Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Kuasa. sayangnya, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga kerap menjadi bencana. Bukanlah Tuhan yang menganugerahkan bencana, melainkan manusia yang memiliki cara pandang sempit (miopik) yang sering menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan merupakan tolok ukur dan pintu gerbang (avant garde) menilai bagaimana pandangan pluralitas ditegakkan. Bagaimana individu dan kelompok tertentu memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat keberagamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah serius seringnya pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada rahmat.
Keberagamaan yang demikian akan menjebak sense u-mat hanya kepada saudara-saudara seagama (in group feeling) dan menomorduakan saudara dari agama lain. Lahir sikap tidak objektif dalam memandang apa yang ada di luar agamanya. Lahirlah primordialisme sempit yang akan mengakibatkan berbagai konflik sosial politik dengan implikasi perang dan kekerasan antaragama yang mengatasnamakan agama. Tentu perlu disadari bahwa agama yang bersifat primordial akan selalu menegasikan aspek pluralitas. Selanjutnya, ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Tentu perlu kita sadari fungsi agama adalah menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan. Fungsi agama adalah mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan asal-usul suku dan budaya, ras maupun gender. Agama tanpa fungsi semacam itu hanya akan melahirkan suatu pemujaan (cult) belaka.
Agama dan Ancaman Konflik Sosial
Agama diturunkan ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak pernah ada cita-cita agama manapun yang ingin membuat onar, membuat ketakutan, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme dan perusakan. Sebelum adanya agama, masyaraka dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, saling membunuh, saling menjelekkan dan seterusnya. Kemudian agama datang untuk membawa cahaya kedamaian bagi manusia di bumi ini. Agama, dengan demikian harus kita sepakati terlebih dahulu, hadir untuk menciptakan ketenteraman, untuk saling menghormati dan memahami satu sama lain. Ada banyak agama dan kepercayaan di bumi ini. Logisnya, antaragama dan kepercayaan semestinya tumbuh sikap saling menghormati itu.
Namun sayangnya, dari masa lalu hingga kini, suatu agama kerap memandang dirinya sebagai satu kebenaran tunggal dalam memotret agama lain, demikian pula dengan agama yang lain. Antaragama jarang menemukan titik temu atas realitas perbedaan yang sudah semestinya niscaya ini. Lalu terjadilah konflik yang berdarah-darah, pembunuhan korban tak bersalah atas nama agama. Sebagai pemeluk agama yang benar-benar memanifestasikan imannya untuk kedamaian di dunia, kita benar-benar dibuat sedih. Jika konflik atas nama agama dibenarkan, hilanglah nurani dan hakikat agama itu sendiri. Agama tak lagi menjadi payung perdamaian karena sudah mengalami politisasi dan fanatisme.
Dialog antaragama dan komunikasi antariman dengan demikian, akan menjadi sesuatu yang amat berharga dalam rangka menyelesaikan konflik. Ia adalah suatu konsep di mana penghargaan pada masing- masing keyakinan menjadi poin utama. Logisnya, menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat atau substansi agama. Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-klaim kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.
Humanisme, Agama dan Politisasi
Tidak bisa tidak, agar agama-agama mampu menghadapi tantangan masa depan yang berupa globalisasi, ia harus benar-benar bersifat humanistik serta terbuka. Artinya, ketika melakukan dialog perlu ditanamkan sebuah keyakinan bahwa kebenaran suatu agama adalah milik masing-masing pemeluknya.
Sementara itu, penghargaan dan penghormatan atas agama lain adalah prioritas mutlak dalam mewujudkan kebersamaan dan perbedaan. Tanpa adanya sikap saling mengormati, tampaknya kita semakin terperosok pada keyakinan yang membabi-buta atas agama tertentu di alam yang plural ini. Dan, kita akan terjebak pada potensi-potensi kekerasan yang jelas-jelas menodai rasa kemanusiaan kita. Tugas penting agama- agama adalah bersama mencari makna kemanusiaan. Yang terjadi pada masyarakat kita selama ini adalah ketakutan mental, minimnya sikap saling menghormati dalam beragama. Ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan dalam agama.
Sikap agama terhadap masalah kemanusiaan, akan menjadi tolok ukur profetis agama di tengah masyarakat. Kehilangan fungsi profetis ini otomatis menghilangkan fungsi agama di tengah masyarakat. Bahkan, TH Sumartana almarhum (1996) mengatakan bahwa dalam diskursus kita tentang pertemuan antaragama, kita terpanggil bukan hanya untuk membuat agenda sosial politik dan lainnya. Tetapi setaraf dengan itu, kita harus mengedepankan sebuah agenda teologi sebagai kesatuan integral.
Dengan demikian, tugas teologi dalam agama mestinya diarahkan untuk mengusir rasa takut terhadap agama lain. Sehingga agenda yang sangat mendesak adalah mengalahkan ketakutan bersama antar agama itu dan memunculkan kebersamaan agama-agama dalam menjaga dan mempertahankan martabat manusia dari ancaman terutama yang datang dari diri sendiri. Di masa Orba, kita sering merasa sedih karena agama selalu mengalami reduksi dan politisasi. Doktrin agama tentang kedamaian direduksi menjadi sebentuk fundamentalisme, yaitu hasil dari proses politisasi dan fanatisasi agama. Di masa itu pula kita memahami bahwa pereduksian agama akan melahirkan situasi di mana agama tertentu terjebak dalam konfrontasi dengan kelompok agama lain. Keberagamaan kita terjebak kepada bentuk formalisme beragama. Akibat yang memilukan adalah agama justru terasing dari persoalan kehidupan manusia. Mengapa demikian? Hal ini tak lain karena fungsi agama kabur. Agama yang seharusnya menjadi pembebas, malah terjebak pada aspek romantisme formal.
Oleh karena itu, di sini penting mengutip pendapat JB Banawiratma (1996) bahwa dalam memandang agama kita perlu melihatnya dalam dua aspek, yakni dengan huruf kecil dan besar. Dalam "agama" (`a´ kecil) ajaran diberikan pada manusia untuk beriman kepada Tuhan yang memberi hidup, dan dalam "Agama" (`A´ besar) para pengikutnya cenderung membakukan ajaran-ajaran yang normatif, membangun institusi dan memperlakukannya secara ekstrim. Ini artinya agama yang ia yakini benar adalah benar untuk semua, dan agama yang lain salah.
Beragama secara ekstrem sebagaimana di atas akan menutup peluang sikap saling menghormati dan membantu pihak lain. Jika kita runut ke belakang, ini terjadi akibat tafsir-tafsir atas teks agama yang masih didominasi tafsir tekstual, bukan kontekstual. Ayat suci agama tidak diorientasikan mengikuti perkembangan kemanusiaan, melainkan perkembangan kemanusiaan yang harus mengikuti aturan ayat suci. Akibatnya, pikiran kaum beragama menjadi beku dan rigid. Segala sesuatu yang konstruktif dan membawa perdamaian, tapi jika ditafsir secara berbalikan dengan teks ayat suci agama itu akan menjadi dekonstruktif.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu 21 Januari 2006
No comments:
Post a Comment