http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/382621/
Friday, 18 February 2011
Kekerasan bernuansa agama muncul kembali. Dampaknya sangat buruk dan mencederai rasa kemanusiaan kita. Penyiksaan dan sadisme terjadi di Cikeusik atas nama keyakinan dan egoisme.
Demikian pula yang terjadi Temanggung. Seolaholah kita tidak hidup di negara bernama Indonesia, tidak pernah mengenal Bhinneka Tunggal Ika. Menyedihkan,mengecewakan, sekaligus menyeramkan. Negara dan aparatusnya pun dituding lalai dan menjurus pada pembiaran peristiwa itu. Juga pada peristiwaperistiwa lainnya yang biasanya mengorbankan kalangan minoritas. Negara tidak mampu mengendalikan sekelompok orang yang membolehkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Berbagai peristiwa kekerasan terakhir di Tanah Air, baik yang diliput media maupun tidak,kerapkali menunjukkan ketidakmampuan ini.
Kutukan sebagai Minoritas dan Berbeda
Menjadi ‘minoritas’ dan ‘berbeda’ di negeri ini laiknya merupakan kutukan saja. Hampir tidak ada jaminan untuk bisa hidup damai di negeri yang konstitusinya nyata-nyata menjamin kebebasan berkeyakinan dan perbedaan. Negeri yang elitnya gemar mengumbar kata-kata ‘pluralisme’ dan ‘kebhinekaan’ di mulut, dan kerap menodainya dalam penerapan. Kita tidak siap berbeda, tidak siap untuk berdialog menyelesaikan masalah.Maka atas dasar keyakinan, darah pun ditumpahkan di mana-mana atas nama Tuhan.
Hampir semua manusia di bumi ini hidup beragama dan bertuhan. Dan semua ajaran agama tidak ada yang mengajarkan saling berbunuh satu sama lain. Semuanya mengajarkan kasih sayang dan hidup rukun antarsesama. Kenyataannya, tidak jarang umat beragama justru bertambah buas kepada lainnya atas nama kebenarannya sendiri. Dalam situasi inilah kalangan minoritas merupakan sasaran empuk untuk dikorbankan. Karena itu jugalah negara sebagai mediator diharapkan bisa menjadi aparat yang netral dan wajib melindungi kaum minoritas yang sangat rentan dengan serangan dan ancaman.
Tantangan ‘hidup bersama’ dan menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama semakin rumit, kompleks, dan bahkan terlalu banyak tantangan salah satunya dari negara sendiri yang kerap tidak objektif dalam menyikapi sesuatu. Negara menjadi alat untuk semakin memojokkan kaum lemah dan tak berdaya, dan bukan membuka ruang yang lebih luas untuk berdialog memecahkan masalah.
Kendatipun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama,melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas ‘agamaku’, ’keyakinanku’ justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku seharihari yang bermuatan kekerasan. Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu.Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Pluralisme Indonesia merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kekayaan. Menafikannya berarti juga menafikan keniscayaan, dan tidak menghargai perbedaan.Kekhawatiran lahir bila pluralisme sebagai rumah bersama semakin hari semakin terancam akibat ada kebijakan dan ulah aparat pemerintah yang bertindak netral.Aparat pemerintah yang “tidak berani” menggunakan kekuasaannya untuk memberikan jaminan kepada setiap warga untuk mempergunakan hak asasinya tanpa ada hambatan.
Kebersamaan adalah roh dan kata kunci dalam upaya semakin mendewasakan makna pluralisme di negeri kita.Kita tidak bisa membayangkan hidup di negeri plural seperti Indonesia tanpa kebersamaan. Dalam kekuatan mayoritas yang menekan dan aparatur pemerintah yang memberikan jaminan yang rendah,roh pluralisme itu sendiri akan musnah perlahanlahan.
Negara-Gagal
Salah satu persoalan mendasar dalam demokrasi Indonesia adalah kebebasan menjalankan ibadat dan keyakinan.Pada 2007 misalnya berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi sangat nampak di permukaan. Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok- kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik dengan nyata.
Ironisnya, dari pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Sejumlah 92 pelanggaran dilakukan oleh negara (commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap sesat.Termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu.
Sedangkan 93 tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan pembiaran (ommision) terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga atau kelompok.Ini merupakan bentuk kegagalan negara. Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan,merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.
Aparat hukum bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman massa.Padahal institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang. Hukum pun tak lagi dipercaya. Negara telah gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Negara bahkan telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan. Bila dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan.
Ruang Dialog
Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama.Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.Kebijakan yang berpeluang menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya perlu dibahas ulang.
Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat dan berkeyakinan adalah hak warga paling asasi,dan hanya rezim komunis yang melarangnya.Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa ada ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi?(*)
Benny Susetyo
Sekretaris Dewan Nasional Setara,
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI
Demikian pula yang terjadi Temanggung. Seolaholah kita tidak hidup di negara bernama Indonesia, tidak pernah mengenal Bhinneka Tunggal Ika. Menyedihkan,mengecewakan, sekaligus menyeramkan. Negara dan aparatusnya pun dituding lalai dan menjurus pada pembiaran peristiwa itu. Juga pada peristiwaperistiwa lainnya yang biasanya mengorbankan kalangan minoritas. Negara tidak mampu mengendalikan sekelompok orang yang membolehkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Berbagai peristiwa kekerasan terakhir di Tanah Air, baik yang diliput media maupun tidak,kerapkali menunjukkan ketidakmampuan ini.
Kutukan sebagai Minoritas dan Berbeda
Menjadi ‘minoritas’ dan ‘berbeda’ di negeri ini laiknya merupakan kutukan saja. Hampir tidak ada jaminan untuk bisa hidup damai di negeri yang konstitusinya nyata-nyata menjamin kebebasan berkeyakinan dan perbedaan. Negeri yang elitnya gemar mengumbar kata-kata ‘pluralisme’ dan ‘kebhinekaan’ di mulut, dan kerap menodainya dalam penerapan. Kita tidak siap berbeda, tidak siap untuk berdialog menyelesaikan masalah.Maka atas dasar keyakinan, darah pun ditumpahkan di mana-mana atas nama Tuhan.
Hampir semua manusia di bumi ini hidup beragama dan bertuhan. Dan semua ajaran agama tidak ada yang mengajarkan saling berbunuh satu sama lain. Semuanya mengajarkan kasih sayang dan hidup rukun antarsesama. Kenyataannya, tidak jarang umat beragama justru bertambah buas kepada lainnya atas nama kebenarannya sendiri. Dalam situasi inilah kalangan minoritas merupakan sasaran empuk untuk dikorbankan. Karena itu jugalah negara sebagai mediator diharapkan bisa menjadi aparat yang netral dan wajib melindungi kaum minoritas yang sangat rentan dengan serangan dan ancaman.
Tantangan ‘hidup bersama’ dan menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama semakin rumit, kompleks, dan bahkan terlalu banyak tantangan salah satunya dari negara sendiri yang kerap tidak objektif dalam menyikapi sesuatu. Negara menjadi alat untuk semakin memojokkan kaum lemah dan tak berdaya, dan bukan membuka ruang yang lebih luas untuk berdialog memecahkan masalah.
Kendatipun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama,melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas ‘agamaku’, ’keyakinanku’ justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku seharihari yang bermuatan kekerasan. Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu.Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Pluralisme Indonesia merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kekayaan. Menafikannya berarti juga menafikan keniscayaan, dan tidak menghargai perbedaan.Kekhawatiran lahir bila pluralisme sebagai rumah bersama semakin hari semakin terancam akibat ada kebijakan dan ulah aparat pemerintah yang bertindak netral.Aparat pemerintah yang “tidak berani” menggunakan kekuasaannya untuk memberikan jaminan kepada setiap warga untuk mempergunakan hak asasinya tanpa ada hambatan.
Kebersamaan adalah roh dan kata kunci dalam upaya semakin mendewasakan makna pluralisme di negeri kita.Kita tidak bisa membayangkan hidup di negeri plural seperti Indonesia tanpa kebersamaan. Dalam kekuatan mayoritas yang menekan dan aparatur pemerintah yang memberikan jaminan yang rendah,roh pluralisme itu sendiri akan musnah perlahanlahan.
Negara-Gagal
Salah satu persoalan mendasar dalam demokrasi Indonesia adalah kebebasan menjalankan ibadat dan keyakinan.Pada 2007 misalnya berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi sangat nampak di permukaan. Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok- kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik dengan nyata.
Ironisnya, dari pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Sejumlah 92 pelanggaran dilakukan oleh negara (commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap sesat.Termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu.
Sedangkan 93 tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan pembiaran (ommision) terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga atau kelompok.Ini merupakan bentuk kegagalan negara. Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan,merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.
Aparat hukum bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman massa.Padahal institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang. Hukum pun tak lagi dipercaya. Negara telah gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Negara bahkan telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan. Bila dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan.
Ruang Dialog
Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama.Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.Kebijakan yang berpeluang menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya perlu dibahas ulang.
Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat dan berkeyakinan adalah hak warga paling asasi,dan hanya rezim komunis yang melarangnya.Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa ada ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi?(*)
Benny Susetyo
Sekretaris Dewan Nasional Setara,
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI
No comments:
Post a Comment