Kerukunan Umat Beragama
Mungkinkah Indonesia menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri" Meskipun KUHP tidak mengenal jenis hukuman itu, tetapi sebanyak 62 juta muslim Indonesia, atau 31,4% dari sekitar 199 juta populasi muslim tidak keberatan seandainya hal itu terjadi. Setidaknya begitulah bila mengacu pada hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang dipublikasikan akhir bulan lalu.
Lembaga penelitian itu memang sering melakukan riset seputar isu Islam dan demokrasi. Salah satu riset yang dilakukan secara rutin sejak tahun 2001 berusaha menemukan jawaban atas tiga pertanyan. Yakni, bagaimana jika non-muslim menjadi guru di sekolah umum, non-muslim membangun rumah ibadah di lingkungan sekitar, dan tentang penerapan hukuman potong tangan.
Dalam survei terakhir dilakukan sepanjang bulan Agustus lalu, PPIM mengambil 1.200 responden di 33 provinsi. Responden laki-laki jumlahnya sama dengan responden perempuan. Direktur Eksekutif PPIM, Jajat Burhanuddin, mengatakan bahwa survei yang margin error-nya 3% dengan tingkat kepercayaan 95% tersebut menunjukkan masih rendahnya toleransi dan pluralisme di kalangan muslim Indonesia.
Indikasi tersebut ditangkap melalui jawaban responden bahwa 27,6% dari mereka ternyata keberatan jika non-muslim menjadi guru di sekolah umum. "Terutama untuk tingkat sekolah dasar," kata Jajat. Keberatan responden bila non-muslim menjadi guru SD, menurut Jajat, karena masa anak-anak dinilai masa pembentukan karakter dan peletak dasar agama.
Ini juga yang menjelaskan mengapa sekolah model SIT (Sekolah Islam Terpadu), yang menggabungkan kurikulum nasional dengan pendidikan akhlak Islam jadi laris manis. "Karena demand-nya memang tinggi," katanya.
Poin kedua, yakni penolakan pembangunan rumah ibadah, angkanya bahkan lebih tinggi lagi. Sepanjang tahun 2007, misalnya, angka survei mencerminkan bahwa sebanyak 45,8% muslim Indonesia keberatan kalau non-muslim membangun rumah ibadah di lingkungan mereka. Namun saat disurvei lagi akhir Agustus lalu, tingkat keberatan itu melonjak jadi 57,8% alias separuh lebih.
Bahkan, kalau membaca hasil survei PPIM tentang isu rumah ibadah ini sejak tahun 2001, tampaknya persentase warga muslim yang keberatan jumlahnya tidak pernah di bawah 30%. Tingkat toleransi tertinggi terhadap isu rumah ibadah terjadi pada tahun 2002, ketika hanya 37,5% muslim yang keberatan akan keberadaan rumah ibadah agama lain di lingkungan mereka.
Setelah itu angkanya terus naik. "Keberatan terhadap pembangunan rumah ibadah itu persentasenya memang cukup konsisten, bahkan cenderung meningkat," dosen sejarah Islam di UIN ini menjelaskan.
Poin kedua akan membawa ke poin ketiga, yakni hukuman potong tangan untuk pencuri. Jajat mengatakan ada korelasi positif antara sikap intoleran dengan agenda Islamisme. Semakin seorang muslim tidak toleran terhadap agama lain, semakin besar kemungkinan dia mendukung agenda Islamisme. Mendukung hukuman potong tangan untuk pencuri adalah salah satu indikatornya.
Sesuai dengan tingkat keberatan terhadap pembangunan rumah ibadah yang menaik, maka dukungan terhadap hukuman potong tangan juga naik. Pada survei tahun 2007, hanya 26,2% muslim Indonesia yang mendukung hukuman potong tangan. Tapi pada 2008, jumlah yang mendukung naik jadi 31,4%.
Padahal menurut Jajat, hukum potong tangan sebenarnya bukan harga mati karena saat Umar menjadi khalifah, beliau pernah tidak menjatuhkan potong tangan terhadap pencuri yang tertangkap.
Meskipun hasil survei menunjukkan tingkat toleransi dan pluralisme muslim Indonesia relatif rendah, tidak berarti tingkat kekerasan terhadap non-muslim berada di level yang sama. "Kita tetap harus membedakan mana yang sikap pribadi dan mana yang sudah berwujud ekspresi publik," kata Jajat.
Jajat mencontohkan bahwa para responden ada juga yang bergaul baik dengan non-muslim atau tinggal berdekatan. Mereka juga tidak ikut serta dalam pengerahan massa menolak keberadaan rumah ibadah non-muslim. Keberatan mereka tetap berada di wilayah pribadi dan baru muncul ketika ditanya. Jadi masih butuh tahapan sebelum sikap pribadi itu berubah jadi ekspresi publik. Variabelnya bisa kehadiran pemimpin yang kharismatis, organisasi massa, dan lain-lain.
Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI (Konferensi Wali Gereja) Indonesia, mengatakan bahwa dirinya tidak terkejut dengan hasil survei PPIM tersebut. "Realitas di lapangan memang begitu," katanya.
Benny lalu mengutip hasil penelitian Setara Institute pimpinan pengacara dan aktivis HAM Hendardi, di mana Benny sendiri duduk sebagai sekretaris dewan nasional. Dari tahun 2007 sampai 2010, Setara Institut mencatat 315 kasus kekerasan bermotif agama. "Itu data kekerasan untuk semua agama. Sedang untuk Kristen sendiri sekitar 100-an," katanya.
Menurut Benny, tingkat intoleransi itu meningkat terutama karena negara memberi angin kepada kelompok-kelompok garis keras. Saat ini, menurut Benny, semakin sulit mendirikan gereja. Sepanjang tahun ini, di Jawa Barat saja ada 16 gereja yang pendiriannya dipermasalahkan.
Fenomena sulitnya mendirikan gereja ini bahkan melahirkan gejala baru, yakni munculnya oknum-oknum makelar izin yang memungut uang pelicin untuk memperlancar pendirian gereja. "Jadi sekarang kalau mau beribadah ongkosnya mahal," katanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kekerasan bermotif agama semakin kuat. Terutama sejak perisiwa yang menimpa Ahmadiyah. "Pada zaman Gus Dur, kondisi keberagaman relatif lebih baik. Negara tidak absen. Banser NU saja bisa turun mengamankan gereja," katanya.
Di pihak lain, Mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, mewanti-wanti kalau fakta-fakta hasil penelitian itu harus dipastikan kebenarannya, terutama menyangkut dukungan terhadap penerapan hukuman potong tangan yang jumlahnya tampak besar. "Kalau penelitian PPIM itu valid, maka itu sangat memprihatinkan," katanya.
Namun kata Syafii, ia sepakat dengan Benny bahwa negara memang absen mengelola hubungan antaragama di Indonesia. Pemerintah tidak terlihat percaya diri. Bahkan menurut Syafii, sikap tidak percaya diri dalam mengelola hubungan antaragama itu dengan sendirinya menunjukkan karakter pemerintahan yang banyak dosa. "Mentalitas orang kalau banyak dosa kan begitu, tidak percaya diri," katanya.
Salah satu solusi meningkatkan toleransi antar-umat beragama, menurut Syafii, akan banyak berpulang pada penegakan hukum, karena menurutnya intoleransi itu erat kaitannya dengan kondisi politik. Karena intoleransi agama itu banyak sangkut-pautnya dengan politik, maka hukum harus ditegakkan. "Kalau hukum itu fair, keberagaman akan lebih terjamin," ia menambahkan.
Basfin Siregar
[Agama, Gatra Nomor 49 Beredar Kamis, 14 Oktober 2010]
Lembaga penelitian itu memang sering melakukan riset seputar isu Islam dan demokrasi. Salah satu riset yang dilakukan secara rutin sejak tahun 2001 berusaha menemukan jawaban atas tiga pertanyan. Yakni, bagaimana jika non-muslim menjadi guru di sekolah umum, non-muslim membangun rumah ibadah di lingkungan sekitar, dan tentang penerapan hukuman potong tangan.
Dalam survei terakhir dilakukan sepanjang bulan Agustus lalu, PPIM mengambil 1.200 responden di 33 provinsi. Responden laki-laki jumlahnya sama dengan responden perempuan. Direktur Eksekutif PPIM, Jajat Burhanuddin, mengatakan bahwa survei yang margin error-nya 3% dengan tingkat kepercayaan 95% tersebut menunjukkan masih rendahnya toleransi dan pluralisme di kalangan muslim Indonesia.
Indikasi tersebut ditangkap melalui jawaban responden bahwa 27,6% dari mereka ternyata keberatan jika non-muslim menjadi guru di sekolah umum. "Terutama untuk tingkat sekolah dasar," kata Jajat. Keberatan responden bila non-muslim menjadi guru SD, menurut Jajat, karena masa anak-anak dinilai masa pembentukan karakter dan peletak dasar agama.
Ini juga yang menjelaskan mengapa sekolah model SIT (Sekolah Islam Terpadu), yang menggabungkan kurikulum nasional dengan pendidikan akhlak Islam jadi laris manis. "Karena demand-nya memang tinggi," katanya.
Poin kedua, yakni penolakan pembangunan rumah ibadah, angkanya bahkan lebih tinggi lagi. Sepanjang tahun 2007, misalnya, angka survei mencerminkan bahwa sebanyak 45,8% muslim Indonesia keberatan kalau non-muslim membangun rumah ibadah di lingkungan mereka. Namun saat disurvei lagi akhir Agustus lalu, tingkat keberatan itu melonjak jadi 57,8% alias separuh lebih.
Bahkan, kalau membaca hasil survei PPIM tentang isu rumah ibadah ini sejak tahun 2001, tampaknya persentase warga muslim yang keberatan jumlahnya tidak pernah di bawah 30%. Tingkat toleransi tertinggi terhadap isu rumah ibadah terjadi pada tahun 2002, ketika hanya 37,5% muslim yang keberatan akan keberadaan rumah ibadah agama lain di lingkungan mereka.
Setelah itu angkanya terus naik. "Keberatan terhadap pembangunan rumah ibadah itu persentasenya memang cukup konsisten, bahkan cenderung meningkat," dosen sejarah Islam di UIN ini menjelaskan.
Poin kedua akan membawa ke poin ketiga, yakni hukuman potong tangan untuk pencuri. Jajat mengatakan ada korelasi positif antara sikap intoleran dengan agenda Islamisme. Semakin seorang muslim tidak toleran terhadap agama lain, semakin besar kemungkinan dia mendukung agenda Islamisme. Mendukung hukuman potong tangan untuk pencuri adalah salah satu indikatornya.
Sesuai dengan tingkat keberatan terhadap pembangunan rumah ibadah yang menaik, maka dukungan terhadap hukuman potong tangan juga naik. Pada survei tahun 2007, hanya 26,2% muslim Indonesia yang mendukung hukuman potong tangan. Tapi pada 2008, jumlah yang mendukung naik jadi 31,4%.
Padahal menurut Jajat, hukum potong tangan sebenarnya bukan harga mati karena saat Umar menjadi khalifah, beliau pernah tidak menjatuhkan potong tangan terhadap pencuri yang tertangkap.
Meskipun hasil survei menunjukkan tingkat toleransi dan pluralisme muslim Indonesia relatif rendah, tidak berarti tingkat kekerasan terhadap non-muslim berada di level yang sama. "Kita tetap harus membedakan mana yang sikap pribadi dan mana yang sudah berwujud ekspresi publik," kata Jajat.
Jajat mencontohkan bahwa para responden ada juga yang bergaul baik dengan non-muslim atau tinggal berdekatan. Mereka juga tidak ikut serta dalam pengerahan massa menolak keberadaan rumah ibadah non-muslim. Keberatan mereka tetap berada di wilayah pribadi dan baru muncul ketika ditanya. Jadi masih butuh tahapan sebelum sikap pribadi itu berubah jadi ekspresi publik. Variabelnya bisa kehadiran pemimpin yang kharismatis, organisasi massa, dan lain-lain.
Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI (Konferensi Wali Gereja) Indonesia, mengatakan bahwa dirinya tidak terkejut dengan hasil survei PPIM tersebut. "Realitas di lapangan memang begitu," katanya.
Benny lalu mengutip hasil penelitian Setara Institute pimpinan pengacara dan aktivis HAM Hendardi, di mana Benny sendiri duduk sebagai sekretaris dewan nasional. Dari tahun 2007 sampai 2010, Setara Institut mencatat 315 kasus kekerasan bermotif agama. "Itu data kekerasan untuk semua agama. Sedang untuk Kristen sendiri sekitar 100-an," katanya.
Menurut Benny, tingkat intoleransi itu meningkat terutama karena negara memberi angin kepada kelompok-kelompok garis keras. Saat ini, menurut Benny, semakin sulit mendirikan gereja. Sepanjang tahun ini, di Jawa Barat saja ada 16 gereja yang pendiriannya dipermasalahkan.
Fenomena sulitnya mendirikan gereja ini bahkan melahirkan gejala baru, yakni munculnya oknum-oknum makelar izin yang memungut uang pelicin untuk memperlancar pendirian gereja. "Jadi sekarang kalau mau beribadah ongkosnya mahal," katanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kekerasan bermotif agama semakin kuat. Terutama sejak perisiwa yang menimpa Ahmadiyah. "Pada zaman Gus Dur, kondisi keberagaman relatif lebih baik. Negara tidak absen. Banser NU saja bisa turun mengamankan gereja," katanya.
Di pihak lain, Mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, mewanti-wanti kalau fakta-fakta hasil penelitian itu harus dipastikan kebenarannya, terutama menyangkut dukungan terhadap penerapan hukuman potong tangan yang jumlahnya tampak besar. "Kalau penelitian PPIM itu valid, maka itu sangat memprihatinkan," katanya.
Namun kata Syafii, ia sepakat dengan Benny bahwa negara memang absen mengelola hubungan antaragama di Indonesia. Pemerintah tidak terlihat percaya diri. Bahkan menurut Syafii, sikap tidak percaya diri dalam mengelola hubungan antaragama itu dengan sendirinya menunjukkan karakter pemerintahan yang banyak dosa. "Mentalitas orang kalau banyak dosa kan begitu, tidak percaya diri," katanya.
Salah satu solusi meningkatkan toleransi antar-umat beragama, menurut Syafii, akan banyak berpulang pada penegakan hukum, karena menurutnya intoleransi itu erat kaitannya dengan kondisi politik. Karena intoleransi agama itu banyak sangkut-pautnya dengan politik, maka hukum harus ditegakkan. "Kalau hukum itu fair, keberagaman akan lebih terjamin," ia menambahkan.
Basfin Siregar
[Agama, Gatra Nomor 49 Beredar Kamis, 14 Oktober 2010]
No comments:
Post a Comment