Saturday, July 30, 2011

Saya Sudah Bosan Menyembah Berhala Sosial Pra Ramadhan




Erianto Anas:

Beberapa hari ini banyak umat Islam sibuk membicarakan tentang pulang mudik, silaturrahmi dan bermaaf-maafan dengan orang tua, mertua dan sanak saudara, bahkan juga sibuk melakukan hal-hal lain seperti membersihkan rumah, mempersiapkan sejumlah uang sebagai bekal, menyelesaikan semua pekerjaan- yang menyita tenaga, membeli segala sesuatu yang sangat diperlukan dan sebagainya. Para pengurus masjid beserta masyarakat sangat sibuk mengurus segala sesuatunya, menyusun program dan rancangan acara, gotong royong dan sebagainya. Singkatnya itulah lazimnya kebiasaan umat Islam setiap tahun dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan.
Tetapi saya menyambut Ramadhan ini dengan sikap biasa-biasa saja. Justru saya sedikit geli melihat begitu kasak-kusuknya umumnya umat Islam dalam hal ini. Saya sendiri tidak bersikeras memaksakan diri untuk pulang mudik hanya sekedar untuk bermaaf-maafan dengan orang tua, mertua dan sanak saudara. Rasanya itu sebuah seremonial dan basa-basi yang terlalu mewah bagi saya. Apalagi ikut hanyut dengan arakan-arakan sosial umat Islam di beberapa daerah, seperti tradisi balimau, ke kuburan dan sebagainya.
Tetapi sebagai umat Islam bukankah kita memang disuruh menyambut dan mengagungkan bulan Ramadhan? Bukankah banyak ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi yang menggambarkan keutamaan-keutamaan bulan tersebut?
Pertanyaan seperti ini memang sudah sering saya dengar. Saya setuju bila silaturrahmi itu dilakukan, bahkan sebaiknya dilakukan sesering mungkin, tidak hanya karena akan menyambut bulan puasa atau pada waktu lebaran. Dengan catatan tentu saja semua itu harus datang dari niat yang tulus, bukan sekedar ritual dan seremonial. 


Tetapi dalam kenyataannya saya melihat silaturrahmi menyambut Ramadhan ini seakan sudah menjelma menjadi tindakan wajib lapor, sebagai absensi ramah tamah atau tour basa-basi sosial, dan secara halus siapa yang tidak melakukannya seakan dipandang kurang bermoral dan kurang beriman. Apalagi semua itu sudah terbalut dan berpalut dalam tradisi balimau, yang tampak seperti rekreasi kolosal.


Dengan bersandar secara harfiah pada sejumlah ayat Alquran dan hadis nabi maka umat Islam yang melakukannya seakan merasa berada di garis kesadaran murni dan selamat dari gugatan iman.
Saya harus mengakui bahwa saat ini saya mulai kurang puas meyakini fenomena keberagamaan umat yang demikian, apalagi untuk meyakini itulah wujud agama yang sesungguhnya.
Saya mulai berpikir dan mengkaji ulang hal-hal seperti itu, mengamati berbagai realitas agama dalam masyarakat secara kritis. Saya terbayang apa yang dibicarakan umat Islam dalam setiap diskusi agama, dan saya selalu ingat apa jawaban setiap umat Islam terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis seputar agama.
Sudah lazim bahwa umat Islam setiap membahas, mengkaji dan mengukur segala sesuatu, selalu merujuk pada Alquran, hadist, Nabi, Sahabat, dan seterusnya, seakan-akan begitu mengutip semua itu maka segala persoalan di sini dan ke kinian umat Islam akan terjawab dan selesai dengan sendirinya.
Tentu saja ini bukan berarti saya bermaksud untuk menolak apalagi melecehkan Islam. Tetapi yang menjadi penekanan saya adalah pada inti keasadaran umat, yang selalu bertumpu pada dunia eksternal. Segala sesuatu diukur dengan di luar diri, di luar hari ini, di luar zaman ini. Bagaimana mungkin kita bisa melampaui keadaan kita sendiri, sesuatu yang berada di luar pengalaman nyata kita sendiri, seolah-olah hidup adalah sebuah pengekangan terus menerus ke masa lalu, sehingga baik buruknya seseoroang diukur dengan sejauh mana kehidupannya meniru setepat mungkin detail kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabat, meskipun sebenarnya juga bisa dikilas balik secara kritis: Apakah benar Nabi dan para sahabat persis melakukannya
demikian?
Fenomena menyambut Ramadhan ini seakan mendistorsi wajah agama sebagai sebuah karikatur, sebuah show kesadaran semu, atau di sisi lain tampak sebagai upaya dalam membebaskan diri dari beban piskologis, beban metafisik dan beban sosial. Saya teringat ucapan Karl Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu rakyat. Mungkin praktek agama yang terlihat dalam kehidupan masyarakatnya memang demikian, walaupun umat beragama bersikeras membela agama dan menyerang bahwa ucapan Marx itu keterlaluan.
Memang, ditangan orang-orang tertentu gambaran agama tidak melulu demikian. Karl Jasper misalnya, tetap mengakui keberadaan agama, walaupun agama yang ia pilih adalah agama filosofis (dalam istilahnya sendiri), bukan agama dalam realitas umat atau rakyat yang dinilainya membahayakan, karena penuh dengan keramat, fanatik dan intoleransi.
Artinya, jika keberadaan agama akan diakui, tidak mungkin agama adalah sesuatu yang tidak kondusif bagi kehidupan, apalagi melawan arus kehidupan. Saya berkeyakinan agama mesti membantu memudahkan kehidupan manusia, sebuah pedoman atau peta dalam menjalani hidup yang sangat kompleks, bukan sebagai tujuan, bukan sebagai objek sesembahan, sebagai pemujaan dan perayaan belaka. Segenap perjalanan hidup manusia bukanlah dalam rangka menuju pada agama, tetapi bersama agama manusia mengarungi kehidupan. Tapi bagaimana pun itu hanya merupakan sebuah alternatif, sebuah pilihan akan jalan keselamatan, bukan satu-satunya jalan. Alam dan kehidupan ini selalu terbentang luas untuk berbagai kemungkinan, termasuk
bagaimana cara agar manusia menjalani hidup yang terbaik sesuai jati
dirinya masing-masing.
Mengerucutkan jalan keselamatan hanya ada sebuah ajaran tertentu (agama apa pun) sama artinya mengecilkan rahmat Tuhan itu sendiri, seakan-akan Tuhan hanya untuk segelintir umat manusia dan zaman tertentu. Saya berkeyakinan Tuhan selalu terhubung dengan hati setiap manusia di setiap tempat dan sepanjang zaman, sepanjang kehidupan itu masih ada. Percikan, pancaran Tuhan selalu ada dalam diri setiap manusia. Jika tidak, berarti Tuhan hanya berada di luar jangkauan manusia. Tuhan menjadi objek diluar kesadaran. Dan itu sulit dibayangkan.

No comments:

Post a Comment