SELASA, 22 MARET 2011, 14:51 WIB
Analisis
JALESWARI PRAMODHAWARDANI
TNI berupaya mengajak warga Ahmadiyah kembali ke Islam. Menyalahi fungsi?
VIVAnews--Operasi sajadah atau gelar sajadah oleh TNI menjadi perbincangan serius di berbagai media beberapa pekan ini. Ini bisa jadi buah dari ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi persoalan Ahmadiyah. Bola salju persoalan ini terus menggelinding liar hingga ke daerah, dan masuk segala ranah.
Sejumlah pemerintah daerah, melalui tafsir sepihaknya, bahkan telah mulai merepresi warganya sendiri melalui kebijakan diskriminatif, seperti dilakukan Gubernur Jawa Barat dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, atau Surat Keputusan (SK) dan kebijakan terkait Ahmadiyah yang dinilai melanggar hak konstitusional beragama.
Buntut dari kebijakan diskriminatif itu melahirkan laporan kegiatan yang diterima Komisi I DPR. Isinya, TNI berupaya mengajak warga Ahmadiyah kembali ke Islam. Menurut laporan ini, kegiatan itu diduga melibatkan 56 Komando Rayon Militer (Koramil) di bawah Kodam Siliwangi, Jawa Barat. Kendati pemerintah membantah, tapi bukti itu telanjur mencemaskan banyak pihak. Kita bisa maklum, mengingat pengalaman buruk jaman Orde Baru tentang peran TNI.
Ada pertanyaan muncul: atas perintah siapa TNI dan Polri digerakkan? Karena jika merujuk pasal 5 UU TNI tahun 2004 dikatakan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Jika dikaitkan tugas TNI, apa yang sedang terjadi ini jelas bertentangan.
Tentu ini mengejutkan. Reformasi sektor keamanan mulai dipertanyakan. Perjalanan 13 tahun demokrasi kita ternyata belum cukup bagi negara mencari keseimbangan, antara membangun kerangka kerja demokratik dengan kebutuhan pragmatis menguatkan para aktor keamanan ini. Para politisi dan birokrat kerap sulit menahan godaan untuk tidak lagi mengundang TNI masuk ke ranah ini.
Profesionalisme yang dibangun susah payah mulai kendor setelah satu dekade. Tentu masih diperlukan studi lebih lanjut agar sampai kepada kesimpulan apakah ini bersumber dari internal TNI ataukah eksternal, dalam hal ini pemerintah sipil.
Jika ini terjadi, negara tanpa disadari ikut bertanggung jawab atas kemunduran proses ini. Sungguh disayangkan, mengingat setiap badan kenegaraan termasuk TNI, semestinya memainkan peran khusus, dan memiliki standarisasi nilai, prosedur, pengembangan spesialisasi fungsi, dan diferensiasi struktur.
Itu sebabnya, kita paham mengapa gejala kemunduran pada TNI itu membuat banyak pihak cemas. Pada masa Orde Baru, TNI memainkan fungsi jamak (alat pertahanan, bisnis dan politik). Akibatnya, proses profesionalisme tak dapat berlangsung. Pada era reformasi, fungsi jamak TNI ini dilucuti, dan kekuatan bersenjata itu dikembalikan ke fungsi aslinya.
Pemerintah dari semua level, terutama pemerintah daerah, perlu menyadari hal ini, bahwa sebagai Tentara Nasional, TNI tidak boleh dipergunakan sebagai alat kepentingan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi dan pancasila, juga UU TNI dan Pertahanan.
Tanpa menafikan pencapaian reformasi yang ada, mungkin perlu evaluasi kritis dari pemerintah sendiri tentang proses yang mulai tersendat-sendat ini.
Dari lensa yang optimistik, secara struktur memang terlihat ada perubahan signifikan, ada upaya untuk meletakkan kerangka kerja demokratik dalam proses perpindahan rejim. Misalkan, terbentuknya diferensiasi struktur dan spesialisasi tugas di beberapa institusi pemerintah dan aktor keamanan inti (TNI , Kepolisian, Intelijen). Reformasi itu juga tercermin dari produk kebijakan yang dibuat.
Tapi juga perlu diperiksa ada kesenjangan antara kebijakan yang diproduksi, dan implementasi di lapangan. Kesenjangan itu melahirkan kekerasan, pertama dari pihak TNI dan Polri yang menyalahgunakan tugasnya, atau dari aktor non negara yang berpeluang menggunakan kekerasan karena kebijakan negara tak jelas dan tidak tegas.
Kita mungkin perlu mengingatkan, bahwa prinsip negara berdaulat salah satunya adalah adanya unit politik yang diberikan otoritas untuk memonopoli kekerasan yang legal (monopoly of a legal force).
Negara berdaulat adalah negara yang menerima pemberian hak ini dengan tidak memberikan ruang bagi pemilikan dan penggunaan instrumen kekerasan oleh kelompok-kelompok non-negara. Mengapa? Karena monopoli kekuatan legal adalah salah satu alat bagi negara untuk mendapatkan supremasi politik. Tapi monopoly of a legal force ini juga penting diperhatikan pengunaannya.
Negara tak dapat campur tangan soal keyakinan yang dianut warga. Intervensi negara terhadap kehidupan beragama setiap warganegara terbatas, sepanjang tak berkaitan dengan hal kekerasan, kriminalitas, dan ketertiban umum. Jadi hanya di wilayah itulah negara boleh hadir dengan para aktor keamanannya.
Pada saat sama, negara juga diikat oleh kewajiban mendorong terciptanya toleransi, saling menghargai, gotong royong di antara warga kepada kelompok-kelompok marjinal. Apalagi ruang publik kita makin pengap dengan kekerasan dan aroma anyir darah.
Bisa jadi ini bukan sekedar persoalan kekerasan berbasiskan agama an-sich. Mungkin bertalian dengan kepentingan lain, ekonomi misalnya. Dalam negara yang sarat praktik korupsi dan para koruptor merajalela, selalu ada taruhan gesekan politik jangka pendek. Jika negara lemah, maka dia bisa bermain dalam situasi politik apapun.
Sejumlah pemerintah daerah, melalui tafsir sepihaknya, bahkan telah mulai merepresi warganya sendiri melalui kebijakan diskriminatif, seperti dilakukan Gubernur Jawa Barat dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, atau Surat Keputusan (SK) dan kebijakan terkait Ahmadiyah yang dinilai melanggar hak konstitusional beragama.
Buntut dari kebijakan diskriminatif itu melahirkan laporan kegiatan yang diterima Komisi I DPR. Isinya, TNI berupaya mengajak warga Ahmadiyah kembali ke Islam. Menurut laporan ini, kegiatan itu diduga melibatkan 56 Komando Rayon Militer (Koramil) di bawah Kodam Siliwangi, Jawa Barat. Kendati pemerintah membantah, tapi bukti itu telanjur mencemaskan banyak pihak. Kita bisa maklum, mengingat pengalaman buruk jaman Orde Baru tentang peran TNI.
Ada pertanyaan muncul: atas perintah siapa TNI dan Polri digerakkan? Karena jika merujuk pasal 5 UU TNI tahun 2004 dikatakan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Jika dikaitkan tugas TNI, apa yang sedang terjadi ini jelas bertentangan.
Tentu ini mengejutkan. Reformasi sektor keamanan mulai dipertanyakan. Perjalanan 13 tahun demokrasi kita ternyata belum cukup bagi negara mencari keseimbangan, antara membangun kerangka kerja demokratik dengan kebutuhan pragmatis menguatkan para aktor keamanan ini. Para politisi dan birokrat kerap sulit menahan godaan untuk tidak lagi mengundang TNI masuk ke ranah ini.
Profesionalisme yang dibangun susah payah mulai kendor setelah satu dekade. Tentu masih diperlukan studi lebih lanjut agar sampai kepada kesimpulan apakah ini bersumber dari internal TNI ataukah eksternal, dalam hal ini pemerintah sipil.
Jika ini terjadi, negara tanpa disadari ikut bertanggung jawab atas kemunduran proses ini. Sungguh disayangkan, mengingat setiap badan kenegaraan termasuk TNI, semestinya memainkan peran khusus, dan memiliki standarisasi nilai, prosedur, pengembangan spesialisasi fungsi, dan diferensiasi struktur.
Itu sebabnya, kita paham mengapa gejala kemunduran pada TNI itu membuat banyak pihak cemas. Pada masa Orde Baru, TNI memainkan fungsi jamak (alat pertahanan, bisnis dan politik). Akibatnya, proses profesionalisme tak dapat berlangsung. Pada era reformasi, fungsi jamak TNI ini dilucuti, dan kekuatan bersenjata itu dikembalikan ke fungsi aslinya.
Pemerintah dari semua level, terutama pemerintah daerah, perlu menyadari hal ini, bahwa sebagai Tentara Nasional, TNI tidak boleh dipergunakan sebagai alat kepentingan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi dan pancasila, juga UU TNI dan Pertahanan.
Tanpa menafikan pencapaian reformasi yang ada, mungkin perlu evaluasi kritis dari pemerintah sendiri tentang proses yang mulai tersendat-sendat ini.
Dari lensa yang optimistik, secara struktur memang terlihat ada perubahan signifikan, ada upaya untuk meletakkan kerangka kerja demokratik dalam proses perpindahan rejim. Misalkan, terbentuknya diferensiasi struktur dan spesialisasi tugas di beberapa institusi pemerintah dan aktor keamanan inti (TNI , Kepolisian, Intelijen). Reformasi itu juga tercermin dari produk kebijakan yang dibuat.
Tapi juga perlu diperiksa ada kesenjangan antara kebijakan yang diproduksi, dan implementasi di lapangan. Kesenjangan itu melahirkan kekerasan, pertama dari pihak TNI dan Polri yang menyalahgunakan tugasnya, atau dari aktor non negara yang berpeluang menggunakan kekerasan karena kebijakan negara tak jelas dan tidak tegas.
Kita mungkin perlu mengingatkan, bahwa prinsip negara berdaulat salah satunya adalah adanya unit politik yang diberikan otoritas untuk memonopoli kekerasan yang legal (monopoly of a legal force).
Negara berdaulat adalah negara yang menerima pemberian hak ini dengan tidak memberikan ruang bagi pemilikan dan penggunaan instrumen kekerasan oleh kelompok-kelompok non-negara. Mengapa? Karena monopoli kekuatan legal adalah salah satu alat bagi negara untuk mendapatkan supremasi politik. Tapi monopoly of a legal force ini juga penting diperhatikan pengunaannya.
Negara tak dapat campur tangan soal keyakinan yang dianut warga. Intervensi negara terhadap kehidupan beragama setiap warganegara terbatas, sepanjang tak berkaitan dengan hal kekerasan, kriminalitas, dan ketertiban umum. Jadi hanya di wilayah itulah negara boleh hadir dengan para aktor keamanannya.
Pada saat sama, negara juga diikat oleh kewajiban mendorong terciptanya toleransi, saling menghargai, gotong royong di antara warga kepada kelompok-kelompok marjinal. Apalagi ruang publik kita makin pengap dengan kekerasan dan aroma anyir darah.
Bisa jadi ini bukan sekedar persoalan kekerasan berbasiskan agama an-sich. Mungkin bertalian dengan kepentingan lain, ekonomi misalnya. Dalam negara yang sarat praktik korupsi dan para koruptor merajalela, selalu ada taruhan gesekan politik jangka pendek. Jika negara lemah, maka dia bisa bermain dalam situasi politik apapun.
Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI dan The Indonesian Institute.
• VIVAnews
No comments:
Post a Comment