Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an karya Abd. Moqsith Ghazani.
Buku yang kita tinjau ini bersumber dari disertasi penulisnya untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang tafsir al-Qur’an di UIN Syarif Hidayatulalh, Jakarta, tahun 2007. Oleh karena bersumber disertasi buku ini tentunya sudah teruji sebagai karya akademis yang menurut salah satu pembimbingnya, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, excelent.
Buku ini dilengkapi prolog oleh KH Husein Muhammad (selanjutnya, Muhammad), Pengasuh PP Darut Tauhid, Arjawinangun, Cirebon. Judul epilognya ‘Pluralisme sebagai keniscayaan teologis’. Bagi Muhammad isi buku merefleksikan keyakinan penulisnya bahwa “pluralisme agama adalah keniscyaan agama Tauhid” yang “didukung oleh segudang argumen keagamaan dari banyak sumber primer, dan dengan berbagai perspektif keilmuan Islam...(xx). Dia memuji isi buku ini “sebagai pikiran cerdas, bernuansa, reflektif dan mencerahkan mengenai wacana pluralisme”.
Pembaca akan sangat terbantu dengan prolog ini karena berisi semacam ringkasan. Mengenai relevansi buku ini Muhammad menyinggung kelompok anti-pluralisme, kelompok yang dideskripsikannya sebagai ‘tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas untuk bisa memahami sumber-sumber otoritatif agama (Islam)- al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembacaan mereka atas teksteks keagamaan tampak sangat dangkal, partkulatif, eklektik dan harfiah, lalu membuat generalisasi atasnya’ (xv), generaliasai akibat cara pembacaan yang ‘sangat membahayakan bagi dunia kemanusiaan, sekaligus menciptakan citra Islam sebagai agama teror” (xxi). Baginya, meskipun kelompok anti-pluralisme kecil jumlahnya ‘namun kenyataan-kenyataan tersebut menyulitkan kita menolak kesan dan tuduhan banyak orang, terutama masyarakt barat, bahwa Islam merupakan agama yang tidak menghargai martabat manusia, anti hak-hak azasi manusia dan anti-intelektualisme. Fakta-fakta tersebut, Islam sebagai agama yang menakutkan (xiii). Sebagai catatan, judul proplog ‘Pluralisme Sebagai Keniscayaan Teologis’ dapat disalah-artikan karena mengesankan
bahwa isinya memberikan semacam paparan singkat mengenai pluralisme dengan perspektif atau tilikan, yaitu tilikan teologis (ilmu kalam).
Buku ini dilengkapi epilog oleh Gus Dur dengan judul ‘Pluralisme Agama dan Era Ketakpastian’ dengan pertanyaan pokok ‘bagaimana hal-hal tersebut (pluralisme) difahami oleh umat’ (422). Karena tilikannya berbeda epilog ini tak pelak lagi akan memperkaya pembaca buku yang kita tinjau ini.
Seperti halnya Muhammad, Gus Dur juga memuji isi buku ini. Pada bagian akhir catatannya Gus Dur menulis: “Dengan penelitiannya yang serius terhadap sumber-sumber otoritatf Islam, Abd Moqsith Ghazali coba menghadirkan relevansi dan signifikansi agama-agama seperti Islam. Ia memastikan bahwa Islam dengan pesan ethisnya coba dihadirkan kembali sebagai agama rahmat lialamin. Itulah jenis keislaman yang menjadi pokok perhatian penulis buku ini’ (424). (Garis miring ditambahkan.)
Kata-kata ‘seperti Islam’ dan ‘jenis keislaman’ dalam kutipan itu menarik untuk disimak. Dengan kata-kata ‘seperti Islam’ saya menduga Gus Dur bermaksud mengatakan penulis agama Non-Islam dapat menghadirkan ‘relevansi dan signifikansi’ agama mereka dengan cara yang sama dengan buku ini. Dengan
“jenis keislaman” saya menduga Gus Dur ingin menungkapkan ada jenis keislaman lain, atau jenis argumen lain, yang dapat disajikan untuk menyajikan relevansi dan signifikansi Islam. Itu dugaan saya; yang mengetahui maksudnya secara pasti tentu penulis yang bersangkutan.
Terlepas dari itu, argumentasi tesis dalam buku ini meyakinkan kecuali tentunya bagi mereka, yang sekali pun akrab dengan kajian keislaman, memiliki hambatan mental (mental block) tertentu. Harga buku ini ‘tidak masuk akal’, terlalu murah dibandingkan dengan jilid yang digunakan apalagi isinya.
Walaupun demikian, ada catatan kecil: Cara penyajian argumentasi dalam buku ini dapat menghalangi saudara kita yang non-muslim untuk menikamati isi buku ini karena semata-mata tidak mengakui otoritas sumber-sumber keislaman yang digunakan dalam buku ini (mudah-mudahan saya keliru mengenai ini).
Kita berharap suatu saat akan dapat memperoleh kajian pluralisme yang seserius buku ini tetapi dengan tilikan lain. Hemat penulis, kajian dengan tilikan teologis pasti akan memperkaya hazanah pemahaman kita karena menunjukkan (belum tentu meyakinkan), misalnya, bahwa pluralime merupakan keniscayaan teologis.
Selain itu, kajian dengan tilikan perenialisme dapat sangat menjanjikan karena ‘doktrinnya’ konon didasarkan pada ‘kebanaran abadi’ yang tidak terikat waktu serta dapat ditemukan pada semua agama manusia dan terfleksikan dalan karya-karya seni ilahiah (divine arts). Kajian dengan tilikan semacam itu memiliki
peluang besar dapat diterima oleh banyak pihak, termasuk oleh saudara-saudara kita yang kebetulan non-muslim. Wallahu’ alam ...@
http://gp-ansor.org/9940-07042009.html
Membincang Ayat-Ayat Pluralisme Agama
Perkembangan pluralisme agama di zaman modern ini tidak berjalan mulus, baik di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Konflik, kekerasan dan perang atas dasar kebencian yang diwarnai sentimen agama begitu tampak. Misalnya, konflik Katolik dan Islam di Filipina, konflik Pelestina dan Israel, Hindu versus Islam di India, juga konflik Hindu, Islam dan Budhisme di Srilangka, atau konflik antara Islam Sunni dan Islam Syi’ah di Pakistan dan lain sebagainya.
Sementara beberapa fakta domestik yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat beberapa tahun ini. Misalnya, aksi teror terhadap kaum Ahmadiyah yang dianggap telah sesat dari agama Islam yang lurus dan kasus AKKB yang bentrok dengan Front Pembala Islam (FPI) dan lain-lain. Kekerasan demi kekerasan ini selalu muncul dikala umat yang menolak pluralisme agama merasa terancam. Kasus-kasus ketegangan dan konflik bernuansa agama di Indonesia seringkali melibatkan negara beserta lembaga-lembaga agama (baca: MUI) seringkali diskriminatif dalam mensikapi pluralisme agama.
Dalam konteks Indonesia, pluralisme dimaknai sebagai kemajemukan, keberagaman dan kebhinekaan. Keberagaman bukan hanya sebagai sebuah realitas sosial (pluralitas), melainkan juga sebagai gagasan dan ide-ide segar. Kebhinekaan sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negara ini terbentuk dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Atas dasar undang-undang ini, semua warga negara dengan beragam identitas kultural, suku, jenis, kelamin, agama, wajib dilindungi oleh negara. Ini juga berarti negara tidak boleh mendiskriminasi warganya dengan alasan apa pun. Pemerintah dan semua warga negara berkewajiban menegakkan konstitusi tersebut.
Akan tetapi bunyi undang-undang tersebut kurang membumi ditingkat masyarakat, sehingga dalam hubungan antar-umat beragama, trauma sejarah dan hambatan psikologis masih berkembang di kalangan tokoh dan umat beragama sendiri. Peristiwa-peristiwa yang berbau SARA yang terjadi selama ini, atau peristiwa-peristiwa lokal lain yang menyerang kepada penganut yang berbeda pamahaman, dimana agama menjadi isu sentral dan senjata utama untuk membenarkan tindakannya.
Ajaran-ajaran dasar agama yang memuliakan perbedaan di satu sisi dan persamaan di sisi yang lain telah tertimbun oleh “kerikil-kerikil” politik dan kepentingan yang dibalut dengan penafsiran yang eksklusif. Penafsiran seseorang (self) atau kelompok tertentu yang bertekad meruntuhkan segala yang lain (the other) telah terbukti menimbulkan keruwetan relasi antarumat.
Salah satu hambatan yang sering kemudian secara sengaja atau tidak sengaja menjadi konflik ideologis dan memiliki dampak politik adalah masih berkembangnya pola pemahaman keagamaan yang bersifat harfiyah, tekstual, dan parsial dalam melihat eksistensi agama-agama lain.
Adalah sangat penting untuk melihat generalitas dan sekaligus partikularitas ayat-ayat Al-Qur’an secara seimbang. Salah satu persoalan krusial yang di dalamnya terjadi polemik penafsiran yang tampaknya belum selesai adalah bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang pluralisme agama. Al-Qur’an diyakini tidak mengandung kontradiksi internal sama sekali, karena kalau hal ini terjadi, maka berarti hilang makna keabadian fungsi dan orisinalitas Al-Qur’an, meskipun sebagian ulama terpaksa menyerah dengan menyatakan kelompok ayat ini dihapus dengan kelompok ayat lain yang turun belakangan .
Sekelompok ayat secara jelas mengkonfirmasi keberadaan agama-agama monoteistik terdahulu, menegaskan bahwa risalah Nabi Muhammad adalah kelanjutan dari risalah nabi-nabi terdahulu. Memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak diskriminatif terhadap nabi-nabi (Al-Qur’an, 3:84) dan menjanjikan bahwa siapa pun dari orang beriman, orang yahudi, Nashrani, Shabi’un dan berbuat kebaikan, akan mendapat rahmat Allah dan keselamatan dari ketakutan dan kesedihan (Al-Qur’an, 3: 62, 5: 69).
Sementara itu, tentang pluralisme agama, kitab suci AI-Qur’an, menyebutkan landasan normatif bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (Qs.2:-256). Karena kemajemukan itu kehendak Allah. Tuhan menciptakan manusia beranekaragam agar mereka saling mengenal, memahami dan bekerjasama (Qs. 13: 49).
Sesungguhnya dalam catatan sumber-sumber primer Islam seperti Al-Qur’an, Hadits, dan sejarah Muhammad SAW, bahwa concern utama Islam adalah membangun pluralisme. Inilah sikap dasar-universal Islam. Sementara sikap sosial politiknya berjalan seiring dinamika hubungan antara umat Islam dan umat agama lain. Suatu waktu umat Islam bermesraan dengan Yahudi dan Kristen. Dan di kala yang lain, karena motif ekonomi-politik, umat Islam berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan Kristen dan juga Yahudi. Islam bukan agama yang eksklusif seperti yang dipahami oleh beberapa ormas-ormas baru yang selalu membawa nama Tuhan.
Pluralisme dan kebebasan beragama tidak hanya ditemukan dalam teks-teks Al-Qur’an, melainkan juga dideklarasikan Nabi Muhammad ketika di Madinah. Deklarasi ini dikenal dalam literatur Islam sebagai ”watsiqah al-madinah” (piagam madinah). Begitu juga di dunia muslim sudah mengeluarkan deklarasi sejenis yang dikenal dengan ”Deklarasi Kairo.”
Kehadiran buku setebal 424 ini tepat pada waktunya ketika pluralisme dianggap sebagai ancaman. Karya ini menjadi perhatian publik bahkan mengagetkan bagi kalangan yang menolak pluralisme agama yang sesungguhnya menjadi sunnatullah. Ia menyampaikan informasi dari sumber-sumber Islam sendiri tentang kehidupan Nabi Muhammad yang bersinggungan dengan pemeluk agama Yahudi, Nashrani dan agama-agama sebelumya.
Pemetaan yang brilian, cerdas, reflektif dan lugas telah dihadirkan oleh Abd. Moqsith Ghazali, intelektual muda Muslim dan dosen Universitas Paramadina Jakarta yang menjembatani ayat–ayat toleran dan intoleran tentang pluralisme agama berbasis Al-Qur’an dengan argumentasi kuat yang didukung oleh liletarul Islam klasik (baca: kitab kuning) menjadi tambah menarik untuk dibaca oleh siapa pun dan kalangan manapun.
Sebab kitab suci Al-Qur’an diyakini turun tidak dalam suatu historical vacuum, ia turun bertahap untuk menjawab pertanyaan, memberikan tanggapan, bahkan menawarkan ”problem-solving” bagi masyarakat ketika itu, untuk kemudian dijadikan pegangan moral bagi masyarakat sesudahnya. Karena pluralisme agama adalah fakta sosial (sunnatullah) yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama sebelumnya. Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya sumber bacaan kuat dalam literatur klasik. Buku ini merupakan kontribusi penting bagi penguatan toleransi beragama dalam perspektif Muslim.
http://www.mualaf.com/index.php/info-liberalisme/item/911-doktor-doktor-liberalis
- Akmal Sjafril
- Di sampul depan sebuah buku, tertulislah sebuah kutipan sanjungan Ahmad Syafii Maarif kepada Nurcholish Madjid: Setiap pembaru di mana pun di muka bumi ini, hampir pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Ini juga berlaku atas Nurcholish Madjid yang telah bekerja keras untuk mengawinkan keislaman dan keindonesiaan.
Beginilah cara kalangan liberalis ’mempertinggi derajat’ sesama mereka di depan publik; dengan sanjung-sanjungan yang sebenarnya tak layak untuk dilakukan oleh seorang Muslim. Jika Anda membaca buku Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an karya Abd. Moqsith Ghazali, maka sanjung-sanjungan semacam ini tidak hanya bisa dijumpai di sampul belakang – sebagaimana lazimnya – tapi juga dikemas secara masif dalam lima halaman paling depan. Meskipun yang memuji hanya yang itu-itu saja, namun efeknya bisa jadi cukup dahsyat di mata orang awam.
Kita bisa membayangkan anak-anak muda yang datang dengan keluguan yang dibawanya dari madrasah atau pesantren. Mereka tiba di kampus IAIN/UIN dengan sejuta harapan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya. Di kampusnya, mereka disodori sekian banyak buku, termasuk buku Abd. Moqsith Ghazali tadi, yang juga seorang doktor jebolan UIN Syarif Hidayatullah. Puji-pujian setinggi langit datang dari nama-nama yang sering mereka dengar di kampungnya dahulu: Mustofa Bisri, Ahmad Syafii Maarif dan seterusnya. Nama-nama para penyanjung ini pun sudah disanjung-sanjung di tempat asalnya. Maka jadilah mereka pengikut setianya, karena kepolosan dan kebodohannya sendiri.
Ideologi liberalisme yang sejati sebenarnya tidaklah ada, karena kalangan liberalis selalu memanfaatkan keterbatasan informasi. Sebagaimana mahasiswa-mahasiswa malang tadi, yang terjebak karena melihat sanjung-sanjungan yang diberikan oleh orang-orang yang juga disanjung-sanjung. Kebanyakan di antara mereka takkan bisa menjelaskan pemikiran penting apa yang sudah disumbangkan oleh Gus Dur, meskipun mereka dapat dengan yakin mengatakan bahwa Gus Dur memang seorang guru bangsa, pahlawan, wali Allah, dan seterusnya.
Tak jauh beda dengan buku Moqsith yang dipuja-puji itu, yang kemudian disanjung lagi oleh Syafii Maarif dalam rubrik Resonansi di surat kabar Republika yang diberinya judul: Mendudukkan Pluralisme. Judul artikel ini jauh dari isinya, karena Syafii Maarif tidak pernah mendudukkan pluralisme, bahkan menyinggung definisinya pun tidak.
Buku yang dipuji-pujinya itu pun tidak sesuai dengan judulnya, karena pada akhirnya solusi yang ditawarkannya bukanlah kembali pada Al-Qur’an (padahal Moqsith meraih gelar doktor dalam bidang Tafsir Qur’an), melainkan memilih ayat-ayat yang ’pluralis’ dan mengabaikan ayat-ayat yang ‘tidak pluralis’. Gelar doktoral yang mentereng itu ternyata dapat diperoleh hanya dengan mengatakan bahwa ayat-ayat tentang perang itu sifatnya kondisional (perang mana yang tidak kondisional?).
Sasaran tembak kaum liberalis memang kalangan awam yang memiliki jarak pandang yang sangat pendek. Maka kalangan liberalis pun terbagi ke dalam dua kasta yang cukup ekstrem: kalangan intelek dan kalangan akar rumputnya. Tidak jauh beda dengan aliran komunis di Uni Soviet dahulu atau di Cina, di mana kalangan elit menyuruh kalangan akar rumput untuk hidup prihatin demi negara sementara mereka sendiri berlaku sebaliknya, kalangan liberalis yang intelek pun memanfaatkan akar rumputnya sebagai tunggangan belaka.
Orang-orang malang ini, yang tak paham dirinya sedang dimanfaatkan siapa, memang sering bertindak tidak wajar. Fanatisme terhadap Gus Dur di masa hidupnya telah beralih pada kemusyrikan sejati sepeninggalnya. Ahmad Syafii Maarif, sebagai mantan ketua salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang didirikan secara khusus untuk menentang khurafat dan kemusyrikan, tidak pernah berkata sepatah kata pun untuk membebaskan orang-orang ini dari kejahilannya. Sebab mereka harus dibiarkan tetap bodoh. Kalau tidak, siapa yang akan dimanfaatkan?
Menengok kembali sanjungan Syafii Maarif kepada Nurcholish Madjid, kita akan terpana melihat bagaimana seorang doktor lulusan Chicago University bisa membuat perbandingan yang begitu kasar dan menarik kesimpulan begitu mudahnya. Ia hanya mengatakan bahwa setiap pembaru pasti dicela, dicaci maki dan seterusnya, kemudian memperbandingkannya dengan Nurcholish Madjid.
Memang benar, setiap pembaru biasanya selalu mendapat tantangan, dan kita juga memahami bahwa kalimat ini tidak keliru, karena tidak menyatakan bahwa semua yang mendapat tantangan adalah pembaru (logika matematika: jika A maka B, bukan berarti jika B maka A). Akan tetapi, jika kemudian ciri ini (yaitu dicela dan dicaci maki) dijadikan hujjah untuk menyebut Nurcholish Madjid sebagai pembaru, maka jatuhlah martabat para doktor dari Chicago University.
Sebab, yang dicela dan dicaci itu bukan hanya pembaru, tapi juga Musailamah sang nabi palsu, Pol Pot, Hitler, Mussolini, Ariel Sharon, dan George W. Bush. Maka, menyebut Nurcholish sebagai pembaru hanya karena ia selalu dicaci (dan diam-diam diikuti) adalah sama dengan menyebut dirinya sendiri sebagai kera karena sama-sama punya telinga, hidung, tangan, kaki dan bokong.
Belakangan, seorang doktor lainnya juga melakukan kesalahan yang sama. Luthfie Assyaukanie, yang sangat dihormati di kalangan liberalis, bersaksi di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Penistaan Agama. Dengan ringannya, ia mengatakan: ”Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia Eden sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam.”
Pada titik ini, sulit bagi Luthfie Assyaukanie untuk mempertanggungjawabkan gelar doktornya, bahkan juga statusnya sebagai seorang Muslim. Dari sisi apa Luthfie melihat persamaan antara Lia Eden dan Rasulullah saw.? Keduanya memang sama-sama punya tangan, hidung dan kaki, tapi itu masih belum cukup untuk mengatakan ”sama”. Keduanya juga ada yang mencaci dan memuji, namun itu pun masih belum cukup.
Lia Eden hanya mengutuk dan menyatakan Islam telah dihapuskan, sedangkan Rasulullah saw. tak pernah mengatakan yang demikian kepada kalangan Ahli Kitab. Sebaliknya, beliau justru mengajak semua orang untuk kembali pada ajaran Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., dan Nabi ’Isa as. yang sebenarnya. Lia Eden duduk di atas singgasananya dengan angkuh, sedangkan Rasulullah saw. menolak sahabat-sahabatnya berdiri menyambutnya jika ia datang kepada sebuah majelis. Pendekatan dakwah Rasulullah saw. jauh berbeda dengan pendekatan dakwah Lia Eden dalam segala levelnya.
Tidaklah wajar jika seorang doktor melakukan perbandingan yang begitu naif dan miskin data, kecuali jika memang misinya adalah mengombang-ambingkan kalangan akar rumput yang jauh dari tradisi intelektual.
Sebagai seorang Muslim, kita juga sulit membayangkan Luthfie bisa dengan entengnya mengatakan metode dakwah Rasulullah saw. sebagai sebuah kesalahan. Padahal, jika Rasulullah saw. berbuat salah, Allah SWT pasti akan meluruskannya, bahkan mengabadikannya dalam Al-Qur’an, dan Rasulullah saw. takkan menutup-nutupinya. Bagaimana mungkin dakwah Rasulullah saw. dikatakan salah, sedangkan dua dasawarsa terakhir dalam hidupnya digadaikan di jalan dakwah? Sepanjang masa kenabian itu, apakah wajar Rasulullah saw. mengulang-ulang kesalahan yang sama, sedangkan Allah SWT tidak menegurnya?
Para ulama sejak dahulu sudah memperingatkan tentang bahayanya mempermainkan ilmu. Satu-satunya motivasi yang benar dalam mencari ilmu adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT. Jika keimanan tak meningkat, maka ilmu itu tak bisa dikatakan bermanfaat. Sebaliknya, ilmu justru bisa menjadi beban berat bagi pemiliknya di akhirat kelak.
Hakim yang adil bisa mendapatkan surga tertinggi, tapi juga bisa dijebloskan ke neraka yang paling pedih. Orang-orang yang memiliki ilmu sebagai peneliti, atau memiliki kharisma seorang pemimpin, atau mendapatkan kekuasaan yang sangat luas, atau gelar-gelar akademis yang menyilaukan mata, pada akhirnya akan disuruh mempertanggungjawabkan segala kelebihan yang dimilikinya itu. Apakah ilmu itu membuatnya merintih lebih keras ketika mendoakan umat Nabi Muhammad saw., ataukah justru membuatnya makin angkuh terhadap mereka? Apakah ilmu dan gelar membuatnya semakin rendah hati dan banyak menolong, atau justru membuatnya makin lihai memanfaatkan kejahilan masyarakat?
Kita bisa membayangkan anak-anak muda yang datang dengan keluguan yang dibawanya dari madrasah atau pesantren. Mereka tiba di kampus IAIN/UIN dengan sejuta harapan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya. Di kampusnya, mereka disodori sekian banyak buku, termasuk buku Abd. Moqsith Ghazali tadi, yang juga seorang doktor jebolan UIN Syarif Hidayatullah. Puji-pujian setinggi langit datang dari nama-nama yang sering mereka dengar di kampungnya dahulu: Mustofa Bisri, Ahmad Syafii Maarif dan seterusnya. Nama-nama para penyanjung ini pun sudah disanjung-sanjung di tempat asalnya. Maka jadilah mereka pengikut setianya, karena kepolosan dan kebodohannya sendiri.
Ideologi liberalisme yang sejati sebenarnya tidaklah ada, karena kalangan liberalis selalu memanfaatkan keterbatasan informasi. Sebagaimana mahasiswa-mahasiswa malang tadi, yang terjebak karena melihat sanjung-sanjungan yang diberikan oleh orang-orang yang juga disanjung-sanjung. Kebanyakan di antara mereka takkan bisa menjelaskan pemikiran penting apa yang sudah disumbangkan oleh Gus Dur, meskipun mereka dapat dengan yakin mengatakan bahwa Gus Dur memang seorang guru bangsa, pahlawan, wali Allah, dan seterusnya.
Tak jauh beda dengan buku Moqsith yang dipuja-puji itu, yang kemudian disanjung lagi oleh Syafii Maarif dalam rubrik Resonansi di surat kabar Republika yang diberinya judul: Mendudukkan Pluralisme. Judul artikel ini jauh dari isinya, karena Syafii Maarif tidak pernah mendudukkan pluralisme, bahkan menyinggung definisinya pun tidak.
Buku yang dipuji-pujinya itu pun tidak sesuai dengan judulnya, karena pada akhirnya solusi yang ditawarkannya bukanlah kembali pada Al-Qur’an (padahal Moqsith meraih gelar doktor dalam bidang Tafsir Qur’an), melainkan memilih ayat-ayat yang ’pluralis’ dan mengabaikan ayat-ayat yang ‘tidak pluralis’. Gelar doktoral yang mentereng itu ternyata dapat diperoleh hanya dengan mengatakan bahwa ayat-ayat tentang perang itu sifatnya kondisional (perang mana yang tidak kondisional?).
Sasaran tembak kaum liberalis memang kalangan awam yang memiliki jarak pandang yang sangat pendek. Maka kalangan liberalis pun terbagi ke dalam dua kasta yang cukup ekstrem: kalangan intelek dan kalangan akar rumputnya. Tidak jauh beda dengan aliran komunis di Uni Soviet dahulu atau di Cina, di mana kalangan elit menyuruh kalangan akar rumput untuk hidup prihatin demi negara sementara mereka sendiri berlaku sebaliknya, kalangan liberalis yang intelek pun memanfaatkan akar rumputnya sebagai tunggangan belaka.
Orang-orang malang ini, yang tak paham dirinya sedang dimanfaatkan siapa, memang sering bertindak tidak wajar. Fanatisme terhadap Gus Dur di masa hidupnya telah beralih pada kemusyrikan sejati sepeninggalnya. Ahmad Syafii Maarif, sebagai mantan ketua salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang didirikan secara khusus untuk menentang khurafat dan kemusyrikan, tidak pernah berkata sepatah kata pun untuk membebaskan orang-orang ini dari kejahilannya. Sebab mereka harus dibiarkan tetap bodoh. Kalau tidak, siapa yang akan dimanfaatkan?
Menengok kembali sanjungan Syafii Maarif kepada Nurcholish Madjid, kita akan terpana melihat bagaimana seorang doktor lulusan Chicago University bisa membuat perbandingan yang begitu kasar dan menarik kesimpulan begitu mudahnya. Ia hanya mengatakan bahwa setiap pembaru pasti dicela, dicaci maki dan seterusnya, kemudian memperbandingkannya dengan Nurcholish Madjid.
Memang benar, setiap pembaru biasanya selalu mendapat tantangan, dan kita juga memahami bahwa kalimat ini tidak keliru, karena tidak menyatakan bahwa semua yang mendapat tantangan adalah pembaru (logika matematika: jika A maka B, bukan berarti jika B maka A). Akan tetapi, jika kemudian ciri ini (yaitu dicela dan dicaci maki) dijadikan hujjah untuk menyebut Nurcholish Madjid sebagai pembaru, maka jatuhlah martabat para doktor dari Chicago University.
Sebab, yang dicela dan dicaci itu bukan hanya pembaru, tapi juga Musailamah sang nabi palsu, Pol Pot, Hitler, Mussolini, Ariel Sharon, dan George W. Bush. Maka, menyebut Nurcholish sebagai pembaru hanya karena ia selalu dicaci (dan diam-diam diikuti) adalah sama dengan menyebut dirinya sendiri sebagai kera karena sama-sama punya telinga, hidung, tangan, kaki dan bokong.
Belakangan, seorang doktor lainnya juga melakukan kesalahan yang sama. Luthfie Assyaukanie, yang sangat dihormati di kalangan liberalis, bersaksi di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Penistaan Agama. Dengan ringannya, ia mengatakan: ”Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia Eden sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam.”
Pada titik ini, sulit bagi Luthfie Assyaukanie untuk mempertanggungjawabkan gelar doktornya, bahkan juga statusnya sebagai seorang Muslim. Dari sisi apa Luthfie melihat persamaan antara Lia Eden dan Rasulullah saw.? Keduanya memang sama-sama punya tangan, hidung dan kaki, tapi itu masih belum cukup untuk mengatakan ”sama”. Keduanya juga ada yang mencaci dan memuji, namun itu pun masih belum cukup.
Lia Eden hanya mengutuk dan menyatakan Islam telah dihapuskan, sedangkan Rasulullah saw. tak pernah mengatakan yang demikian kepada kalangan Ahli Kitab. Sebaliknya, beliau justru mengajak semua orang untuk kembali pada ajaran Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as., dan Nabi ’Isa as. yang sebenarnya. Lia Eden duduk di atas singgasananya dengan angkuh, sedangkan Rasulullah saw. menolak sahabat-sahabatnya berdiri menyambutnya jika ia datang kepada sebuah majelis. Pendekatan dakwah Rasulullah saw. jauh berbeda dengan pendekatan dakwah Lia Eden dalam segala levelnya.
Tidaklah wajar jika seorang doktor melakukan perbandingan yang begitu naif dan miskin data, kecuali jika memang misinya adalah mengombang-ambingkan kalangan akar rumput yang jauh dari tradisi intelektual.
Sebagai seorang Muslim, kita juga sulit membayangkan Luthfie bisa dengan entengnya mengatakan metode dakwah Rasulullah saw. sebagai sebuah kesalahan. Padahal, jika Rasulullah saw. berbuat salah, Allah SWT pasti akan meluruskannya, bahkan mengabadikannya dalam Al-Qur’an, dan Rasulullah saw. takkan menutup-nutupinya. Bagaimana mungkin dakwah Rasulullah saw. dikatakan salah, sedangkan dua dasawarsa terakhir dalam hidupnya digadaikan di jalan dakwah? Sepanjang masa kenabian itu, apakah wajar Rasulullah saw. mengulang-ulang kesalahan yang sama, sedangkan Allah SWT tidak menegurnya?
Para ulama sejak dahulu sudah memperingatkan tentang bahayanya mempermainkan ilmu. Satu-satunya motivasi yang benar dalam mencari ilmu adalah untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT. Jika keimanan tak meningkat, maka ilmu itu tak bisa dikatakan bermanfaat. Sebaliknya, ilmu justru bisa menjadi beban berat bagi pemiliknya di akhirat kelak.
Hakim yang adil bisa mendapatkan surga tertinggi, tapi juga bisa dijebloskan ke neraka yang paling pedih. Orang-orang yang memiliki ilmu sebagai peneliti, atau memiliki kharisma seorang pemimpin, atau mendapatkan kekuasaan yang sangat luas, atau gelar-gelar akademis yang menyilaukan mata, pada akhirnya akan disuruh mempertanggungjawabkan segala kelebihan yang dimilikinya itu. Apakah ilmu itu membuatnya merintih lebih keras ketika mendoakan umat Nabi Muhammad saw., ataukah justru membuatnya makin angkuh terhadap mereka? Apakah ilmu dan gelar membuatnya semakin rendah hati dan banyak menolong, atau justru membuatnya makin lihai memanfaatkan kejahilan masyarakat?
http://www.paramadina.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=322:bedah-buku-argumen-pluralisme-agama-membangun-toleransi-berbasis-al-quran&catid=49:falsafah-dan-agama&Itemid=123
By Program Studi Magister Bisnis Dan Keuangan Islam
Bedah Buku Dr. Abdul Moqsith Ghazali " Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al Qur'an"
Kegiatan bedah buku " Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al Qur'an" diselenggarakan pada tanggal 31 Maret 2009, bertempat di Auditorium Nurcholish Madjid, pembicara : Syafii Anwar (Direktur ICIP), Ph.D, Prof.Said Agil (Ketua PBNU), Dr.Abdul Mogsith Ghazali (penulis buku). Buku karangan Dr. Abdul Moqsith Ghazali ini berisi sikap teologis Al Qur'an dalam merespon pluralitas agama dan umat beragama. Al Qur'an jika dipahami secara jujur dan cerdas, bersikap lebih toleran dibandingkan dengan sikap sebagian umat yang berpikiran parsial. Buku ini telah melakukan terobosan dalam mengungkapkan tersedianya kerangka normatif (tafsir) Al Qur'an untuk menopang toleransi beragama. Buku ini memiliki kontribusi penting bagi penguatan toleransi beragama dalam perspektif Muslim.
Pembicara pertama yaitu Kyai Said menjelaskan akar-akar pluralisme dalam Islam, baik secara historis maupun doktiner (Al Qur'an dan Hadits), misalnya dijelaskan bahwa secara historis Islam datang pada abad ke-7 Masehi. Ditengah keberagaman agama masyarakat Arab pada masa itu, baik kaum Yahudi, Nasrani, kaum Pagan, kaum Hunafa (pengikut ajaran Nabi Ibrahim yang tidak memeluk agama Yahudi dan Nasrani).
Pembicara kedua yaitu Syafi'i Anwar menyatakan bahwa pluralisme sangan berbeda dengan relativisme agama. Syafi'i dengan mengutip ungkapan Hans Kung, juga merekomondasikan bahwa pluralisme seharusnya bisa menjadi etika global pada masa yang akan datang. Diakhir penjelasannya, Syafi'i memberikan rekomondasi pada penulis buku untuk melanjutkan ijtihad intelektualnya dengan menulis buku bertema Fiqh Siyasah yang berkaitan dengan pluralisme.
Pembicara ketiga yaitu Dr. Abdul Moqsith Ghazali menegaskan kembali tesis-tesis yang telah ditulis dalam bukunya. Menurut beliau, " Seorang pemikir muslim tidaklah cukup beragumentasi dengan dalil-dalil teologis akan tetapi harus didukung oleh dalil-dalil historis, dimana nilai-ideal-teologis itu dimanifestasikan dalam ruang dan waktu. Akar-akar konflik antaragama tidaklah disebabkan oleh asumsi teologis penganutnya, tapi lebih banyak disebabkan oleh permasalahan sosial ekonomi politik yang tidak selesai diantara mereka.
http://irindonesia.wordpress.com/2010/12/08/argumen-pluralisme-agama-membangun-toleransi-berbasis-al-qur%E2%80%99an/
Karya ini tadinya adalah disertasi Abd. Moqsith Ghazali untuk meraih gelar Doktor Bidang Tafsir dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Judulnya adalah “Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis”. Hanya ketika hendak dibukukan judul diubah menjadi “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an”. Perbedaan lain adalah terselipnya tambahan sub bab mengenai perkawinan beda agama yang tidak ada dalam disertasi.
Karya Argumen Pluralisme Agama telah mencoba membongkar sumber-sumber klasik dan modern dalam berbagai bahasa: Arab, Inggris, dan Indonesia. Dalam endorsement KH A Mustofa Bisri atas karya Moqsith ini, kita baca sebagai apresiasi sebagai berikut.
Buku ini tak sekadar wacana dan pernyataan karena kobaran ghirah keberagamaan atau semangat pembaruan, tapi seperti yang akan segera pembaca ketahui, itu merupakan hasil kerja keras penelitian. Penelitian secara ilmiah tentang sesuatu yang sebenarnya atau seharusnya bukan menjadi masalah. Tapi, bagi mereka yang menjadikan kemapanan sebagai mazhab, mungkin buku yang ditulis Muslim muda, Abd Moqsith Ghazali, ini dianggap baru, bahkan mengagetkan. Bagi saya, karya ini adalah sebuah kegigihan akademik yang bernilai tinggi dan pasti punya jangkauan jauh.
http://mohshofan.blogspot.com/2011/09/nasib-pembaruan-islam.html
KAMIS, 22 SEPTEMBER 2011
NASIB PEMBARUAN ISLAM
Moh. Shofan
Belum lama ini saya hadir dalam sebuah acara pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Abdul Moqsith Ghazali—intelektual muda yang sangat akrab dengan khazanah Islam klasik—di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pidato kebudayaan kali ini mengambil tema “Menegaskan Kembali Pembaruan Islam”. Tema tersebut seakan memberikan afirmasi bahwa, setelah wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak ada lagi gagasan-gagasan besar atau pemikiran-pemikiran baru. Jika pun ada, sifatnya hanyalah semacam “Menyegarkan Kembali”, seperti yang ditulis oleh Ulil Abshar-Abdalla, atau “Menegaskan Kembali”, sebagaimana tertulis dalam judul pidato Moqsith.
Dari segi substansi pemikiran, gagasan Moqsith yang disampaikan di TIM tidak ada yang baru. Ia hanya mengeksplorasi kembali gagasan-gagasan besar Cak Nur tentang pokok-pokok Al-Quran, risalah kenabian, sikap terhadap karya ulama, dan bagaimana seharusnya memosisikan akal. Moqsith ataupun Ulil tentu berbeda dengan Cak Nur, yang gagasan-gagasannya pernah membuat geger umat Islam di seantero negeri ini. Polemik bermula ketika Cak Nur melontarkan gagasan tentang “sekularisasi”, atau “Islam Yes, Partai Islam No”, yang kemudian dibantah oleh H.M. Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama. Sampai kini, 40 tahun pernyataan tersebut dikeluarkan, ia masih terasa aktual. Umat Islam tidak hanya ada dalam partai Islam, tapi telah menyebar ke semua partai: Golkar, PDIP, Demokrat, Hanura, maupun Partai Gerindra. Ini membuktikan bahwa mereka memahami benar makna “Islam Yes, Partai Islam No!”
Makna paling dalam dari pemikiran Cak Nur adalah menyatukan umat Islam dalam kerangka berpikir yang lebih modern. Kerangka berpikir yang bisa beradaptasi dengan kekinian. Begitu juga dekonstruksi makna Islam sebagai suatu nama agama dengan makna generik, yakni sikap pasrah dan kepatuhan terhadap hukum syariah. Melalui pernyataannya tersebut, Cak Nur membuka mata umat Islam bahwa setiap agama mempunyai ekspresi keimanan terhadap tuhan yang sama. Ibarat roda yang berputar, pusat roda tersebut adalah tuhan yang sama melalui jalan berbagai agama yang heterogen tapi satu makna.
Sepeninggal Cak Nur maupun Gus Dur, pemikiran Islam yang muncul tidak lebih sekadar menjadikan Islam sebagai obyek kajian semata, ketimbang sebagai gagasan dinamis yang mampu bergerak melintasi batas-batas keyakinan, kultural, ideologi, yang mampu mempengaruhi umat manusia dengan segala keunikannya. Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan saya, M. Dawam Rahardjo mensinyalir bahwa munculnya gagasan-gagasan yang banyak dijumpai dalam sejumlah karya para intelektual muda belakangan ini baru diuraikan dalam tataran utopia dan belum beranjak kepada ide yang digarap dengan pendekatan ilmiah yang ketat. Pendekatannya masih lebih banyak bersifat spekulatif. Di sisi lain, belum adanya pengganti tokoh sekaliber Cak Nur dan Gus Dur saya kira menjadi faktor kedua penyebab kelesuan pemikiran Islam saat ini.
Tulisan ini sama sekali tak berpretensi mengecilkan karya-karya pemikiran Islam yang belakangan banyak bermunculan. Ada banyak karya yang patut kita apresiasi, misalnya Abdul Moqsith Ghazali yang menulis Argumen Pluralisme Agama (2009), yang diangkat dari disertasinya. Ia adalah sebuah karya tafsir Al-Quran non-konvensional yang menjelaskan akar-akar pluralisme dalam Islam, baik secara historis maupun doktriner (Al-Quran dan Hadis). Saya melihat karya ini adalah bentuk elaborasi baru—jika tak boleh dikatakan melanjutkan apa yang sudah pernah dirintis oleh Cak Nur.
Berbeda dengan Moqsith, karya Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (2010) adalah sebuah karya yang didasarkan pada pengamatan empiris dan argumentasi di sekitar isu sekuralisme, pluralisme, dan liberalisme yang diharamkan oleh MUI. Buku yang didasarkan bukan hanya pada bahan-bahan tertulis tetapi juga pada pertemuan dan wawancara dengan sejumlah tokoh muslim maupun non-muslim ini sedikit lebih maju dari sisi gagasan. Buku ini tak lagi mempersoalkan istilah sekularisme—seperti pernah ditentang oleh Cak Nur—tetapi justru menganjurkan sekularisme dengan alasan bahwa terjadinya perubahan-perubahan sosial, proses sekularisasi, akan berjalan terus sehingga, disadari atau tidak, sekularisasi memang merupakan proses sosiologis yang sudah dan akan terus menjadi kenyataan secara intensif, dan mengarah pada cita-cita sekularisme. Dengan sekularisme, berlaku kesetaraan di antara semua agama, sehingga tidak ada minoritas maupun mayoritas. Kesemuanya mempunyai hak-hak yang sama.
Hal lain yang menjadi catatan saya dalam tulisan ini adalah kehadiran intelektual liberal yang tidak berdaya mengatasi aksi-aksi kekerasan berdalih agama. Ini menjadi faktor ketiga, yakni gagalnya intelektual liberal mengusung gagasan pluralisme, liberalisme, demokrasi, yang tentu saja semakin menambah panjang daftar pesimisme akan masa depan pembaruan Islam.
Belum lagi dari perspektif negara yang masih mempertahankan peraturan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Alih-alih dihapuskan, peraturan-peraturan daerah yang memformalisasi syariat Islam terus bermunculan di sejumlah wilayah di Indonesia. Upaya formalisasi ini pernah ditolak oleh Cak Nur dan juga gurunya, Fazlur Rahman. Formalisasi Islam bagi Rahman mengesankan sifat mekanisme karena, seakan-akan dalam menghadapi berbagai gempuran yang datang dari Barat, seseorang akan duduk begitu saja dan mengislamisasinya. Hal ini tidak mengarah pada penciptaan ilmu yang kreatif.
Respons Rahman tersebut membawa ke arah perdebatan teoretis yang lebih besar, yaitu tentang bagaimana seharusnya seorang muslim menciptakan teori-teori dan sistem-sistem yang diturunkan dari Al-Quran secara absah. Kuntowijoyo pernah menawarkan gagasan perlunya “saintifikasi Islam”, yaitu sebuah upaya untuk bergerak dari kajian utopia ke ideologi dan kemudian ke ide. Dalam khazanah pemikiran Islam, Kuntowijoyo termasuk dalam pemikir neo-modernis yang memakai seperangkat ilmu Barat dengan sentuhan transendental Qurani dan kenabian sebagaimana yang sering dia sebut dalam banyak tulisannya sebagai “strukturalisme transendental”. Sementara Cak Nur banyak menggeluti bidang etika Al-Quran, Kuntowijoyo lebih pada bidang sosiologi atau perekayasaan masyarakat Islam—walaupun tidak tepat betul dengan tipologi itu. Keduanya menggeluti Islam peradaban dengan grand design untuk mengupayakan suatu social engineering masyarakat Islam Indonesia yang modern.
Konsep Rahman bahwa Al-Quran hanya sepersepuluhnya yang tampak ke permukaan, sedangkan sisanya masih tenggelam dalam permukaan sejarah—terkenal dengan konsep “teori puncak gunung es yang terapung”—mengingatkan perlunya segera diupayakan systematic reconstruction dalam pemikiran Islam, terutama dalam hal yang menyangkut bidang teologi, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial. Intelektual muslim harus berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis, atau tepatnya paradigma untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan semangat zaman. Jika tidak, pembaruan Islam hanya tinggal kenangan.
Dipublikasikan Koran Tempo, 22-07-2011
Belum lama ini saya hadir dalam sebuah acara pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Abdul Moqsith Ghazali—intelektual muda yang sangat akrab dengan khazanah Islam klasik—di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pidato kebudayaan kali ini mengambil tema “Menegaskan Kembali Pembaruan Islam”. Tema tersebut seakan memberikan afirmasi bahwa, setelah wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak ada lagi gagasan-gagasan besar atau pemikiran-pemikiran baru. Jika pun ada, sifatnya hanyalah semacam “Menyegarkan Kembali”, seperti yang ditulis oleh Ulil Abshar-Abdalla, atau “Menegaskan Kembali”, sebagaimana tertulis dalam judul pidato Moqsith.
Dari segi substansi pemikiran, gagasan Moqsith yang disampaikan di TIM tidak ada yang baru. Ia hanya mengeksplorasi kembali gagasan-gagasan besar Cak Nur tentang pokok-pokok Al-Quran, risalah kenabian, sikap terhadap karya ulama, dan bagaimana seharusnya memosisikan akal. Moqsith ataupun Ulil tentu berbeda dengan Cak Nur, yang gagasan-gagasannya pernah membuat geger umat Islam di seantero negeri ini. Polemik bermula ketika Cak Nur melontarkan gagasan tentang “sekularisasi”, atau “Islam Yes, Partai Islam No”, yang kemudian dibantah oleh H.M. Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama. Sampai kini, 40 tahun pernyataan tersebut dikeluarkan, ia masih terasa aktual. Umat Islam tidak hanya ada dalam partai Islam, tapi telah menyebar ke semua partai: Golkar, PDIP, Demokrat, Hanura, maupun Partai Gerindra. Ini membuktikan bahwa mereka memahami benar makna “Islam Yes, Partai Islam No!”
Makna paling dalam dari pemikiran Cak Nur adalah menyatukan umat Islam dalam kerangka berpikir yang lebih modern. Kerangka berpikir yang bisa beradaptasi dengan kekinian. Begitu juga dekonstruksi makna Islam sebagai suatu nama agama dengan makna generik, yakni sikap pasrah dan kepatuhan terhadap hukum syariah. Melalui pernyataannya tersebut, Cak Nur membuka mata umat Islam bahwa setiap agama mempunyai ekspresi keimanan terhadap tuhan yang sama. Ibarat roda yang berputar, pusat roda tersebut adalah tuhan yang sama melalui jalan berbagai agama yang heterogen tapi satu makna.
Sepeninggal Cak Nur maupun Gus Dur, pemikiran Islam yang muncul tidak lebih sekadar menjadikan Islam sebagai obyek kajian semata, ketimbang sebagai gagasan dinamis yang mampu bergerak melintasi batas-batas keyakinan, kultural, ideologi, yang mampu mempengaruhi umat manusia dengan segala keunikannya. Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan saya, M. Dawam Rahardjo mensinyalir bahwa munculnya gagasan-gagasan yang banyak dijumpai dalam sejumlah karya para intelektual muda belakangan ini baru diuraikan dalam tataran utopia dan belum beranjak kepada ide yang digarap dengan pendekatan ilmiah yang ketat. Pendekatannya masih lebih banyak bersifat spekulatif. Di sisi lain, belum adanya pengganti tokoh sekaliber Cak Nur dan Gus Dur saya kira menjadi faktor kedua penyebab kelesuan pemikiran Islam saat ini.
Tulisan ini sama sekali tak berpretensi mengecilkan karya-karya pemikiran Islam yang belakangan banyak bermunculan. Ada banyak karya yang patut kita apresiasi, misalnya Abdul Moqsith Ghazali yang menulis Argumen Pluralisme Agama (2009), yang diangkat dari disertasinya. Ia adalah sebuah karya tafsir Al-Quran non-konvensional yang menjelaskan akar-akar pluralisme dalam Islam, baik secara historis maupun doktriner (Al-Quran dan Hadis). Saya melihat karya ini adalah bentuk elaborasi baru—jika tak boleh dikatakan melanjutkan apa yang sudah pernah dirintis oleh Cak Nur.
Berbeda dengan Moqsith, karya Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (2010) adalah sebuah karya yang didasarkan pada pengamatan empiris dan argumentasi di sekitar isu sekuralisme, pluralisme, dan liberalisme yang diharamkan oleh MUI. Buku yang didasarkan bukan hanya pada bahan-bahan tertulis tetapi juga pada pertemuan dan wawancara dengan sejumlah tokoh muslim maupun non-muslim ini sedikit lebih maju dari sisi gagasan. Buku ini tak lagi mempersoalkan istilah sekularisme—seperti pernah ditentang oleh Cak Nur—tetapi justru menganjurkan sekularisme dengan alasan bahwa terjadinya perubahan-perubahan sosial, proses sekularisasi, akan berjalan terus sehingga, disadari atau tidak, sekularisasi memang merupakan proses sosiologis yang sudah dan akan terus menjadi kenyataan secara intensif, dan mengarah pada cita-cita sekularisme. Dengan sekularisme, berlaku kesetaraan di antara semua agama, sehingga tidak ada minoritas maupun mayoritas. Kesemuanya mempunyai hak-hak yang sama.
Hal lain yang menjadi catatan saya dalam tulisan ini adalah kehadiran intelektual liberal yang tidak berdaya mengatasi aksi-aksi kekerasan berdalih agama. Ini menjadi faktor ketiga, yakni gagalnya intelektual liberal mengusung gagasan pluralisme, liberalisme, demokrasi, yang tentu saja semakin menambah panjang daftar pesimisme akan masa depan pembaruan Islam.
Belum lagi dari perspektif negara yang masih mempertahankan peraturan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Alih-alih dihapuskan, peraturan-peraturan daerah yang memformalisasi syariat Islam terus bermunculan di sejumlah wilayah di Indonesia. Upaya formalisasi ini pernah ditolak oleh Cak Nur dan juga gurunya, Fazlur Rahman. Formalisasi Islam bagi Rahman mengesankan sifat mekanisme karena, seakan-akan dalam menghadapi berbagai gempuran yang datang dari Barat, seseorang akan duduk begitu saja dan mengislamisasinya. Hal ini tidak mengarah pada penciptaan ilmu yang kreatif.
Respons Rahman tersebut membawa ke arah perdebatan teoretis yang lebih besar, yaitu tentang bagaimana seharusnya seorang muslim menciptakan teori-teori dan sistem-sistem yang diturunkan dari Al-Quran secara absah. Kuntowijoyo pernah menawarkan gagasan perlunya “saintifikasi Islam”, yaitu sebuah upaya untuk bergerak dari kajian utopia ke ideologi dan kemudian ke ide. Dalam khazanah pemikiran Islam, Kuntowijoyo termasuk dalam pemikir neo-modernis yang memakai seperangkat ilmu Barat dengan sentuhan transendental Qurani dan kenabian sebagaimana yang sering dia sebut dalam banyak tulisannya sebagai “strukturalisme transendental”. Sementara Cak Nur banyak menggeluti bidang etika Al-Quran, Kuntowijoyo lebih pada bidang sosiologi atau perekayasaan masyarakat Islam—walaupun tidak tepat betul dengan tipologi itu. Keduanya menggeluti Islam peradaban dengan grand design untuk mengupayakan suatu social engineering masyarakat Islam Indonesia yang modern.
Konsep Rahman bahwa Al-Quran hanya sepersepuluhnya yang tampak ke permukaan, sedangkan sisanya masih tenggelam dalam permukaan sejarah—terkenal dengan konsep “teori puncak gunung es yang terapung”—mengingatkan perlunya segera diupayakan systematic reconstruction dalam pemikiran Islam, terutama dalam hal yang menyangkut bidang teologi, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial. Intelektual muslim harus berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis, atau tepatnya paradigma untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan semangat zaman. Jika tidak, pembaruan Islam hanya tinggal kenangan.
Dipublikasikan Koran Tempo, 22-07-2011
No comments:
Post a Comment