Tanpa permisi dan basa-basi.. pagi-pagi sudah bikin emosi.. pertanyakan nilai-nilai toleransi.. di tengah gempuran radikalisasi.. tiga kata mengundang banyak reaksi.. “Ayo baca beritanya. Jgn cuma kejebak headline” begitu kata Pandji Pragiwaksono dalam twitternya. Headline surat kabar nasional ini benar-benar menimbulkan keresahan, mengundang pertanyaan sekaligus penasaran, karena ternyata berita hanya dimuat dalam versi cetak, tak tersedia versi digitalnya, kalaupun ada ternyata harus berlangganan.
Oke.. Koran kini sudah di tangan, hasil nitip teman kantor yang keluar cari cemilan. Saya akan share beberapa paragraf dalam artikelnya..
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman utama)
Pendidikan pancasila dihapus
Nilai-nilai toleransi ditinggalkan
Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama.
Oke.. sampai di sini dulu. See..?? kita ga akan tahu permasalahan kalau hanya membaca 3-4 kata tanpa mengetahui lebih dalam isinya. Dari paragraf pertama saja kita sudah mendapatkan konten yang berbeda dengan judul. Bukan berarti judul tidak sesuai dengan kontennya, hanya saja terkadang judul itu bisa menipu, mengecoh, karena judul memang difungsikan untuk menarik perhatian, membuat penasaran, bahkan memainkan emosi pembacanya.
Penjelasan yang bisa kita peroleh dari paragraf pertama adalah mengenai pergantian judul mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan saja. Loh.. itu kan sama saja dengan Pendidikan Pancasila dihapus! Belum tentu juga, siapa tahu penanaman nilai-nilai Pancasila tetap disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ah, mana bisa?! Nanti, deh.. kita cek kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai SMA. Saya sudah download tadi, semoga saja infonya update
Saya merasa ada sedikit keanehan kelucuan di sini.
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman 15)
Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sindung Tjahyadi mengatakan, penghapusan Pendidikan Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi bangsa terkesan disengaja karena dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) memang tidak ada tentang kurikulum pancasila.
“Karena UU Sisdiknas tak mencantumkan Pancasila dalam kurikulum, sekolah atau perguruan tinggi tak berani mengajarkan hal tersebut. Dengan kebijakan ini, pemerintah sendiri yang sebenarnya justru mengabaikan nilai-nilai Pancasila,” ungkapnya.
Yang aneh adalah.. sistem pendidikan tersebut diatur dalam UU tahun 2003, berarti sebelum tahun 2003 itu tidak ada “pengaturan” tentang kurikulum Pancasila. Dengan kata lain, kalau dulu ada mata pelajaran bernama Pendidikan Moral Pancasila, berarti ada UU yg mengatur kurikulum Pendidikan Pancasila dong, kan pelajarannya boleh beredar, berarti memang disertakan dalam kurikulum. (FYI: perubahan nama mata pelajaran mulai dari PMP-PPKn-PKn).
Pertanyaan lanjutannya, kenapa mulai tahun 2003 tidak diberlakukan kembali kurikulum Pendidikan Pancasila..??? Adakah yang salah dengan kurikulum tersebut? Oh, ada 1 lagi.. Kalau ga salah, perubahan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganeraan itu sudah dimulai sekitar tahun 2006 (googling), dan sekarang tahun 2011. Correct me if I’m wrong.. So.. kenapa sekarang baru diributkan? Apakah karena momennya pas dengan isu radikalisasi yang belakangan jadi santer diberitakan?
Yang menarik dari artikel ini sebenarnya lebih pada opini masing-masing pihak yang terkait. Coba, deh, simak tulisan yang saya kutip dari Kompas ini:
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman utama & 15)
Sejumlah guru di beberapa daerah, Kamis (5/5), mengatakan, kini sangat sulit menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong-royong, dan toleransi beragama kepada murid-murid karena pelajaran Kewarganegaraan lebih menekankan aspek wacana dan hafalan.
“Sesuai kurikulum, materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Sedikit peluang penanaman nilai dan pembentukan moral anak,” kata Kepala SMAN 1 Lawa, Muna, Sulawesi Tenggara, La Ose.
“Pendidikan karakter yang dibebankan kepada guru tak akan efektif karena kurikulum yang ada tidak aplikatif,” kata Kepala SMA Pembangunan Yogyakarta Maruli Taufik.
Di sisi lain, guru sulit menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme karena sulit mencari teladan atau contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ini.. ini.. yang bikin saya ngakak sekaligus prihatin. Bukan.. saya bukan prihatin karena menurut tulisan tersebut (entah itu opini dari guru atau dari editor) sulit mencari teladan yang nyata. Saya prihatin karena mereka tidak dapat melihat sekitarnya dengan mata dan hati yang terbuka. Teladan atau contoh nyata yang menggambarkan sifat nasionalis atau patriotis, sulitkah??? Seberat itukah makna nasionalisme dan patriotisme? Saya rasa tidak. Kenapa, sih harus mempersulit diri dan mempersempit sudut pandang?
Sudah pernah mendengar nama
@JalinMerapi ? Relawan yang berjuang saat bencana erupsi gunung merapi melanda beberapa bulan lalu. Atau sudahkah mereka mendengar tentang
@IndonesiaMengajar ? Kumpulan mahasiswa fresh graduate yang mengabdikan diri untuk mengajar di pedalaman. Dan banyak tokoh-tokoh modern yang sebenarnya bisa mereka jadikan sebagai teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Apakah untuk menjadi teladan harus memegang bambu runcing dan maju ke medan perang dahulu? Nasionalisme dan patriotisme tak sesempit itu. Orang-orang yang berkarya dan menciptakan perubahan yang lebih baik untuk bangsa ini juga patut dijadikan teladan. Come on.. era sudah berganti, jangan mengerdilkan sudut pandang.
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman 15)
Guru pendidikan kewarganegaraan SMA Negri 1 Palembang, Sumatera Selatan, Maimun, menuturkan, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diberlakukan sebelum tahun 2004 lebih berorientasi pada penanaman nilai-nilai kebangsaan, kerukunan, dan keutuhan bangsa. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan saat ini lebih menekankan agar warga Negara menjadi patuh dan taat hukum,” kata Maimun.
Kondisi ini, menurut guru pendidikan kewarganegaraan SMAN 10 Medan, Sumatera Utara, Derry Marpaung, menyebabkan lunturnya semangat kebangsaan pada para pelajar, terutama berkurangnya kecintaan terhadap bangsa dan kepedulian sosial.
Well.. sebenarnya jika melihat fokus yang ditekankan saat ini, sih, ga salah juga. Mengajarkan siswa untuk patuh dan taat hukum bukan sesuatu yang salah, kan? Mungkin yang dikhawatirkan adalah hilangnya kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai pancasila dalam proses belajar mengajar. Oke.. saya cukup memaklumi hal ini, meski saya bukan guru atau mahasiswa jurusan pendidikan.
Tadi sore saya pinjam buku paket sepupu saya yang kelas 6 SD. Covernya, sih, cukup catchy, menarik, fullcolor, dan mencerminkan keragaman budaya gitu. Tapi… begitu baca daftar isinya, mata saya langsung melotot, jantung saya serasa mau copot
Dari 6 Bab yang disajikan, hanya Bab pertama yang membahas tentang Pancasila, itupun juga lebih pada proses perumusannya, bukan nilai-nilainya. Fine.. mungkin ini karena buku untuk kelas 6, sudah sepatutnya jenjang yang lebih tinggi mendapat materi yang lebih rumit juga, kan? Tapi, koq saya tetap kurang rela, mengingat apa yang dulu saya dapatkan waktu duduk di bangku sekolah dasar tak serumit sekarang. Ah, ini mah emang karena dasarnya males belajar yang sulit aja.. haha.. enggak, bener, deh.. coba bandingkan sama pelajaran PPKN yang saya dapat waktu kelas 5 SD dulu.
Tadi sore ngubek-ngubek laci buffet dan nemu buku ini, PPKN kelas 5 SD. Mau nyari yang kelas lain ternyata Cuma nemu yang ini, ada juga buku Bahasa Indonesia, Agama, sama IPA. Saya memang masih nyimpen beberapa buku pelajaran SD, sebagian banyak yang hilang, biasanya karena dipinjemin ke tetangga yang juga adik kelas saya.
Dibandingkan dengan materi pelajaran PPKN saya waktu kelas 5 SD ini, wah.. jauh bangeeett… Materi pelajaran yang saya dapatkan waktu itu benar-benar “menguliti” Pancasila. Gimana enggak, kalo selama 3 Catur Wulan (waktu itu masih belum jaman semester) yang dibahas ya tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Mulai dari ketaatan, kebebasan, tenggang rasa, percaya diri, ketertiban, tolong-menolong, sampai tentang kepahlawanan. Dan.. believe it or not, masing-masing Bab cuma berisi materi sebanyak 3-5 halaman, 2 halaman berikutnya adalah soal dan ilustrasi gambar. Ukuran fontnya juga lumayan gede, jadi materinya ga kebanyakan. Waktu itu rasanya guru lebih banyak menjelaskan dan berbicara dengan murid daripada menyuruh muridnya membaca dan mengerjakan soal.
Entah kenapa, apa mungkin karena PPKN adalah pelajaran favorit saya selain kesenian, Bahasa Indonesia dan IPA. Tapi rasanya waktu itu belajar PPKN menyenangkan sekali. Saya suka membaca setiap materi dalam Babnya, belum lagi kalau ada ceritanya, kadang di rumah suka saya baca lagi, mengulang pelajaran di sekolah atau membaca lanjutannya. Ada 1 lagi yang membuat saya betah baca buku ini. Ilustrasi di bagian akhir materi per Babnya itu selalu menarik perhatian saya. Honestly, ilustrasinya memang tidak sekeren ilustrasi2 yang sekarang, baru berupa goresan2 kasar hitam putih, tapi saya suka sekali melihatnya. Rasanya materi yang disajikan waktu itu benar-benar mengena dan membekas sampai saya beranjak
tua dewasa sekarang..
Ilustrasi dlm buku PPKn kls 5 SD
Okee… sekarang kita beralih kembali pada opini pihak lain dalam artikel surat kabar hari ini.
Kompas, Jumat, 6 Mei 2011 (halaman 15)
S. Hamid Hasan, Ketua Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, mengatakan, dalam kurikulum saat ini pendidikan dan penanaman nilai baik-buruk atau nilai kebangsaan tidak diberi tempat utama. “Akibatnya, guru cuma menekankan semua mata pelajaran sebagai pengetahuan saja, tidak menekankan pada aspek pembangunan karakter,” ujar Guru Besar Universitas Pendidikan Bandung ini.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Mungin Eddy Wibowo, mengatakan, nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah termuat dalam kurikulum pendidikan nasional sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. “Namun, pemahaman guru masih terbatas pada tekstual dan belum sampai pada kontekstual,” ungkapnya.
Padahal, dalam kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini, kata Mungin, peran guru sangat penting, terutama untuk merancang kurikulum sekolah yang lebih mengarah pada pembentukan karakter peserta didik.
“Jika guru tak mampu menerjemahkan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan dengan contoh konkret, peserta didik akan kesulitan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Wow.. apakah Anda merasakan hal yang sama dengan saya? Kenapa ini jadinya pihak guru dan pengembang kurikulum terkesan saling lempar kesalahan, ya? Sudah.. sudah.. Pak, Buk.. ngopi dulu sambil ngobrol santai, yuk.. Rupanya perlu ada sinkronisasi antara kedua belah pihak, sekedar membentuk sinergi agar bisa sejalan dan seiya-sekata
Tapi.. tunggu deh, kata Pak Mungin tadi, nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah termuat dalam kurikulum pendidikan nasional sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, lha terus yang dimuat dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang tidak adanya kurikulum pendidikan Pancasila dalam sistem pendidikan nasional itu gimana maksudnya, Pak? Maaf.. saya benar-benar awam, yang dimaksud nilai-nilai Pancasila dan Pendidikan Pancasila ini beda, ya, Pak?
Oke.. untuk sekedar merefresh (semoga bener2 bisa refresh, ga tambah puyeng) mari kita lihat Kurikulum Mata Pelajaran PKn mulai dari SD s/d SMA ini.. (saya sebutkan point “Standar Kompetensi”nya saja, ya)
Kelas I: Kerukunan, Ketertiban, Hak dan kewajiban di sekolah.
Kelas II: Gotong royong-Cinta lingkungan-Sikap demokratis (musyawarah, suara mayoritas)-Nilai-nilai Pancasila (kejujuran, kedisiplinan, dan senang bekerja).
Kelas III: Makna Sumpah Pemuda, Norma masyarakat, Harga diri, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Kelas IV: Sistem pemerintahan desa dan kecamatan, Sistem pemerintahan kabupaten, kota, dan provinsi, Sistem pemerintahan tingkat pusat, Globalisasi lingkungan.
Kelas V: Keutuhan NKRI-Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat dan daerah-Kebebasan berorganisasi-Menghargai keputusan bersama.
Kelas VI: Nilai-nilai juang dlm proses perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara-Sistem pemerintahan Republik Indonesia-Peran Indonesia dalam lingkungan negara-negara di Asia Tenggara-Peranan politik luar negeri Indonesia dalam era globalisasi.
Kelas VII: Norma-norma bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara-Makna Proklamasi Kemerdekaan dan konstitusi pertama-Penegakan HAM-Kebebasan berpendapat
Kelas VIII: Perilaku sesuai nilai-nilai Pancasila-Konstitusi di Indonesia-Perundang-undangan nasional-Pelaksanaan demokrasi dlm berbagai aspek kehidupan-Kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan
Kelas IX: Pembelaan Negara-Otonomi daerah-Dampak globalisasi-Prestasi diri untuk bangsa
Kelas X: Hakikat bangsa dan NKRI-Sistem hukum dan peradilan nasional-Penegakan HAM-Hubungan dasar negara dengan konstitusi-Persamaan kedudukan warga Negara-Sistem politik di Indonesia
Kelas XI: Budaya politik di Indonesia-Budaya demokrasi masyarakat madani-Keterbukaan dan keadilan berbangsa dan bernegara-Hubungan internasional dan organisasi internasional-Sistem hukum dan peradilan internasional
Kelas XII: Pancasila sebagai ideologi terbuka-Berbagai sistem pemerintahan-Peranan pers dalam demokrasi-Evaluasi dampak globalisasi
Bagaimana..?? sudah fresh apa tambah ngantuk? Saya yang jadi mulai ngantuk ini, sekarang jam menunjukkan pukul 00:42 Waktu Nulis Malam2 Sebelum Diposting
Well.. kalau dicemati dari standar kompetensi kurikulumnya, sih.. porsi nilai-nilai Pancasila memang tak sebanyak jaman saya SD dulu (kelahiran ’85 tunjuk kaki!). Kurikulum kini lebih fokus pada kewarganegaraan, yaiyalah.. wong judulnya memang Pendidikan Kewarganegaraan, hehe.. Materi yang sekarang lebih bisa membuat anak muda jadi “melek politik”. Saya rasa, sih, itu cukup bagus, mengingat bangsa kita memang sedang “lucu-lucunya” (ibarat bayi) dalam membangun demokrasi. Dan memang, sesuai perkembangan era, anak muda memang dituntut untuk lebih mengetahui seluk beluk Negara dan pemerintahan. Sebenarnya saya lebih suka kalau jenjang sekolah dasar diberikan materi tentang nilai-nilai Pancasila saja, baru nanti waktu SMP mulai diajarkan tentang kewarganegaraan dan sistem pemerintahan. Tapi mungkin pemerintah dan para pengembang kurikulum merasa perlu mengenalkan pendidikan tersebut sejak jenjang dasar. Hmm.. tak apalah, toh nilai-nilai Pancasila masih tetap disisipkan, meski memang tidak sedetail 10 tahunan yang lalu. Yah.. pinter-pinternya para pendidik aja untuk mencari celah.. Dan.. tentunya tanggung jawab tidak hanya dibebankan pada pendidik, melainkan juga keluarga. Saling support lah..
Ada atau tidaknya Pendidikan Pancasila dalam kurikulum tak berhak menyurutkan semangat kita untuk mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang terangkum di dalamnya. Tak ada di kurikulum, lantas tak berani mengajarkannya? Kenapa harus takut untuk mengajarkan kebaikan? Bukankah pancasila itu mengandung nilai-nilai kebaikan?
Tak ada di kurikulum juga bukan berarti hilang begitu saja dari materi ajar, kan? Setiap guru bisa menyisipkan nilai-nilai Pancasila di sela-sela materi yang diajarkannya. Tak perlu memiliki nama mata pelajaran tertentu jika memang tak dikehendaki dalam kurikulum, tak perlu bubuhkan nilai dalam raport jika tak tersedia kolom kosong, karena nilai yang baik pun belum menjamin pemahaman siswa. Yang penting siswa mengerti dan mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Judul boleh ganti.. tapi Pancasila tetap di hati..