Sunday, February 17, 2013

Kita Terkini


Rio Krishermono

Arabisasi

BEBERAPA tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan datang ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Butho masih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim itu adalah agar  memerintahkan semua warga NU untuk membacakan surah Al-Fatihah bagi keselamatan bangsa Pakistan.

Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Butho yang berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan”. Namun kenyataan nya bahwa hadits tersebut disabdakan pada abad VIII Masehi di jazirah/Peninsula Arabia. Bukankah ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?

Pada waktu dan tempat itu, konsep kepemimpinan (za’amah) bersifat perorangan -di mana seorang kepala suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin peperangan melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam persoalan antar para keluarga yang berbeda-beda kepentingan dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.

Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia Presiden maupun Perdana Menteri sebuah negara, konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Butho tidak boleh mengambil sikap sendiri, melainkan melalui sidang kabinet yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet juga tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh parlemen yang beranggotakan laki-laki sebagai mayoritas. Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang membentuk Mahkamah Agung (MA), yang keseluruhan anggotanya juga laki-laki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. “Ya memang benar, demikian kata orang alim Pakistan itu, tetapi tolong bacakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan”.

Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi. Sebagai contoh, nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan; kata syari’ah untuk hukum Islam, adab untuk sastra Arab, ushuludin untuk studi gerakan-gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan fakultas keputrian dinamakan kulliyyatul bannat. Seolah -olah tidak terasa ke-Islaman-nya kalau tidak menggunakan kata-kata bahasa Arab tersebut.

Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Universitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula nama-nama berbagai pondok pesantren. Kebiasaan masa lampau untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren (PP) Lirboyo Kediri, Tebu Ireng Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak menggunakan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipaksakanlah nama PP Al-Munawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.

Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. Kalau dahulu orang awam menggunakan kata “minggu” untuk hari ke tujuh dalam al-manak, sekarang orang tidak puas kalau tidak menggunakan kata Ahad. Padahal kata minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, “jour do-minggo”, yang berarti hari Tuhan. Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang-orang Portugis -kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum muslimin menggunakan hari tutup kantor tersebut sebagai pusat kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan?

Dengan melihat kenyataan di atas,  bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam menghadapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali ke akar Islam, yaitu kitab suci Alquran dan Hadits Nabi SAW. Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam itu menjadi super-ficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang menggunakan nama Islam dan yang kita tolak?

Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Islam itu, dikenal dengan sebutan dalil naqli, jadi sikap sempit yang menolak segala macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan (waktu yang sangat panjang). “Pemurnian Islam” (Islamic Puritanism) seperti itu, berarti tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan selama berabad-abad, memang ada ekses buruk dari pengalaman dan perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berbentuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru tersebut.

Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontra-reformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang kemudian berujung pada teologia pembebasan (liberation theology), merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat” (ikhtilaf al-a’immah rahmat al-ummah). Adagium tersebut bermula dari ketentuan kitab suci Alquran: “Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal” (wa ja’alnaakum syu’uuban wa qabaa’ila li ta’arafuu). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam. Indah, bukan?

Rio Krishermono


Renungan untuk “Islam” kita


Islam bagi banyak orang masih diyakini sebagai agama yang paling benar, tanpa ada kesalahan sama sekali, sedangkan orang lain adalah terperosok pada kesesatan. Dukungan Alquran (QS 33:40) bahwa Muhammad sebagai penutup nabi, Islam sebagai agama yang paling sempurna (QS 5:3), umat Islam menganggap bahwa agama di luar dirinya adalah salah. Akibatnya, muncullah sebuah pertentangan, konflik, pertumpahan darah lantaran adanya truth claim tersebut. 

Pemahaman orang lain dipaksakan harus sama dengan pemahaman dirinya. Bahkan, dalam internal Islam, pertentangan, konflik yang didasari oleh perbedaan pemahaman sering kali mencuat adanya.

Perlu ditegaskan bahwa Islam adalah agama yang tidak keluar dari historitas manusia. Islam yang kita anut sekarang ini bukanlah Islam yang lahir secara instan, tanpa proses jalur manusia dan sejarah. Pertanyaannya, benarkah agama yang kita anut sekarang ini sama seperti Islam pada saat Nabi? Tidakkah di dalamnya terdapat perubahan atau bahkan distorsi besar-besaran yang dilakukan oleh sekelompok orang setelah Nabi wafat? Dan, jika ternyata Islam yang kita anut sekarang ini berbeda dengan islamnya Muhammad, apakah kita termasuk kafir, murtad, ataukah masih tergolong Islam?

Islam yang kita anut sekarang ini sudah berbeda jauh dengan Islam masa Muhammad. Sebab, konteks sosial-budaya-politik ternyata juga ikut membentuk karakteristik dari Islam. Jika pada masa Nabi, Islam tidak berhadapan dengan hegemoni Barat yang kapitalistik sekompleks sekarang, maka tentu konstruksi Muhammad terhadap Islam tidaklah sulit. Dan, tantangan zaman yang berkembang pula sudah tidak tertandingi lagi saat ini.

Sekalipun berbeda dengan Islam Muhammad, Islam sekarang ini tidak bisa disalahkan jika secara substansi tidak melenceng dari Islam Muhammad. Islam pada masa Muhammad adalah Islam yang bergerak untuk membebaskan, toleran, populis, maka Islam sekarang pun harus demikian. Jika ternyata Islam yang kita anut ini sudah kehilangan daya kritisnya, pro-status quo, hanya menjadi simbol, maka Islam seperti itulah sebenarnya yang sudah melenceng dari Islam yang telah digariskan oleh Muhammad. Sekalipun ia rajin ibadah, berpuasa, namun dalam aksi sosialnya justru bertentangan dengan pesan dari ibadah itu, maka orang tersebut sudah mendistorsi Islam. Islam hanya dipahami sebagai sebuah ritualistik yang kering akan makna sosial.

Bahkan, Islam yang kita anut pada dasarnya berbeda antara yang satu dan yang lain. Ada Islamku, Islam Anda, dan Islam kita. Jangan disangka Islam yang saya anut sama seperti Islam orang lain. Islam saya memiliki karakteristik dan ciri tertentu, berbeda dengan Islam yang lain. Begitu seterusnya. Islam selalu masuk dalam ruang manusia secara plural. Munculnya mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki merupakan konsekuensi dari adanya perbedaan pemahaman tentang Islam. Itulah yang saya maksud sebagai ‘Islam saya, Islam Anda’.

Maka, tidak mengherankan ketika muncul perbedaan pendapat tentang Islam. Munculnya mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki, fiqh As’ariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Syiah dan sebagainya adalah salah satu contoh adanya perbedaan pemahaman tentang Islam. Singkatnya, pemahaman kita tentang Islam sangat terkait dengan lokalitas dan psikologi masing-masing muslim. Islam tidak bisa digeneralisasi.

Di samping itu, Islam yang kita anut sekarang ini adalah Islam warisan orang tua dan lingkungan setempat, tidak berasal dari kehendak kita sendiri. Jika bapak/ibu Islam dapat dipastikan anaknya akan Islam juga. Kalau si anak tidak mengikuti agama bapak/ibunya, akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, atau bahkan kekerasan. Karena inilah sebenarnya yang membuat Islam tidak bisa bergerak cepat seiring dengan perubahan zaman. Sebab, Islam yang kita anut ini tidak berasal dari kesadaran dan kritisisme yang mendalam. Sementara orang tua (bapak/ibu) tidak memiliki kesadaran pluralisme dan inklusivisme.

Maka tidaklah mengherankan, manakala si anak mengidentifikasi bapak/ibunya seperti itu. Jangan salahkan jika anak menaruh curiga, bermusuhan pada agama lain. Berbeda halnya jika dididik, diberi pemahaman inklusivisme dan pluralisme, anak tidak akan mempersoalkan perbedaan keyakinan, ideologi di antara teman-temannya. Di sinilah letaknya taghayyur al-ahkam bi al-taghayyur al-azminati wa al-amkaniyah. Keluarga dan lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap anak.

Karena itulah, John Hick sebagaimana yang dikutip oleh Walter H Capps dalamReligious Studies, The Making of a Discipline (1995, hlm 267) mengatakan bahwa if someone is born to Muslim parents in Egypt or Pakistan, that person is very likely to be a Muslim, if to Buddhist parents in Sri Lanka or Burma, that person is very likely to be a Buddhist; if to Hindu parents in India, that person is very likekly to be a Hindu; if to Christian parents is Europe or the Americas, that person is very likely to be Christian. Keluarga, lingkungan sangat menentukan terhadap keyakinan seseorang. Maka dari itu, untuk membangun sikap inklusivisme dan pluralisme harus dimulai dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.

***
Kendati Islam kita berbeda antara yang satu dan yang lain, bukan berarti di antara pemahaman tersebut tidak menemukan titik temu. Titik temu inilah yang akan menentukan apakah seseorang itu masih Islam atau sudah keluar dari Islam. Titik temu ini adalah sebuah mainstream. Inilah letaknya universalitas Islam. Semua orang sepakat bahwa Islam mengajarkan kebajikan, perdamaian, kerukunan, persamaan, dan keadilan. Kekerasan, diskriminasi adalah larangan Tuhan. Dalam hal teologi, Tuhan adalah satu, Muhammad adalah sebagai media antara manusia dan Tuhan, Rasul. Dan, Alquran merupakan sumber hukum, ajaran, dan moral baik di ranah teologis maupun sosiologis. Kesemua itu merupakan titik temu di antara pemahaman kita yang berbeda-beda tentang Islam.

Perbedaan pemahamaan tentang Islam tidak harus menjadi persoalan serius selagi bisa dipertemukan. Muhammadiyah tidak lantas menyalahkan Nahdlatul Ulama. Begitu pula sebaliknya. Pertentangan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang selama ini terus berlangsung hanyalah pada persoalan lahiriah, furu’iyah, bukan substansi. Seharusnya, perbedaan itu diramu menjadi sebuah kekayaan khazanah dan pengetahuan, sehingga Islam senantiasa menemukan konteksnya dalam setiap ruang dan waktu (shalihun fiy kulli zamanin wa makanin). Islam tidak bisa ditafsirkan secara monolitik, tunggal. Sebab, Islam mengenal konteks dan langgam sosial-budaya-politik tertentu. Maka, memahami Islam secara kaku, eksklusif, monolitik adalah mendistorsi Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang luwes, fleksibel.

Jika demikian, kekerasan, peperangan, ketidakadilan merupakan tindakan yang bertentangan dengan Islam. Ayat-ayat Alquran tentang jihad, amar makruf nahi mungkar yang sering kali dijadikan legitimasi bagi kekerasan juga harus diterjemahkan ulang.




No comments:

Post a Comment