Monday, 07 February 2011 21:43
* gambar oleh Tita Larasati
Serangan kepada warga Ahmadiyah, Minggu (6/2),di Desa Cikeusik, Pandeglang, Banten, adalah kabar buruk bagi demokrasi, prinsip pluralisme dan cita-cita negara kebangsaan kita. Tewasnya tiga orang warga Ahmadiyah di tangan warga penyerang adalah peristiwa menyedihkan karena ini bukan untuk pertama kalinya terjadi.
Kapolri Timur Pradopo menyatakan bahwa aksi kekerasan itu tidak diperkirakan sebelumnya. Agaknya, yang paling bisa diperkirakan publik, mengingat track-record-nya, SBY sekadar menyatakan keprihatinan atas peristiwa itu tanpa indikasi ketegasan untuk tidak memberi toleransi pada setiap aksi kekerasan, oleh siapapun kepada kelompok manapun.
Membaca dan mendengar dua pernyataan itu pertama kali, penulis, dan mungkin banyak orang lain, frustasi karena menemukan bagaimana negara absen ketika kekerasan terhadap sekelompok kecil warga negaranya dilakukan oleh kelompok lain warga negara yang notabene adalah mayoritas. Tapi, dalam hubungannya dengan kekejian terhadap warga Ahmadiyah tadi, benarkah (hanya) negara (state) yang gagal? Mengapa negara gagal? Bagaimana dengan masyarakat (society)?
Mereka yang menganggap negara telah gagal melindungi sekelompok warganya adalah mereka yang menyandarkan diri pada definisi klasik mengenai negara yang menekankan prinsip-prinsip negara ideal ala Max Weber. Weber mengandaikan negara ideal yang memonopoli dan mensentralisasi penggunaan kekerasan legitimate force di dalam sebuah wilayah jurisdiksi. Maka, negara yang tidak mampu melakukan itu dan tidak mampu mengontrol penggunaan kekerasan oleh aktor non-negara di dalam wilayah jurisdiksinya bisa disebut sebagai negara gagal.
Sesungguhnya, pandangan negara ideal hanya mengandung setengah kebenaran. Karena, tipe negara ideal jarang ditemukan, apalagi di negara berkembang yang tengah meniti jalan menuju demokrasi.
Joel Migdal melakukan studi tentang negara dan menuangkannya dalam State in Society: Studying How States and Societies Transform and Constitute One Another(2001). Berbeda dari Weber yang memandang negara sebagai sebuah unit yang solid, Migdal menawarkan pandangan mengenai state sebagai organisasi sosial yang memiliki berbagai komponen yang tidak solid, selalu berproses, dan berjuang untuk mencapai dominasi dan kontrol serta melakukan perubahan (domination dan change).
Dalam proses ini, negara, dalam berbagai level, melalui apparatus-nya berinteraksi dengan berbagai kekuatan sosial (social forces) yang juga berkompetisi untuk mencapai dominasi terhadap sumber-sumber daya dan kontrol terhadap kelompok masyarakat lain. Dengan kata lain, selalu terjadi interplay antara negara dan masyarakat. Migdal sejatinya memberi peringatan pada kita untuk berhati-hati pada jebakan pandangan top-down mengenai negara (pandangan Weberian bahwa negara mengontrol masyarakat) yang menihilkan peran masyarakat dalam mempengaruhi dan menentukan hal-hal apa yang bisa dilakukan, atau tidak bisa dilakukan, oleh negara.
Bila pendekatan ala Migdal ini kita gunakan untuk memahami gambar besar dari peristiwa di Cikeusik, sebuah pertanyaan penting perlu dicarikan jawabannya: apa yang menyebabkan kegagalan Presiden SBY dan aparatus negara (kepolisian) dalam mengantisipasi kekerasan tragis yang menimpa anggota Ahmadiyah?
Studi Jack Goldstone bertajuk Revolution and Rebellion in the Early Modern World (1991) menunjukkan tiga hal sebagai penyebab keretakan negara yang menghilangkan fungsi-fungsinya: krisis finansial, keretakan antar elit yang dalam, dan potensi kelompok masyarakat untuk mobilisasi. Indonesia hari ini berada dalam situasi finansial yang stabil. Tentu terlalu jauh untuk menyebut bahwa kasus Ahmadiyah mengindikasikan retaknya negara Indonesia. Namun, tidak terlalu berlebihan untuk menyebut bahwa elit politik tidak pernah berhasil menampakkan suara seiya sekata tentang bagaimana mengatasi persoalan Ahmadiyah dalam koridor prinsip-prinsip negara kebangsaan yang mengkedepankan pluralisme. Lebih jauh, sebagian elit politik memberi sinyal blaming the victims, mempersalahkan pertama-tama mengapa harus ada (pengikut) Ahmadiyah, seolah melupakan kenyataan bahwa pengikut Ahmadiyah telah puluhan tahun hidup di bumi Nusantara.
Sinyal dari elit ini boleh jadi menyebabkan beberapa kelompok masyarakat anti keragaman memobilisasi diri dan melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok masyarakat lainnya.
Bila kita menerima pandangan Migdal tentang negara yang sejatinya tidak solid, fragmented, dan, dalam konteks Indonesia hari ini, terdesentralisasi, maka peristiwa di Cikeusik juga menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya terletak pada pemerintah pusat yang lamban. Pemerintah daerah (Banten) juga gagal menjalankan tugas menjaga prinsip-prinsip keberagaman dan demokrasi nirkekerasan pada masyarakatnya. Demokrasi bukan sekadar kebebasan mencoblos di hari pemilihan umum, tapi ia mensyaratkan prinsip-prinsip demokratis, termasuk di dalamnya rule of law, perlindungan HAM dan prinsip-prinsip kebebasan, yang harus diperjuangkan dan dilindungi.
Blaming the victims sejatinya tidak hanya dilakukan oleh elite. Masyarakat mungkin diam-diam melakukannya. Bila ini yang terjadi, sebuah kebenaran pahit harus dikatakan: prinsip keberagaman tidak mengakar dan tidak diyakini sepenuhnya di tengah masyarakat kita. Dengan kata lain, kita (masyarakat) gagal memberi sinyal dan tekanan yang tegas kepada negara dan aparatus-nya bahwa kita tidak bisa mentolerir tindakan kekerasan atas nama apapun di negara Indonesia yang demokratis.
Mengikuti logika Migdal tentang interplay antara negara dan masyarakat tadi, tidaklah mengherankan bila negara (yang dipersonifikasi Presiden SBY sebagai Kepala Negara dan Kapolri sebagai pemegang komando penggunaan alat kekerasan negara yang legitimate untuk menjaga order tidak mampu melindungi kelompok minoritas dari tindakan kekerasan yang mengatasnamakan mayoritas.
Hubungan antara negara dan masyarakat adalah hubungan aksi-reaksi. Hal yang berhasil, atau gagal, dilakukan oleh negara adalah cerminan dari hal yang berhasil, atau gagal, dilakukan masyarakat.
Displaying 1-20 of 22 posts.
Hikmat Darmawan07 February
Hm. Saya juga sebetulnya sedang jauh di negeri seberang. :) Saya selalu mendukung kedalaman, tapi dalam saat ini, wa bil khusus dalam tragedi ini, kita harus bekerja lebih keras meluruhkan keberjarakan kita --ruang fisik tak lagi relevan, yang utama adalah bagaimana sebanyak mungkin orang bisa bergabung dalam upaya perbaikan. Saya mencoba melakukannya lewat FB, twitter, tulisan di media, semua pun dari jarak fisik yang sangat jauh. Yang utama, saat ini, adalah sikap kita --sengaja atau tak, sadar atau tak-- apakah menjauh atau masuk ke dalam luka bangsa kita?
Philips Vermonte07 February
Hikmat Darmawan, kenapa bung berpikir bahwa tulisan ini masuk lebih dalam kepada luka bangsa kita? Saya tidak bisa memahami, yang bung tidak setujui apa dari tulisan ini? Argumennya? Style-nya? Diksi-nya? Kalau bung tidak setuju argumennya,tentu kita bisa diskusi (karena sama-sama jauh, menulis/diskusi online adalah satu-satunya cara kita berdua untuk mengatakan/berbuat sesuatu soal ini, sepertinya bung setuju tentang ini karena Anda menyebut bung telah menulis lewat FB, twitter, media massa dll). Kalau bung tidak setuju style-nya atau diksi-nya, itu hak bung Hikmat yang amat saya hargai.
Yang jelas, untuk persoalan pluralisme, yang dibutuhkan sekarang adalah yang silent majority perlu bicara sekarang, menentang kekerasan (bukan cuma NGO, aktifis HAM, yang jumlahnya dibanding dengan lautan silent majority tidak banyak). Pilihan media, style, diksi, silahkan dipilih masing-masing.
Yang jelas, untuk persoalan pluralisme, yang dibutuhkan sekarang adalah yang silent majority perlu bicara sekarang, menentang kekerasan (bukan cuma NGO, aktifis HAM, yang jumlahnya dibanding dengan lautan silent majority tidak banyak). Pilihan media, style, diksi, silahkan dipilih masing-masing.
Hikmat Darmawan00:15
hm, kalimat pertama tanggapan Anda di atas agak tak saya pahami. Tapi, berhubung terkait dengan komentar saya, baik saya tegaskan: saya menyerukan agar para cendekiawan Indonesia lebih keras berupaya meluruhkan jarak diri dan luka bangsa. Jangan sampai, secara sadar atau tidak, malah menjauh dari luka bangsa. Terutama di saat-saat sekarang. Saya menyerukan agar para cendekiawan berusaha masuk lebih dalam ke luka2 bangsa kita saat ini --tak usah terburu-buru menjadi "klinis" atau menegas-negaskan "jarak akademis" dulu --biarlah pendalaman-pendalaman akademis semacam itu pada waktunya nanti, dalam medium yg lebih tepat juga (buku, misalnya).
Salah satu masalah yang sering terjadi, dan kadang menjadi "penyakit" dalam tulisan2 para cendekiawan kita di ruang publik bernama media massa (termasuk media online ini) adalah bahasa dan ketakmampuan mendekatkan diri pada publik pembaca kebanyakan. Jargon2 (istilah2 teknis yg hanya dipahami kelompok profesi tertentu) adalah salah satu hambatan komunikasi yang umum. Sama saja -tentu Anda punya pengalaman meneliti di lapangan- kalau kita melakukan wawancara kepada subjek di wilayah kumuh, misalnya... kita harus menghapus jarak kita dengan narasumber sebisa mungkin... dan kadang, hal kecil seperti pulpen di saku bisa menerbitkan jarak itu dan membuat sang narasumber enggan bicara dengan kita sebagai pewawancara.
Hanya sehari setelah peristiwa pembantaian, tulisan ini muncul dengan teori-teori negara dan analisis-analisis (semi)akademis, di media online yg dibaca tidak oleh orang-orang yg akrab dengan bacaan akademis. Saya hanya menyarankan bahwa ada cara lain, di saat luka ini masih berdarah, untuk mendekati persoalan ini. Tempatkan saja dalam waktu yang tepat, analisis-analisis klinis macam begini. Kenapa harus pakai "Migdal", "negara ideal ala Max Weber", "interplay", dan semacamnya di saat masih ada dua orang jemaah Ahmadiyah yang hilang dan tiga mayat itu masih diotopsi. Memang, analisis dan kecerdasan serta ilmu Anda dibutuhkan bangsa ini, tapi jika kita memilih medium yg bersifat massal seperti ini, ada baiknya bicara dalam langgam bahasa dan sikap kecendekiaan yang bisa dipahami sebanyak mungkin orang.
Seperti Umberto Eco saja: dia mampu menulis risalah akademis/filsafat nan rumit, tapi dia tak pernah keberatan menulis untuk koran lokal di kota tempatnya tinggal --semacam Pos Kota lah, atau Warta Jakarta, dan untuk masing-masing ia akan menggunakan gaya bahasa dan pendekatan yang beda. Untuk koran semacam Pos Kota itu, Eco akan menulis sangat ringan (dan dia memang penulis yang bisa sangat lucu), dalam bahasa sehari-hari, tak risau apakah tulisannya "cukup akademis" atau tidak, tanpa mengurangi ketajaman pesannya.
Anda bicara tentang perlunya membangkitkan "silent majority" menyadari kegagalan dalam soal kekerasan ini, tapi sebetulnya Anda sedang bicara ini pada siapa dengan segala Weber dan Migdal di atas?
Itu saja.
Salah satu masalah yang sering terjadi, dan kadang menjadi "penyakit" dalam tulisan2 para cendekiawan kita di ruang publik bernama media massa (termasuk media online ini) adalah bahasa dan ketakmampuan mendekatkan diri pada publik pembaca kebanyakan. Jargon2 (istilah2 teknis yg hanya dipahami kelompok profesi tertentu) adalah salah satu hambatan komunikasi yang umum. Sama saja -tentu Anda punya pengalaman meneliti di lapangan- kalau kita melakukan wawancara kepada subjek di wilayah kumuh, misalnya... kita harus menghapus jarak kita dengan narasumber sebisa mungkin... dan kadang, hal kecil seperti pulpen di saku bisa menerbitkan jarak itu dan membuat sang narasumber enggan bicara dengan kita sebagai pewawancara.
Hanya sehari setelah peristiwa pembantaian, tulisan ini muncul dengan teori-teori negara dan analisis-analisis (semi)akademis, di media online yg dibaca tidak oleh orang-orang yg akrab dengan bacaan akademis. Saya hanya menyarankan bahwa ada cara lain, di saat luka ini masih berdarah, untuk mendekati persoalan ini. Tempatkan saja dalam waktu yang tepat, analisis-analisis klinis macam begini. Kenapa harus pakai "Migdal", "negara ideal ala Max Weber", "interplay", dan semacamnya di saat masih ada dua orang jemaah Ahmadiyah yang hilang dan tiga mayat itu masih diotopsi. Memang, analisis dan kecerdasan serta ilmu Anda dibutuhkan bangsa ini, tapi jika kita memilih medium yg bersifat massal seperti ini, ada baiknya bicara dalam langgam bahasa dan sikap kecendekiaan yang bisa dipahami sebanyak mungkin orang.
Seperti Umberto Eco saja: dia mampu menulis risalah akademis/filsafat nan rumit, tapi dia tak pernah keberatan menulis untuk koran lokal di kota tempatnya tinggal --semacam Pos Kota lah, atau Warta Jakarta, dan untuk masing-masing ia akan menggunakan gaya bahasa dan pendekatan yang beda. Untuk koran semacam Pos Kota itu, Eco akan menulis sangat ringan (dan dia memang penulis yang bisa sangat lucu), dalam bahasa sehari-hari, tak risau apakah tulisannya "cukup akademis" atau tidak, tanpa mengurangi ketajaman pesannya.
Anda bicara tentang perlunya membangkitkan "silent majority" menyadari kegagalan dalam soal kekerasan ini, tapi sebetulnya Anda sedang bicara ini pada siapa dengan segala Weber dan Migdal di atas?
Itu saja.
Philips Vermonte01:04
Bung Hikmat, terimakasih. Saya rasa akan naif menganggap bahwa seorang penulis bisa menjangkau semua jenis pembaca yang punya preferensi beragam. Apalagi media online dengan ukuran kecil seperti Jakartabeat.net ini. Ada macam-macam outlet untuk setiap penulis dan pastinya pembaca punya preferensi media nya masing-masing. Dan juga sungguh naif mengira bahwa saya sendirian ingin membangkitkan silent majority. Poin saya adalah ini: mari tulis ramai-ramai, sasar pembaca masing-masing. Resultante nya adalah ide akan mencapai sebanyak mungkin orang. Mungkin tercapai, mungkin juga tidak. Tetapi, itu yang paling minimal bisa saya lakukan.
Saya hargai seruan Anda pada cendekiawan, tapi saya bukan cendekiawan. Saya hanya senang menulis. Dari tanggapan panjang Anda di atas saya menyimpulkan bahwa yang Anda permasalahkan adalah style dan diksi. Sama sekali bukan argumennya. Karena itu, diskusi ini mungkin tidak akan ada gunanya dilanjutkan.
Karena style dan diksi, adalah preferensi masing-masing penulis, dan juga pembaca. Pluralisme buat saya juga berarti ini: ada tulisan klinis, tulisan akademis, tulisan ringan, tulisan 'berat', di Pos Kota, di Jakartabeat.net, di blog Anda, di blog saya, di blog si anu, ada pembaca di Jakartabeat.net yang setuju, ada pembaca di Jakartabeat.net yang tidak setuju, ada pembaca Kompas, ada pembaca Weber, ada pembaca Migdal, ada pembaca Umberto Eco, ada pendukung Abu Rizal Bakrie, ada pendukung SBY, ada pengikut Ahmadiyah, ada penyembah pohon.
Sepanjang kita berdua setuju bahwa kekerasan kemarin tidak bisa ditolerir, sudah cukup buat saya.
Saya hargai seruan Anda pada cendekiawan, tapi saya bukan cendekiawan. Saya hanya senang menulis. Dari tanggapan panjang Anda di atas saya menyimpulkan bahwa yang Anda permasalahkan adalah style dan diksi. Sama sekali bukan argumennya. Karena itu, diskusi ini mungkin tidak akan ada gunanya dilanjutkan.
Karena style dan diksi, adalah preferensi masing-masing penulis, dan juga pembaca. Pluralisme buat saya juga berarti ini: ada tulisan klinis, tulisan akademis, tulisan ringan, tulisan 'berat', di Pos Kota, di Jakartabeat.net, di blog Anda, di blog saya, di blog si anu, ada pembaca di Jakartabeat.net yang setuju, ada pembaca di Jakartabeat.net yang tidak setuju, ada pembaca Kompas, ada pembaca Weber, ada pembaca Migdal, ada pembaca Umberto Eco, ada pendukung Abu Rizal Bakrie, ada pendukung SBY, ada pengikut Ahmadiyah, ada penyembah pohon.
Sepanjang kita berdua setuju bahwa kekerasan kemarin tidak bisa ditolerir, sudah cukup buat saya.
Armored Fate01:21
Saya pikir yang dilakukan bung PJ sah-sah saja, toh medianya juga media semi-hipster begini, gak ada salahnya bikin sedikit perenungan. Argumen bung Hikmat menjangkau orang kebanyakan itu logika massal yang kadang sudah agak lapuk digembar-gemborkan, karena toh yang diluar sana sekarang gak akan baca jakartabeat malam ini. beberapa kawan yang diluar sana berkonsolidasi di lapangan paling banter make twitter, dan sisanya pake cara old school: spanduk dan selebaran. itu kalo mau bahas 'menjangkau kebanyakan' karena yang saya tau di lapangan sana mereka yang harus dijangkau kebanyakan gak punya koneksi internet. Ini saya bicara bandung, entah pojok planet laen..., piss. lanjutkan bung PJ. maaf menggangu.
Chairil Anwar Korompot01:54
Selain masalah diksi, saya pikir Pak Hikmat mengkhawatirkan audiens (pembaca). Sy pikir di antara pembaca tulisan medium online seperti jakartabeat.net ini ada orang2 yg mampu (bukan hanya memiliki preferensi) memahami tulisan2 yg memaparkan"abstraksi" suatu persoalan berlandaskan literatur seperti yg disajikan Bung Philips. Bung Philips sudah melakukan bagiannya bagi audiens tersebut. Sekarang, bagaimana dgn pembaca yg kemampuan atau preferensinya berbeda? Mungkin mereka menunggu-nunggu tulisan Pak Hikmat....
Chairil Anwar Korompot02:03
Maksud saya, mungkin mereka menunggu-nunggu tulisan Pak Hikmat di jakartabeat.net ini. Akan menarik membaca tulisan dgn style berbeda ttg tragedi Ahmadiyah ini dari penulis selain Bung Philips. Maaf kalau sudah ada dan saya belum membacanya. Saya baru kali ini mengakses medium ini.
Hikmat Darmawan02:07
Philips: Hm. Dengan kata lain, kalau saya menyoal sikap kecendekiaan dalam pilihan berbahasa dan cara penulisan, Anda menganggap kita memasuki diskusi yang mungkin tak akan berguna. Ah, ya, walau pun Anda dan Mbak Armored Fate ini sangat berpikiran maju (dari kosa kata dan gaya penulisan, tampak memang Anda berdua memiliki pendidikan tinggi), tapi saya merasa perlu menghimbau untuk tak terjebak pada label-label. "Naif" (dua kali), "lapuk", adalah label-label yang mengandaikan penilaian tentang lawan bicara. Sebaiknya, kita membiasakan untuk tidak mudah melabel. (Ah, jangan anggap ini argumen --tidak setiap yang dilontarkan lawan bicara adalah "argumen", yang kemudian dinilai mutu "logika"-nya.)
Tapi, ada satu hal dalam soal label ini yang perlu saya komentari. Penampikan Anda, Philips, bahwa Anda "bukan cendekiawan", buat saya, terasa cari aman. Anda menegaskan bahwa Anda memilih menulis seperti di atas karena sedang menuntut ilmu di negeri jauh. Itu posisi cendekia, kok. Lalu Anda menegaskan diri sebagai "senang menulis". Itu juga posisi cendekia. Apalagi kalau melihat tulisan Anda di atas, dengan kutipan sekilas teori-teori tersebut. Itu, lagi-lagi, tanda-tanda kecendekiaan. Tapi, ketika saya menghimbau agar Anda sebagai cendekiawan lebih "menurunkan" teori-teori itu, Anda merasa itu tak perlu karena Anda toh "bukan cendekiawan". Jadi, Anda ingin tak digugat pengutipan teori para ahli itu karena Anda "bukan cendekiawan"?
Soal merenung, mbak Armored Fate bilang "gak ada salahnya bikin sedikit perenungan" dengan merujuk model tulisan di atas. Lalu, maksudnya, yang saya lontarkan bukan renungan kah? Hm, berarti saya yang gagal mengomunikasikan pesan. :) Saya justru sedang melontarkan renungan tentang posisi cendekiawan publik, dan juga posisi kelas menengah yang diwakili oleh majalah yang mbak Armored Fate sebut sebagai "semi-hipster" ini: tidakkah kita perlu lebih meluruhkan jarak kita --atau, jelasnya: tidakkah kita perlu berupaya lebih keras menepis elitisme di dalam kiprah gagasan-gagasan kita-- dalam keadaan negeri yang sedang genting ini? Ini "argumen agak lapuk digembar-gemborkan"? Oke, tak apalah. Saya hanya hendak berbagi keprihatinan atas kegagalan umum cendekiawan publik dan kelas menengah di Indonesia dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan yg kongkret macam kasus Cikeusik ini. Dan saya melontar ini justru karena menaruh harap pada orang-orang cerdas, dan senyatanya berpendidikan tinggi, macam kalian di media yg dipromosikan Prima Rusdi pada saya sebagai (kira-kira) "medianya anak-anak yg oke banget!".
Saya hanya melontarkan komentar yang rupanya "naif" dan "lapuk" itu karena sebuah harap: masih bisa membangun akal sehat di negeri kita, apabila orang-orang istimewa macam kalian dan media ini lebih "membumi" lagi (saya baca beberapa artikel sih, memang membumi) --ah, saya baru sadar rupanya ini wilayah semi-eksklusif bermerk "media semi-hipster"...:)
Oh, sekadar melengkapi --saya tahu, memang ini bisa jadi tak berguna-- saya hanya mau bilang: saya tak gebyah uyah menampik "renungan" berlumur teori-teori di atas. Yah, di Rumahfilm.org, atau media lain, saya juga cukup karib dengan tulisan berteori seperti di atas. Tapi, saya merasa, untuk kasus Cikeusik ini, kita tak bisa terlalu "klinis", berjarak dari darah yang telah tumpah itu. Itu pendapat saya. Entah berguna atau tidak.
(ah, ya --kenapakah wacana harus punya nilai-guna? dan, oh, ya... bukankah sesekali tak apa kita memasuki meta-komunikasi, membicarakan pembicaraan itu sendiri? oh, saya lupa: ini hanya himbauan, dan mungkin tak punya nilai "diskursif". Ergo: tidak berguna. Ergo: tak perlu dilanjutkan. Ergo: tak perlu ditanggapi --dan saya mah, ya nggak apa-apa juga sih, kalau begitu kesimpulannya. hehehe. )
Tapi, ada satu hal dalam soal label ini yang perlu saya komentari. Penampikan Anda, Philips, bahwa Anda "bukan cendekiawan", buat saya, terasa cari aman. Anda menegaskan bahwa Anda memilih menulis seperti di atas karena sedang menuntut ilmu di negeri jauh. Itu posisi cendekia, kok. Lalu Anda menegaskan diri sebagai "senang menulis". Itu juga posisi cendekia. Apalagi kalau melihat tulisan Anda di atas, dengan kutipan sekilas teori-teori tersebut. Itu, lagi-lagi, tanda-tanda kecendekiaan. Tapi, ketika saya menghimbau agar Anda sebagai cendekiawan lebih "menurunkan" teori-teori itu, Anda merasa itu tak perlu karena Anda toh "bukan cendekiawan". Jadi, Anda ingin tak digugat pengutipan teori para ahli itu karena Anda "bukan cendekiawan"?
Soal merenung, mbak Armored Fate bilang "gak ada salahnya bikin sedikit perenungan" dengan merujuk model tulisan di atas. Lalu, maksudnya, yang saya lontarkan bukan renungan kah? Hm, berarti saya yang gagal mengomunikasikan pesan. :) Saya justru sedang melontarkan renungan tentang posisi cendekiawan publik, dan juga posisi kelas menengah yang diwakili oleh majalah yang mbak Armored Fate sebut sebagai "semi-hipster" ini: tidakkah kita perlu lebih meluruhkan jarak kita --atau, jelasnya: tidakkah kita perlu berupaya lebih keras menepis elitisme di dalam kiprah gagasan-gagasan kita-- dalam keadaan negeri yang sedang genting ini? Ini "argumen agak lapuk digembar-gemborkan"? Oke, tak apalah. Saya hanya hendak berbagi keprihatinan atas kegagalan umum cendekiawan publik dan kelas menengah di Indonesia dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan yg kongkret macam kasus Cikeusik ini. Dan saya melontar ini justru karena menaruh harap pada orang-orang cerdas, dan senyatanya berpendidikan tinggi, macam kalian di media yg dipromosikan Prima Rusdi pada saya sebagai (kira-kira) "medianya anak-anak yg oke banget!".
Saya hanya melontarkan komentar yang rupanya "naif" dan "lapuk" itu karena sebuah harap: masih bisa membangun akal sehat di negeri kita, apabila orang-orang istimewa macam kalian dan media ini lebih "membumi" lagi (saya baca beberapa artikel sih, memang membumi) --ah, saya baru sadar rupanya ini wilayah semi-eksklusif bermerk "media semi-hipster"...:)
Oh, sekadar melengkapi --saya tahu, memang ini bisa jadi tak berguna-- saya hanya mau bilang: saya tak gebyah uyah menampik "renungan" berlumur teori-teori di atas. Yah, di Rumahfilm.org, atau media lain, saya juga cukup karib dengan tulisan berteori seperti di atas. Tapi, saya merasa, untuk kasus Cikeusik ini, kita tak bisa terlalu "klinis", berjarak dari darah yang telah tumpah itu. Itu pendapat saya. Entah berguna atau tidak.
(ah, ya --kenapakah wacana harus punya nilai-guna? dan, oh, ya... bukankah sesekali tak apa kita memasuki meta-komunikasi, membicarakan pembicaraan itu sendiri? oh, saya lupa: ini hanya himbauan, dan mungkin tak punya nilai "diskursif". Ergo: tidak berguna. Ergo: tak perlu dilanjutkan. Ergo: tak perlu ditanggapi --dan saya mah, ya nggak apa-apa juga sih, kalau begitu kesimpulannya. hehehe. )
Armored Fate02:43
Heheheh, saya dipanggil mbak, gapapa, emang salah saya masang poto bini.
begini loh mas Hikmat singkat kata: kalo memang orang mau cari propaganda gak akan masuk jakartabeat.net, atau mau tulisan yang berbobot tapi kritis-nan-intelek-kadang-jelimet-kadang-keren pasti dah mampir di IndoProgress, jadi intinya, di dunia cyber seperti ini sekat-sekat itu udah psti punya nyamuk-nyamuknya sendiri. Jadi akan sedikit aneh kalo bicara 'menjangkau kebanyakan' ditujukan buat jakartabeat yang 'semi-hipster' atau semifinal atau apalah namanya yang pasti udah keliatan elitisnya. Dan gak ada salahnya juga bikin media yang bukan "rakyat banyak", begtu loh maksud saya. Kalo kata-kata saya semacem 'lapuk' tadi terkesan mengandaikan lawan bicara, saya mohon maaf, tapi ya itu cara saya dalam (kalau dalam bahasa bung) 'membangun akal sehat' di negeri kita (seolah kita punya negri).
Saya agak terkesan membela bung PJV dalam hal ini, tapi sebenernya yang saya bela adalah: ELITISME! ya betul..., sesuatu yang bung coba lebih keras lagi ditepis justru itu yang saya coba pertahankan. Apa jadinya generasi sekarang kalo tidak elitis? kalo tidak lagi punya warna ditengaj keseragaman khalayak?? Untuk prihatin, untuk bisa ikut terlibat dalam perubahan tidaklah perlu mengorbankan elitisme, memakai 'bahasa rakyat kebanyakan' pun bahkan tak perlu di ruang-ruang elit seperti ini. Buat apa, toh yang baca jakartabeat saya yakin ngerti kok. kalo gak ngerti pasti dah pada ngabur ke kaskus atau website lain yang dah jelas proporsinya buat siapa?
Yang berguna diluar sana bukan soal pilihan gaya bertutur, diksi atau apapun itu, bahkan bukan juga elitisme atau membumi-isme dalam ruang-ruang seperti ini. Yang berguna diluar sana adalah KETERLIBATAN dalam perubahan. Seseorang bisa berbusa-busa ngomong (baik dalam bahasa 'elit' maupun bahasa 'rakyat' atau bahasa alien sekalipun) tapi tak ada gunanya jika hanya diam di kamar. Dalam hal ini saya membela elitisme sekaligus membubarkan biner antara cendekiawan dan rakyat kebanyakan. Jika ada memang istilah kegagalan cendekiawan itu pasti saya gak ikutan. Karena saya selalu bisa dihitung di barisan depan di kota saya jika para fasis itu datang menyeruak, baik ngajak argumen atau ngacung-ngacung parang.
begini loh mas Hikmat singkat kata: kalo memang orang mau cari propaganda gak akan masuk jakartabeat.net, atau mau tulisan yang berbobot tapi kritis-nan-intelek-kadang-jelimet-kadang-keren pasti dah mampir di IndoProgress, jadi intinya, di dunia cyber seperti ini sekat-sekat itu udah psti punya nyamuk-nyamuknya sendiri. Jadi akan sedikit aneh kalo bicara 'menjangkau kebanyakan' ditujukan buat jakartabeat yang 'semi-hipster' atau semifinal atau apalah namanya yang pasti udah keliatan elitisnya. Dan gak ada salahnya juga bikin media yang bukan "rakyat banyak", begtu loh maksud saya. Kalo kata-kata saya semacem 'lapuk' tadi terkesan mengandaikan lawan bicara, saya mohon maaf, tapi ya itu cara saya dalam (kalau dalam bahasa bung) 'membangun akal sehat' di negeri kita (seolah kita punya negri).
Saya agak terkesan membela bung PJV dalam hal ini, tapi sebenernya yang saya bela adalah: ELITISME! ya betul..., sesuatu yang bung coba lebih keras lagi ditepis justru itu yang saya coba pertahankan. Apa jadinya generasi sekarang kalo tidak elitis? kalo tidak lagi punya warna ditengaj keseragaman khalayak?? Untuk prihatin, untuk bisa ikut terlibat dalam perubahan tidaklah perlu mengorbankan elitisme, memakai 'bahasa rakyat kebanyakan' pun bahkan tak perlu di ruang-ruang elit seperti ini. Buat apa, toh yang baca jakartabeat saya yakin ngerti kok. kalo gak ngerti pasti dah pada ngabur ke kaskus atau website lain yang dah jelas proporsinya buat siapa?
Yang berguna diluar sana bukan soal pilihan gaya bertutur, diksi atau apapun itu, bahkan bukan juga elitisme atau membumi-isme dalam ruang-ruang seperti ini. Yang berguna diluar sana adalah KETERLIBATAN dalam perubahan. Seseorang bisa berbusa-busa ngomong (baik dalam bahasa 'elit' maupun bahasa 'rakyat' atau bahasa alien sekalipun) tapi tak ada gunanya jika hanya diam di kamar. Dalam hal ini saya membela elitisme sekaligus membubarkan biner antara cendekiawan dan rakyat kebanyakan. Jika ada memang istilah kegagalan cendekiawan itu pasti saya gak ikutan. Karena saya selalu bisa dihitung di barisan depan di kota saya jika para fasis itu datang menyeruak, baik ngajak argumen atau ngacung-ngacung parang.
Armored Fate03:10
Btw, sudah subuh, saya pamit tidur. akhir kata nampaknya sudah waktunya slogan semakin berisi semakin merunduk ala 'Ilmu Padi', kita ganti pake 'Ilmu Cimeng', semakin elit berbobot, semakin merakyat..., piss.
Philips Vermonte03:38
Bung Hikmat, thanks. Semoga tidak ada kesalahpahaman. Ini respon saya:
Pertama, saya bukan cari aman dengan menolak sebutan cendekiawan itu. "Cendekiawan" telah menjadi terminologi yang dibebani value bermacam-macam. Bahwa cendekiawan menjalankan tugas mulia nan suci, memberi pencerahan, menjadi suri tauladan, dan lain-lainnya. Pendapat saya soal ini: ini masalah kita sejak lama, memberi beban/kewajiban pada orang lain untuk melakukan hal-hal baik (virtue) pada masyarakat. Bagi saya, pandangan seperti ini berbahaya karena tanpa sadar kita mengkategorisasikan orang berdasarkan virtue, ada kelompok yang harus melakukan hal 'mulia' (misalnya cendekiawan), ada yang melakukan hal-hal yang 'kurang' mulia. Untuk kemanusiaan, akan menyedihkan pengkategorisasian seperti ini. Pandangan memuliakan semacam itu, menurut saya, 'romantik'.
Kedua, sepertinya ada pemikiran bawah sadar Anda yang tidak mempercayai/meragukan tingkat pemahaman orang lain/pembaca. Anda khawatir orang tidak paham Weber, Migdal, atau Eco? Weber dan Migdal cuma nama, saya sarikan pemikiran mereka pendek sekali, langsung dan (semoga) tidak mengerenyitkan kening. Bisa jadi ada orang alergi terhadap kutipan nama asing, langsung menanggalkan keseluruhan isi tulisannya. Masalahnyam, saya harus sebutkan nama dan judul bukunya, karena ide itu punya mereka. Kalaupun tidak dimengerti, apa masalahnya? Saya, dan Anda pasti, toh sering terbentur juga ketika membaca sesuatu yang tidak dimengerti.
Ketiga, dengan 'mensyaratkan' bagaimana sebaiknya sesuatu ditulis dan kapan ("baru sehari kejadian langsung ditulis klinis', tunggu dulu beberapa lama saja") tidakkah Anda merasa bahwa Anda sedang lebih banyak bicara tentang 'cara' komunikasi dan bukan 'isinya'? (dan saya, atau orang lain, bisa merasa bahwa bung Hikmat sedang merasa paling tahu bagaimana sebuah ide harus disampaikan, kalau tidak disampaikan dengan cara bung Hikmat maka orang banyak pasti tidak akan mengerti).
Atau misalnya: "kita tidak bisa terlalu 'klinis' berjarak dari darah yang tumpah" Saya tidak paham dan saya tidak tahu cara menulis yang 'tidak berjarak dari darah yang tumpah' seperti yang Anda inginkan itu. Pamflet? Puisi? Mungkin di luar sana sudah banyak juga orang menulis dengan cara yang seperti Anda inginkan itu.
Saya juga tidak paham ketika Anda mengatakan bahwa Anda prihatin "atas kegagalan umum cendekiawan publik dan kelas menengah di Indonesia dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan yg kongkret macam kasus Cikeusik ini". Menurut saya, pandangan ini yang pretensius. Anda berhasil? Atau tahu bagaimana caranya? Atau, apa ukuran 'gagal' yang Anda maksud?
Keempat, 'argumen' yang saya maksud adalah apakah tulisan itu masuk akal, atau ia cacat logika? Ini yang saya maksud dengan mengatakan bahwa apabila diskusi lebih diarahkan pada diksi/style, maka tidak akan menyumbang apa-apa dalam konteks 'isi' tulisannya. Tidak baik dilanjutkan, karena tidak akan kemana-mana. Kecuali kalau sedang menyiapkan aksi massa, 'cara' menjadi penting didiskusikan terus menerus. Masalahnya, ini hanya sebuah tulisan yang saya buat, mencoba memahami apa yang barusan terjadi, dengan cara saya sendiri. Dan pasti ada 1001 cara yang dipakai orang lain untuk memahami apa yang baru terjadi di Pandeglang itu.
Kelima, tentu menyenangkan ketika mendengar dari Anda bahwa Jakartabeat.net dibaca orang dan dianggap oke...hehe. Jakartabeat.net berterima kasih bila demikian. Semoga bung Hikmat tetap akan membaca Jakartabeat.net setelah ini...:-)
Keenam, mbak Armored Fate itu laki-laki..:-) Foto profile-nya menipu. Menurut saya, dia yang melakukan tugas mulia, sebagai penyanyi hiphop yang 'galak' dan sesekali mengorganisir buruh di Bandung tanpa publikasi seperti 'cendekiawan publik' (pinjam istilah Anda) yang sering tampil di TV atau media massa...:-)
salam hormat
pjv
Pertama, saya bukan cari aman dengan menolak sebutan cendekiawan itu. "Cendekiawan" telah menjadi terminologi yang dibebani value bermacam-macam. Bahwa cendekiawan menjalankan tugas mulia nan suci, memberi pencerahan, menjadi suri tauladan, dan lain-lainnya. Pendapat saya soal ini: ini masalah kita sejak lama, memberi beban/kewajiban pada orang lain untuk melakukan hal-hal baik (virtue) pada masyarakat. Bagi saya, pandangan seperti ini berbahaya karena tanpa sadar kita mengkategorisasikan orang berdasarkan virtue, ada kelompok yang harus melakukan hal 'mulia' (misalnya cendekiawan), ada yang melakukan hal-hal yang 'kurang' mulia. Untuk kemanusiaan, akan menyedihkan pengkategorisasian seperti ini. Pandangan memuliakan semacam itu, menurut saya, 'romantik'.
Kedua, sepertinya ada pemikiran bawah sadar Anda yang tidak mempercayai/meragukan tingkat pemahaman orang lain/pembaca. Anda khawatir orang tidak paham Weber, Migdal, atau Eco? Weber dan Migdal cuma nama, saya sarikan pemikiran mereka pendek sekali, langsung dan (semoga) tidak mengerenyitkan kening. Bisa jadi ada orang alergi terhadap kutipan nama asing, langsung menanggalkan keseluruhan isi tulisannya. Masalahnyam, saya harus sebutkan nama dan judul bukunya, karena ide itu punya mereka. Kalaupun tidak dimengerti, apa masalahnya? Saya, dan Anda pasti, toh sering terbentur juga ketika membaca sesuatu yang tidak dimengerti.
Ketiga, dengan 'mensyaratkan' bagaimana sebaiknya sesuatu ditulis dan kapan ("baru sehari kejadian langsung ditulis klinis', tunggu dulu beberapa lama saja") tidakkah Anda merasa bahwa Anda sedang lebih banyak bicara tentang 'cara' komunikasi dan bukan 'isinya'? (dan saya, atau orang lain, bisa merasa bahwa bung Hikmat sedang merasa paling tahu bagaimana sebuah ide harus disampaikan, kalau tidak disampaikan dengan cara bung Hikmat maka orang banyak pasti tidak akan mengerti).
Atau misalnya: "kita tidak bisa terlalu 'klinis' berjarak dari darah yang tumpah" Saya tidak paham dan saya tidak tahu cara menulis yang 'tidak berjarak dari darah yang tumpah' seperti yang Anda inginkan itu. Pamflet? Puisi? Mungkin di luar sana sudah banyak juga orang menulis dengan cara yang seperti Anda inginkan itu.
Saya juga tidak paham ketika Anda mengatakan bahwa Anda prihatin "atas kegagalan umum cendekiawan publik dan kelas menengah di Indonesia dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan yg kongkret macam kasus Cikeusik ini". Menurut saya, pandangan ini yang pretensius. Anda berhasil? Atau tahu bagaimana caranya? Atau, apa ukuran 'gagal' yang Anda maksud?
Keempat, 'argumen' yang saya maksud adalah apakah tulisan itu masuk akal, atau ia cacat logika? Ini yang saya maksud dengan mengatakan bahwa apabila diskusi lebih diarahkan pada diksi/style, maka tidak akan menyumbang apa-apa dalam konteks 'isi' tulisannya. Tidak baik dilanjutkan, karena tidak akan kemana-mana. Kecuali kalau sedang menyiapkan aksi massa, 'cara' menjadi penting didiskusikan terus menerus. Masalahnya, ini hanya sebuah tulisan yang saya buat, mencoba memahami apa yang barusan terjadi, dengan cara saya sendiri. Dan pasti ada 1001 cara yang dipakai orang lain untuk memahami apa yang baru terjadi di Pandeglang itu.
Kelima, tentu menyenangkan ketika mendengar dari Anda bahwa Jakartabeat.net dibaca orang dan dianggap oke...hehe. Jakartabeat.net berterima kasih bila demikian. Semoga bung Hikmat tetap akan membaca Jakartabeat.net setelah ini...:-)
Keenam, mbak Armored Fate itu laki-laki..:-) Foto profile-nya menipu. Menurut saya, dia yang melakukan tugas mulia, sebagai penyanyi hiphop yang 'galak' dan sesekali mengorganisir buruh di Bandung tanpa publikasi seperti 'cendekiawan publik' (pinjam istilah Anda) yang sering tampil di TV atau media massa...:-)
salam hormat
pjv
Haryadhi Gee08:01
hmm.. kalo saya sebagai pembaca awam.. tetep butuh tulisan dari bung Phillips.
jadi semacam pondasi aja bagaimana negara yang sebenarnya.
dari situ jadi bisa tahu problem2 mana yang kudu diberantas.
jadi semacam pondasi aja bagaimana negara yang sebenarnya.
dari situ jadi bisa tahu problem2 mana yang kudu diberantas.
Taufiq Rahman08:46
Maaf saya telat membaca debat ini dan saya bukan bung Hikmat meski avatar juga hitam (that's the least I can do). Saya pikir kita saling menghormati apa yang bisa dilakukan masing masing dalam menghadapi masalah Cikeusik, itu saja
Hera Diani09:40
I understand where Hikmat comes from. Saya pribadi juga bukan penggemar tulisan adiluhung yang banyak referensi ilmiahnya. Tapi tulisan Philips di atas bisa dimengerti dengan mudah dan saya setuju dengan poin-poinnya.
Kalo kata Aaron Sorkin di Golden Globes kemaren, "Elite is not a bad word, it's an aspirational one." :)
Saya kira dalam situasi seperti ini cynicism is the last thing we need. Kita pikirkan aja bersama-sama, baiknya ngapain. Apa yang bisa dilakukan oleh kita, terutama orang awam? Terus terang dari kemarin saya frustrasi, karena kehabisan akal mesti ngapain.
September lalu bersama beberapa teman, setelah ada kasus HKBP Ciketing, kami membuat petisi (http://bit.ly/bebasagama). Sudah diserahkan ke Presiden, tapi ya begitu saja. Gak ada tanggapan. Well, (reportedly) ada komentar gini sih dari salah satu menko: "Emang gue ada waktu ngurusin petisi??" :D
Sekali lagi pertanyaannya adalah, apa yang bisa orang awam lakukan/dorong?
Kedua, pertanyaan yang mengganggu saya juga, apakah the silent majority itu toleran adanya? Atau mereka, seperti kata Muslim scholar Asma Barlas, benign extremist? (ih gaya ya, saya ngutip scholar. Elitis gak? hehe).
Kalo kata Aaron Sorkin di Golden Globes kemaren, "Elite is not a bad word, it's an aspirational one." :)
Saya kira dalam situasi seperti ini cynicism is the last thing we need. Kita pikirkan aja bersama-sama, baiknya ngapain. Apa yang bisa dilakukan oleh kita, terutama orang awam? Terus terang dari kemarin saya frustrasi, karena kehabisan akal mesti ngapain.
September lalu bersama beberapa teman, setelah ada kasus HKBP Ciketing, kami membuat petisi (http://bit.ly/bebasagama). Sudah diserahkan ke Presiden, tapi ya begitu saja. Gak ada tanggapan. Well, (reportedly) ada komentar gini sih dari salah satu menko: "Emang gue ada waktu ngurusin petisi??" :D
Sekali lagi pertanyaannya adalah, apa yang bisa orang awam lakukan/dorong?
Kedua, pertanyaan yang mengganggu saya juga, apakah the silent majority itu toleran adanya? Atau mereka, seperti kata Muslim scholar Asma Barlas, benign extremist? (ih gaya ya, saya ngutip scholar. Elitis gak? hehe).
Hikmat Darmawan11:02
Baiklah, saya kira kita sedang dalam keadaan saling menghormati. Bahkan, seperti saya tegaskan sebelumnya, kritik saya lahir dari harapan. Oh, ya, saya memang lebih menyoroti sisi komunikasi tulisan di atas, ketimbang isinya, (juga seperti yg telah saya singgung sebelumnya), karena saya lebih tertarik menyentuh soal "meta-komunikasi", sebagai salah satu jalan menyampaikan pandangan saya tentang persoalan kegagalan kelas menengah dan kaum cendekiawan dalam menghadapi kegagalan Negara di Indonesia. Tapi, ada kalanya memang sebuah percakapan perlu dicukupkan.
Saya hanya menambahkan catatan2 sisa saja/ Pertama, teman terbaik saya menonton film Godfather I & II sewaktu saya masih SMP pada 1980-an dulu adalah ibu saya yg berpendidikan rendah. Sejak itu, aktor favoritnya adalah Al Pacino. Oh, ya, ibu saya juga kadang senang juga menikmati album Yes yang saya setel keras-keras waktu itu. Sejak itu, saya tak pernah percaya bahwa "orang kebanyakan" tak bisa paham "budaya tinggi". Dan kesimpulan saya ini selalu saja menemukan pembenaran sepanjang hidup saya: saat saya ke beberapa pelosok di Indonesia, atau bercakap2 di lingkungan beberapa komunitas --tak ada sekat terlalu tebal untuk soal "paham" dan "tak paham" di kalangan "orang kebanyakan" dan "bukan orang kebanyakan". Jadi, kalau Phillips menganggap saya punya asumsi bahwa saya sedang "meragukan tingkat pemahaman" pembaca, "orang kebanyakan", saya kira itu anggapan meleset.
Apakah saya "romantik" (atau kasip, basi) dalam berharap lebih dari peran cendekiawan publik macam Anda, Phillips? (Oh, ya, saya baru ngeh, Anda pun menulis ini untuk kolom di Liputan 6 --yg jelas bukan media "semi-hipster") Mungkin saja. Tapi, jika tertarik, dasar harapan saya adalah sebuah kritik dari Ben Anderson, bisa dibaca di sini: http://www.facebook.com/note.php?created&¬e_id=495234115753.
Soal ungkapan saya soal kegagalan cendekiawan dan kelas menengah, saya kira itu bukan pretensius, tapi sekadar generalisasi. Dan @Hera, semoga dikau tak menganggap saya sedang sinis, ya....:D Saya hanya sedang menyatakan harapan, juga keprihatinan: Senin Hitam kemarin membuat saya merasa, genting bagi kita untuk mempertanyakan ulang posisi kita sebagai orang yg bekerja di media dan berurusan dengan percakapan publik (public discourse).... Dan @Taufik: justru karena saya menghormati tulisan di atas, dan penulisnya, saya mau berpayah-payah menanggapi. :)
Buat Armored Fate: ah, maafkan saya yang telah saya sebut jenis kelamin Anda. Rupanya, saya termakan oleh jarak yang tercipta ketika Anda memasang foto profil perempuan padahal Anda lelaki. Soal "elitisme", saya kira itu topik lain. Jadi, semoga Anda paham bahwa saya bukan tidak menghormati Anda jika tak menanggapi soal menarik yang Anda lontarkan itu. Terima kasih mau berpayah-payah menanggapi hingga subuh tadi.
Saya hanya menambahkan catatan2 sisa saja/ Pertama, teman terbaik saya menonton film Godfather I & II sewaktu saya masih SMP pada 1980-an dulu adalah ibu saya yg berpendidikan rendah. Sejak itu, aktor favoritnya adalah Al Pacino. Oh, ya, ibu saya juga kadang senang juga menikmati album Yes yang saya setel keras-keras waktu itu. Sejak itu, saya tak pernah percaya bahwa "orang kebanyakan" tak bisa paham "budaya tinggi". Dan kesimpulan saya ini selalu saja menemukan pembenaran sepanjang hidup saya: saat saya ke beberapa pelosok di Indonesia, atau bercakap2 di lingkungan beberapa komunitas --tak ada sekat terlalu tebal untuk soal "paham" dan "tak paham" di kalangan "orang kebanyakan" dan "bukan orang kebanyakan". Jadi, kalau Phillips menganggap saya punya asumsi bahwa saya sedang "meragukan tingkat pemahaman" pembaca, "orang kebanyakan", saya kira itu anggapan meleset.
Apakah saya "romantik" (atau kasip, basi) dalam berharap lebih dari peran cendekiawan publik macam Anda, Phillips? (Oh, ya, saya baru ngeh, Anda pun menulis ini untuk kolom di Liputan 6 --yg jelas bukan media "semi-hipster") Mungkin saja. Tapi, jika tertarik, dasar harapan saya adalah sebuah kritik dari Ben Anderson, bisa dibaca di sini: http://www.facebook.com/note.php?created&¬e_id=495234115753.
Soal ungkapan saya soal kegagalan cendekiawan dan kelas menengah, saya kira itu bukan pretensius, tapi sekadar generalisasi. Dan @Hera, semoga dikau tak menganggap saya sedang sinis, ya....:D Saya hanya sedang menyatakan harapan, juga keprihatinan: Senin Hitam kemarin membuat saya merasa, genting bagi kita untuk mempertanyakan ulang posisi kita sebagai orang yg bekerja di media dan berurusan dengan percakapan publik (public discourse).... Dan @Taufik: justru karena saya menghormati tulisan di atas, dan penulisnya, saya mau berpayah-payah menanggapi. :)
Buat Armored Fate: ah, maafkan saya yang telah saya sebut jenis kelamin Anda. Rupanya, saya termakan oleh jarak yang tercipta ketika Anda memasang foto profil perempuan padahal Anda lelaki. Soal "elitisme", saya kira itu topik lain. Jadi, semoga Anda paham bahwa saya bukan tidak menghormati Anda jika tak menanggapi soal menarik yang Anda lontarkan itu. Terima kasih mau berpayah-payah menanggapi hingga subuh tadi.
Philips Vermonte11:42
Bung Hikmat, thanks untuk diskusinya. All is well dan sukses selalu untuk Anda di Tokyo..:-)
Dewi Darmawati11:57
dua-duanya bisa dimengerti, ga masalah, yang penting semua bertujuan baik, membantu pencerahan supaya semua makin memahami masalah.
No comments:
Post a Comment