Friday, April 29, 2011

Ideologi Teroris dalam Terjemah Quran Depag

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147582
NASIONAL

Al-Qur`an (Yahoo! News/REUTERS/Andrew Biraj)Mengapa aktivitas terorisme di Indonesia seakan beranak-pinak, bahkan bermetamorfosis menjadi petualang teroris yang sulit diberantas? Benarkah kesalahan terjemah Al-Quran versi Departemen Agama RI (kini Kemenag RI) berkontribusi besar menyemai bibit terorisme?

Pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sebagai ironi, terutama bila dikaitkan dengan peristiwa bom Jumat di Masjid Az-Zikra, kompleks Mapolresta Cirebon, 15 April lalu. Tragedi bom Jumat itu terjadi sekitar pukul 12.17 WIB, tatkala khatib menyelesaikan khotbah Jumat. Pada saat khatib turun dari mimbar, pelaku maju ke saf kedua, berjejer dengan Kapolresta Cirebon, AKBP Heru Koco. Dan ketika takbiratul ihram, bom di tubuh pelaku meledak hingga menewaskan pelaku dan melukai puluhan jamaah salat Jumat, termasuk Kapolresta Cirebon. Pelakunya adalah Muhammad Syarif, seorang yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi tapi lemah pengetahuan agamanya.

Adalah mustahil, tanpa pemicu ideologi kemarahan, seorang muslim nekat melakukan tindakankamikaze, meledakkan bom di depan mihrab masjid pada saat hendak menunaikan salat Jumat. Sebab Al-Quran melarang merusak tempat ibadah, sekalipun tempat ibadah non-muslim, sebagaimana firman Allah: "Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah" (Q.S. 22: 40).

Lalu, bagaimana meluruskan terorisme berbasis agama, tanpa deradikalisasi yang mendiskreditkan syariat Islam? Tulisan di bawah ini mencoba mengurai benang kusut ideologi teroris berbasis agama, berdasarkan telaah terhadap terjemah harfiah Al-Qur'an dan Terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam kaitan ini, akan diuraikan kesalahan terjemah ayat Quran, bukan kesalahan tafsir, oleh tim penerjemah Depag RI, menggunakan metode komparasi dengan tarjamah tafsiriyah.

Ideologi Teroris 
Tidak diragukan lagi, mayoritas umat Islam bangsa Indonesia memahami Al-Quran melalui terjemahan. Dan terjemah Al-Quran yang paling otoritatif secara kenegaraan adalah Quran terjemah yang dipublikasikan Departemen Agama (Depag). Hampir semua terjemah Al-Quran di Indonesia merujuk pada Al-Qur'an dan Terjemahnya versi Depag.

Namun, setelah melakukan penelitian dan kajian saksama terhadap Al-Qur'an dan Terjemahnya versi Depag RI, yang dilakukan Amir Majelis Mujahidin Muhammad Thalib, ditemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan yang sangat fatal dan berbahaya, baik ditinjau dari segi makna lafadh secara harfiah, makna lafadh dalam susunan kalimat, makna majazy atau haqiqi, juga tinjauan tanasubul ayahasbabun nuzulbalaghah, penjelasan ayat dengan ayat, penjelasan hadis, penjelasan sahabat, sejarah, maupun tata bahasa Arab.

Secara prinsipil, terdapat ratusan terjemah ayat Al-Quran, berkaitan dengan akidah, ekonomi, hubungan sosial antar-pemeluk agama, dan jihad, yang berpotensi memicu radikalisasi teroris. Untuk sinyal berbahaya ini dapat dikemukakan beberapa ayat yang diterjemahkan secara salah, antara lain:

Pertama, "Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah)" (Q.S. 2: 191)

Kata waqtuluhum, yang diterjemahkan "bunuhlah", dalam bahasa Indonesia berkonotasi individual, bukan antara umat Islam dan golongan kafir. Jelas, terjemah harfiah semacam ini sangat membahayakan hubungan sosial antarumat beragama. Seolah-olah setiap orang Islam boleh membunuh orang kafir yang memusuhi Islam di mana saja dan kapan saja dijumpai.

Kalimat "bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka" dapat dipahami bahwa membunuh musuh di luar medan perang dibolehkan. Jika pemahaman ini diterjemahkan dalam bentuk tindakan, maka sangat berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat, karena pembunuhan terhadap musuh di luar medan perang sudah pasti menciptakan anarkisme dan teror. Dan ini bertentangan dengan syariat Islam. Karena itulah, terjemahan yang benar secara tafsiriyah adalah:

"Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir...."

Kedua, pada tarjamah harfiyah Depag: "Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan" (Q.S. 9: 5).

Kesalahan yang sama ditemukan pada terjemah Q.S. 9: 29. Apabila orang yang tidak memahami ajaran Islam mengamalkan ayat ini sesuai dengan terjemah Quran Depag, niscaya dapat mengancam hubungan sosial muslim dengan nonmuslim. Sebab, setelah lewat bulan-bulan haram, yaitu bulan Sya'ban, Dzulqa'idah, Dzuhijjah, dan Muharram, setiap orang dapat berbuat sesuka hatinya untuk membunuh siapa saja yang dianggap musuh Islam dari golongan musyrik, baik di Mekkah maupun di luar Mekkah.

Padahal, perintah dalam ayat itu adalah untuk memerangi kaum musyrik di kota Mekkah yang mengganggu dan memerangi Rasulullah SAW dan para sahabat. Jadi, bukan perintah membunuh, melainkan memerangi. Membunuh dapat dilakukan oleh perorangan tanpa perlu ada komando dan pengumuman kepada musuh. Sedangkan perang wajib terlebih dahulu diumumkan kepada musuh dan dilakukan di bawah komando khalifah atau kepala negara.

Maka, tarjamah tafsiriyah-nya adalah: "Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka perangilah kaum musyrik Mekkah yang tidak mempunyai perjanjian damai dengan kalian di mana saja kalian temui mereka di Tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru di Tanah Haram. Jika kaum musyrik Mekkah itu bertobat, lalu melakukan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya."

Ketiga, tarjamah harfiyah Depag: "Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam" (Q.S. 29: 6).

Kata "jihad" secara umum berkonotasi ofensif, menyerang pihak lain. Padahal, ayat ini turun pada fase Mekkah, bersifat defensif, belum diperintahkan menyerang pihak lain yang memusuhi Islam. Karena itu, kata "jihad" dalam ayat ini harus dibatasi pengertiannya secara khusus, yaitu berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsu.

Bila kata "jihad" pada ayat ini dipahami sebagai tindakan ofensif, menyalahi fakta sejarah Nabi SAW di Mekkah dan bisa menimbulkan sikap agresif kepada kalangan nonmuslim dalam masyarakat.

Maka, tarjamah tafsiriyah-nya: "Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia."

Adalah penting disadari bahwa maraknya berbagai aliran sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan tekstualisme, dikhawatirkan merupakan dampak negatif dari penerjemahan Al-Quran yang salah ini.

Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah Al-Quran itu serta menghentikan peredaran Al-Qur'an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag. Hal ini perlu dilakukan agar mereka yang anti-Quran tidak memersepsikan ayat-ayat itu sebagai pemicu terorisme. Dan generasi muslim militan tidak memosisikan ayat tadi sebagai pembenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini.Wallahua'lam bis-shawab.

Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
[KolomGatra Nomor 24 Beredar Kamis, 21 April 2011] 

Thursday, April 28, 2011

Kampus Terpercik NII, Butuh Langkah Strategis

http://nasional.inilah.com/read/detail/1462902/kampus-terpercik-nii-butuh-langkah-strategis
Headline

Oleh: Ahluwalia
Nasional - Jumat, 29 April 2011 | 05:33 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Sudah jadi cerita lama bahwa militansi NII sangat tinggi. Pantang menyerah. Dengan semangat gila kuasa dan uang itulah, Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) menghalalkan segala cara dalam merekrut anggotanya. Api NII membara, menyentuh kaum muda dan mahasiswa.
Berbagai kalangan sudah mendesak pemerintah agar mengambil langkah-langkah strategis untuk melumpuhkan dalang dan jaringan NII karena membahayakan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menteri Agama Suryadharma Ali bahkan menilai, gerakan radikal NII yang berkembang saat ini sangat sistematis dan intensif. Gerakan tersebut bahkan fokus merekrut mahasiswa dan pelajar serta sarjana, yang menjadi generasi penerus bangsa.
Sejalan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma mengatakan, gerakan NII tak bisa dibiarkan dan gerakan bawah tanah itu harus dimusnahkan. “Kita harus basmi gerakannya," kata Suryadharma.
Kementerian Agama, lanjutnya, perlu memanggil kepala-kepala kantor wilayah di daerah-daerah, kepala-kepala lembaga pendidikan di bawah tanggung jawab kementeriannya dan pondok pesantren. Pada pertemuan tersebut, akan diberikan sosialisasi soal bahaya NII.
Baru-baru ini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan penelitian soal radikalisasi terhadap sejumlah guru agama dan murid di beberapa sekolah. Kesimpulannya, pendidikan agama di sekolah turut menumbuh kembangkan sikap intoleransi.
Selain kewaspadaan masyarakat di lingkungan sekitarnya, pemerintah dan aparat intelijen harus memiliki peran yang lebih besar dalam menanggulangi gerakan-gerakan tersebut yang langsung maupun tidak langsung terhubung dengan aksi terorisme.
Dalam dua pekan terakhir, berbagai kasus dugaan ‘cuci otak’ oleh jaringan NII mulai bermunculan di sejumlah daerah, seperti Bogor, Malang, Bandung, dan Jakarta. Para korban umumnya mahasiswa. Mereka diajak berdiskusi dan dipengaruhi hingga dibawa ke sebuah tempat untuk dibaiat.
Polda Metro Jaya terus memantau gerakan NII di Jakarta. Kepolisian pun telah memetakan tempat-tempat yang dijadikan sebagai kantong gerakan yang meresahkan warga ini. "Ada di wilayah-wilayah pinggiran," kata Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Irjen Pol Sutarman di Mabes Polri, Jakarta. [mdr]

Modus Eksistensi Beragama

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/26/02512422/modus.eksistensi.beragama
Yonky Karman



Fanatisme beragama kini menyeruak di ruang publik. Agama terang-terangan dipakai dalam proyek delegitimasi ideologi dan hukum negara. Negara dianggap sekuler, pejabatnya dajal, hukumnya bertentangan dengan agama, dan polisinya tentara setan.
Ironisnya, pemerintah dan organnya sibuk menghakimi kelompok agama yang secara ideologis tak berbahaya. Namun, radikalisme agama dalam bentuk kekerasan dan subversif tidak ditindak tegas.
Pembangunan ekonomi tidak sama dengan pembangunan masyarakat jika pertumbuhan ekonomi memperlebar jurang kaya dan miskin. Maka, sosialisme memiliki visi membangun masyarakat baru dengan mengubah struktur sosial, tetapi tanpa perubahan watak individual.
Agama memiliki visi membangun masyarakat baru dengan mengubah watak individual, tetapi tanpa perubahan struktur sosial. Erich Fromm melihat korelasi struktur sosial dan watak sosial hasil bentukan agama (Memiliki dan Menjadi, 162-69). Hal serupa jadi visi sosialisme religius dari tokoh nasional, seperti Bung Hatta, Agus Salim, dan Wahid Hasyim.
Sebagai gagasan, agama merupakan kerangka orientasi individu untuk memahami dunia. Orang menempatkan diri dan dan menjalani hidupnya di dunia sebagaimana dipahaminya. Sejauh peta kehidupan itu sesuai dengan realitas, orang terbebas dari kontradiksi beragama. Sayang, agama di Indonesia belum jadi modal sosial dalam membangun kultur demokratis dan membangun masyarakat.
Komodifikasi agama
Pemiskinan hidup terjadi dengan modus eksistensi memiliki dalam beragama. Seperti dalam berbelanja, masyarakat juga bisa konsumtif beragama. Pilihan pemuas hasrat rohani tersedia dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Motivator kecerdasan spiritual memanfaatkan agama sebagai solusi cepat mengatasi masalah dan meraih sukses. Agama dapat direduksi menjadi satu set ajaran penanda identitas yang dipahami secara teknis dan harus dibela dengan kekuatan fisik.
Karakter misteri sebagai inti agama disangkal. Agama diperlakukan seperti milik berharga yang memberi rasa bangga dan superior bagi pemiliknya sekaligus membuatnya sensitif dan mudah tersinggung. Namun, fanatisme mengalienasi subyek dari keyakinan agama dan subyek dikuasai tirani keyakinan (Gabriel Marcel, Being and Having, 166).
Agama industri siap berkompetisi dan menaklukkan. Kebanggaan beragama bukan dalam kerendahan hati, melayani sesama, dan berkorban tanpa pamrih; bukan dalam modus eksistensi menjadi. Orang membendakan agama untuk dibela, bukan untuk mengaryakan dan mengamalkan kebaikannya.
Agama dipahami secara fungsional sebagai jalan kesejahteraan di dunia ataupun akhirat. Maka, beragama identik dengan watak lemah, sikap kurang bertanggung jawab, dan fatalis. Doa bersama mengganti kerja keras dalam belajar. Kemiskinan dimaknai jalan bertakwa. Mengubah kemiskinan tak termasuk ibadah. Tak mengapa miskin asal masuk surga sekalipun jalannya mati syahid. Kemiskinan pun jadi lahan subur radikalisme agama.
Ada yang membiarkan hidupnya tak dipengaruhi agama, agama KTP ataupun bermuka dua dalam beragama (munafik). Namun, sikap fanatik dapat kontradiktif dengan hakikat agama dan melawan rasionalitas. Agama untuk menghakimi sesama. Orang beragama menghalalkan keberingasan dan pelanggaran hak (milik dan hidup), menghalangi terwujudnya masyarakat demokratis. Salah satu kekuatan agama adalah memberi motivasi untuk hidup dan berbagi hidup dengan sesama. Agama dalam modus eksistensi akan membuat orang lebih manusiawi dan cinta sesama. Namun, pemanfaatan agama secara lahiriah melumpuhkan daya kerjanya di wilayah batin.
Politisasi agama
Daripada tampil efisien, birokrat kita memilih wajah teokrat. Yang berteologi semestinya individu dan organisasi keagamaan, bukan negara. Namun, negara telah terjebak untuk ikut-ikutan berteologi untuk mengambil hati massa mayoritas. Masyarakat pun dininabobokan dengan politisasi agama. Sekelompok masyarakat dibiarkan bermain api dengan fanatisme keagamaan dan melakukan intimidasi sampai akhirnya tingkat kewaspadaan negara dinyatakan siaga satu.
Negara kebangsaan secara moral harus menjaga jarak dengan keyakinan agama warga sejauh yang bersangkutan tidak melanggar ketertiban umum, tidak mengarahkan dan memaksa warga untuk beragama. Warga tak perlu kehilangan jaminan rasa aman dan keselamatannya hanya karena soal agama.
Sayang, pemerintah tak konsisten di posisi netral. Pelanggaran hukum terkait agama mayoritas lebih dilihat sebagai kekhilafan dan proses hukumnya tidak serius. Daripada mengawal praksis beragama dalam pembentukan watak sosial, agama diperalat sebagai komoditas politik.
Tampilan religius dipakai untuk merebut hati rakyat dan menutupi kegagalan politik kesejahteraan. Kebijakan politik dibiarkan memihak dan didikte kelompok mayoritas. Potret religius birokrasi tak ada hubungan dengan penurunan tingkat korupsi. Beragama tak membuat orang takut korupsi. Beragama tidak menyurutkan naluri hedonis anggota Dewan untuk mendapat fasilitas iPad meski sepantasnya itu dibeli dari gaji mereka yang lebih dari cukup. Keimanan yang terpisah dari kehidupan sosial memubazirkan kekuatan agama untuk membentuk watak sosial dan kemudian mendorong perubahan sosial.
Pemerintah harus fokus mengurus kepentingan dan ketertiban umum menjadi perekat kesatuan bangsa. Pemerintah boleh memfasilitasi keperluan agama demi perkembangannya, tetapi tak boleh menghambat. Pemerintah boleh memberdayakan agama demi peningkatan etos kerja, etika profesi, dan produktivitas bangsa. Dengan menjaga netralitas, barulah negara dapat mengayomi dengan adil dan meredam fanatisme keagamaan yang secara ideologis berbahaya.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Din: Ajaran Radikal Akan Terus Berkembang

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/27/02391667/din.ajaran.radikal.akan.terus.berkembang


Jakarta, Kompas - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan, selama pemerintah tak mampu menyelesaikan permasalahan sosial, agama, ekonomi, dan politik, ajaran radikal, seperti jaringan Negara Islam Indonesia, akan terus berkembang subur. Kelompok tertentu kemudian akan menggunakan agama sebagai faktor justifikasi.
”Ini sebenarnya masalah lama, tetapi yang disayangkan, kenapa pemerintah tak bisa menyelesaikannya sejak dahulu. Bahkan, memberi peluang bagi berkembangnya jaringan ini hingga ke kampus. Negara seharusnya bisa menghentikan gerakan ini,” kata Din di Yogyakarta, Selasa (26/4).
Din mengakui, selain faktor ideologi agama yang salah, berkembangnya ajaran radikal juga disebabkan faktor nonagama, yaitu faktor sosial, ekonomi, dan politik. Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan pun tegas menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila merupakan bentuk negara yang ideal dan final.
”Kami mengimbau kepada umat Islam, khususnya anak muda, jangan sampai terpengaruh pemikiran pembentukan negara baru. Itu adalah pengaruh pemikiran masa lampau,” ujarnya.
Tinjau pelajaran agama
Di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, tugas Kementerian Agama (Kemag) adalah mencegah masuknya paham NII ke lembaga pendidikan. Paham ini bisa masuk melalui guru dan kegiatan pembinaan mental atau rohani. Pendidikan agama yang salah juga bisa memunculkan sikap intoleransi.
Karena itu, Kemag akan melihat kembali praktik pengajaran agama di lembaga pendidikan. Kemag akan menggandeng Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, untuk mengidentifikasi sekolah dan guru agama mana yang mengajarkan kekerasan.
Wakil Presiden Boediono juga meminta Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dan Menag memperbaiki kualitas program sekolah. Nuh mengakui, pendidikan kewarganegaraan sudah waktunya direvitalisasi. Kemunculan sikap intoleransi dan gerakan NII bisa dihindari jika pendidikan kewarganegaraan dan nasionalisme diperbaiki.
Jangkau mahasiswa
Secara terpisah, Selasa, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan, untuk mencegah paham radikalisme masuk ke kampus, perguruan tinggi perlu memperkuat berbagai lembaga kemahasiswaan, mengintensifkan pembinaan agama, dan mengembangkan karakter sampai ke asrama mahasiswa. ”Kami minta lembaga kemahasiswaan ikut aktif dalam sosialisasi dan mewaspadai paham seperti NII,” ujar Sudarnoto.
Mahasiswa diyakini tak mendapatkan pengaruh paham itu di kampus, tetapi di luar kampus. Karena itu, pihak perguruan tinggi harus bisa memperpanjang daya jangkaunya melalui lembaga kemahasiswaan.
Dia mengaku telah mewanti-wanti mahasiswa agar mewaspadai paham radikalisme yang bisa masuk ke mana saja. Sejauh ini paham seperti itu belum masuk ke unit kegiatan mahasiswa. ”Namun, mereka itu seperti nyamuk dan hantu yang bisa masuk ke mana saja,” ujarnya.
Dari segi kurikulum, Sudarnoto mengatakan, pihaknya tak kecolongan. Meski belum sempurna, kurikulum UIN terus berkembang dinamis sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat. Desain kurikulum secara rutin ditinjau ulang dan diperbaiki sesuai dengan kebutuhan zaman. Bahkan, sejak awal pada setiap mata kuliah selalu disisipi materi ajar yang diharapkan bisa menangkal paham radikalisme.
”Sejak awal komitmen kami tak berubah, ingin menampilkan Islam yang terbuka, rasional, sejuk, dan mengayomi,” katanya.
Rektor Institut Teknologi Bandung Akhmaloka juga mengaku mulai mewaspadai masuknya paham radikalisme ke kampus setelah menerima laporan adanya perekrutan anggota baru jaringan NII, sekitar dua bulan lalu. Semua lembaga kemahasiswaan juga melakukan sosialisasi untuk mengantisipasi masuknya paham radikalisme ke kampus. ”Semua ketua program studi juga sudah sosialisasi ke mahasiswa tentang masalah itu,” paparnya.
Sebaliknya, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, Nur Syam menilai, kasus cuci otak oleh jaringan NII tak bisa disederhanakan sebagai sekadar penipuan. Gerakan semacam ini menggunakan model indoktrinasi dan kaderisasi guna membangun ideologi tertentu sehingga harus ditanggapi serius.
Untuk mengantisipasi gerakan semacam itu, mulai tahun ajaran berikutnya IAIN Sunan Ampel akan menggelar program pendampingan mahasiswa. Program yang diperuntukkan bagi mahasiswa baru ini akan berjalan selama satu tahun. Mahasiswa pada semester yang lebih tinggi akan dilibatkan sebagai pendamping.
”Ini bertujuan mengarahkan mahasiswa agar mereka bisa memilih pilihan yang rasional dan religius sehingga tak terpengaruh pemikiran keagamaan yang salah konteks,” tuturnya. Selain itu, IAIN Sunan Ampel juga semakin giat membangun sinergi dengan organisasi Islam moderat.
Menurut Nur Syam, jaringan NII menyasar mahasiswa karena mereka sadar mahasiswa adalah kelompok strategis yang menentukan masa depan Indonesia.
Di Semarang, Jawa Tengah, Selasa, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Djoko Santoso meminta rektor perguruan tinggi aktif mengurus mahasiswanya agar tak mudah terpengaruh bujukan orang yang tidak bertanggung jawab.
(sin/who/ink/luk/eld/abk/ody/ara/aci/ato)

Pemerintah Gamang, NII Jadi Masif

http://nasional.kompas.com/read/2011/04/28/02325413/Pemerintah.Gamang.NII.Jadi.Masif
Kamis, 28 April 2011 | 02:32 WIB


NEGARA ISLAM


Jakarta, Kompas - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai, pemerintah gamang menghadapi radikalisme, sektarianisme, dan premanisme. Hal ini membuat jaringan Negara Islam Indonesia, yang pada masa lalu takut muncul dan mengembangkan diri, kini menjadi gerakan yang masif.



”Saya bilang kepada teman- teman, mengapa ada gerakan NII yang masif seperti itu lolos dari pengamatan. NII bisa merekrut puluhan ribu orang tanpa terdeteksi sejak awal,” kata Mahfud, Rabu (27/4) di Jakarta. Ia secara khusus menggelar jumpa pers untuk menyampaikan pandangannya terkait dengan masifnya jaringan NII.


Namun, menguatnya jaringan NII sekaligus dapat menyadarkan masyarakat bahwa Pancasila kini terpinggirkan. Pada masa lalu, NII tak bisa dan tidak berani beraksi. Mahfud menilai, kemunculan NII terinspirasi oleh kegamangan pemerintah.


Mahfud menjelaskan, kesadaran bernegara dalam berideologi Pancasila harus ditegakkan. Lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengawal hal ini adalah MPR.


Secara terpisah, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin mengkhawatirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan kian besar. Negara terkesan membiarkan gerakan yang bertentangan dengan ideologi negara, termasuk NII, berkembang.


”Bagaimanapun ajaran NII tak hanya bertolak belakang, tetapi juga menyimpang dan mengancam keutuhan bernegara dan ideologi Pancasila. Negara harus membubarkan kelompok, ajaran, dan paham yang dikembangkan terencana dengan ajaran yang bertentangan dengan ideologi negara itu,” ujarnya.
Selain itu, ia berharap kerja intelijen ditingkatkan agar publik tidak memiliki pemahaman bahwa intelijen kita tertinggal dalam mengatasi kelompok ekstrem.


Di Jakarta, Rabu, Jaksa Agung Basrief Arief mengakui, kejaksaan pernah menangani perkara terkait jaringan NII pada 1980-an. Putusan terhadap kasus itu sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Untuk perkara baru terkait NII, kejaksaan tentu menunggu dari kepolisian.


Kemiskinan-keadilan
Seusai bertemu Wakil Presiden Boediono, Rabu di Istana Wapres, Jakarta, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Alkhairat Jamaluddin Mariajang mendukung upaya pemerintah mengevaluasi pengajaran agama di lembaga pendidikan. Namun, pemerintah diminta tak melupakan tugas pokoknya, memerangi akar berbagai persoalan kemasyarakatan, termasuk kekerasan, yakni kemiskinan.


”Ada orang yang miskin, ada pula orang yang belum mendapat keadilan. Saya kira poinnya di situ. Kita perbaiki masyarakat karena masyarakat ini sumber dari segala macam kemungkaran. Saya kira konteks ini harus dipahami,” tutur Jamaluddin.


Ia mengakui, sejak pendiriannya, Alkhairat selalu berada dalam posisi moderat dan bekerja sama dengan pemerintah. Lembaga perguruan itu selalu menekankan nilai Islam adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam) dan memberikan kesejukan kepada umat manusia.


Sebaliknya, Koordinator Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta KH Abdul Muhaimin, Rabu di Yogyakarta, menegaskan, sejarah menunjukkan, gerakan radikalisme tak pernah berhasil berkembang di Indonesia. Sebab, radikalisme itu mengingkari karakter bangsa Indonesia yang sejak awal pluralis.


”Agama dan kepercayaan di Indonesia tumbuh dari proses akulturasi yang panjang dan bukan sekadar pemahaman teologis yang hitam dan putih. Karena itu, radikalisme agama, seperti jaringan NII yang saat ini bermunculan, tak akan pernah bisa berkembang karena mengingkari karakter bangsa,” katanya. Namun, ia mengimbau kalangan muda untuk tetap mewaspadai pengembangan jaringan NII dan gerakan radikalisme lain.


Mahasiswa Unair korban
Dari Surabaya, Jawa Timur, dilaporkan, empat mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (Unair) menjadi korban penipuan yang diduga dilakukan jaringan NII. Dua mahasiswa mengaku memberikan uang sekitar Rp 30 juta kepada jaringan itu.


Sekretaris Unair Hadi Subhan menuturkan, pihaknya baru mengetahui kejadian yang menimpa mahasiswa itu dua hari lalu. Unair menindaklanjuti laporan itu dengan memanggil keempat mahasiswa tersebut, yakni Su, Ev, So, dan In. Mereka direkrut pihak luar kampus.
(ana/iam/pin/abk/jon/ara/faj/ato)

Sulit Dipercaya, 49 % Pelajar Setuju Aksi Radikal

http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/143620/1627745/159/sulit-dipercaya-49--pelajar-setuju-aksi-radikal?nd991103605
http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/151617/1627803/159/ramai-ramai-tak-percayai-survei-lakip?nd991103605
http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/165528/1627952/159/sangat-berbahaya-pelajar-radikal-jadi-garapan-teroris?nd991103605
http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/174559/1628039/159/ada-yang-ditangkap-ada-yang-jadi-pengantin?nd991103605
http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/202127/1628130/159/lakip-pemerintah-harus-tinjau-kembali-pendidikan-agama-islam?9911012
http://www.detiknews.com/read/2011/04/28/205903/1628139/159/ini-dia-hasil-survei-lakip-yang-menghebohkan-itu?9911012


M. Rizal,Iin Yumiyanti - detikNews
Muhammad Taufiqqurahman - detikNews


Jakarta - Di tengah aksi terorisme yang masih terus terjadi, terungkap sebuah fenomena yang mencengangkan. Ternyata hampir 50 persen pelajar di Jabodetabek bersedia melakukan aksi kekerasan dan tindakan tidak toleran (radikalisme) demi agama dan moral.

Fenomena ini terungkap dari penelitian yang digelar oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Dalam survei tersebut, siswa SMP dan SMA ditanya bersediakah terlibat aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Dan hasilnya, 48,9 persen siswa menjawab bersedia.

Saat ditanyakan apakah bisa dibenarkan aksi pengeboman seperti yang dilakukan oleh Imam Samudera, Amrozi dan Noordin M Top, sebanyak 14,2 sisiwa membenarkannya.

Survei juga menunjukkan 84,8 persen siswa setuju diberlakukannya syariat Islam. Sementara sebanyak 25, 8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai dasar negara.

Survei tersebut tidak dilakukan pada siswa madrasah, melainkan di 100 sekolah negeri dan swasta, 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri. Survei dilakukan selama Oktober 2010 hingga Januari 2011 di sepuluh wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodetabek). Sebanyak 993 siswa SMP dan siswa SMA menjadi sampel penelitian.

Selain siswa, survei juga dilakukan pada guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA. Hasilnya, sebanyak 28,2 persen dari 590 guru yang menjadi sampel responden setuju aksi radikal. Sebanyak 7,5 persen membenarkan pengeboman, 76,2 persen setuju pemberlakuan Syariat Islam, dan 21,1 persen menyatakan Pancasilan sudah lagi relevan.

Menyikapi survei LaKIP, sejumlah kalangan tidak mempercayainya karena hasilnya terlalu mengejutkan. Menteri Agama Suryadharma Ali, misalnya, mempertanyakan metode survei tersebut. "Bagaimana penelitiannya, bagaimana metodologi penelitiannya?" tanya SDA, panggilan akrab Suryadharma.

Pengamat pendidikan Arif Rahman juga tidak mempercayai survei tersebut karena sangat berbeda dengan pengalamannya sehari-hari sebagai pendidik.

Meski sejumlah kalangan tidak mempercayai hasil survei tersebut, perlu kita ketahui radikalisme sangat dekat dengan terorisme. Radikalisme akan menjadi benih bagi munculnya terorisme. Maka jika kita serius memberantas terorisme, maka radikalisme harus diawasi dengan sungguh-sungguh dan disadari bahaya-bahayanya sedini mungkin.

Terlebih sekarang aksi terorisme terus terjadi dan beberapa pelakunya masih remaja dan beberapa masih sekolah. Kita tentu masih ingat Dani Dwi Permana. Anak baru gede (ABG) ini adalah bomber bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton.

Umur Dani masih 18 tahun ketika ia harus menjadi 'pengantin' pada bom yang menewaskan 9 orang pada 17 Juli 2009 itu. Saat itu Dani baru saja lulus dari sekolahnya, SMA Yadika, Bogor. Ia pun dikenal sebagai anak yang baik, taat beribadah, dan pintar baik di lingkungan tempat tinggal, maupun di sekolahnya.

Lalu pada Januari 2011 polisi menangkap lima siswa SMK yang diduga terlibat terorisme di Klaten, Jawa Tengah. Satu siswa, AW sudah divonis 2 tahun karena terbukti terlibat aksi terorisme.

Bila sekarang ada survei yang menyatakan hampir 50 persen pelajar Jakarta setuju pada aksi radikal atas nama agama tentu sebaiknya ini membuat kita waspada. Survei itu sebaiknya menjadi peringatan agar segera dilakukan pencegahan.

Menjadi peringatan agar pemerintah dan kita semua, lingkungan masyarakat dan sekolah, untuk instrospeksi dan melakukan penangkalan atas radikalisme pada pelajar agar jangan sampai tumbuh menjadi benih terorisme.Cukuplah hanya Dani dan tidak ada lagi anak-anak lain yang menjadi 'pengantin' karena diperdaya teroris.



Survei yang menyebut 48,9 persen pelajar Jabodetabek setuju aksi radikal atas nama agama memang mengejutkan. Banyak kalangan yang tidak mempercayai kevalidan survei tersebut.

Sejumlah kalangan pun mempertanyakan survei yang digelar Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) itu. Menteri Agama Suryadharma Ali mempertanyakan metode survei LaKIP. "Bagaimana penelitiannya, bagaimana metodologi penelitiannya?” kata Suryadharma.

SDA, panggilan akrab Suryadharma, juga mempertanyakan data sekolah yang diteliti. Bila mengetahui data sekolah itu, Kementerian Agama akan lebih mudah meneliti materi pelajaran agama dan guru agama di sekolah-sekolah itu.

"Yang diteliti di sekolah mana saja dengan demikian akan dapat dengan  mudah diketahui guru agama yang mana mengajarkan kekerasan, pemahaman yang keras pemahaman yang  radikal," tegas SDA. Meski begitu SDA menyatakan akan mengundang peneliti LaKIP untuk mengetahui secara jelas soal survei yang menghebohkan itu.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat juga menyatakan perlu kehati-hatian untuk untuk memberikan kesimpulan tentang hasil suvei tersebut. Bahrul juga mempertanyakan dasar metodologis yang digunakan oleh LaKIP. Sayangnya, Bahrul pun belum membaca tentang hasil Survei tersebut. "Saya belum bisa memberikan kesimpulan tentang survei tersebut," kata Bahrul.

Semestinya para siswa tidak terjangkiti radikalisme karena sekolah telah diwajibkan untuk memberikan pelajaran agama dan kewarganegaraan.Dalam pelajaran agama, setiap murid akan diajarkan bagaimana cara menjalankan agamanya. Murid diharapkan mendapatkan pedoman yang menjadi dasar psikis dan peribadatanya.

Selain itu juga diajarkan aspek sosial yang tertanam dalam pelajaran agama untuk memberikan pengertian dan menghindarkan dari tindakan yang mengarah ke arah yang radikal. "Makanya ada pendidikan kewarganegaraan yang mengajarkan tentang pluralisme agama," jelas Bahrul.

Berdasarkan data LaKIP,  48,9 persen pelajar menyatakan bersedia melakukan aksi kekerasan atas nama agama dan moral. Sementara para guru saat ditanyakan soal hal yang sama, jawabnya 28,2 persen setuju radikalisme.

Bahrul yakin radikalisme bukan merupakan hasil pendidikan di sekolah. Lingkungan di luar sekolahlah, menurut Bahrul yang menjadi pemicu timbulnya sifat radikal dari dalam diri anak murid.

"Seseorang bisa menjadi radikal dari pergaulan tapi tidak dihasilkan dari dalam institusi sekolah," tegas Bahrul.

Sosiolog Imam Prasodjo juga tidak mempercayai hasil survei LaKIP. Ia mempertanyakan dasar metedologi yang digunakan sehingga menghasilkan data yang begitu mengejutkan.

Pengamat pendidikan Arief Rahman Hakim juga tidak yakin dengan hasil penelitian LaKIP. Berdasarkan pengalaman sehari-hari yang didapatkannya, hasil survei tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh dirinya sendiri selaku tenaga pengajar. "Pengalaman saya berbeda dengan hasil survei tersebut," tegas Arief.

Banyak faktor pemicu anak menjadi radikal. Seorang anak bisa menjadi keras, karena pendidikan yang diterima di rumahnya juga keras. Anak yang didik keras, akan tumbuh menjadi keras setelah dewasa.  Selain juga faktor di sekolah yang termarjinalkan dan sering mendapatkan ejekan. Televisi, yang sering menayangkan acara yang menampilkan tindakan sadisme juga disebut mempunyai andil dalam membentuk perilaku anak.

"Anak harus dibesarkan dengan kasih sayang, dan menyalurkan hobi-hobi yang ada pada dirinya,” imbau Arief.



Radikalisme pada pelajar Jakarta sudah pada taraf mencemaskan. Berdasarkan survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) sebanyak 48,9 persen siswa di Jakarta setuju pada radikalisme yakni sikap mendukung kekerasan dan tidak toleran atas nama agama.

Hingga kini Kementerian Pendidikan Nasional mengaku belum mendapatkan laporan pelajar melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Namun dukungan pada radikalisme ini perlu diwaspadai. Sebabnya radikalisme merupakan benih bagi tumbuhnya terorisme.

Terlebih sudah diketahui pelajar selama ini telah menjadi target rekruitmen teroris. Sejumlah siswa bahkan terlibat kegiatan terorisme. Pada 25 Januari 2011 misalnya, Densus 88 menangkap 5 tersangka teroris yang 4 di antaranya adalah pelajar di Krapyak, Klaten, Jawa Tengah.

"Pikiran radikal bisa menjadi benih-benih yang bisa mengarah pada tindakan terorisme," kata pengamat terorisme Andi Widjajanto.

Dukungan pada radikalisme saat ini makin berbahaya, karena pola teroris sudah berubah. Perubahan ini bisa dilihat pada kasus teror akhir-akhir ini seperti bom sepeda yang dilakukan Abdul Rabani alias Abu Ali, di Jl Raya Kalimalang September 2010 lalu. Lalu bom di Masjid Ad-Dzikra Mapolres Cirebon yang dilakukan M Syarif, dan kasus penemuan bom di Serpong yang dilakukan oleh kelompok Pepi.

Dalam tiga kasus ini, teroris tidak lagi terkungkung dalam satu jaringan dan organisasi seperti sebelumnya. Pada masa Noordin M Top dan Dr Azhari, ada seseorang yang melakukan indoktrinasi terhadap ‘calon pengantin’, sebutan bagi calon pelaku bom bunuh diri.

Tapi melihat kasus Serpong, bom sepeda, dan di Cirebon, maka proses indoktrinasi saat ini tidak lagi diperlukan. Aksi teroris kini lebih didorong rasa simpati pada aksi Noordin cs yang dikesankan untuk membela agama.

Abu Ali melakukan bom sepeda berdasarkan inisiatif sendiri. Alasannya sederhana, Ali merasa kesal terhadap polisi yang sering menangkap teman-temannya. Begitu juga pengakuan pelaku bom bunuh diri M Syarif yang kesal terhadap polisi.

"Ada perubahan seperti pada kelompoknya Pepi yang bersifat komunal paguyuban yang merupakan interaksi persoalan sehari-hari tanpa perlu bersentuhan dengan NII dan jaringan teroris lain, tapi mereka bersimpati," jelasnya.

Pengamat terorisme Wawan Purwanto menilai radikalisme pelajar sudah masuk dalam titik panas. Kondisi ini sangat berbahaya karena bisa menjadi ladang garapan teroris. Saat ini, menurut Wawan, masih puluhan perekrut teroris yang masih berkeliaran bebas.

"Ya orang seperti Saefudin Juhri (perekrut teroris) yang masih muda-muda itu masih banyak, puluhan orang belum tertangkap," kata Wawan.


Jangan Tekan Anak

Lalu mengapa radikalisme menjangkiti pelajar kita?

Para pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), ditinjau dari segi umur memang berada pada usia yang labil. Semangat mereka masih sangat menggebu-gebu termasuk dalam hal mempertahankan atau membela kepercayaan yang dianut.

Semangat menggebu-gebu itu bila tidak mendapatkan pengarahan dan penyaluran yang positif akan mudah dibelokkan oleh kelompok tertentu. Di sinilah peran guru dan orang tua sangat penting untuk menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif.

"Jika anak-anak tidak mendapatkan lingkungan kondusif akan mudah larut kepada pihak-pihak yang akan mengarahkan pada tindakan yang negatif," kata psikolog anak Seto Mulyadi kepada detikcom.

Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang menghargai bakat anak dan tidak memojokkan anak. Guru semestinya tidak cuma melihat prestasi siswanya dari sisi akademik tapi juga bakat yang dimiliki sang siswa.

"Jangan menekan anak-anak. Jangan melihat prestasi anak dari sisi akademik, mereka yang pandai bernyanyi, menggambar, mereka semuanya perlu diapresiasi,” terang pria yang akrab disapa Kak Seto ini.

Wawan juga setuju lingkungan yang kondusif bisa menangkal radikalisme. "Besar tidaknya kemungkinan seorang pelajar menjadi seorang yang bertindak radikal, maka hal itu tergantung pada ajakan-ajakan yang berada di lingkungan sekitar,” pungkasnya.

Kemdiknas akan melakukan pengkajian kembali pola pendidikan di sekolah. Sekolah semestinya menjadi tempat untuk menumbuhkan rasa persahabatan dan menghormati perbedaan. Maka dalam proses belajar mengajar, semangat strategi pengajaran inklusif harus menjadi pegangan guru.

"Proses  belajar dan metode penyampain pesan kepada anak yang tidak mengarah pada timbulnya rasa permusuhan kepada pihak yang berbeda baik itu fisik dan khususnya pada perbedaan agama," kata Wakil Menteri Pendidikan Fasli Djalal kepada detikcom.

Kemdiknas juga meminta sekolah-sekolah agar memberi perhatian pada kegiatan ekstrakulikuler.Program-program kerja ektsrakulikuler harus sepengetahuan guru pembimbing. Ini untuk memudahkan guru memantau siswanya dan menutup ruang kosong tempat timbulnya benih-benih radikalisme pada siswa.

"Kegiatan ekstrakulikuler yang ramah, tentunya akan berimbas pada tertutupnya upaya penyimpangan yang mengarah tindakan atau sikap radikalisme," jelas Faisal.



Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang menyebut hampir 50 persen pelajar menyetujui tindakan radikal atas nama agama. Beberapa pengamat terorisme dan intelijen melihat reaksi kaum muda tersebut sebagai benih-benih pemikiran yang bisa mengarah pada tindakan terorisme.

"Bisa jadi demikian kalau kita tidak segera melakukan counter,” ujar pengamat intelijen Wawan Purwanto saat dihubungi detikcom.

Melihat ke belakang, setidaknya tercatat ada beberapa anak yang masih di bawah umur yang terlibat dalam jaringan terorisme bahkan ikut terlibat dalam serangan bom bunuh diri.

Pada tahun 2007, dua orang remaja yaitu Isa Anshori (16) dan Nur Fauzan (19) ditangkap Densus 88 karena diduga ikut terlibat dalam menyembunyikan Taufik Kondang, salah seorang anggota jaringan teroris komplotan Abu Dujana. Pengadilan Negeri Yogykarta lalu membebaskan keduanya setelah Tim Pengacara Muslim (TPM) mengajukan permohonan.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya 17 Juli 2009, JW Marriot dan Ritz Charlton diledakkan oleh aksi bom bunuh diri. Bom yang meledak di kedua hotel tidak berselang beberapa lama. Setelah ledakan pertama di Hotel JW Marriot, ledakan kedua kembali terjadi restoran Airlangga Hotel Ritz-Carlton. 9 orang dipastikan tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat peristiwa naas tersebut.

Siapa sangka, salah seorang pelaku bom bunuh diri tersebut adalah seorang remaja. Bomber yang ikut meledakkan dirinya di Hotel JW Marriot adalah seorang remaja yang bernama Dani Dwi Permana (18) dan sedangkan pelaku pembom di Hotel Ritz-Carlton adalah Nana Ikhwan Maulana (28). Saat menjadi 'pengantin' itu Dani baru saja lulus dari SMA Yadika Bogor, Jabar.

Dari berbagai cerita teman-teman dan tetangganya, Dani dibesarkan dari keluarga yang tidak mampu dan broken home. Ayah Dani, adalah seorang terpidana dalam kasus pencurian sepeda motor dan mendekam di dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan Paledang, Bogor. Masuknya Sang Ayah yang menjadi tulang punggung keluarga ke dalam penjara kontan membuat ekonomi keluarga Dani menjadi kocar-kacir.

Ibu kandung Dani kemudian memutuskan untuk berhijrah ke Kalimantan dan menetap di sana bersama saudara kandungnya. Dani sendiri mumutuskan untuk tetap tinggal bersama kakaknya di Telaga Kahuripan, Bogor. Dani kemudian menghabiskan hari-harinya dengan ikut bergabung bersama Remaja Mesjid dan Karang Taruna setempat.

Perkenalan Dani dengan Syaifuddin Juhri di Masjid As Surur berujung ada direkrutnya Dani sebagai ‘Pengantin’ sebutan bagi pelaku bom bunuh diri yang berakhir pada kematian.

Tidak hanya Dani, di Klaten, Jawa Tengah pada 25 Januari 2011, Arga Wiratama  (17) dibekuk oleh Densus 88 bersama ketujuh orang lainnya dalam kasus teror bom di wilayah Klaten, Sleman, dan Yogyakarta. Arga yang masih bersekolah di SMK 2 Klaten, Jawa Tengah, kemudian di vonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Klaten, Jawa tengah.

Tidak hanya Arga, beberapa orang lainnya yang ikut ditangkap adalah Joko Lelono, Nugroho Budi, Tri Budi Santoso, Yuda Anggoro. Roki Apris Dianto, yang kesemuanya berada diantara umur 16 hingga 20 tahun.

Pada era Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD), hingga tahun 2000, kata BHD, polisi telah menangkap lebih dari 600 teroris. Jumlah tersebut belum terhitung dengan beberapa penangkapan yang dilakukan Densus 88 saat Kapolri saat ini Jenderal Timor Pradopo.

"Dari tahun 2000, 563 teroris telah diajukan ke pengadilan, 44 tewas ditembak, dan 10 bunuh diri. Itu gambaran mereka-mereka yang sudah berhasil kita tangkap, diproses ke pengadilan, termasuk para pelaku bom bunuh diri,” kata BHD dalam jumpa pers di Mabes Polri, September 2010.

Dari 563 pelaku teroris yang diadili, 471 terdakwa telah dijebloskan ke penjara. Namun, 245 di antaranya sudah bebas. "Yang sudah bebas ini menjadi warning kita semua, sebab yang militan akan kembali bergabung dengan kelompok mereka," tegas BHD.

Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabid Penum) Mabes Polri Kombes Boy Rafli Amar membenarkan beberapa teroris masih remaja dan masih sekolah, seperti yang telah ditahan di Klaten, Jawa Tengah. Sayangnya, Boy enggan merinci data-data para teroris yang ditahan dan latar belakang pendidikannya.

Menurut Boy, remaja yang terjerumus dalam dunia terorisme adalah remaja yang salah dalam pergaulan di lingkungan sekitarnya. Boy membantah, latar belakang kemiskinan, latar belakang pendidikan, ataupun broken home menjadi penyebab para remaja terlibat dalam aksi terorisme.



LaKIP: Pemerintah Harus Tinjau Kembali Pendidikan Agama Islam  


Pemerintah harus meninjau kembali Pendidikan Agama Islam (PAI). Survei yang digelar Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menunjukkan adanya kegagalan PAI dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan siswa sehingga tingkat persetujuan atas aksi radikal tinggi, mencapai 48,9 persen.

"Hasil penelitian ini menunjukan adanya kegagalan PAI dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan," kata Direktur Pelaksana LaKIP Ahmad Baedowi dalam perbincangan dengan detikcom di kantor LaKIP, Menara Era, Jalan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2011).

Seharusnya kurikulum PAI mampu mengajarkan kebersamaan dan mempersiapkan siswa hidup dalam kemajemukan. "Ini problem mendasar pengajaran PAI kita. PAI mesti diperbarui, para guru harus pula dilatih pemahaman tentang kebinekaan," lanjut Baedowi.

Berikut wawancara M Rizal dari detikcom dengan Ahmad Baedowi tentang penelitian yang menghebohkan itu:

Apa alasan melakukan penelitian tentang radikalisme di kalangan pelajar ini?

Begini, kita ingin meluruskan. Kita tidak pernah membuat riset tentang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) atau siswa dididik untuk berbuat radikal. Kementerian Agama mengatakan guru agama tidak mengajarkan radikalisme. Kita memang tidak pernah dalam penelitian kita menyebutkan guru mengajarkan radikalisme kepada murid didiknya dan memang kita tidak melakukan riset itu.

Nah apa yang dimaksudkan dengan penelitian itu tentang kecenderungan secara personal, artinya pandangan pribadi siswa dan guru PAI itu sendiri.

Kita melakukan penelitian dengan tujuan pertama untuk mengidentifikasikan kecenderungan radikalisme keagamaan di sekolah menengah. Kedua, menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecenderungan radikalisme itu. Harapan kita dengan penelitian ini adalah bisa menyediakan informasi berbasis riset empiris bagi kebijakan dan strategi penanggulangan radikalisme.

Makanya setelah selesai melakukan penelitian sebelum ini dipublikasikan kepada masyarakat. Kita sudah memberikan upaya presentasi kepada Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), MPR, DPR, MK, Lemhanas, termasuk Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), semua sudah kita kasih data.

Memang seperti ke Kemendiknas sudah kita kirimkan surat lagi, karena ada pejabat yang khusus menangani pendidikan menengah, tapi belum ada jawaban sampai berita ini menjadi seperti ini.

Oleh karena itu kita tidak seperti lembaga survei lainnya, begitu selesai penelitian lalu dipublikasikan begitu saja, selesai. Kita ingin ada program intervensi artinya, ini menjadi bahan masukan untuk semua lembaga termasuk sekolah bagaimana meningkatkan pendidikan dan sebagainya, termasuk soal keagamaan ini.

Jadi riset kita tidak berdiri sendiri, kita ingin ada suatu langkah yang kongkret. Oleh karena itu kita ada yang keep data yang menyebut nama tokoh dan organisasi, karena kita tidak ingin ada kontradiktif dan kami tegaskan tidak ada upaya politik dari penelitian ini. Kita independen dan didanai sendiri, dan yang jelas kita menghindarkan resistensi dari sekolah-sekolah itu.

Kapan penelitian dilakukan dan siapa saja yang menjadi responden?

Penelitian ini sebenarnya sudah lama, kita mulai melakukan penelitian pada bulan Oktober 2010 sampai Januari 2011. Termasuk melakukan survei di lapangan itu kita tempuh selama 2,5 bulan. Ini kita lakukan di 10 kota di Jabodetabek, tapi bukan tingkat Kabupaten, tapi kota (kotamadya) termasuk lima wilaya di Jakarta.

Penelitian ini dilakukan kepada 100 sekolah tingkat SMP dan 100 sekolah tingkat SMA. Penelitian ini menggunakan metode wawancara tatap-muka dengan panduan kuesioner, penarikan sampel acak. Kesalahan batas kesalahan pengambilan sampel kurang lebih 3,6 persen untuk guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan 3,1 persen untuk siswa.

Populasi yang dijadikan responden merupakan guru PAI di SMP dan SMA di Jabodetabek. Sementara untuk siswa SMP itu diambil hanya untuk kelas 8 dan 9, SMA kepada siswa di seluruh kelas yang memiliki mata pelajaran agama yang berjumlah 611.678 orang. Jumlah total populasi guru PAI yang diambil sampel adalah 2.639 orang, terdiri dari 1.639 guru PAI SMP dan 800 guru PAI SMA.

Dari jumlah populasi itu hasilnya jumlah total sampel guru yang valid ada 590 guru, di antaranya 327 guru PAI SMP dan 263 guru PAI SMA. Sementara jumlah total sampel siswa valid ada 993 siswa, antara lain 401 siswa SMP dan 592 SMA. Semua kita cek ulang dengan ketat dan melalui skrining.

Kenapa madrasah dan pesantren tidak?

Sebenarnya kita sudah melakukan penelitian, tapi soal lain. Nah, kenapa dalam riset ini kita tidak memasukan madrasah atau pesantren. Justru kita selama ini ingin mendukung Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional untuk memperhatikan masalah pendidikan sekolah umum. Karena selama ini ada cara pandang yang salah dari sebagian masyarakat terhadap dunia pesantren, terkait kasus-kasus terorisme dan itu selalu dikaitkan dengan pesantren dan Islam.

Ternyata dari hasil penelitian kita, di sekolah umum kan cukup mengagetkan cara pandangnya juga, jadi ini bukan soal pendidikan atau karena guru mengajarkan anarkis dan radikal di sekolah. Ini sikap pribadi.

Pertanyaan apa saja yang diajukan kepada responden?

Ya banyak,misalnya pandangan, sikap atau aksi yang merepresentasikan penolakan terhadap sistem politik yang saat ini berlaku di Indonesia dan berkeinginan untuk melakukan perubahan terhadap sistem politik tersebut, baik melalui cara perubahan damai maupun kekerasan. Pandangan, sikap atau aksi yang mendorong penerapan tata nilai keyakinan, moralitas atau hukum yang bersumber dari komunitas agama tertentu dengan mengesahkan penggunaan cara kekerasan dan mengabaikan norma dan prosedur hukum yang berlaku.

Juga ditanya soal kecenderungan untuk mendukung atau menyetujui pandangan dan sikap keagamaan dari orang, tokoh, kelompok atau gerakan yang berorientasi radikal. kecenderungan untuk menyetujui, serta bersedia terlibat dalam, berbagai aksi kekerasan terkait isu-isu agama, yang sering melibatkan orang atau kelompok-kelompok radikal dalam pengertian yang telah dijelaskan di atas.

Juga tindakan menangkap atau menghakimi pasangan bukan suami-istri, tindakan menyegel atau merusak tempat hiburan seperti kafe, klub malam,dan warung remang-remang, tindakan menyegel atau merusak rumah atau fasilitas keagamaan milik aliran keagamaan yang dianggap sesat atau menyimpang, tindakan  menyegel atau merusak rumah ibadah agama lain yang bermasalah (dalam hal perizinan), tindakan membantu umat Islam di daerah konflik dengan senjata, tindakan pengeboman sebagai simbol perlawanan terhadap Barat, seperti yang dilakukan Amrozi, Imam Samudra dan lainnya.

Ada juga pertanyaan lainnya sebenarnya yang jawabannya  positif, seperti soal kebangsaan, nilai demokrasi dan sistem politik mereka. Saya kira dengan usia siswa itu mereka cukup mengetahui ini semua.

Memang sulit untuk menanyakan semua hal kepada mereka, apalagi siswa yang kita tanyai satu per satu. Setiap orang bisa membutuhkan setengah sampai satu jam, kan kalau seusia mereka akan seneb juga ditanyai semuanya. Kadang kita harus merayu atau memberikan hadiah juga agar mau dimintai pendapatnya itu.

Kenapa muncul sikap radikalisme di kalangan siswa?

Sebenarnya dari hasil penelitian ini menunjukan adanya kegagalan PAI dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan. Artinya pemerintah harus meninjau kembali PAI, seharusnya kurikulum PAI mesti mampu mengajarkan kebersamaan dan mempersiapkan siswa hidup dalam kemajemukan. Ini problem mendasar pengajaran PAI kita. PAI mesti diperbarui, para guru harus pula dilatih pemahaman tentang kebinekaan.

Sikap dan gejala radikalisme pada siswa dan guru PAI mencerminkan corak konservatif dalam beragama. Ada yang salah dalam pengajaran dan pembelajaran agama. Pendidikan agama dan juga pendidikan lainnya di Indonesia berorientasi pada hasil, tidak pada proses. Konservatisme keagamaan dipahami sebagai pandangan atau orientasi yang cenderung menekankan dan mempertahankan pembacaan harfiah terhadap sumber ajaran agama. Akibatnya, muncul kecenderungan diskriminatif terhadap posisi wanita ketimbang pria dan aspirasi pemberlakuan hukum agama dalam konteks negara.

Dengan begitu, untuk mengikis budaya kekerasan terkait isu agama harus melibatkan upaya memperkuat sikap toleransi sekaligus mengubah cara pandang konservatif. Memang, belum ada bukti kuat apakah pembelajaran agama Islam di sekolah menengah turut menyuburkan sikap intoleran dan pandangan keagamaan konservatif. Namun, mampukah pembelajaran agama memberi kontribusi bagi upaya memperkukuh sikap toleran, dan mengubah cara pandang konservatif tersebut.

Solusi apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ini?

Solusinya, selain kita melakukan penelitian kita juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada sekolah maupun pemerintah. Salah satunya, perlu dilakukan survei pembanding untuk melihat kecenderungan radikalisme di sekolah-sekolah non-urban atau kabupaten di kota-kota besar lainnya seperti Medan, Bandung, Surabaya, Makasar, Menado dan Denpasar. Membentuk Tim Pendidikan yang bekerja secara khusus untuk mereview dan menganalisis konsep-konsep pedagogis yang lebih ramah dan rahmah.

Mendesain (melalui workshop dan training) pendekatan lintas kurikulum (cross-curricula) terhadap  guru-guru, terutama guru agama dan guru PPKN, dengan basis perubahan budaya sekolah. Membuat program pertukaran guru (teacher exchange), terutama guru agama, baik antar sekolah maupun antar kabupaten/kota.

Mengusulkan agar Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional membentuk Asosiasi Guru Agama Indonesia yang di dalamnya terdapat seluruh guru agama, untuk dan dalam rangka meningkatkan wawasan kebhinnekaan Indonesia.

Memperluas dan memperbanyak dialog antar guru agama dengan tokoh-tokoh lintas agama dalam skema workshop dan FGD di tingkat sekolah. Membuat riset tentang perlunya buku pegangan guru agama dan siswa yang lebih berorientasi pada penanaman rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Memperkenalkan manajemen konflik berbasis sekolah sebagai cara yang telah terbukti efektif dalam menciptakan lingkunganpendidikan yang memberi ruang kepada siswa yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda.



Sejumlah kalangan sulit menerima hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme. Survei itu menunjukkan hampir 50 persen pelajar setuju dengan aksi radikal demi agama. Seperti apa detail survei tersebut?

Direktur Pelaksana LaKIP Ahmad Baedowi menyatakan ada dua tujuan digelarnya penelitian tersebut. Pertama, mengidentifikasi kecenderungan radikalisme keagamaan di sekolah. Kedua menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kecenderungan radikalisme tersebut.

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011 lalu terhadap siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek. Metode yang dilakukan yakni dengan survei melalui wawancara tatap-muka dengan panduan kuesioner.

Dari hasil penelitian itu diketahui:

Kecenderungan Radikalisme Ideologis

-Tingkat pengenalan atas organisasi radikal, guru PAI 66,4 %, siswa 25,7 %
-Tingkat kesetujuan atas organisasi radikal, guru PAI 23,6 %, siswa 12,1 %

-Tingkat pengenalan pada tokoh radikal, guru PAI 59,2 %, siswa 26,6 %.
-Tingkat kesetujuan kepada tokoh radikal, guru PAI 23,8 %, siswa 13,4 %.

Dukungan, Kesediaan & Partisipasi Atas Kekerasan

* Tingkat Kesetujuan terhadap tindakan:
-Menangkap atau menghakimi pasangan bukan suami istri, guru 48,2 %, siswa 74,3 %
-Perlawanan terhadap barat atas pengeboman yang dilakukan pelaku teroris, guru 7,5%, siswa 14,2 %.
-Membantu umat Islam di daerah konflik bersenjata, guru 37,8 %, siswa 48,9 %.
-Penyegelan dan perusakan rumah ibadah yang bermasalah, guru 40,9 %, siswa 52,3 %.
-Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota aliran keagamaan sesat, guru 38,6%, siswa 68,0 %.
-Penyegelan dan perusakan tempat hiburan malam, guru 43,7%, siswa 75,3 %.

* Tingkat Kesediaan terhadap tindakan:

-Pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain, guru 32,4%, siswa 43,3 %.
-Pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah bermasalah, guru 24,5%, siswa 41,1 %.
-Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan sesat, guru 22,7%, siswa 51,3 %.
-Pengrusakan tempat hiburan malam, guru 28,1%, siswa 58,0 %.
-Penangkapan dan mengkahimi pasangan bukan suami istri, guru 51,9%, siswa33,1 %.

* Tindak kekerasan seperti tawuran sebagai solidaritas teman:
- 14,4 % siswa setuju
- 11,4 % siswa bersedia
- 8,5 % siswa pernah terlibat

Toleransi:

-Secara umum, tingkat toleransi guru PAI lebih rendah dibandingkan siswa, baik dalam lingkup sosial, sekolah, maupun politik.
-Hanya toleransi sosial terkait soal umum, yakni hidup bertetangga, guru PAI terlihat lebih toleran dibanding siswa.
-Tapi: toleransi sosial dalam hal pendirian rumah ibadah maupun penyelenggaraan acara keagamaan komunitas agama lain di tingkat lingkungan tempat tinggal, secara umum cukup rendah.

Menurut Baedowi, populasi yang dijadikan responden merupakan guru PAI di SMP dan SMA di Jabodetabek. Sementara untuk siswa SMP itu diambil hanya untuk Kelas 8 dn 9, SMA kepada siswa di seluruh kelas yang memiliki mata pelajaran agama yang berjumlah 611.678 orang. Jumlah total populasi guru PAI yang diambil sampel adala 2.639 orang, terdiri dari 1.639 guru PAI SMP dan 800 guru PAI SMA.

"Dari jumlah populasi itu hasilnya jumla total sampel guru yang valid ada 590 guru, di antaranya 327 guru PAI SMP dan 263 guru PAI SMA. Sementara jumlah total sampel siswa valid ada 993 siswa, antara lain 401 siswa SMP dan 592 SMA. Semua kita cek ulang dengan ketat dan melalui skrining," jelas Baedowi.

Batas kesalahan pengambilan sampel kurang lebih 3,6 persen untuk guru PAI dan 3,1 persen untuk siswa.

Mengapa Radikalisme Tumbuh Subur di Kampus?

http://nasional.vivanews.com/news/read/217299-mengapa-radikalisme-tumbuh-subur-di-kampus-

KAMIS, 28 APRIL 2011, 17:57 WIB


Ada kaitan latar belakang mahasiswa baru dengan radikalisme. Dari SMA lebih militan


VIVAnews -- Proses radikalisasi yang mengarah ke tindakan terorisme diyakini telah menyusup sampai ke dalam kampus. Salah satu buktinya, lima dari 17 anggota jaringan Pepi Fernando berpendidikan sarjana, tiga di antaranya lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Bahkan satu terduga masih tercatat sebagai mahasiswa UIN.

Bagaimana tanggapan UIN? Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Jaka Badra Naya mengatakan, militansi justru tumbuh subur di kampusnya karena banyak mahasiswa baru berlatar belakang SMA. "Dulu tahun 96-98 masuk UIN 80 persen dari pesantren," tambah dia, di Jakarta, Rabu 28 April 2011.
Menurut dia, mahasiswa yang datang dari pesantren, saat kuliah, mereka lebih banyak mengulang pelajaran sebelumnya. Mereka mengalami kejenuhan sehingga lebih memilih bidang ilmu yang baru, misalnya filsafat dan antropologi.

"Jadi dari pesantren, kalau Anda perhatikan, rata-rata baca bukunya filsafat, orang-orang ini dalam tanda kutip lebih liberal pemikirannya dan teman-teman jaringan Islam liberal lebih banyak dari sini, yaitu IAIN periode lama," kata dia.

Justru mahasiswa yang dulunya pesantren dan masuk IAIN tidak memiliki bakat radikal serta dalam konteks ritual tergolong biasa saja.

Sebaliknya, mahasiswa yang berasal dari SMA yang latar belakangnya relatif bebas dan  belum mengenal agama justru tumbuh aspek religinya di kampus. "Kemudian ketika mahsiswa tersebut mencari dan bertemu dengan temen-teman di lembaga dakwah dan organisasi-organisasi tertentu, ini yang membuat militansinya lebih ekstrem."

Mereka lebih mudah terdoktrin. "Coba anda perhatikan di kampus ITB, UI, IPB benih-benih berfikirnya lebih militan dibanding IAIN" kata Jaka.

Kata Jaka, ada dua kelompok mahasiswa di UIN, ekstrem kanan dan ekstrem kiri. "Sehingga IAIN dulu dianggap sarang JIL sekarang sarang teroris jadi biar balance jadi memang betul faktanya ada di IAIN. Di IAIN ada yang kerjanya Allahuakbar terus dan ada juga yang ngerokok-ngreoko terus," kata dia. (sj)
• VIVAnews