Sabtu, 7 Mei 2011 | 04:01 WIB
Jakarta, Kompas -
Demikian desakan sejumlah kalangan, Jumat (6/5), tentang dihapuskannya pendidikan Pancasila dari sekolah di semua jenjang pendidikan serta perguruan tinggi. Mereka yang berpendapat, antara lain, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra; Direktur Reform Institute Yudi Latif; Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Budi Susilo Soepandji; anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah; serta sejumlah praktisi pendidikan dan pemimpin organisasi massa.
Azyumardi mengatakan, Pancasila yang dulu menjadi mata kuliah wajib sekarang memang tidak diajarkan lagi di perguruan tinggi. Ini berbahaya karena siswa dan mahasiswa tidak lagi mengenal dasar berbangsa dan bernegara. Mahasiswa bisa tergoda pada ideologi lain, seperti liberalisme, kapitalisme, militerisme, komunisme, kekhalifahan, dan ideologi lain, tanpa mengenal Pancasila.
”Padahal, nilai-nilai Pancasila yang digali dari masyarakat, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, rela berkorban, dan nilai-nilai luhur lain, terbukti efektif menyatukan bangsa ini,” kata Azyumardi.
Memang setelah pengajaran Pancasila dilakukan secara represif oleh Orde Baru, Pancasila memiliki stigma di mata masyarakat. Karena itu, lanjut Azyumardi, diperlukan revitalisasi pengajaran Pancasila di semua jenjang pendidikan.
”Pengajaran Pancasila perlu dikontekskan dengan kondisi kekinian serta dibandingkan dengan ideologi-ideologi lain untuk membuktikan bahwa Pancasila yang paling cocok untuk Indonesia,” kata Azyumardi.
Yudi Latif mengatakan, Pancasila sebagai dasar pendidikan kewarganegaraan mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersama, multikulturalisme, dan demokrasi berdasarkan musyawarah yang juga menghormati kelompok-kelompok minoritas.
”Pancasila berbeda sekali dengan demokrasi liberal yang tak memberi ruang sedikit pun kepada minoritas. Pancasila mengajarkan moral kolektif sebagai warga negara,” ujar Yudi Latif yang juga penulis buku Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas.
Direktur Program Wahid Institute Rumadi dan Yudi Latif sependapat, negara bukan lagi penafsir tunggal Pancasila. Justru semua kelompok masyarakat seharusnya dilibatkan dalam mewacanakan Pancasila sebagai moralitas hidup berbangsa dan bernegara.
Penghapusan Pancasila dari pelajaran di sekolah juga bukan tindakan tepat. ”Dampak negatifnya bisa kita prediksi,” kata Suryo Susilo, Ketua Forum Silaturahmi Anak Bangsa.
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah Sabran Achmad tak setuju jika pengajaran Pancasila dihapus.
”Pertikaian antarkelompok dan konflik agama yang sering terjadi saat ini karena nilai Pancasila, seperti kerukunan dan toleransi, ditinggalkan masyarakat. Sekarang malah pendidikan Pancasila dihapus,” kata Sabran.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 yang berlaku saat ini akan diubah karena memunculkan interpretasi dan pemahaman yang berbeda-beda di setiap sekolah. Interpretasi berbeda juga terjadi untuk mata pelajaran Kewarganegaraan yang di dalamnya masih mengulas nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan RI.
Untuk itu, pemerintah berencana merombak kurikulum dengan mengambil alih empat mata pelajaran, yakni Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika. ”Keempat pelajaran itu itu adalah perekat sekaligus menjadi identitas nasional kebangsaan,” ujar Nuh.
Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji menegaskan, ideologi Pancasila bukan sekadar hafalan dan indoktrinasi. ”Lemhannas sedang merumuskan bagaimana mengajarkan Pancasila secara praktik di lingkungan kerja, permukiman, dan pendidikan,” kata Budi.
Anggota Komisi X DPR, Ferdiansyah, menilai cara penyampaian materi Pendidikan Kewarganegaraan yang tidak disertai keteladanan akan menimbulkan sinisme dari siswa.
Direktur Sekolah Islam Dian Didaktika Murti Sabarini juga menegaskan, guru dan pimpinan negara harus memberikan keteladanan. ”Teori sesempurna apa pun tidak akan bisa dipahami murid jika tidak disertai keteladanan,” ungkap Sabarini.
Pengurus Yayasan Sekolah Islam Harapan Ibu, Sulastomo, mengatakan, nilai dan budi pekerti merupakan sesuatu yang abstrak sehingga tidak bisa dihafalkan.
”Harus diimplementasikan melalui pembiasaan dengan contoh nyata dan keteladanan,” tutur Sulastomo.(BIL/ABK/LUK/
No comments:
Post a Comment