizbut Tahrir: Anti Demokrasi tapi Hidup berkat Demokrasi

http://www.madinaonline.id/wacana/hizbut-tahrir-anti-demokrasi-tapi-hidup-berkat-demokrasi/

Foto: www.tempo.co

Pada 30 Mei 2015, Gelora Bung Karno Jakarta dipenuhi lebih dari seratus ribu pendukung Hizbut Tahrir Indonesia yang berkumpul untuk menyelenggarakan acara Konsolidasi Rapat dan Pawai Akbar (RPA) HTI. Pada dasarnya, mereka menegaskan kembali komitmen mereka untuk menegakkan Khilafah yang mendasarkan diri pada Syariah di Indonesia. Rapat akbar itu adalah puncak dari rangkaian acara serupa di 36 kota di Indonesia.
Melalui rapat akbar itu, para pimpinan HTI kembali mengingatkan bahwa keterpurukan Indonesia – dan negara-negara Islam lainnya — saat ini hanya bisa diselesaikan bila umat Islam bersatu menegakkan sebuah Khilafah di dunia islam
images HT
HT Indonesia adalah bagian penting Hizbut Tahrir Internasional. Dengan jumlah umat Islam yang luar biasa besar, Indonesia memang menjadi salah satu wilayah yang menentukan keberhasilan HT Internasional untuk menegakkan cita-cita mereka: menegakkan kembali kejayaan Khilafah Islam.
Hizbut Tahrir adalah organisasi internasional yang menyempal dari kelompok Ikhwanul Muslimun (IM), ‘saudara tua’ PKS. Pendiri HT, Taqiuddin al-Nabhani, adalah mantan orang penting IM. Namun, karena ia menilai IM terlalu moderat dan akomodatif terhadap Barat, al-Nabhani akhirnya keluar dan mendirikan HT pada 1952.
HT menolak demokrasi dan gagasan-gagasan dari Barat. Menurut HT, Barat telah meracuni pikiran umat Islam dengan gagasan-gagasan seperti demokrasi, nasionalisme, sosialisme, kapitalisme, dan lainnya. Semua gagasan itu, menurut HT, telah menyebabkan umat Islam terjerumus dalam kondisi tak berdaya, baik secara budaya maupun politik, dan menjauhkan umat Islam dari syariatnya sendiri.
Karena itu, HT kemudian mengusung ide mendirikan Khilafah Islamiyah sebagai kekuasaan politik global yang seharusnya memerintah semua umat Islam yang ada di muka bumi.
Berbeda dengan sistem pemerintahan di dunia saat ini, Khilafah tidak dibatasi batas negara-bangsa. Seorang Khalifah, yaitu pemimpin Khilafah, adalah pemimpin umat Islam dengan kekuasaan politik di seluruh dunia. Dengan demikian seluruh umat Islam dunia – yang menempati Darul Islam – idealnya tunduk pada hanya satu Khalifah.
Konsep Khilafah ini merujuk pada perkembangan Islam di masa lalu. Selama sekitar 14 abad, ada begitu banyak Khalifah berkuasa. Pada awalnya, seusai Nabi Muhammad wafat, posisi itu secara bergantian diisi empat sahabat Nabi (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib). Seusai Ali kepemimpinan dunia Islam dipegang sejumlah dinasti, termasuk Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah dan terakhir Utsmaniyah.
Era Khilafah Islam ini berakhir pada Maret 1924, dengan tumbangnya Khilafah Ustman yang berkuasa di Turki. Sejak saat itu, dunia Islam ‘terpecah’ menjadi puluhan negara yang berdiri terpisah dan berdaulat yang di pimpin seorang kepala negara di wilayahnya.
HT ingin mengembalikan kejayaan Khalifah tersebut. Hingga saat ini, HT terus menyebar ke berbagai negara yang yang umumnya demokratis, termasuk di Indonesia. Sebagai catatan, bukan hanya HT yang menjual isu khilafah untuk menarik dukungan dan simpati. Ada dua gerakan keislaman terkemuka saat ini yang juga melakukan hal serupa, yaitu Boko Haram di Nigeria, dan ISIS di Irak dan Suriah. Bedanya, HT tidak percaya pada jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politik.
Foto: www.prasetya.ub.ac.id

Di Indonesia, HT masuk pada 1980an, melalui kampus-kampus besar seperti Institut Pertanian Bogor. Pada awalnya mereka hadir secara sembunyi-sembunyi melalui jaringan halaqah (kelompok kecl beranggotakan 5-10 orang) di berbagai komunitas.
Sejak era reformasi, HTI tampil dengan lebih mengemuka. HTI bahkan menyelenggarakan Konferensi Internasional Khhilafah Islamiyah di Jakarta. HTI juga lazim melakukan acara publik untuk mengkampanyekan penegakan Khilafah. Dalam pemilu 2014, HTI tampil mendukung salah satu kandidat presiden. Salah seorang penceramah Islam populer, Felix Siauw, juga secara terbuka terus menyuarakan arti penting Khilafah.
Ancaman bagi Indonesia
HTI memang terus tumbuh. Namun sebenarnya pertumbuhan ini dapat dilihat sebagai masalah – kalau bukan acaman – bagi Indonesia.
HT-11
Masalah utama HTI adalah mereka percaya pada konsep pemerintahan yang bertentangan sepenuhnya dengan konsep NKRI. Dalam pandangan HT, Islam sudah memberikan semacam cetak biru pemerintahan yang harus dijalankan di sepanjang masa. HT memutlakkan konsep Khilafah sebagai satu-satunya model pemerintahan dalam Islam. Padahal al-Quran dan hadis hanya memberikan panduan kepada umat berupa prinsip-prinsip dasar (mabadi` asasiyyah) bagaimana bernegara dan mengelola masyarakat. Prinsip-prinsip dasar itu di antaranya keharusan adanya pemimpim, menaati pemimpin, bermusyawarah untuk mencari solusi permasalahan, dan lain sebagainya.
Dengan prinsip-prinsip dasar di atas, al-Quran dan hadis sebenarnya memberikan kepercayaan yang begitu besar kepada umat untuk merancang dan mengelola sistem pemerintahannya sendiri yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan tempat mereka. Dengan kata lain, al-Quran dan hadis sendiri yang menghendaki munculnya keragaman tafsir di antara umat soal bagaimana bernegara dan mengelola masyarakat.
Dengan keyakinan tentang kesaktian cetak biru Khilafah itu, sikap HT menjadi tidak realistis. HT bermimpi bahwa Khilafah bisa menyelesaikan semua permasalahan umat dan kemanusiaan yang tak kunjung teratasi, seperti kemiskinan, ketidakberdayaan, ketidakadilan, dan lain sebagainya. Khilafah, bagi HT itu semacam ramuan ajaib yang mampu menyembuhkan segala penyakit kronis dalam waktu cepat.
Dalam hal ini, HT terjkesan tidak sadar zaman. Model pemerintahan yang pernah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi al-Khulafa` al-Rasyidun (yang demokratis) dan model khilafah sesudahnya (yang monarkis) adalah model pemerintahan yang sesuai dengan zamannya. Dilihat dari kecenderungan dalam satu abad terakhir, konsep negara-bangsa (nation states) kini menjadi alternatif model bernegara yang paling sejalan dengan perkembangan peradaban dunia.
Karena keyakinannya itu pula, HT menjadi bersikap menentang konsep NKRI. Indonesia dibentuk untuk mewadahi seluruh elemen bangsa yang majemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama. Untuk mengikat seluruh masyarakat, kemudian dibuat perjanjian luhur seperti yang tertuang dalam Pancasila UUD 45. Jika ikatan sosial ini dihapuskan, maka Indonesia bubar dengan sendirinya. HT Indonesia adalah salah satu gerakan yang mengancam keutuhan Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, HT Indonesia dengan terang-terangan ingin mengubah Pancasila dan konstitusi Indonesia dengan khilafah.
Pada tarikan napas yang sama, HT menolak demokrasi. Bagi HT, bukan saja konsep ‘kedaulatan rakyat’ itu salah, namun demokrasi juga adalah sistem yang boros karena secara berkala harus menyelenggarakan pemilu. Menurut HT, demokrasi mendorong perilaku korup di kalangan pejabat negara. Sementara dalam khilafah, menurut pandangan naïf HT pula, seorang penguasa tidak akan korupsi karena dia bisa terus menjabat seumur hidup selama tidak melangar aturan tanpa harus mempersiapkan diri dalam pemilu.
Ironisnya, meski HTI anti demokrasi, keberadannya di berbagai negara dimungkinkan karena demokrasi. Karena sistem demokrasi percaya pada hak masyarakat berpendirian dan berserikat, HT bisa merasakan nikmatnya diberikan kebebasan untuk membangun organisasi dan bentuk perwakilannya di 45 negara. Kantor pusat  HT pun berada di salah satu jantung demokrasi Eropa: Inggris. Dan Indonesia adalah kantong terbesar HT, satu dari sekian negara demokrasi terbesar di dunia. HT justru tidak diterima di Timur-tengah karena kawasan itu tidak demokratis.
(Irwan Amrizal)

No comments:

Post a Comment