Datang sejak awal abad ke-20, Ahmadiyah ditentang di nusantara. Tak punya kitab sendiri.
JUM'AT, 11 FEBRUARI 2011, 21:31 WIB
Hadi Suprapto, Dedy Priatmojo, Zaky Al-YamaniVIVAnews - Bunyi surat itu memelas. "Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini,” tulis seorang jemaah Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kalimat selanjutnya, ditulis setengah putus asa. “Di pinggiran yang dianggap angker banyak setan sekali pun,” tulis si pengikut itu. Jeritan itu dikutip oleh Djohan Effendi, seorang pemikir Muslim yang prihatin akan nasib pengikut Ahmadiyah. "Menjadi pengungsi di negeri sendiri," tulis Djohan.
Mereka adalah kaum terusir. Di Lombok, pada 2004, misalnya, para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu membeli tanah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Saat itu, ada 36 kepala keluarga, atau 138 jiwa sempat menetap di Lingsar.
Baru setahun menetap, kelompok ini diserang warga setempat pada Oktober 2005. Ahmadiyah, kata warga, membawa ajaran sesat. Mereka mencoba bertahan. Tapi lima bulan kemudian serangan kembali datang. Pada 4 Februari 2006, mereka tersingkir lagi.
Karena tak punya tempat, pemerintah NTB lalu mengungsikan mereka ke Asrama Transito, di Majeluk Kota Mataram. “Di sini kami memang lebih aman,” ujar Basirun Ajiz, penasehat Jemaah Ahmadiyah Lombok.
Hidup di penampungan juga sulit. Kebutuhan mereka sempat ditopang sembako bantuan Pemda sampai 2007. Setelah itu, agar tetap hidup, mereka kerja serabutan. Dari menjadi kuli kasar, mengasong, sampai tukang ojek.
Beberapa bulan silam, ujar Basirun, mereka kembali ke Lingsar. Tapi hanya sempat menginjakkan kaki sebentar. Pada 26 November 2010, warga datang dengan beringas. Sekitar 21 rumah pengikut Ahmadiyah dirusak massa. Akhirnya mereka kembali ke Asrama Transito Kota Mataram.
Itu sebabnya, surat terbuka seperti dikutip Djohan Effendi itu, terdengar lirih. “Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini, ... di pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan. Hidup normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan”.
Berdarah
Tak hanya di Lombok, Jemaat Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011.
Akibatnya, pada 29 Januari, puluhan anggota Jemaat Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar. Tapi, setelah evakuasi, sekretariat mereka dirusak dan diobrak-abrik. Pintunya dijebol, dan dokumen disita. Papan nama hijau di depan bangunan dirobohkan.
Atas nama Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, massa FPI dipimpin Habib Reza menuntut Ahmadiyah bubar. Ajaran itu, dianggap melenceng dari Islam. FPI juga menuding Ahmadiyah melanggar SKB itu.
Yang dimaksud FPI adalah surat keputusan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Intinya, memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam. Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur.
FPI, misalnya, memandang semua kegiatan Ahmadiyah tergolong dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” teriak Habib Reza, di tengah massa FPI Sulawesi Selatan yang beraksi hari itu.
Di barat Nusantara, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Misalkan, ada masjid Ahmadiyah yang dibakar di Ciampea, Bogor. Lalu ada teror pembakaran panti asuhan di Tasikmalaya,bentrokan di Kuningan, hingga penyerbuan masjid di Jakarta.
Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang sebanyak 33 dan 50 kali.
Puncak tragedi berdarah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubalig Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menuturkan kronologi penyerbuan brutal itu.
Pada Sabtu 5 Februari, pukul 09.00, Kepolisian Resor Pandeglang menangkap Suparman, istri Suparman, dan Tatep (ketua Pemuda Ahmadiyah). Polisi membawa mereka ke kantor Polres Padeglang. Alasannya, ingin memeriksa status imigrasi istri Suparman yang warga negara Filipina.
Mendengar informasi penahanan ini, pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang datang ke Cikeusik mengamankan anggota Jemaah Ahmadiyah yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Semua jemaah, sekitar 25 orang itu telah berkumpul di rumah Suparman.
Rombongan dari Jakarta dan Serang tiba pukul 08.00 WIB, Ahad 6 Februari. Jumlahnya 18 orang, ditambah tiga warga Cikeusik. Mereka lalu berjaga-jaga di rumah Suparman, takut ada serangan massa.
Mendengar akan ada serangan, satu regu polisi dari Reserse Kriminal datang ke lokasi. Mereka sarapan, dan berdialog bersama Jemaat. Polisi minta mereka segera meninggalkan lokasi.
Tapi, permintaan itu ditolak. Polisi lalu meninggalkan lokasi. Sejak saat itu tidak ada dialog lagi antara Jemaah Ahmadiyah dan kepolisian. Warga Ahmadiyah tetap berkumpul di rumah Suparman.
Pukul 10.00, ratusan orang menyerbu rumah Suparman. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok. Terjadilah bentrokan itu. Total penyerang mencapai 1.500 orang. Akibat serbuan itu, tiga warga Ahmadiyah tewas mengenaskan. Mereka adalah Roni, 30, warga Jakarta Utara; Mulyadi, 30, warga Cikeusik; dan Tarno, 25, warga Cikeusik.
Ibadah
Peristiwa di Cikeusik berdampak ke seluruh Jemaat Ahmadiyah. Kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Sulsel, Mukhtiar, kecemasan menghantui pengikut mereka. Padahal, “Dalam Islam, perbedaan adalah rahmah, meski itu beda penafsiran,” ujarnya.
Di Yogyakarta, tak jauh beda. Sering kali, saat mereka beribadah diintai orang tak dikenal. "Mungkin intel atau siapa, kami tak tahu," kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta Munawar Ahmad.
Dia beserta puluhan anggota jemaah itu pernah tegang setelah sekompok massa mendatangi masjid mereka. Untungnya, tak sampai terjadi keributan. "Melihat atributnya, mereka FPI," katanya. "Mereka minta dialog, kami turuti, sehingga tak sampai timbul kekerasan."
Jemaah Ahmadiyah Yogyakarta cukup aktif. Mereka menggelar pengajian besar dua kali setiap bulan. Dakwah juga dilakukan melalui pendidikan nonformal. Tapi dakwah itu terbatas pada anggota mereka saja.
Bagi Jemaah Ahmadiyah Bogor, yang tempatnya di Desa Cisalada, Kecamatan Ciampea itu pernah diserbu massa, kecemasan terasa pekat. Tapi, karena soal keyakinan, mereka tetap beribadah. Kata Khairul Khalam, Jemaah Ahmadiyah Bogor, "Keyakinan kami terhadap Imam Mahdi tak akan pudar."
Tafsir
Penafsiran memicu perbedaan. Ahmadiyah menafsirkan setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru, dialah Mirza Ghulam Ahmad, nabi yang tak membawa syariat baru.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam--mulai Islam radikal sampai moderat, kata Slamet, semua tak sependapat dengan akidah Ahmadiyah itu. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia kepada VIVAnews.com.
Juru bicara Front Pembela Islam Munarman mengatakan keyakinan itu sama saja menodai Islam. Dia mengatakan, tak hanya kepercayaan atas nabi terakhir, beberapa keyakinan Ahmadiyah juga dinilai sesat. Misalnya, kata Muhammad di dalam Alquran tak ditafsirkan sebagai Muhammad, melainkan Mirza Ghulam Ahmad. "Dia juga memiliki kitab tambahan, Tazkirah," ujar Munarman.
Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yogyakarta, Ahmad Saifudin Muttaqi, mengatakan mereka tak pernah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. "Syahadat kami tetap,” ujarnya menirukan syahadat di rukun Islam.
Adapun soal kitab Tazkirah, kata Saifudin, bukanlah kitab suci. Kitab itu hanya semacam kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Pegangan dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.
Soal kontroversi Ahmadiyah ini, intelektual Muslim Azyumardi Azra, menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan warga Ahmadiyah. "Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi kepada VIVAnews. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."
Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama.
Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah ini percaya, Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," katanya.
Sang Mahdi
Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad bergelar sebagai Mujaddid, al-Masih, dan al-Mahdi.
Seperti dikutip dari laman Ahmadiyah.or.id, setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Ahmadiyah dipimpin Shadr Anjuman Ahmadiyah. Setelah Anjuman meninggal, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad naik tahta. Bashiruddin tak lain adalah anak Mirza Ghulam Ahmad. Pada masa kepemimpinan inilah Ahmadiyah pecah.
Bashiruddin berpendapat bahwa al-Masih al-Mau’ud itu betul-betul nabi. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepadanya, hukumnya kafir, dan keluar dari Islam. Menurut Bashiruddin, Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir.
Jemaah yang menentang Bashiruddin, lalu keluar, dan membentuk Ahmadiyah Anjuman Isya’ati atau dikenal dengan Ahmadiyah Lahore, karena berpusat di Lahore, Pakistan. Ahmadiyah Lahore tetap bersikukuh Mirza hanyalah pembaru Islam di abad itu.
Para pengikut Bashiruddin, dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah atau Ahmadiyah Qadian. Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian disebut juga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pusatnya di Parung, Bogor. (Baca juga Dari India Menyebar ke 190 Negara)
Sementara Ahmadiyah Lahore, bermarkas di Yogyakarta, dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Munarman, juru bicara FPI, target perlawanan organisasinya adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. "Bukan Gerakan Ahmadiyah," ujarnya.
Dalam buku 75 Tahun Jamaat Ahmadiyah Indonesia, aliran ini masuk ke Indonesia dibawa tiga pemuda asal Sumatera Barat. Mereka adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan. (Lihat infografik Tragedi Ahmadiyah)
Awalnya mereka ingin belajar ke Mesir. Tapi guru mereka menyarankan ke India. Di India mereka bertemu komunitas Ahmadiyah Lahore. Lalu mereka juga melawat ke pusat Ahmadiyah di Qadian. Di Qadian lah mereka bertemu Bashiruddin, dan ketiganya pun dibaiat.
Pada Agustus 1925, para pelajar ini pulang, dan mendirikan Ahmadiyah di Sumatera Barat. Pada 1926, Jemaat Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi. Mereka diakui sebagai organisasi berbadan hukum oleh Menteri Kehakiman RI di tahun 1953. (Laporan: Rahmat Zeena, Makassar; Erick Tanjung, Yogyakarta; Ayatullah Humaeni, Bogor; dan Edy Gustan, Lombok | np.
http://sorot.vivanews.com/news/read/204270-infografik--tragedi-ahmadiyah
Infografik: Tragedi Ahmadiyah
JUM'AT, 11 FEBRUARI 2011, 21:37 WIB
Elin Yunita KristantiDari India Menyebar ke 190 Negara
JUM'AT, 11 FEBRUARI 2011, 21:42 WIB
Denny ArmandhanuBERITA TERKAIT
VIVAnews – Jamaah Ahmadiyah untuk kesekian kalinya menjadi sasaran amuk massa. Paling muktahir adalah penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di desa Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Ahad, 6 Februari 2011. Insiden tersebut menyebabkan tiga orang dari kubu Ahmadiyah meregang nyawa ditangan ratusan massa yang marah.
Data dari SETARA Institute menyebutkan, setiap tahun selalu saja ada penyerangan massa terhadap perkumpulan jemaah Ahmadiyah. Pada tahun 2007 misalnya, terjadi 15 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 238 kasus, pada 2009 ada 33 kasus. Kekerasan terjadi di berbagai daerah, seperti Kuningan, Bogor, Tasikmalaya, dan Garut.
Kekerasan dan diskriminasi pada jemaah Ahmadiyah ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara, diantaranya Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan Inggris, jemaah Ahmadiyah juga seringkali menjadi sasaran kemarahan warga.
Data dari SETARA Institute menyebutkan, setiap tahun selalu saja ada penyerangan massa terhadap perkumpulan jemaah Ahmadiyah. Pada tahun 2007 misalnya, terjadi 15 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 238 kasus, pada 2009 ada 33 kasus. Kekerasan terjadi di berbagai daerah, seperti Kuningan, Bogor, Tasikmalaya, dan Garut.
Kekerasan dan diskriminasi pada jemaah Ahmadiyah ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara, diantaranya Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan Inggris, jemaah Ahmadiyah juga seringkali menjadi sasaran kemarahan warga.
Imam Mahdi
Ahmadiyah pertama kali dibentuk pada tahun 1889 di sebuah desa kecil bernama Qadian di Punjab, India, oleh Mirza Ghulam Ahmad yang dalam kepercayaan mereka dikenal sebagai nabi dan imam mahdi.
Menurut situs resmi Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad lahir tanggal 13 Februari 1835 di Qadian yang terletak 57 km sebelah timur kota Lahore, Pakistan, dan 24km kota Amritsa, Punjab, India.
Mirza Ghulam Ahmad, yang lebih suka dipanggil Ahmad untuk mempersingkat namanya, mengenyam pendidikan dasar di kampungnya. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan di kota Batala.
Pekerjaan pertamanya adalah sebagai pegawai di pemerintah Inggris di Sialkot pada 1864. Dua tahun kemudian dia berhenti bekerja dan mulai mengkaji kitab-kitab. Ahmad kemudian mulai menulis beberapa buku yang berisikan propaganda yang menonjolkan karakter dirinya,.
Tidak lama kemudian, ia mengaku telah menerima wahyu dari Allah. Dalam Islam hanya nabi dan rasul saja yang dapat menerima wahyu. Inilah yang menjadikan dia dianggap sebagai nabi oleh jemaah Ahmadiyah. Selain itu, dia mengaku telah diangkat Tuhan sebagai Al-Masih atau sang penyelamat.
Dalam perjalanannya Ahmadiyah juga disebut-sebut merupakan alat pemerintah Inggris dalam menghadapi arus serangan para pejuang Islam dengan semangat jihadnya di India di awal abad ke 19. Kala itu, yang menjadi penghalang utama kolonial Inggris adalah umat muslim India yang terkenal nasionalis dan tidak takut mati.
Ahmad meninggal tahun 1908 pada usia 73 tahun. Semenjak itu, kepemimpinan Ahmadiyah dilakukan oleh seorang khalifah. Sudah lima khalifah yang bergantian memimpin. Saat ini khalifah Ahmadiyah adalah Mirza Masroor Ahmad yang tinggal di Inggris.
Menyebar ke Seluruh Dunia
Pada tahun 1914, Ahmadiyah terbelah menjadi dua aliran, Qadian dan Lahore. Ahmadiyah Qadian berkeyakinan bahwa Ahmad adalah nabi dan Al-Masih, serta semua orang yang tidak mengakuinya sebagai nabi adalah kafir dan yang mengakuinya wajib dibaiat untuk masuk Ahmadiyah.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore menentang hal ini. Mereka tidak mengakui Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya pembaharu. Nabi terakhir tetap Muhammad SAW.
Ahmadiyah mulai mengirimkan misionarisnya keseluruh dunia pada awal tahun 1920. Mirza Masroor Ahmad mengklaim jemaah Ahmadiyah kini tersebar di lebih dari 190 negara di seluruh dunia, dengan total jemaah sekitar 200 juta orang.
Populasi terbesar, sekitar empat juta orang, diperkirakan berada di Pakistan. Sedangkan di India mencapai sekitar satu juta orang. Di negara-negara lain jumlahnya lebih kecil. Di Indonesia misalnya, hanya sekitar 200 ribu orang, di Bangladesh (100 ribu), Inggris (30 ribu), Jerman (30 ribu), Kanada (25 ribu), Amerika Serikat (15 ribu). Di Israel, Ahmadiyah mencapai jumlah 2000 orang.
India
India, sebagai negara kelahiran Ahmadiyah, merupakan surga bagi sekitar sejuta umat Ahmadiyah. Pemerintahan India menganggap Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam.
Aliran ini juga didukung oleh keputusan pengadilan yang membuatnya kuat di mata hukum. Kegiatan Ahmadiyah tidak dibatasi di India, mereka bebas berkembang dan menyebarkan ajarannya.
Namun, gelombang penentangan Ahmadiyah juga terjadi di India, terutama dari kalangan Muslim Sunni. Kelompok ekstrimis militan Muslim India bahkan menjadikan jemaat Ahmadiyah sebagai sasaran serang utama mereka.
Pakistan
Negara tetangga India, Pakistan, dengan empat juta orang Ahmadiyahnya, mungkin merupakan negara terketat dalam mengekang Ahmadiyah. Berdasarkan konstitusi tahun 1974, pasal 298 bernama “Undang-undang anti-Ahmadiyah”, aliran ini dinyatakan oleh pemerintah Pakistan telah keluar dari Islam.
Dengan UU ini, Pakistan adalah negara satu-satunya di dunia yang pemerintahnya dengan tegas menyatakan Ahmadiyah murtad. Pakistan tidak main-main, semua orang yang mengaku Ahmadiyah dilarang untuk menggunakan atribut Islam dalam keseharian mereka.
Ahmadiyah Pakistan dilarang menyebut diri mereka Muslim, solat menggunakan cara Islam, mengucapkan salam dengan Assalamualaikum, atau menamai anak mereka dengan nama depan “Muhammad”.
Jika melanggar, mereka akan mendapat dakwaan penistaan agama Islam dengan hukuman 10 tahun penjara atau maksimal hukuman mati. Pada tahun 2008, ada 28 orang yang didakwa kriminal hanya karena mereka menganut Ahmadiyah.
Malaysia
Kondisi tak jauh berbeda juga dialami jemaah Ahmadiyah di Malaysia. Pada April 2009, Dewan Agama Islam negara bagian Selangor mengeluarkan pernyataan yang melarang semua umat Ahmadiyah menggunakan mesjid raya.
Mereka bahkan dilarang menginjakkan kaki di mesjid-mesjid umat Islam untuk shalat Jumat. Bagi yang melanggar, akan dikenakan hukuman penjara hingga satu tahun dan denda RM3000 atau sekitar Rp. 8,8 juta.
Di halaman beberapa mesjid di Malaysia terpampang plang besar bertuliskan “Qadiani Bukan Agama Islam.” Sebelumnya, pada Desember 2008, wilayah Selayang di Selangor menuntut Ahmadiyah untuk mengganti kalimat syahadat mereka karena dinilai tidak relevan dengan ajarannya.
Inggris
Di banding negara-negara lain, Inggris adalah salah satu negara yang mendukung kebebasan beragama bagi jemaah Ahmadiyah yang berjumlah sekitar 30.000.
Sejak tahun 80an, Morden, London selatan, merupakan markas besar jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia, setelah aliran ini dilarang di Pakistan. Bahkan, jemaah Ahmadiyah pada kepemimpinan Khalifah keempat, Mirza Tahrir Ahmad, membangun stasiun televisi yang khusus menayangkan ceramah-ceramah dan pengajaran Ahmadiyah.
Stasiun televisi yang bernama Muslim Television Ahmadiyya (MTA) memiliki program berbahasa Inggris, Arab, Bengali, Indonesia, Prancis, Swahili dan Hausa. Namun, bukan berarti Ahmadiyah tidak memiliki musuh di negara ini.
Perlawanan Muslim Inggris terhadap Ahmadiyah sering terjadi, tahun lalu sebuah kelompok militan secara terang-terangan menyerukan umat Muslim membunuh para Ahmadiyah di Inggris.
Indonesia
Menurut situs resmi Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad lahir tanggal 13 Februari 1835 di Qadian yang terletak 57 km sebelah timur kota Lahore, Pakistan, dan 24km kota Amritsa, Punjab, India.
Mirza Ghulam Ahmad, yang lebih suka dipanggil Ahmad untuk mempersingkat namanya, mengenyam pendidikan dasar di kampungnya. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan di kota Batala.
Pekerjaan pertamanya adalah sebagai pegawai di pemerintah Inggris di Sialkot pada 1864. Dua tahun kemudian dia berhenti bekerja dan mulai mengkaji kitab-kitab. Ahmad kemudian mulai menulis beberapa buku yang berisikan propaganda yang menonjolkan karakter dirinya,.
Tidak lama kemudian, ia mengaku telah menerima wahyu dari Allah. Dalam Islam hanya nabi dan rasul saja yang dapat menerima wahyu. Inilah yang menjadikan dia dianggap sebagai nabi oleh jemaah Ahmadiyah. Selain itu, dia mengaku telah diangkat Tuhan sebagai Al-Masih atau sang penyelamat.
Dalam perjalanannya Ahmadiyah juga disebut-sebut merupakan alat pemerintah Inggris dalam menghadapi arus serangan para pejuang Islam dengan semangat jihadnya di India di awal abad ke 19. Kala itu, yang menjadi penghalang utama kolonial Inggris adalah umat muslim India yang terkenal nasionalis dan tidak takut mati.
Ahmad meninggal tahun 1908 pada usia 73 tahun. Semenjak itu, kepemimpinan Ahmadiyah dilakukan oleh seorang khalifah. Sudah lima khalifah yang bergantian memimpin. Saat ini khalifah Ahmadiyah adalah Mirza Masroor Ahmad yang tinggal di Inggris.
Menyebar ke Seluruh Dunia
Pada tahun 1914, Ahmadiyah terbelah menjadi dua aliran, Qadian dan Lahore. Ahmadiyah Qadian berkeyakinan bahwa Ahmad adalah nabi dan Al-Masih, serta semua orang yang tidak mengakuinya sebagai nabi adalah kafir dan yang mengakuinya wajib dibaiat untuk masuk Ahmadiyah.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore menentang hal ini. Mereka tidak mengakui Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya pembaharu. Nabi terakhir tetap Muhammad SAW.
Ahmadiyah mulai mengirimkan misionarisnya keseluruh dunia pada awal tahun 1920. Mirza Masroor Ahmad mengklaim jemaah Ahmadiyah kini tersebar di lebih dari 190 negara di seluruh dunia, dengan total jemaah sekitar 200 juta orang.
Populasi terbesar, sekitar empat juta orang, diperkirakan berada di Pakistan. Sedangkan di India mencapai sekitar satu juta orang. Di negara-negara lain jumlahnya lebih kecil. Di Indonesia misalnya, hanya sekitar 200 ribu orang, di Bangladesh (100 ribu), Inggris (30 ribu), Jerman (30 ribu), Kanada (25 ribu), Amerika Serikat (15 ribu). Di Israel, Ahmadiyah mencapai jumlah 2000 orang.
India
India, sebagai negara kelahiran Ahmadiyah, merupakan surga bagi sekitar sejuta umat Ahmadiyah. Pemerintahan India menganggap Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam.
Aliran ini juga didukung oleh keputusan pengadilan yang membuatnya kuat di mata hukum. Kegiatan Ahmadiyah tidak dibatasi di India, mereka bebas berkembang dan menyebarkan ajarannya.
Namun, gelombang penentangan Ahmadiyah juga terjadi di India, terutama dari kalangan Muslim Sunni. Kelompok ekstrimis militan Muslim India bahkan menjadikan jemaat Ahmadiyah sebagai sasaran serang utama mereka.
Pakistan
Negara tetangga India, Pakistan, dengan empat juta orang Ahmadiyahnya, mungkin merupakan negara terketat dalam mengekang Ahmadiyah. Berdasarkan konstitusi tahun 1974, pasal 298 bernama “Undang-undang anti-Ahmadiyah”, aliran ini dinyatakan oleh pemerintah Pakistan telah keluar dari Islam.
Dengan UU ini, Pakistan adalah negara satu-satunya di dunia yang pemerintahnya dengan tegas menyatakan Ahmadiyah murtad. Pakistan tidak main-main, semua orang yang mengaku Ahmadiyah dilarang untuk menggunakan atribut Islam dalam keseharian mereka.
Ahmadiyah Pakistan dilarang menyebut diri mereka Muslim, solat menggunakan cara Islam, mengucapkan salam dengan Assalamualaikum, atau menamai anak mereka dengan nama depan “Muhammad”.
Jika melanggar, mereka akan mendapat dakwaan penistaan agama Islam dengan hukuman 10 tahun penjara atau maksimal hukuman mati. Pada tahun 2008, ada 28 orang yang didakwa kriminal hanya karena mereka menganut Ahmadiyah.
Malaysia
Kondisi tak jauh berbeda juga dialami jemaah Ahmadiyah di Malaysia. Pada April 2009, Dewan Agama Islam negara bagian Selangor mengeluarkan pernyataan yang melarang semua umat Ahmadiyah menggunakan mesjid raya.
Mereka bahkan dilarang menginjakkan kaki di mesjid-mesjid umat Islam untuk shalat Jumat. Bagi yang melanggar, akan dikenakan hukuman penjara hingga satu tahun dan denda RM3000 atau sekitar Rp. 8,8 juta.
Di halaman beberapa mesjid di Malaysia terpampang plang besar bertuliskan “Qadiani Bukan Agama Islam.” Sebelumnya, pada Desember 2008, wilayah Selayang di Selangor menuntut Ahmadiyah untuk mengganti kalimat syahadat mereka karena dinilai tidak relevan dengan ajarannya.
Inggris
Di banding negara-negara lain, Inggris adalah salah satu negara yang mendukung kebebasan beragama bagi jemaah Ahmadiyah yang berjumlah sekitar 30.000.
Sejak tahun 80an, Morden, London selatan, merupakan markas besar jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia, setelah aliran ini dilarang di Pakistan. Bahkan, jemaah Ahmadiyah pada kepemimpinan Khalifah keempat, Mirza Tahrir Ahmad, membangun stasiun televisi yang khusus menayangkan ceramah-ceramah dan pengajaran Ahmadiyah.
Stasiun televisi yang bernama Muslim Television Ahmadiyya (MTA) memiliki program berbahasa Inggris, Arab, Bengali, Indonesia, Prancis, Swahili dan Hausa. Namun, bukan berarti Ahmadiyah tidak memiliki musuh di negara ini.
Perlawanan Muslim Inggris terhadap Ahmadiyah sering terjadi, tahun lalu sebuah kelompok militan secara terang-terangan menyerukan umat Muslim membunuh para Ahmadiyah di Inggris.
Indonesia
Bagaimana di Indonesia? Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924. Kala itu dua wakil Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad datang ke Yogyakarta untuk menghadiri kongres ke-13 Muhammadiyah.
Mereka dipersilakan bicara dan banyak yang tertarik kala itu. Barulah pada tahun 1925 perdebatan kesesatan Ahmadiyah muncul ke permukaan saat seorang ulama dari Sumatera Barat mendebat ajaran Mirza Ghulam Ahmad.
Beberapa puluh tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang mengatakan bahwa Ahmadiyah telah keluar dari Islam atau murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah nabi Muhammad wafat.
MUI juga menyerukan bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah agar bertobat. Selain itu, MUI mengatakan pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia.
Beberapa lembaga ulama di beberapa negara juga mengeluarkan fatwa serupa. Diantaranya adalah Liga Dunia Muslim, Dewan Fatwa Arab Saudi, Akademi Fiqih Islam Mesir, Dewan Fiqih Islam Afrika Selatan, Fatwa Mufti Amerika Serikat Dr. Muzammil Siddiqi, Dewan Syariah Inggris, dan banyak lagi. Fatwa ini sepakat untuk mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Mereka dipersilakan bicara dan banyak yang tertarik kala itu. Barulah pada tahun 1925 perdebatan kesesatan Ahmadiyah muncul ke permukaan saat seorang ulama dari Sumatera Barat mendebat ajaran Mirza Ghulam Ahmad.
Beberapa puluh tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang mengatakan bahwa Ahmadiyah telah keluar dari Islam atau murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah nabi Muhammad wafat.
MUI juga menyerukan bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah agar bertobat. Selain itu, MUI mengatakan pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia.
Beberapa lembaga ulama di beberapa negara juga mengeluarkan fatwa serupa. Diantaranya adalah Liga Dunia Muslim, Dewan Fatwa Arab Saudi, Akademi Fiqih Islam Mesir, Dewan Fiqih Islam Afrika Selatan, Fatwa Mufti Amerika Serikat Dr. Muzammil Siddiqi, Dewan Syariah Inggris, dan banyak lagi. Fatwa ini sepakat untuk mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam karena bertentangan dengan ajaran Islam.
No comments:
Post a Comment