Oleh Ahmad Fuad Fanani
Fenomena radikalisme keagamaan kembali marak dan meresahkan masyarakat.
Rangkaian peristiwa pengiriman bom buku, bom bunuh diri, bom di Serpong, dan terendusnya jaringan Negara Islam Indonesia (NII) di berbagai kampus menjadi fakta pendukungnya. Meski beragam analisis di balik pemunculan kembali gerakan ini, yang pasti NII sangat mengancam paham kebangsaan dan mengganggu ketenteraman.
Pemunculan kembali radikalisme yang banyak beririsan dengan terorisme menunjukkan gerakan politik keagamaan ini terus berkembang dan memperluas jaringan. Radikalisme menyeruak dan menginfiltrasi kalangan terpelajar dan para mahasiswa di berbagai kampus. Jika terus dibiarkan dan kita lengah, mereka tentu akan mudah mengampanyekan paham mereka ke pedesaan dengan propaganda pemberian obat jitu penyirna krisis dan kesulitan hidup.
Agar jaringan radikalisme tak terus meluas, kita semua perlu memahami kompleksitas persoalan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Radikalisme tentu tak hanya terkait pemaksaan interpretasi keagamaan yang cenderung menyimpang dan kaku, tetapi juga berkelindan dengan gejala krisis sosial-ekonomi-politik. Pemerintah harus segera bertindak agar kepercayaan masyarakat terhadap negara tidak terus menurun dan menganggap bahwa ini hanya politik pengalihan isu saja.
Kelambanan negara
Radikalisme berawal dari sebuah tafsir eksklusif keagamaan yang bertemu dengan realitas ketimpangan sosial-politik-ekonomi yang banyak dibiarkan negara. Berawal dari keprihatinan atas nestapa dan diskriminasi kebijakan negara terhadap masyarakat, radikalisme datang menawarkan solusi alternatif yang menjanjikan imbalan keagamaan. Setelah itu radikalisme jadi sebuah gerakan politik yang bermaksud ”mencerahkan” anggotanya, mengubah sistem negara, hingga mendirikan negara baru dan menantang negara superpower seperti Amerika Serikat.
Mark Juergensmeyer (Understanding Militant Islamic Movement, 2003) menyatakan, sebagai gerakan politik keagamaan, radikalisme bisa ditemukan pada semua agama, mulai dari Kristen Kanan, Yahudi, Buddha, Hindu, Sikh, hingga Islam. Pengikut militan berbagai agama itu banyak menantang pemerintah di negaranya dan menimbulkan kekacauan sosial-politik. Dalam menjalankan aksinya, mereka mengembangkan budaya kekerasan yang dianggapnya mampu memperjelas identitas dan ”pesan” yang dikirimnya.
Dalam konteks Indonesia, radikalisme lahir sebagai sebagai respons terhadap kebijakan otoriter pemerintah selama Orde Baru, perlawanan terhadap problem sosial dan ekonomi, serta sikap terhadap fakta ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat.
Dua faktor utama yang bisa mempercepat perkembangan gerakan ini adalah kegagalan negara dalam melakukan pemulihan ekonomi secara cepat dan mengonsolidasikan proses demokrasi (Rizal Sukma, War on Terror: Islam and the Imperative of Democracy, 2004). Oleh karena itu, sesungguhnya negara sudah bisa mendeteksi gerakan ini sejak awal dan jelas mengetahui akar masalahnya, tetapi diam saja dan baru bergerak ketika masyarakat terancam oleh aksi kekerasan yang dilakukan mereka.
Yang ironis, tak jarang negara juga menggunakan gerakan radikal sebagai alat untuk memuluskan tujuan politiknya dan dalih mengamankan masyarakat. Hal ini terbukti ketika era Orde Baru negara menggunakan aktivis DI/TII melalui operasi intelijen guna menyulut aksi kekerasan, yang kemudian dijadikan alasan pemerintah mengintervensi dakwah keagamaan.
Pada era reformasi ketegasan dan keseriusan negara dalam mengeliminasi gerakan radikalisme juga patut diragukan. Ini tampak dari keraguan menindak tegas aksi kekerasan yang dilakukan kelompok paramiliter. Bahkan, tak jarang aparat negara erat bekerja sama dengan mereka.
Negara pada dasarnya punya kemampuan mengeliminasi dan mencegah gerakan radikal ini. Namun, kurangnya kemauan politik menjadikan agenda ini menjadi proyek ad hoc dan alat politik pencitraan saja. Terbukti, langkah pemerintah membentuk Tim Anti-Teror yang terdiri dari Kementerian Agama, MUI, dan ormas-ormas keagamaan guna meluruskan tafsir jihad setelah tertangkapnya Dr Azahari 2004, tak terdengar lagi gaungnya. Mestinya, jika langkah ini serius dilakukan, paling tidak infiltrasi gerakan NII ke kampus-kampus bisa dideteksi sejak dini.
Sayangnya, negara lebih memilih aksi militer melalui aksi Densus 88 yang sering disiarkan secara spektakuler meski melahirkan korban jiwa dan menyulut balas dendam para teroris. Padahal, aksi kekerasan secara umum akan melahirkan aksi kekerasan baru. Agar lingkaran kekerasan ini tidak terus mengitari kita, diperlukan strategi jitu yang mengedepankan dialog, pendekatan, perubahan ideologi, serta pencerahan terhadap si pelaku. Dengan begitu, para pengikut radikalisme keagamaan juga tidak mendapat legitimasi lanjutan guna melakukan aksi balas dendam yang diklaim sebagai jihad melawan kemungkaran.
Agenda mendesak
Perlu langkah strategis, inovatif, terpadu, sistematis, serius, dan komprehensif. Yang diperlukan bukan hanya pendekatan keamanan dan ideologi, tetapi juga memerhatikan jaringan, modus operandi, dan raison d’entre gerakan ini. Perlu perpaduan langkah ideologis, program deradikalisasi melalui masyarakat sipil, serta pendekatan ekonomi dan sosial. Ini guna mencegah para mantan aktivis gerakan radikal dan teroris agar tak kembali pada komunitas lamanya. Program ”memanusiakan” ini, juga jadi salah salah satu prasyarat mencegah meluasnya aksi radikalisme dan terorisme (Noorhaidi Hasan, 2010). (Sumber: Kompas, 30 April 2011)
Perlu langkah strategis, inovatif, terpadu, sistematis, serius, dan komprehensif. Yang diperlukan bukan hanya pendekatan keamanan dan ideologi, tetapi juga memerhatikan jaringan, modus operandi, dan raison d’entre gerakan ini. Perlu perpaduan langkah ideologis, program deradikalisasi melalui masyarakat sipil, serta pendekatan ekonomi dan sosial. Ini guna mencegah para mantan aktivis gerakan radikal dan teroris agar tak kembali pada komunitas lamanya. Program ”memanusiakan” ini, juga jadi salah salah satu prasyarat mencegah meluasnya aksi radikalisme dan terorisme (Noorhaidi Hasan, 2010). (Sumber: Kompas, 30 April 2011)
No comments:
Post a Comment