Rio
Krishermono
Arabisasi
BEBERAPA tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan datang ke
kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir
Butho masih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim itu adalah
agar memerintahkan semua warga NU untuk membacakan surah Al-Fatihah bagi
keselamatan bangsa Pakistan.
Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Butho yang berjenis
kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda “celakalah sebuah
kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan”. Namun kenyataan nya bahwa hadits
tersebut disabdakan pada abad VIII Masehi di jazirah/Peninsula Arabia. Bukankah
ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?
Pada waktu dan tempat itu, konsep kepemimpinan (za’amah) bersifat
perorangan -di mana seorang kepala suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin
peperangan melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang
pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari kawasan satu ke
kawasan lain dan mendamaikan segala macam persoalan antar para keluarga yang
berbeda-beda kepentingan dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus
berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.
Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia
Presiden maupun Perdana Menteri sebuah negara, konsep kepemimpinan kini telah
dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri
Butho tidak boleh mengambil sikap sendiri, melainkan melalui sidang kabinet
yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet juga tidak boleh
menyimpang dari Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh parlemen yang beranggotakan
laki-laki sebagai mayoritas. Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim
Agung yang membentuk Mahkamah Agung (MA), yang keseluruhan anggotanya juga
laki-laki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi menjadi
masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah
dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. “Ya memang benar, demikian kata orang
alim Pakistan itu, tetapi tolong bacakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan
bangsa Pakistan”.
Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah
berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang
membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam
simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah
begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak
terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi. Sebagai contoh, nama-nama
beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga
di-Arabkan; kata syari’ah untuk hukum Islam, adab untuk sastra Arab, ushuludin
untuk studi gerakan-gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan
fakultas keputrian dinamakan kulliyyatul bannat. Seolah -olah tidak terasa
ke-Islaman-nya kalau tidak menggunakan kata-kata bahasa Arab tersebut.
Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Universitas
Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula nama-nama berbagai pondok
pesantren. Kebiasaan masa lampau untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan
menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren (PP) Lirboyo
Kediri, Tebu Ireng Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolah-olah kurang
Islami, kalau tidak menggunakan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipaksakanlah
nama PP Al-Munawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.
Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. Kalau
dahulu orang awam menggunakan kata “minggu” untuk hari ke tujuh dalam al-manak,
sekarang orang tidak puas kalau tidak menggunakan kata Ahad. Padahal kata
minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, “jour do-minggo”, yang berarti
hari Tuhan. Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang-orang Portugis -kulit
putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari itu, kini kaum muslimin banyak
mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian,
justru kaum muslimin menggunakan hari tutup kantor tersebut sebagai pusat
kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan?
Dengan melihat kenyataan di atas, bahwa kaum muslimin di
Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan
mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi
ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap
kemampuan bertahan dalam menghadapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan
kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata
berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat
dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka
yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung
kembali ke akar Islam, yaitu kitab suci Alquran dan Hadits Nabi SAW. Dengan
demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam itu menjadi
super-ficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang
menggunakan nama Islam dan yang kita tolak?
Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Islam itu,
dikenal dengan sebutan dalil naqli, jadi sikap sempit yang menolak segala macam
penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran
baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai
kawasan (waktu yang sangat panjang). “Pemurnian Islam” (Islamic Puritanism)
seperti itu, berarti tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah
berkembang di berbagai kawasan selama berabad-abad, memang ada ekses buruk dari
pengalaman dan perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berbentuk
puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari
ekses-ekses yang keliru tersebut.
Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang
dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam
kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah
kontra-reformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang
kemudian berujung pada teologia pembebasan (liberation theology), merupakan
perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah
pelaksanaan dari adagium “perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat
bagi umat” (ikhtilaf al-a’immah rahmat al-ummah). Adagium tersebut bermula dari
ketentuan kitab suci Alquran: “Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal” (wa ja’alnaakum syu’uuban wa
qabaa’ila li ta’arafuu). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah pihak, baik
kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam Islam, adalah mengakui
pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam. Indah, bukan?
Rio Krishermono
Renungan untuk “Islam” kita
Islam bagi banyak orang masih diyakini sebagai agama yang paling
benar, tanpa ada kesalahan sama sekali, sedangkan orang lain adalah terperosok
pada kesesatan. Dukungan Alquran (QS 33:40) bahwa Muhammad sebagai penutup
nabi, Islam sebagai agama yang paling sempurna (QS 5:3), umat Islam menganggap
bahwa agama di luar dirinya adalah salah. Akibatnya, muncullah sebuah
pertentangan, konflik, pertumpahan darah lantaran adanya truth claim tersebut.
Pemahaman orang lain dipaksakan harus sama dengan pemahaman dirinya. Bahkan,
dalam internal Islam, pertentangan, konflik yang didasari oleh perbedaan
pemahaman sering kali mencuat adanya.
Perlu ditegaskan bahwa Islam adalah agama yang tidak keluar dari
historitas manusia. Islam yang kita anut sekarang ini bukanlah Islam yang lahir
secara instan, tanpa proses jalur manusia dan sejarah. Pertanyaannya, benarkah
agama yang kita anut sekarang ini sama seperti Islam pada saat Nabi? Tidakkah
di dalamnya terdapat perubahan atau bahkan distorsi besar-besaran yang
dilakukan oleh sekelompok orang setelah Nabi wafat? Dan, jika ternyata Islam
yang kita anut sekarang ini berbeda dengan islamnya Muhammad, apakah kita
termasuk kafir, murtad, ataukah masih tergolong Islam?
Islam yang kita anut sekarang ini sudah berbeda jauh dengan Islam
masa Muhammad. Sebab, konteks sosial-budaya-politik ternyata juga ikut
membentuk karakteristik dari Islam. Jika pada masa Nabi, Islam tidak berhadapan
dengan hegemoni Barat yang kapitalistik sekompleks sekarang, maka tentu
konstruksi Muhammad terhadap Islam tidaklah sulit. Dan, tantangan zaman yang
berkembang pula sudah tidak tertandingi lagi saat ini.
Sekalipun berbeda dengan Islam Muhammad, Islam sekarang ini tidak
bisa disalahkan jika secara substansi tidak melenceng dari Islam Muhammad.
Islam pada masa Muhammad adalah Islam yang bergerak untuk membebaskan, toleran,
populis, maka Islam sekarang pun harus demikian. Jika ternyata Islam yang kita
anut ini sudah kehilangan daya kritisnya, pro-status quo, hanya menjadi simbol,
maka Islam seperti itulah sebenarnya yang sudah melenceng dari Islam yang telah
digariskan oleh Muhammad. Sekalipun ia rajin ibadah, berpuasa, namun dalam aksi
sosialnya justru bertentangan dengan pesan dari ibadah itu, maka orang tersebut
sudah mendistorsi Islam. Islam hanya dipahami sebagai sebuah ritualistik yang
kering akan makna sosial.
Bahkan, Islam yang kita anut pada dasarnya berbeda antara yang
satu dan yang lain. Ada Islamku, Islam Anda, dan Islam kita. Jangan disangka
Islam yang saya anut sama seperti Islam orang lain. Islam saya memiliki
karakteristik dan ciri tertentu, berbeda dengan Islam yang lain. Begitu
seterusnya. Islam selalu masuk dalam ruang manusia secara plural. Munculnya
mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki merupakan konsekuensi dari adanya
perbedaan pemahaman tentang Islam. Itulah yang saya maksud sebagai ‘Islam saya,
Islam Anda’.
Maka, tidak mengherankan ketika muncul perbedaan pendapat tentang
Islam. Munculnya mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki, fiqh As’ariyah,
Jabariyah, Mu’tazilah, Syiah dan sebagainya adalah salah satu contoh adanya
perbedaan pemahaman tentang Islam. Singkatnya, pemahaman kita tentang Islam
sangat terkait dengan lokalitas dan psikologi masing-masing muslim. Islam tidak
bisa digeneralisasi.
Di samping itu, Islam yang kita anut sekarang ini adalah Islam
warisan orang tua dan lingkungan setempat, tidak berasal dari kehendak kita
sendiri. Jika bapak/ibu Islam dapat dipastikan anaknya akan Islam juga. Kalau
si anak tidak mengikuti agama bapak/ibunya, akan mendapatkan perlakuan yang
tidak adil, atau bahkan kekerasan. Karena inilah sebenarnya yang membuat Islam
tidak bisa bergerak cepat seiring dengan perubahan zaman. Sebab, Islam yang
kita anut ini tidak berasal dari kesadaran dan kritisisme yang mendalam.
Sementara orang tua (bapak/ibu) tidak memiliki kesadaran pluralisme dan
inklusivisme.
Maka tidaklah mengherankan, manakala si anak mengidentifikasi
bapak/ibunya seperti itu. Jangan salahkan jika anak menaruh curiga, bermusuhan
pada agama lain. Berbeda halnya jika dididik, diberi pemahaman inklusivisme dan
pluralisme, anak tidak akan mempersoalkan perbedaan keyakinan, ideologi di
antara teman-temannya. Di sinilah letaknya taghayyur al-ahkam bi al-taghayyur
al-azminati wa al-amkaniyah. Keluarga dan lingkungan sangat besar pengaruhnya
terhadap anak.
Karena itulah, John Hick sebagaimana yang dikutip oleh Walter H
Capps dalamReligious
Studies, The Making of a Discipline (1995, hlm 267) mengatakan bahwa if
someone is born to Muslim parents in Egypt or Pakistan, that person is very
likely to be a Muslim, if to Buddhist parents in Sri Lanka or Burma, that person
is very likely to be a Buddhist; if to Hindu parents in India, that person is
very likekly to be a Hindu; if to Christian parents is Europe or the Americas,
that person is very likely to be Christian. Keluarga, lingkungan
sangat menentukan terhadap keyakinan seseorang. Maka dari itu, untuk membangun
sikap inklusivisme dan pluralisme harus dimulai dari keluarga dan lingkungan
sekitarnya.
***
Kendati Islam kita berbeda antara yang satu dan yang lain, bukan
berarti di antara pemahaman tersebut tidak menemukan titik temu. Titik temu
inilah yang akan menentukan apakah seseorang itu masih Islam atau sudah keluar
dari Islam. Titik temu ini adalah sebuah mainstream. Inilah letaknya
universalitas Islam. Semua orang sepakat bahwa Islam mengajarkan kebajikan, perdamaian,
kerukunan, persamaan, dan keadilan. Kekerasan, diskriminasi adalah larangan
Tuhan. Dalam hal teologi, Tuhan adalah satu, Muhammad adalah sebagai media
antara manusia dan Tuhan, Rasul. Dan, Alquran merupakan sumber hukum, ajaran,
dan moral baik di ranah teologis maupun sosiologis. Kesemua itu merupakan titik
temu di antara pemahaman kita yang berbeda-beda tentang Islam.
Perbedaan pemahamaan tentang Islam tidak harus menjadi persoalan
serius selagi bisa dipertemukan. Muhammadiyah tidak lantas menyalahkan
Nahdlatul Ulama. Begitu pula sebaliknya. Pertentangan antara Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah yang selama ini terus berlangsung hanyalah pada persoalan
lahiriah, furu’iyah, bukan
substansi. Seharusnya, perbedaan itu diramu menjadi sebuah kekayaan khazanah
dan pengetahuan, sehingga Islam senantiasa menemukan konteksnya dalam setiap
ruang dan waktu (shalihun
fiy kulli zamanin wa makanin). Islam tidak bisa ditafsirkan secara
monolitik, tunggal. Sebab, Islam mengenal konteks dan langgam
sosial-budaya-politik tertentu. Maka, memahami Islam secara kaku, eksklusif,
monolitik adalah mendistorsi Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang luwes,
fleksibel.
Jika demikian, kekerasan, peperangan, ketidakadilan merupakan
tindakan yang bertentangan dengan Islam. Ayat-ayat Alquran tentang jihad, amar
makruf nahi mungkar yang sering kali dijadikan legitimasi bagi kekerasan juga
harus diterjemahkan ulang.