DITULIS OLEH ACHMAD RIFKI | |
SELASA, 19 APRIL 2011 08:19 | |
Film “?” menuai banyak hujatan. Kini giliran sang sutradara menunjukkan berbagai kekeliruan para penghujatnya dengan jawaban-jawaban yang bernas. Film besutan Hanung Bramantyo ini dianggap menyebar fitnah, kebencian, dan merendahkan martabat Islam dan umatnya. Film ini disebut-sebut menyamaratakan semua agama, dan mengajak pada kemusyrikan. Bahkan film ini dianggap sesat dan menyesatkan. Bagi Hanung, sah-sah saja orang menafsirkan filmnya secara bebas. Tapi akan lebih baik jika hal itu dilandaskan pada adegan demi adegan dalam film itu. Jika dirunut adegan demi adegannya, film ini sangat jauh dari berbagai tuduhan yang dilayangkan sebagian umat Islam itu. Salah satu contohnya adalah tuduhan bahwa film ini secara nyata mengidentikkan umat Islam dengan kekerasan dan teroris. Dalam adegan penusukan pendeta dan usaha pemboman Gereja misalnya, tak ada sama sekali simbol Islam (seperti orang yang berbaju putih-putih, bersorban atau berkopiah) yang dimunculkan dalam film itu. Di adegan penusukan pastur, Hanung hanya menampilkan seorang lelaki berjaket cokelat memegang pisau dan seorang pengendara motor. Bahkan dalam usaha pemboman Gereja, Hanung sama sekali tak memunculkan adegan orang merencanakan, merakit, dan menaruh bom di Gereja. Lalu di adegan mana yang menyatakan bahwa umat Islam identik dengan kekerasan dan teroris? Bagi Hanung, film ini merupakan proses pembelajarannya mengenal lebih dekat agamanya, Islam. Menurutnya, belajar agama adalah belajar menjadi manusia. “Saya mengagumi Rasulullah bukan karena beliau semata-mata utusan Allah. Tapi karena Rasulullah memberikan tauladan kepada kita bagaimana menjadi manusia dalam keluarga, masyarakat, dan Tuhannya.” Ya, kita adalah manusia yang serba kekurangan ini mesti terus belajar agama dan belajar menjadi manusia. Keduanya adalah dua proses yang tak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan sebuah pergulatan yang tak pernah usai dalam hidup ini. Hanung berharap dialog ini, dan tentu juga filmnya, menjadi pembelajaran bersama dan ajang saling mengingatkan sebagai sesama Muslim. Sebagai sesama pembelajar kita mesti saling mengingatkan dan mengajak pada kebaikan. Ya, mengajak, bukan memaksa. Itulah makna hakiki dari dakwah. Nabi Muhammad saja tidak dapat ‘memaksa’ pamannya, Abu Thalib, yang hingga akhir hayatnya memeluk Nasrani walaupun telah membantu dalam memuluskan jalan dakwah beliau. Ya, Rasulullah saja tidak dapat memberi hidayah, apalagi kita yang jauh dari taraf kenabian dan kerasulan. Dalam Surah Al-Qashash ayat 56, Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk (hidayah) kepada siapa yang kau cintai, tapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk.” Film ini alih-alih menyebar fitnah dan kebencian, sebaliknya malah menunjukkan keindahan Islam yang ramah, damai. Hal ini tampak pada karakter Ustaz Wahyu, Menuk, Abi, orangtua Rika, dan Surya. Alih-alih mengajak pada kemusyrikan, film ini malah menunjukkan contoh orang yang mendapat hidayah, seperti Ping Hen (Rio Dewanto). Dialog ini berangkat dari hujatan seseorang berinisial BH (yang tidak mau disebutkan Hanung demi menghargai orang itu) yang mengirim pesan di Inbox Facebook sutradara yang sudah menghasilkan 14 film ini. Pernyataan dari BH itu dijawab oleh Hanung poin demi poin dalam dialog ini. Awalnya pesan ini tidak Hanung hiraukan. Ia merasa BH salah dalam menafsir filmnya. Dengan mempertimbangkan baik-buruknya terkait pandangan miring terhadap film dan pribadinya, akhirnya ia memutuskan untuk menjawab hujatan itu dengan tajuk “Dialog Terbuka atas Film ‘Tanda Tanya’ yang ia muat di Facebooknya, 15 April 2011 lalu. Dialog ini kami muat dengan persetujuan dari Hanung. Berbagai kata yang ditulis dengan huruf besar sengaja kami biarkan agar poin-poin yang ingin Hanung highlight dapat juga dinikmati para pembaca. Berikut nukilannya: 1. BH: Film "?" yang Anda sutradarai penuh dengan fitnah, kebencian, dan merendahkan martabat Islam dan umat Islam. Film Anda penuh dengan ajaran sesat pluralisme yang menjadi saudara kandung atheisme dan kemusyrikan. HB: Terima kasih sudah menyaksikan film saya sekaligus melakukan kritik atas film tersebut. Saya sangat menghargai pandangan Anda. Sebagai sebuah tafsir atas 'teks', saya anggap pendapat Anda sah. Sayangnya, Anda tidak memberikan kemerdekaan bagi tafsir yang berbeda. Anda sudah terlanjur melakukan judgment berdasarkan 'teks' yang Anda baca dan tafsirkan. 2. BH: Ketika pembukaan sudah menampilkan adegan penusukan terhadap pendeta, kemudian bagian akhir pengeboman terhadap Gereja. Jelas secara tersirat dan tersurat Anda menuduh pelakunya orang yang beragama Islam, dan umat Islam identik dengan kekerasan dan teroris. Jelaskan! HB: A. Tafsir Anda mengatakan bahwa adegan kekerasan: penusukan pastur dan pengeboman dilakukan oleh orang Islam. Padahal sama sekali dalam dua adegan tersebut saya tidak menampilkan orang Islam (setidaknya orang berbaju putih-putih, bersorban atau berkopiah). Di adegan penusukan pastur saya menampilkan seorang lelaki berjaket coklat memegang pisau dan seorang pengendara motor. Kalau itu ditafsir orang Islam, itu semata-mata tafsir Anda. B. Di awal film saya justru menampilkan sekelompok remaja masjid (bukan orangtua) yang melakukan perawatan atas masjid. Bukankah dalam hadis dianjurkan seorang pemuda menghabiskan waktunya untuk mengelola dan merawat masjid? Jadi tidak ada pesan tersurat apapun yang menyatakan bahwa pelaku penusukan dan pengeboman adalah orang Islam. 3. BH: Anda mendukung seorang menjadi murtad. Menjadi murtad yang dilakukan oleh Endhita (Rika) adalah suatu pilihan hidup. Kalau semula kedua orangtua dan anaknya menentangnya, akhirnya mereka setuju. Padahal dalam Islam murtad adalah suatu perkara yang besar di mana hukumannya adalah qishash (hukuman mati), sama dengan zina yang dirajam. HB: Bahwa tafsir Rika murtad karena sakit hati dengan suaminya yang mengajak poligami saya benarkan. Tapi bukan berarti 'teks' tersebut mendukung pemurtadan. Sejak awal keputusan Rika sudah ditentang oleh Surya, anaknya, dan orangtuanya. Bagian mana yang menyatakan dukungan? Saya akan menjelaskan berdasarkan shot-shot dalam filmnya: Pertama, coba perhatikan shot-nya: Surya berdialog dengan Rika: Kamu menghianati dua hal sekaligus: perkawinan dan Allah! Kalau toh di situ Surya diam saja ketika Rika menyanggahnya, bukan berarti Surya mendukungnya, tapi sikap menghargai pilihan Rika. Hal itu tertera dalam Surah Al-Hajj ayat 7:‘Sesungguhnya orang yang beriman, kaum Nasrani, Shabiin, Majusi, dan orang Musyrik, Allah akan memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.’ Sikap Surya juga merupakan cerminan dari firman Allah : ‘Engkau (Muhammad) tidak diutus dengan mandat memaksa mereka beragama, tapi mengutus engkau untuk MEMBERI KABAR GEMBIRA yang orang mengakui kebenaran Islam dan kabar buruk dan ancaman bagi yang mengingkarinya.’ Kedua, Abi, anak Rika, juga tidak mendukung sikap Rika ‘yang berubah’. Abi protes dengan ibunya dengan cara enggan bicara. Bahkan hanya sekadar minum susu di kala pagi saja Abi tidak mau menghabiskan di depan ibunya. Demikian halnya Abi juga tidak mau makan sarapan yang disajikan ibunya. Itu adalah sikap protes dia kepada sang ibu yang murtad. Jika toh Abi kemudian bersikap seperti Surya, bukan berarti Abi mendukungnya. Tapi sikap menghargai pilihan. Lihat dialog Abi saat bersama Rika: … Kata pak ustad, orang Islam ngak boleh marah lebih dari tiga hari. Apakah dialog tersebut diartikan mendukung kemurtadan? Bukankah makna dari dialog tersebut adalah mencerminkan sikap orang Muslim yang murah hati: pemaaf dan bijaksana (jika marah tidak boleh lebih dari tiga hari). KETIGA: Orangtua Rika juga menyatakan penolakan pada saat Rika menelepon ibunya: … Bu, Rika sudah dibaptis. Mulai hari ini nama depan Rika Tereshia. Lalu si ibu menutup teleponnya. Bagian mana yang menyatakan dukungan? Di bagian akhir film, saya menampilkan orangtua Rika datang ke acara syukuran Khatam Al-Quran cucunya. Kemudian Rika memeluk ibunya dengan haru. Tidak ada sedikit pun dialog yang menyatakan dukungan terhadap kemurtadan Rika. Adegan tersebut menampilkan hubungan emosional antara anak dengan ibunya, serta cucu dengan kakek-neneknya. Di manakah pernyataan dukungan atas kemurtadan Rika? Jadi, jika Anda membaca ‘teks’ dalam adegan tersebut sebagai sebuah dukungan terhadap kemurtadan, maka itu tafsir Anda. Bukan saya… 4. BH: Jelaskan gambaran Muslimah berjilbab, Menuk (Revalina S. Temat) yang merasa nyaman bekerja di restoran Cina milik Tan Kat Sun (Hengki Sulaiman) yang ada masakan babinya. Anda ingin menggambarkan seolah-olah babi itu halal. Terbukti pada bulan puasa sepi berarti restoran itu para pelanggannya umat Islam. HB: Menuk adalah perempuan Muslimah. Dia nyaman bekerja di tempat Pak Tan karena Pak Tan adalah orang yang baik. Selalu mengingatkan karyawan Muslimnya shalat. Bagian mana yang Anda maksud bahwa babi itu halal? Saya justru menggambarkan dengan tegas adegan yang membedakan babi dan bukan babi lebih dari sekali adegan. Pertama, pada saat pembeli berjilbab bertanya soal menu makanan restoran Pak Tan. Menuk mengatakan bahwa panci dan wajan yang dipakai buat memasak babi berbeda dengan yang bukan babi. (di film terdapat shot wajan, dan shot Menuk yang dialog dengan ibu berjilbab. Dialog agak kepotong karena LSF [Lembaga Sensor Film] memotongnya. Alasannya silakan tanyakan kepada LSF). Kedua, pada saat Pak Tan mengajari Ping Hen (anaknya) mengelola restoran. Pak Tan dengan tegas menyatakan pembedaan antara babi dan bukan babi: … Ini sodet dengan tanda merah buat babi, dan yang tidak ada tanda merah bukan babi… Jika saya menghalalkan babi, tentunya saya tidak akan menggambarkan pemisahan yang tegas antara sodet, panci, pisau, dan sebagainya tersebut. Jadi tafsir Anda yang mengatakan bahwa saya menghalalkan babi, semata-mata tafsir Anda… Dalam film ini, saya justru menggambarkan sikap Menuk sebagai Muslimah yang menolak pernikahan beda agama dengan cara lebih memilih menikah dengan Soleh (yang Muslim) meski jobless, dibanding Hendra. Padahal cintanya kepada Hendra: … Saya tahu kita pernah punya kisah yang mungkin buat mas menyakitkan. Tapi buat saya adalah hal yang indah… karena Tuhan mengajarkan arti cinta dalam agama yang berbeda… (Dialog Menuk kepada Hendra di malam Ramadhan). Dalam film ini juga saya menggambarkan sikap Pak Tan yang menghargai Asmaul Husna dengan cara meminjam buku 99 Nama Allah milik Menuk. Sikap Pak Tan tersebut dinyatakan dalam dialog Hendra: …Sekarang Hen jadi mengerti kenapa papi bersikap baik dengan orang YANG BUKAN SEAGAMA dengan papi… Dialog tersebut merupakan manifestasi dari ajaran Asmaul Husna: Al-Rahman dan Al-Rahim, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kemudian Pada akhir film, Pak Tan membisikkan sesuatu kepada Hendra, di mana atas dasar bisikan tersebut Hendra melakukan perubahan besar dalam hidupnya: menjadi mualaf dan mengubah restorannya menjadi Halal. Lihat kata-kata istri Pak Tan di akhir film: … Pi, hari ini Hendra melakukan perubahan besar dalam hidupnya SEPERTI YANG PAPI MINTA…. (Dialog tersebut sebenarnya ungkapan tersirat buat Hendra untuk berubah dari Pak Tan melalui bisikannya). Jadi tafsir Hendra pindah agama hanya ingin menikahi Menuk adalah tafsir Anda. Lagipula, dalam film ini jelas-jelas tidak ada gambaran pernikahan antara Menuk dan Hendra. Ending film saya justru menggambarkan Menuk menatap nama Soleh yang sudah menjadi nama Pasar. Dari mana Anda bisa menafsirkan bahwa Hendra pindah agama hanya karena ingin menikah sama menuk? 5. BH: Seorang takmir masjid yang diperankan Surya (Agus Kuncoro) setelah dibujuk si murtadin Menuk (mungkin maksudnya Rika, red.), akhirnya bersedia berperan sebagai Yesus di Gereja pada perayaan Paskah. Apalagi itu dijalaninya setelah dia berkonsultasi dengan ustad muda yang berpikiran sesat-menyesatkan pluralisme seperti Anda, yang diperakan David Chalik. Namun anehnya, setelah berperan menjadi Yesus demi mengejar bayaran tinggi, Surya langsung membaca Surah Al-Ikhlas di Masjid. Padahal Surah Al-Ikhlas dengan tegas menolak konsep Allah mempunyai anak dan mengajarkan tauhid. Apa Anda ini kurang waras wahai Hanung. Semoga pembalasan dari Allah atas diri Anda. HB: Dalam film saya menggambarkan Surya adalah seorang aktor figuran. Di awal film dikatakan dengan tegas lewat dialog: … 10 tahun saya menjadi aktor cuma jadi figuran doang!! Sebagai aktor yang hanya jadi figuran, dia frustasi. Hingga menganggap bahwa hidupnya cuma SEKADAR NUMPANG LEWAT. Dia diusir dari kontrakan karena menunggak bayar. Rika membantunya dengan menawari pekerjaan sebagai Yesus dengan biaya mahal (perhatikan dialognya di warung soto). Semula Surya menolak. Tapi dia menerima dengan alasan yang sangat manusiawi bagi orang yang berprofesi sebagai aktor (figuran): SELAMA HIDUPNYA TIDAK PERNAH BERPERAN SEBAGAI JAGOAN. Namun alasan itu tidak begitu saja dia gunakan untuk melegitimasi pilihannya. Dia konsultasi dengan Ustad Wahyu (David Khalik). Menurut Ustad Wahyu, semua itu tergantung dari HATIMU, maka JAGALAH HATIMU. Dari perkataan ustad tersebut, adakah dia menyarankan atau mendorong Surya menjadi Yesus? Ustad memberikan kebebasan buat Surya untuk melakukan pilihannya. Dan Surya sudah memilih. Ketika di Masjid, ustad mengulang pertanyaannya: Gimana? Sudah mantap hatimu? Lalu dijawab oleh Surya: Insya Allah saya tetap istiqamah. Dijawab oleh David Khalik: Amin… Setelah dialog tersebut, Surya kembali memantapkan hatinya dengan bertafakur di Masjid. Matanya menatap hiasan dinding bertuliskan ASMA ALLAH di atas Mihrab. Dari adegan tersebut, adakah saya melecehkan Islam? Apakah dengan menghargai pilihan seseorang itu sama saja melecehkan Islam? Bukankah ustda sudah melakukan tugasnya MENGINGATKAN surya di awal adegan? Jadi, tidak ada sedikit pun adegan yang menyatakan pelecehan terhadap agama Islam. Surya melakukan tugasnya sebagai aktor karena dia harus hidup. Bahkan untuk beli soto untuk sarapan saja dia tidak sanggup. Lagipula drama Paskah bukan ibadah. Tapi sebuah pertunjukan drama biasa. Ibadah Misa Jumat Agung dilaksanakan setelah pertunjukan drama. Dalam hal ini Surya tidak melakukan ibadah bersama jemaah Kristiani di Gereja. Namun oleh karena pesan ustad untuk senantiasa menguatkan hati, maka setelah memerankan drama Jesus, Surya membaca Surah Al-Ikhlas berulang-ulang sambil menangis. Adakah dari adegan tersebut saya melecehkan Islam? Silakan dicek lagi. 6. BH: Tampaknya Anda memang sudah gila, masak pada Hari Raya Idul Fitri yang penuh dengan silaturahmi dan maaf-memaafkan, umat Islam melakukan penyerbuan dengan tindakan anarkis terhadap restoran Cina yang tetap buka sehari setelah Lebaran. Bahkan sebagai akibat dari penyerbuan itu, akhirnya si pemilik Tan Kat Sun meninggal dunia. Setelah itu anaknya Ping Hen (Rio Dewanto) sadar dan masuk Islam demi menikahi Menuk setelah menjadi janda karena ditinggal mati suaminya Soleh (Reza Rahadian), seorang Banser yang tewas terkena bom setelah menjaga Gereja pada hari Natal. Jadi orang menjadi Muslim niatnya untuk menikahi gadis cantik. Sebagaimana Anda menjadi sutradara berpaham Sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme, red.) dengan kejam menceraikan istri yang telah melahirkan satu anak demi untuk menikahi gadis cantik yang jadi pesinetron. Film ini kok seperti kehidupan Anda sendiri, ya? HB: Saya benar-benar kagum dengan penafsiran Anda soal adegan dalam film saya. Tidak heran Anda menjadi seorang wartawan. Hehehe. Jika Anda benar-benar mengamati adegan demi adegan, Anda akan menemukan maksud dari penyerbuan tersebut. Pertama, penyerbuan itu didasari karena egositas dari Hendra (Ping Hen) yang hanya ingin mengejar keuntungan. Maka dari itu libur Lebaran yang biasanya lima hari dipotong hanya sehari. Akibatnya, Menuk tidak bisa menemani keluarganya jalan-jalan liburan Lebaran. Kedua, penyerbuan tersebut didasari oleh rasa dendam Soleh (yang di adegan sebelumnya berkelahi dengan Hendra) dan cemburu karena Menuk lebih memilih bekerja di hari Lebaran daripada menemani Soleh dan keluarganya jalan-jalan. Dalam adegan tersebut jelas tergambar SIKAP CEMBURU, MEMBABI BUTA, BODOH dan TERGESA-GESA pada diri Soleh yang mengakibatkan Tan Kat Sun meninggal. Sikap tersebut membuat Soleh menjadi rendah di mata Menuk. Lihat adegan selanjutnya: Menuk bersikap diam kepada Soleh. Meski masih meladeni sarapan, Menuk tetap tidak HANGAT dengan SOLEH. Hingga Soleh meminta maaf kepada Menuk. Namun, lagi-lagi Menuk tidak menanggapi dengan serius (perhatikan dialognya): … Mas, jangan di sini ya minta maafnya. Di rumah saja… Dijawab oleh Soleh: Kamu di rumah terlalu sibuk dengan Mutia… Menuk menimpali: … Di mana saja ASAL TIDAK DI SINI… Penolakan Menuk itu yang membuat Soleh akhirnya memutuskan untuk memeluk BOM dan menghancurkan dirinya. Tujuannya? Agar dia menjadi berarti di mata ISTRINYA... Apakah adegan di film iitu menggambarkan Menuk bahagia dengan kematian Soleh, sehingga dengan begitu dia bebas menikah dengan Hendra? Apakah adegan di film menggambarkan Hendra juga bahagia dengan kematian Soleh sehingga ia bisa punya kesempatan menikah sama Menuk? Sungguh, saya kagum dengan tafsir Anda. Hingga Anda pun bisa bebas sekali menafsirkan hidup saya. Semoga kita bisa menjalin silaturahmi lebih dekat sehingga Anda bisa mengenal saya lebih baik, mas… 7. BH: Si murtadin Endhita (Rika, red.) minta cerai gara-gara suaminya poligami. Karena dendam kemudian dia menjadi murtad. Anda ingin mengajak penonton agar membenci poligami dan membolehkan murtad. Padahal Islam membolehkan poligami dan dibatasi hingga empat istri, dan melarang dengan keras murtad dengan ancaman hukuman qishash. Seandainya Anda setuju dan poligami dengan menikahi si pesinetron itu, Anda tidak perlu menceraikan istri dan menelantarkan anak Anda sendiri sehingga tanpa kasih sayang seorang ayah kandung dan dengan masa depan yang suram. Kasihan benar anak dan istri Anda korban dari seorang ayah yang kejam penganut faham pluralisme dan anti-poligami. HB: Saya laki-laki yang tidak setuju dengan poligami. Dalam pandangan saya, banyak umat Islam sudah menyelewengkan Surah Al-Nisa sebagai sebuah legitimasi pelampiasan nafsu lelaki. Padahal sudah jelas di dalam surah tersebut dikatakan: Jika engkau TAKUT BERLAKU TIDAK ADIL maka nikahilah seorang saja…(Wa in khiftum alla ta’dilu fa wahidatan aw ma malakat aimanukum…) Jadi dalam melakukan poligami, syarat utamanya harus berlaku adil. Pertanyaan saya, bisakah manusia berlaku adil? Apakah lelaki bisa menjamin hati seorang wanita bisa ikhlas ketika dirinya dimadu? Bukankah ketika kita menyakiti hati perempuan, maka itu sudah termasuk aniaya? Pendapat saya tidak didasari atas logika sebagaimana yang dituduhkan kepada orang-orang seperti saya: memahami agama hanya dengan akal. Tapi pemahaman saya didasarkan pada pengalaman batin. Saya pernah hampir berpoligami. Di satu sisi saya merasa benar karena ada syariat. Di sisi lain, saya melukai perasaan perempuan, perasaan anak-anak saya, keluarga dari pihak istri yang terpoligami, dan juga masyarakat lingkungan istri saya, baik yang paling dekat maupun yang paling jauh. Apakah hanya karena syariat, maka keputusan saya menolak poligami adalah suatu sikap menentang syariat? Jika memang saya kemudian berpoligami, apakah saya juga akan mendapatkan jaminan sebagai manusia bersyariat sebagaimana yang Anda harapkan? Apakah dengan saya berpoligami maka anak-anak saya akan hidup damai sejahtera sebagaimana bayangan Anda? Alhamdulillah, anak saya sehat tidak kurang suatu apa tanpa saya harus berpoligami. Jika Anda berkenan, silakan mengunjungi rumah saya, dan saya kenalkan kepada anak-anak saya. Sungguh, manusia adalah makhluk penuh kekurangan. Ijtihad adalah keniscayaan bagi manusia yang benar-benar memahami kekurangannya. Kebenaran hanya di mata Allah… 8. BH: Anda menghina Allah SWT dengan bacaan Asmaul Husna di Gereja, dan dibacakan seorang pendeta (Deddy Sutomo) dengan nada sinis dan melecehkan. Masya Allah! HB: Saya menyelipkan Asmaul Husna di adegan pembacaan ‘Kesaksian: Tuhan di Mataku’ sebagai pemaknaan atas nama Tuhan yang indah dan UNIVERSAL. Asmaul Husna merupakan nama ALLAH yang meliputi segala yang indah di bumi dan langit. Tidak ada nama indah selain diri-Nya yang dimiliki agama lain. Maka ketika Pastur Dedi Sutomo meminta Rika untuk menuliskan kesaksiannya, Rika kesulitan. Sebagai seorang penganut agama baru, Rika tidak memiliki pengetahuan terhadap Tuhan barunya, maka dia menuliskan Asmaul Husna karena dalam tiap-tiap nama-Nya (Al-Rahman: Maha Pengasih, Al-Rahiim: Maha Penyayang, dan seterusnya) memiliki arti yang UNIVERSAL. Apakah itu melecehkan Islam? Apakah Dedi Sutomo dalam membacakan Asmaul Husna juga terlihat sinis? Silakan Anda tonton kembali filmnya. Perhatikan ekspresinya… 9. BH: Anda menfitnah Islam sebagai agama penindas, dan umat Islam sebagai umat yang kejam dan anti-toleransi terhadap umat lain terutama Kristen dan Cina. Padahal sesungguhnya meski mayoritas mutlak, umat Islam Indonesia dalam kondisi tertindas oleh Kristen dan Katolik serta Cina yang menguasai politik, ekonomi, dan media massa. Anda tidak melihat kondisi umat Islam di negara lain yang minoritas seperti Filipina Selatan, Thailand Selatan, Myanmar, India, Cina, Asia Tengah, bahkan Eropa, dan AS. Mereka sekarang dalam kondisi tertindas oleh mayoritas Kristen dan Katolik, Hindu, Budha, dan Komunis. Jadi Anda benar-benar subjektif dan dipenuhi dengan hati penuh dendam terhadap umat Islam. HB: Pertanyaan ini murni tafsir Anda. Saya tahu, banyak sekali tragedi kemanusiaan di dunia ini atas nama agama. Saya tidak menutup mata terhadap serangan keji Israel terhadap rakyat Palestina. Saya pun turut mengutuk perbuatan tanpa manusiawi di Bosnia, minoritas Muslim di Eropa, Thailand, Cina, sebagaimana yang Anda sebutkan. Akan tetapi, tak perlu kita menilai sesuatu terlalu jauh. Begitu pula dalam film ini. Jika Anda bisa melihat sisi negatif film ini, kenapa sisi positifnya luput dari perhatian Anda? Bukankah di akhir film saya menampilkan adegan Hendra terkesan dengan Asmaul Husna, membacanya, kemudian dia masuk Islam? Lalu di akhir adegan, Ustad Wahyu mengatakan di dalam Masjid kepada Hendra bahwa: Islam adalah agama yang mengajak manusia untuk terus-menerus memperbaiki dirinya. Berusaha ikhlas dan sabar. Menjadikan dirinya berarti bagi orang banyak…. 10. BH: Film ini mengajarkan kemusyrikan di mana semua agama itu pada hakikatnya sama untuk menuju Tuhan yang sama. Kalau semua agama itu sama, maka orang tidak perlu beragama. Jadi film Anda ini dengan sangat jelas mengajarkan paham atheisme dan komunisme. HB: Bagian mana saya menampilkan bahwa semua agama sama? Adakah dalam adegan tersebut saya menampilkan seorang Islam sembahyang di Gereja? Atau seorang Kristen sembahyang di Masjid? Barangkali Anda tidak jeli ketika melihat adegan Rika yang menyatakan: …Setiap manusia berjalan dalam setapaknya masing-masing. Mereka berjalan sendirian. Mereka bersama-sama berjalan kepada satu tujuan, yaitu … Tuhan. Coba perhatikan adegan tersebut dalam film: Apakah Rika menyatakan kata tersebut berdasarkan sebuah Kitab Suci? Rika hanya mengutip dari novel yang akan diberikan kepada Surya sebagai hadiah ulang tahun. Perhatikan dialognya: … Ini ada novel bagus buat kamu. Aku mau bacakan. Ini juga kado buat kamu… Jadi anggapan bahwa saya melalui film ini sedang mencampuradukkan agama sangat tidak relevan. Apakah mungkin seorang berpendapat (apalagi menyoal agama) hanya berdasarkan novel? Di sisi lain, jika kata-kata Rika (mengutip novel) tersebut kita renungkan, apakah selama ini kaum Nasrani di Gereja tidak sedang melakukan sembahyang kepada Tuhannya? Begitu juga kaum Budha, Hindu, Yahudi? Apakah mereka di setiap sembahyang, baik di Gereja, Klentheng, Pura, sedang melakukan pemujaan kepada setan? Apakah saya menyebut dalam FILM bahwa Allah Subhana wa Ta’alasebagai Tuhan kaum Nasrani, Budha, Yahudi? Lalu di mana saya melakukan penyamarataan agama? Silakan lihat sekali lagi adegan filmnya… 11. BH: Nasihat saya, bertobatlah segera sebelum azab Allah SWT menimpa Anda, karena hidup di dunia ini hanya sementara dan tidak abadi. Belajarlah kembali mengenai Islam yang benar sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, bukan Islam yang diambil dari kaum Orientalis Barat dan para sineas berpaham Sepilis yang sudah sangat jelas memusuhi Islam dan umat Islam. HB: Di setiap akhir shalat, saya selalu menyatakan pertobatan kepada Allah dengan mengucap istighfar. Begitu pun di setiap saya melakukan kesalahan, baik yang saya sengaja maupun tidak. Bagi saya, film ini merupakan proses pembelajaran saya mengenal lebih dekat agama saya. Buat saya, belajar agama adalah belajar menjadi manusia. Saya mengagumi Rasulullah bukan karena beliau utusan Allah semata-mata. Tapi karena Rasulullah memberikan tauladan kepada kita bagaimana menjadi manusia dalam keluarga, masyarakat, dan Tuhannya. Mari kita sama-sama terbuka. Kita saudara. Sama-sama pengikut Rasulullah. Sesama Muslim saling mengingatkan. Semoga diskusi ini bisa menjadi pembelajaran kita bersama. Amin... |
this is the current Indonesia, does the Indonesia built by the Founding Fathers no longer exist?
Tuesday, April 19, 2011
“Umat” Menghujat, Hanung Menjawab
http://madina-online.net/index.php/sosok/wawancara/13-wawancara/388-umat-menghujat-hanung-menjawab
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment