Tuesday, December 17, 2013

Antara Islamisme dan Pragmatisme

http://17-08-1945.blogspot.com/2013/12/koran-digital-hasibullah-satrawi-antara.html
Hasibullah Satrawi

SECARA legal dan formal, hanya ada dua partai di Indonesia saat ini 
yang dapat disebut sebagai partai Islam, yaitu Partai Persatuan 
Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Hal itu tak lain 
karena keduanya secara resmi menggunakan Islam sebagai asas mereka. 
Menariknya ialah masyarakat tak hanya melabeli istilah `partai Islam' 
kepada partaipartai yang secara eksplisit menggunakan Islam sebagai visi 
ataupun asas mereka seperti PPP dan PBB. Istilah partai Islam juga 
dilabelkan kepada partai-partai yang secara visi ataupun asas tidak 
menggunakan Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai 
Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mungkin 
sebabnya dua partai yang disebutkan terakhir itu didirikan dan 
dinakhodai para tokoh Islam. Atas pertimbangan itu pula tulisan ini 
tetap menggunakan isilah `partai Islam' untuk merujuk kepada 
partai-partai yang berbasis Islam di luar PPP dan PBB. 


Salah tingkah 

Dalam beberapa waktu terakhir partai Islam acap mengalami 
`salah tingkah'; begini dan begitu merasa kurang pas. 
Hingga dianggap perlu adanya perubahan-perubahan untuk menyesuaikan 
ataupun me mantapkan keadaan mereka. 

Apa yang dialami PKS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh nyata dari 
sikap salah tingkah tersebut, yaitu ketika partai dakwah tersebut 
meneguhkan diri sebagai partai terbuka pada Mukernas 2012 di Jakarta. 

Sikap salah tingkah yang dialami partai-partai Islam tidak bisa 
dilepaskan dari hasil pemilu. Dalam beberapa kali hasil pemilu, 
partai-partai Islam kerap mengalami kegagalan untuk menjadi pemenang. 
Padahal, Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang mayoritas 
penduduknya beragama Islam. 

Dengan kata lain, bila dipilih seluruh masyarakat Indonesia yang ber 
agama Islam, niscaya partai-partai Islam akan menjadi pemenang pemilu, 
alih-alih menjadi penghuni semitetap papan tengah. 

Namun, realitas politik berkata lain. Hasil pemilu berkalikali 
menunjukkan masyarakat Indonesia (termasuk yang beragama Islam) lebih 
memilih partai-partai lain yang notabene menjadi pesaing partai-partai 
Islam. Tentu itu menjadi realitas yang sangat pahit bagi partai-partai 
Islam. 

Tidak semata-mata karena mereka kalah 'di lumbung sendiri', lebih dari 
itu karena sebagian dari mereka kerap menggunakan sentimen keagamaan 
untuk mendapatkan 

Dukungan dari umat Islam Indonesia, baik di atas kertas ataupun di atas 
panggung kampanye, tapi faktanya mereka tetap juga kalah. 
Pertanyaannya kemudian ialah kenapa partai-partai Islam selalu kalah 
dalam sejarah pemilu di Indonesia? 
Menurut sebagian pihak, itu disebabkan partai-partai Islam tidak 
bersatu. Akibatnya, suara masyarakat Indonesia yang beragama Islam 
yang beragama Islam pun terpecah-pecah. 

Jawaban itu mung kin tidak sepenuhnya salah, tapi dipastikan juga tidak 
sepenuhnya benar. Faktanya partai-partai nasionalis seperti Partai 
Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai 
Golkar pun tidak bersatu. Namun, partai-partai nasionalis kerap 
mendapatkan dukungan lebih banyak jika dibandingkan dengan partai Islam. 


Tidak ada pembeda 

Menurut hemat penulis, ada faktor lain yang tak kalah 
menentukan bagi kekalahan partai-partai Islam selama ini, yaitu karena 
tidak ada pembeda antara partai-partai Islam dengan partai-partai 
nasionalis, khususnya bila ditinjau dari perilaku sebagian kader mereka 
yang bersifat pragmatis. Di atas kertas, perbedaan ideologi bisa dan 
mungkin memang hendak ditonjolkan partai-partai politik di Indonesia 
untuk menarik minat pemilih hingga partai politik (parpol) meneguhkan 
ideologi yang berbeda-beda, mulai kebangsaan hingga agama. 

Namun, secara perilaku, hampir tidak ada perbedaan antara kader partai 
Islam dan partai nasionalis. Dalam persoalan korupsi, contohnya, hampir 
tidak ada bedanya antara perilaku kader partai Islam dan partai 
nasionalis. Bahkan ada sebagian kader partai Islam yang justru terlibat 
dalam skandal paling sakral dalam keyakinan mayoritas umat Islam di 
Indonesia, yaitu skandal perempuan. 

Dalam konteks perilaku sebagian kader partai yang serupa walaupun tak 
sama ini, pembedaan secara ideologi acap dipahami tak lebih dari sekadar 
baik jualan maupun dagangan parpol. Hal itu juga berlaku bagi 
partai-partai Islam. Dengan kata lain, pemilihan Islam sebagai ideologi 
partai bukan semata-mata pertimbangan dan perjuangan ideologis, 
melainkan sekadar jualan untuk menarik minat masyarakat. Diharapkan, 
melalui sentimen keislaman, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam bisa memilih partai Islam. 


Pada tahap tertentu, partai berbasis Islam justru kerap menerjemahkan 
keislaman mereka dengan semangat islamisme, seperti dalam persoalan 
pro-kontra wacana pembubaran ormas-ormas tertentu yang kerap bertindak 
anarkistis, pemberantasan kemaksiatan, dan pembubaran Densus 88 
Antiterorisme. Sikap demikian tentu dimaksudkan untuk menunjukkan 
konsistensi `keislaman' kepada publik. 

Persoalannya ialah sejauh ini masyarakat pemilih menampakkan adanya 
kecenderungan untuk berpihak kepada moderatisme jika dibanding kan 
dengan islamisme, dan mengedepankan semangat kebangsaan daripada 
semangat keagamaan. Setidak tidaknya dalam perpolitikan dan kekuasaan. 

Itulah kurang lebih yang bisa menjelaskan kenapa partai berbasis Islam 
kerap mengalami kekalahan demi kekalahan dalam sejarah pemilihan umum di 
negeri ini. Setidaknya bila dibandingkan dengan perolehan suara yang didapatkan 
partai-partai nasionalis yang kerap digdaya bila dibandingkan dengan 
partai-partai Islam. Dengan kata lain, kekalahan tersebut terjadi karena 
partai Islam selama ini acap terjebak di antara islamisme dan pragmatisme. 

Alih-alih memperkuat visi kebangsaan, partai Islam justru kerap 
menampakkan semangat islamisme, khususnya terkait dengan 
persoalan-persoalan populis sebagaimana disebut sebelumnya. Akibatnya 
ialah semakin jauh jarak yang memisahkan antara partai-partai Islam 
bersama semangat islamisme mereka dan masyarakat pemilih bersama 
semangat kebangsaan mereka. 

Partai-partai Islam di Indonesia sejatinya mengambil pembelajaran 
berharga dari pengalaman partai-partai Islam di Timur Tengah seperti 
Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wa al-'Adalah) di Mesir 
dan Partai An-Nahdlah di Tunisia, khususnya dalam dua tahun terakhir. 
Pada awalnya, dua partai Islam itu, yang sama-sama lahir dari rahim 
Ikhwanul Muslimin (IM), berhasil menjadi partai penguasa setelah 
bertahun-tahun kerap dibungkam paksa oleh penguasa. Alih-alih memperkuat 
visi kebangsaan, justru kedua partai tersebut kerap dituduh melakukan 
islamisasi hingga pemerintahan yang dipimpin keduanya jauh dari stabil, 
bahkan berakhir tragis seperti yang terjadi pada pemerintahan Mohammad 
Mursi di Mesir. 

Bila ditinjau dari pelbagai aspek, apa yang terjadi di Mesir pada masa 
pemerintahan Ikhwanul Muslimin masih dan akan selalu menjadi perdebatan; 
apakah hal itu termasuk kudeta atau bukan? Apakah hal itu bisa disebut 
sebagai revolusi kedua atau rekayasa militer? Masih ada 
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Namun, tidak demikian secara politik. 
Dalam perspektif politik, apa yang dialami IM di Mesir merupakan 
kekalahan telak yang tidak menyisakan perdebatan sedikit pun hingga 
mereka harus kehilangan kursi kekuasaan yang baru diduduki seperti sekarang. 

Oleh karena semua yang telah disampaikan, partai Islam di Indonesia 
sejatinya memperkuat visi kebangsaan yang ada dan memperjuangkannya 
secara konsisten hingga publik merasakan adanya perbedaan antara partai 
Islam dan partai lainnya. Bukan justru menjebakkan diri dalam semangat 
islamisme dan pragmatisme yang telah ditolak publik Nusantara semenjak 
Indonesia baru akan dilahirkan. 

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2013/12/17/ArticleHtmls/Antara-Islamisme-dan-Pragmatisme-17122013012019.shtml?Mode=1# 

No comments:

Post a Comment