Media nasional yang menjadi corong golongan Nashara, Kompas menjerit, dan menurunkan berita utamanya dengan judul, "Pendidikan Pancasila Dihapus", dan ada sub title judul, "Nilai-nilai Toleransi Ditinggalkan", tulisnya.
Selanjutnya, dalam "heading" tulisan itu berbunyi, "Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama", tulis koran itu.
Sebenarnya, tanpa dihapuskan dari kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pun, hakekatnya ajarannya Pancasila itu sudah tidak ada. Karena praktek-praktek dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beretika, serta beragama tidak ada lagi nilai-nilai Pancasila.
Praktek-praktek kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beretika tidak lagi menggunakan prinsip-prinsip Pancasila, yang menjadi ideologi negara. Pancasila hanya menjadi formalitas, dan sebutan bahwa Indonesia menganut sistem ideologi Pancasila. Tetapi, hakekat seluruh praktek dalam kehidupan masyarakat itu, tidak ada sedikitpun yang menggambarkan, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat Pancasilais.
Semasa Soekarno yang menjadi pencetus Pancasila, kemudian berkomplot dengan PKI, yang merusak nilai-nilai Pancasila, dan lebih condong kepada PKI, sampai terjadi pembrontakan di tahun 1965. Masa Soekarno Pancasila hanya digunakan untuk menghancurkan golongan Islam, dan Soekarno membubarkan Partai Masyumi, di tahun l960, karena Masyumi, yang nyata-nyata ingin memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Sementara itu, partai-partai sekuler, seperti PNI, PKI, Partai Sosialis, dan Partai Kristen mendukung Pancasila sebagai dasar negara di Konstituante. Tetapi, masing-masing golongan itu, hanya menjadikan Pancasila sebagai kedok belaka, terutama untuk mencapai tujuan ideologi dan keyakinan mereka. Semuanya terbukti, bagaimana PKI, berhasil menukangi Soekarno, dan masuk di pusat kekuasaan, dan melakukan konsolidasi, kemudian melakukan pembrontakan di tahun 1965, yang tujuannya ingin merebut kekuasaan.
Dibidang politik Indonesia, di masa Soekarno tak pernah mandiri, meskipun Soekarno gigih menjadi salah satu tokoh Gerakan Non Blok, tetapi kebijakan politik luar negeri Indonesia menganut poros Jakarta - Moskow dan Jakarta - Peking. Kedua negara yang menjadi kiblat Soekarno adalah merupakan epicentum kekuatan komunis dunia.
Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Jenderal Soeharto, yang dengan gigihnya ingin menjadikan Pancasila sebagai "way of life", hanyalah omong kosong. Soeharto yang sangat fasistis itu, tak pernah mempraktekkan ajaran dan esensi Pancasila. Soeharto menjadi kaki tangan kepentingan Barat, yang menjajah Indonesia, dan menguasai sumber daya alam dan kekayaan alam Indonesia.
Di zaman Soeharto tidak ada secuil pun nilai-nilai Pancasila yang dipraktekkanya dalam kehidupan ini. Soeharto adalah jenderal yang menjadi kaki tangna kepentingan AS di Indonesia. Soeharto adalah operator penjajah AS, yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara bagiannya.
Di zaman Soeharto yang menjadikan kebijakan politik luar negeri Indonesia 100 persen berkiblat ke AS. Di zaman Soeharto masuk seluruh kepentingan AS ke dalam pusat kekuasasan. Indonesia benar-benar menjadi satelit AS. Kebijakan ekonominya, tak nampak bersumber dari nilai dan ideologi Pancasila, gotong royong dan koperasi yang ada sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis yang mencekik rakyat Indonesia.
Pancasila di zaman Soeharto hanya digunakan alat "menggebuk" golongan Islam. Bahkan, Soeharto berkomplot dengan jenderal-jenderal Kristen, seperti Maraden Panggabean, Benny Murdani, dan Soedomo, serta sejumlah penjabat lainnya, untuk menghancurkan Islam. Selama pemerintahan Orde Baru, di bawah Jenderal Soeharto itu, tak terhingga jumlah umat Islam yang dibantai oleh Soeharto, melalui kaki tangan mereka, seperti di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, dan Madura.
Jadi hakekatnya, Pancasila itu, selama ini hanya dijadikan alat dan kedok oleh berbagai kepentingan politik dan ideologi, dan lebih khusus lagi untuk menghancurkan golongan Islam. Pancasila hanya dijadikan alat untuk menyudutkan dan mendeskridetkan golongan Islam dengan tuduhan sebagai golongan yang anti ideologi Pancasila.
Sekarang, media Nashara, Kompas, menjerit dan kawatir, dan dengan dihapuskannya pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila semua tingkatan akan mereduksi sikap toleransi? Tetapi, adakah golongan Nashara itu memiliki ajaran sikap toleransi yang sejati? Atau hakekatnya, Pancasila hanya menjadi kedok dan alat untuk menyudutkan dan menuduh golongan Islam sebagai anti Pancasila.
Bagaimana koran seperti Kompas dengan kampanye yang tidak habis-habis berbicara tentang terorisme, radikalisasi, dan fudementalisme yang selalu dikonotasikan dengan Islam dan umat Islam? Media itu terlibat secara aktif dan sistematis dalam sebuah kampanye untuk kebijakan deradikalisasi. Orang-orang Islam yang ingin berbuat taat dan melaksanakan agamanya, kemudian mendapat baju sebagai radikal, ekstrimis, dan fundamentalis.
Hakekatnya yan melakukan kejahatan, kekejian, kebiadaban, dan genoside, tak lain para penguasa Nshara-Barat terhadap umat Islam dan kaum muslimin. Mereka melakukan kejahatan kemanusiaan di mana-mana. Mereka dengan memberikan stempel "teroris" dan "al-Qaidah" kepada siapa saja, dan mereka yang mendapatkan stempel seperti itu layak dibunuh. Mereka para penguasa Nashara Barat mengahancurkan negara yang dituduh terlibat dengan "teroris" dan "al-Qaidah".
Sesungguhnya, apa hak mereka untuk membunuh, menghancurkan umat lslam dan kaum Muslimin itu? Tetapi, mereka tanpa malu masih berani berbicara tentang toleransi dan kerukunan beragama?
Mereka hanyalah menggunakan kedok Pancasila untuk membangun kekuatan mereka, kaum Nashara di negeri Muslim ini, dan sesudah mereka kuat akan menghancurkan dan membunuhi umat Islam dan kaum Muslimin seperti di Philpina dan di tempat-tempt lainnya. Wallahu'alam.
No comments:
Post a Comment