Penulis : Dina Damayanti
Indonesia memiliki konstitusi UUD 1945, dasar negara Pancasila, dan mengakui semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Namun dalam kenyataannya masih ada sejumlah kalangan masyarakat yang tidak mau mengakui perbedaan agama atau keyakinan, sehingga muncul radikalisme yang menjurus pada intoleransi, bahkan kekerasan.
Sebulan belakangan ini, publik dikejutkan dengan banyaknya laporan orang hilang. Dari Januari-Maret 2011, polisi mencatat 33 laporan orang hilang. Diduga orang hilang ini terkait dengan kasus pencucian otak atau doktrinisasi yang dilakukan kelompok radikal Negara Islam Indonesia (NII) di beberapa daerah.
Salah satu kasus orang hilang terjadi di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, di mana 15 mahasiswa dilaporkan hilang. Sebagian yang telah kembali mengaku didoktrin orang tidak dikenal untuk mengakui NII. Ajaran NII menolak Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Kasus kekerasan agama yang paling mengemuka terjadi pada Februari lalu ditandai dengan bentrok antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Warga menuding jemaah Ahmadiyah telah menyebarkan ajaran sesat. Bentrokan ini mengakibatkan tiga orang meninggal dan lima orang luka-luka.
Yang terbaru terjadi pada 29 April kemarin ketika sekitar pukul 01.00 dini hari orang tak dikenal melempar bom molotov di Gereja Pantekosta GpdI di Sleman, Yogyakarta. Pekan lalu, 21 April, atau hanya sehari sebelum Jumat Agung, polisi menemukan bom seberat 150 kg di dekat Gereja Christ Cathederal, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Bom tersebut rencananya akan diledakkan antara hari Jumat-Minggu, bertepatan dengan perayaan Paskah.
Pertengahan Maret lalu, terjadi teror bom buku yang ditujukan kepada sejumlah tokoh, seperti tokoh Jaringan Islam Liberal sekaligus pemimpin Komunitas Utan Kayu Ulil Abshar Abdalla, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Komjen Gories Mere, dan aktivis Pemuda Pancasila sekaligus Ketua Partai Patriot Yapto S Soerjosoemarno. Paket bom buku yang dikirimkan kepada Ulil ke Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur, mengakibatkan tangan seorang perwira polisi menengah putus dan dua polisi lainnya serta seorang satpam terluka.
Selain kasus bom buku, pada bulan yang sama jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor, tak bisa mengikuti kebaktian Minggu karena polisi menggembok pintu gereja. Menurut polisi, pelarangan ibadah dilakukan untuk menghindari terjadinya kericuhan. Saat itu, ada kelompok yang tergabung dalam berbagai organisasi massa Islam berkumpul di sebelah barat gedung GKI Yasmin menolak adanya peribadatan.
Kasus ini sudah berlangsung sejak 2008, yang puncaknya ketika Pemkot Bogor mencabut IMB GKI Yasmin pada 11 Maret 2011. Ini baru tahun 2011 saja. Sebelumnya, sepanjang tahun 2010 kekerasan atas dasar agama juga kerap kali terjadi.
Cenderung Radikal
Beberapa kasus kekerasan atas dasar agama mendorong Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) melakukan survei pada Oktober 2010-Januari 2011. Hasil survei yang disampaikan kepada sejumlah redaksi media massa dan juga MPR Februari kemarin mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan radikalisme, kekerasan, dan intoleransi, baik di kalangan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) maupun siswa SMP-SMA di Jabodetabek.
Dikutip dari laman Media Indonesia, survei tersebut melibatkan 590 dari total 2.639 guru PAI dan 93 siswa beragama Islam dari jumlah 611.678 murid sekolah menengah di Jabodetabek. Hasilnya, 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan keberatan jika umat nonmuslim membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu, 57,2 persen guru dan 45,2 persen siswa tidak setuju jika umat nonmuslim menjadi kepala sekolah.
Hasil survei juga menunjukkan tingkat dukungan terhadap aksi kekerasan cukup tinggi. Begitu juga tingkat kesediaan mereka terlibat dalam aksi kekerasan terkait isu agama.
Sebelumnya, penelitian Setara Institute tahun 2010 mencatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan menyebar di 20 provinsi.
Direktur Eksekutif LaKIP yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bambang Pranowo, menyatakan, hasil penelitian yang dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri itu merupakan sinyal bahaya bagi kehidupan berbangsa dalam bingkai pluralitas. Menurutnya, pengajaran PAI mesti ditata ulang. Kurikulum PAI mesti melahirkan sense of plurality, tanpa mengurangi rasa cinta pada agama.
Menyusul maraknya aksi radikalisme, Wapres Boediono pekan lalu meminta Mendiknas dan Menag untuk mempertajam program-program sekolah, termasuk meningkatkan kualitas tenaga didiknya dan kontrol terhadap pendidikan agama.
No comments:
Post a Comment