http://www.gatra.com/artikel.php?id=147582
NASIONAL
Mengapa aktivitas terorisme di Indonesia seakan beranak-pinak, bahkan bermetamorfosis menjadi petualang teroris yang sulit diberantas? Benarkah kesalahan terjemah Al-Quran versi Departemen Agama RI (kini Kemenag RI) berkontribusi besar menyemai bibit terorisme?
Pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sebagai ironi, terutama bila dikaitkan dengan peristiwa bom Jumat di Masjid Az-Zikra, kompleks Mapolresta Cirebon, 15 April lalu. Tragedi bom Jumat itu terjadi sekitar pukul 12.17 WIB, tatkala khatib menyelesaikan khotbah Jumat. Pada saat khatib turun dari mimbar, pelaku maju ke saf kedua, berjejer dengan Kapolresta Cirebon, AKBP Heru Koco. Dan ketika takbiratul ihram, bom di tubuh pelaku meledak hingga menewaskan pelaku dan melukai puluhan jamaah salat Jumat, termasuk Kapolresta Cirebon. Pelakunya adalah Muhammad Syarif, seorang yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi tapi lemah pengetahuan agamanya.
Adalah mustahil, tanpa pemicu ideologi kemarahan, seorang muslim nekat melakukan tindakankamikaze, meledakkan bom di depan mihrab masjid pada saat hendak menunaikan salat Jumat. Sebab Al-Quran melarang merusak tempat ibadah, sekalipun tempat ibadah non-muslim, sebagaimana firman Allah: "Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah" (Q.S. 22: 40).
Lalu, bagaimana meluruskan terorisme berbasis agama, tanpa deradikalisasi yang mendiskreditkan syariat Islam? Tulisan di bawah ini mencoba mengurai benang kusut ideologi teroris berbasis agama, berdasarkan telaah terhadap terjemah harfiah Al-Qur'an dan Terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam kaitan ini, akan diuraikan kesalahan terjemah ayat Quran, bukan kesalahan tafsir, oleh tim penerjemah Depag RI, menggunakan metode komparasi dengan tarjamah tafsiriyah.
Ideologi Teroris
Tidak diragukan lagi, mayoritas umat Islam bangsa Indonesia memahami Al-Quran melalui terjemahan. Dan terjemah Al-Quran yang paling otoritatif secara kenegaraan adalah Quran terjemah yang dipublikasikan Departemen Agama (Depag). Hampir semua terjemah Al-Quran di Indonesia merujuk pada Al-Qur'an dan Terjemahnya versi Depag.
Namun, setelah melakukan penelitian dan kajian saksama terhadap Al-Qur'an dan Terjemahnya versi Depag RI, yang dilakukan Amir Majelis Mujahidin Muhammad Thalib, ditemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan yang sangat fatal dan berbahaya, baik ditinjau dari segi makna lafadh secara harfiah, makna lafadh dalam susunan kalimat, makna majazy atau haqiqi, juga tinjauan tanasubul ayah, asbabun nuzul, balaghah, penjelasan ayat dengan ayat, penjelasan hadis, penjelasan sahabat, sejarah, maupun tata bahasa Arab.
Secara prinsipil, terdapat ratusan terjemah ayat Al-Quran, berkaitan dengan akidah, ekonomi, hubungan sosial antar-pemeluk agama, dan jihad, yang berpotensi memicu radikalisasi teroris. Untuk sinyal berbahaya ini dapat dikemukakan beberapa ayat yang diterjemahkan secara salah, antara lain:
Pertama, "Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah)" (Q.S. 2: 191)
Kata waqtuluhum, yang diterjemahkan "bunuhlah", dalam bahasa Indonesia berkonotasi individual, bukan antara umat Islam dan golongan kafir. Jelas, terjemah harfiah semacam ini sangat membahayakan hubungan sosial antarumat beragama. Seolah-olah setiap orang Islam boleh membunuh orang kafir yang memusuhi Islam di mana saja dan kapan saja dijumpai.
Kalimat "bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka" dapat dipahami bahwa membunuh musuh di luar medan perang dibolehkan. Jika pemahaman ini diterjemahkan dalam bentuk tindakan, maka sangat berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat, karena pembunuhan terhadap musuh di luar medan perang sudah pasti menciptakan anarkisme dan teror. Dan ini bertentangan dengan syariat Islam. Karena itulah, terjemahan yang benar secara tafsiriyah adalah:
"Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir...."
Kedua, pada tarjamah harfiyah Depag: "Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan" (Q.S. 9: 5).
Kesalahan yang sama ditemukan pada terjemah Q.S. 9: 29. Apabila orang yang tidak memahami ajaran Islam mengamalkan ayat ini sesuai dengan terjemah Quran Depag, niscaya dapat mengancam hubungan sosial muslim dengan nonmuslim. Sebab, setelah lewat bulan-bulan haram, yaitu bulan Sya'ban, Dzulqa'idah, Dzuhijjah, dan Muharram, setiap orang dapat berbuat sesuka hatinya untuk membunuh siapa saja yang dianggap musuh Islam dari golongan musyrik, baik di Mekkah maupun di luar Mekkah.
Padahal, perintah dalam ayat itu adalah untuk memerangi kaum musyrik di kota Mekkah yang mengganggu dan memerangi Rasulullah SAW dan para sahabat. Jadi, bukan perintah membunuh, melainkan memerangi. Membunuh dapat dilakukan oleh perorangan tanpa perlu ada komando dan pengumuman kepada musuh. Sedangkan perang wajib terlebih dahulu diumumkan kepada musuh dan dilakukan di bawah komando khalifah atau kepala negara.
Maka, tarjamah tafsiriyah-nya adalah: "Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka perangilah kaum musyrik Mekkah yang tidak mempunyai perjanjian damai dengan kalian di mana saja kalian temui mereka di Tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru di Tanah Haram. Jika kaum musyrik Mekkah itu bertobat, lalu melakukan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya."
Ketiga, tarjamah harfiyah Depag: "Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam" (Q.S. 29: 6).
Kata "jihad" secara umum berkonotasi ofensif, menyerang pihak lain. Padahal, ayat ini turun pada fase Mekkah, bersifat defensif, belum diperintahkan menyerang pihak lain yang memusuhi Islam. Karena itu, kata "jihad" dalam ayat ini harus dibatasi pengertiannya secara khusus, yaitu berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsu.
Bila kata "jihad" pada ayat ini dipahami sebagai tindakan ofensif, menyalahi fakta sejarah Nabi SAW di Mekkah dan bisa menimbulkan sikap agresif kepada kalangan nonmuslim dalam masyarakat.
Maka, tarjamah tafsiriyah-nya: "Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia."
Adalah penting disadari bahwa maraknya berbagai aliran sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan tekstualisme, dikhawatirkan merupakan dampak negatif dari penerjemahan Al-Quran yang salah ini.
Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah Al-Quran itu serta menghentikan peredaran Al-Qur'an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag. Hal ini perlu dilakukan agar mereka yang anti-Quran tidak memersepsikan ayat-ayat itu sebagai pemicu terorisme. Dan generasi muslim militan tidak memosisikan ayat tadi sebagai pembenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini.Wallahua'lam bis-shawab.
Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
[Kolom, Gatra Nomor 24 Beredar Kamis, 21 April 2011]
Sebetulnya yang ingin supaya muslim jadi teroris itu siapa?
ReplyDeletehttp://www.kaskus.us/showpost.php?p=440755743&postcount=20
Menarik untuk dibahas.