Airlangga Pribadi
SELAMA lebih dari satu dekade, diskursus mengenai Islan dan Muslim di Indonesia, didominasi oleh kalangan Islam Liberal dan Islam Fundamentalis. Dan dalam konteks konsolidasi demokrasi, menarik untuk melihat bagaimana produksi wacana kalangan Muslim pro-demokrasi di Indonesia.
Dalam amatan saya, selama ini produksi wacana politik Muslim pro demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru masih terpaku pada pendekatan kultural dan dan teologis. Kelemahan utama dari pendekatan ini adalah melewatkan realitas bahwa praktik wacana kaum Muslim Pro-Demokrasi di Indonesia tidak berjalan di ruang hampa kekuasaan. Mengingat kenyataan konkrit politik Islam pasca Orde baru memunculkan proses persinggungan dialektis antara penyebaran ide dengan konteks struktural dari bekerjanya relasi kekuasaan ekonomi-politik. Kontestasi dan konsolidasi di antara kekuatan-kekuatan politik ini bekerja untuk memperkuat posisi kekuasaan maupun kemakmuran kelompoknya melalui aksi politik di dalam proses kelembagaan politik yang tengah berjalan (Richard Robison 2010; 25).
Dalam konteks demikian, agensi Muslim Pro-Demokrasi bukanlah entitas yang steril dari penggelaran pertarungan kekuasaan tersebut. Mereka adalah bagian dari aktor yang terlibat dalam proses kontestasi dengan melakukan aliansi politik atau melawan kekuatan-kekuatan sosial yang tengah bertarung. Melalui pendekatan ini kita dapat memahami bagaimana proses interaksi antara pemikiran kalangan Muslim beserta ideologinya berkorespondensi dengan formasi struktur ekonomi politik yang menyejarah, tempat berlangsungnya pertarungan konkret di antara aliansi kekuatan-kekuatan sosial sebagai konteks sosial kalangan Muslim berinteraksi dalam ruang politik di Indonesia.
Kategori Muslim pro-demokrasi yang digunakan dalam artikel ini tidak digunakan secara longgar, dalam artian semua kalangan aktor-aktor politik Muslim yang memanfaatkan proses politik dalam kelembagaan politik demokrasi untuk memperjuangkan tujuan-tujuan politiknya. Pengertian Muslim pro-demokrasi merujuk pada kalangan aktor-aktor Muslim yang memiliki komitmen terhadap perjuangan kesetaraan dalam hak-hak sipil dan politik, memperjuangkan ide-ide toleransi dan pluralisme dalam bingkai kebangsaan, dan memisahkan diri dari agenda politik menegakkan syariah dan Negara Islam. Perjuangan kaum Muslim pro-demokrasi ini memiliki komitmen terhadap penafsiran Pancasila sebagai sebuah pijakan ideologi bersama warga Negara Indonesia dengan tidak mengutamakan ideologi Islam di atas yang lainnya. Dari pembatasan ini, tulisan ini tidak terbatas pada menguji komitmen mereka terhadap nilai-nilai kultural demokrasi (toleransi, pluralisme dan nilai-nilai inklusifitas) serta perjuangan hak sipil dan politik, namun juga memotret komitmen kaum Muslim pro-demokrasi terhadap-agenda yang selama ini tak tersentuh dalam wacana Islam dan demokrasi di Indonesia- berbagai bentuk imperatif dalam ekonomi-politik liberal (menolak distorsi politik terhadap berjalannya ekonomi pasar, pemerintahan yang transparan, anti oligarkhi dan aliansi bisnis-politik, penciptaan kondisi politik demokratik yang bersih dari praktik politik uang, korupsi serta agenda politik liberal lainnya).
Dari pembacaan atas interaksi antara ideologi kaum Muslim demokratis, tindakan agensi yang mereka lakukan dan pertemuannya dengan struktur ekonomi-politik yang tengah berproses di Indonesia pasca-otoritarianisme, kita menemukan bahwa sebuah ide tidak begitu saja secara determinatif membentuk praktik dan tindakan politik dari suatu kelompok. Sebagai contoh, perjuangan politik aktor-aktor Muslim pro-demokrasi di Indonesia tidak dapat begitu saja kita nilai dari corak pemikiran yang mereka usung lengkap dengan segenap uraiannya (Islam Liberal, civil Islam, Islam Moderat). Yang terjadi, gagasan tersebut dapat terseleksi, mengalami proses deviasi atau menjelma menjadi sebuah praktik politik yang berbeda dengan ide awalnya, yang mana hal itu sangat ditentukan oleh pertemuan atau perselisihan kepentingan dari aktor yang mengusungnya dengan koalisi sosial yang mereka bangun. Sehingga, dalam pemahaman akan kontestasi diskursus Islam di Indonesia pasca-Orde Baru ini tidak melupakan bagaimana bias kepentingan ekonomi-politik mempengaruhi praksis ideologi yang bekerja dalam kontestasi politik tersebut, serta kendala konkret apa yang muncul dari implementasi gagasan dalam realitas politik, dan bagaimana kita memahami relasi antara wacana dan praktik politik dalam struktur ekonomi-politik di dalamnya.
Terkait dengan kajian Muslim pro-demokrasi di Indonesia yang cenderung menggunakan kajian kultural dan menekankan pada aspek social capital (Robert W Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000; Luthfi Assyaukanie, Islam and The Secular State in Indonesia, 2009; dan Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia, 2007. Perspektif kultural ini memiliki persoalan setidaknya dalam tiga aspek: Pertama, asumsi bahwa kalangan Muslim demokrat dalam dirinya adalah agensi utama yang mempromosikan nilai-nilai civic culture dan toleransi, sehingga dengan sendirinya kehadiran mereka akan menjadi penggerak bagi proses demokratisasi di Indonesia. Meskipun karya Robert W. Hefner dalam Civil Islam juga menyinggung aspek sosial ekonomi dan persoalan politik kuasa, namun demikian unsur tersebut tidak menjadi kerangka teorinya dalam menganalisis kaum Civil Islam di Indonesia. Dalam perspektif strukturalis, pendekatan kultural ini problematik, karena seperti diutarakan Salwa Ismail dalam Rethinking Islamist Politics: Culture, The State and Islamism(2006; 16-17), diskursus Muslim dan aktor yang mengartikulasikannya terikat pada situasi historis yang spesifik, dimana makna dan tindakan ditentukan dalam hubungannya dengan kondisi basis material dan hubungan-hubungan institusional maupun posisi tiap-tiap aktor dalam kekuasaan. Ketika kita melupakan relasi antara wacana yang diartikulasikan baik dengan kondisi material maupun posisi agensi dalam kekuasaan, maka kita melupakan apa hambatan-hambatan sosial yang membatasi bergulirnya suatu wacana maupun kesempatan-kesempatan yang disediakan oleh struktur ekonomi-politik untuk mendukung bergulirnya sebuah gagasan dalam ruang sosial.
Kedua, kajian atas wacana Islam dan demokrasi di Indonesia yang menekankan pengaruh gagasan, orientasi etis dan wacana dalam mempengaruhi ruang publik di Indonesia juga tidak mempertimbangkan bagaimana interaksi dialektik antara gagasan dan kondisi sosial yang dihadapi mempengaruhi posisi wacana dalam proses politik yang terjadi. Seperti diutarakan Vedi R. Hadiz dan Khoo Boo Teik dalam C ritical Connections: Islamic Politics and Political Economy in Indonesia and Malaysia (2010), memahami politik Islam tidak dapat dijelaskan merujuk pada Islam itu sendiri maupun hanya pada variabel budaya saja. Pembacaan yang seksama tentang realitas politik Islam, harus terintegrasi dengan basis sosial dari kelompok Islam, transformasi kapitalisme yang berjalan, kebijakan negara, kontur kehidupan ekonomi dan dinamika kebangkitan kekuatan Islam yang bekerja.
Pandangan ini sejalan dengan analisis mendiang Fred Halliday, professor kajian Hubungan Internasional asal London School of Economics and Political Theory (LSE), dalam karyanya The Middle East and International Relations: Power, Politics and Ideology (2005), ketika ia mengritik beberapa pendekatan esensialis tentang Islam Politik yang menggunakan nilai-nilai kultural Islam sebagai variabel utama untuk menjelaskan politik Islam di Timur Tengah. Menurut Halliday, ketika kita menyadari pentingnya variabel budaya dalam politik bukan berarti kita menempatkannya sebagai faktor utama yang menentukan analisis politik kita atas suatu subyek seperti Islam Politik. Dalam bingkai analisis ekonomi-politik, berbagai faktor seperti kepentingan, konfigurasi kelas, struktur kuasa yang menyejarah dalam politik Islam harus mendapatkan posisi penting dalam membaca dinamika politik Islam. Sehingga alih-alih menempatkan secara tautologis eksisnya kaum Muslim Demokratik sebagai premis utama yang harus ada bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia, maka analisis politik Islam berbasis ekonomi-politik ini mesti melihat bagaimana hubungan antara ideologi yang diperjuangkan oleh kalangan Muslim Demokratik dengan tindakan politik yang terjadi dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Hubungan mana bisa berbentuk konflik maupun kerjasama saling menguntungkan.
Ketiga, determinasi variabel modal sosial (social capital) dalam karya-karya mereka tentang Islam dan demokrasi membuatnya mengabaikan pengaruh struktur sosial yang timpang, yang berpengaruh atas peran modal sosial dalam membangun tradisi demokrasi. Gagasan tentang modal sosial sendiri awalnya digunakan oleh Pierre Bourdeau dalam artikelnya berjudul Le Capital sociale: notes provisoires (1980), sebagai elemen dalam formasi kapital yang mempengaruhi pembentukan konfigurasi sosial dan pertarungan kelas dalam wahana budaya. Robert Putnam dalam Making Democracy Works: Civic Traditions in Modern Italy (1993), kemudian memodifikasi dan memotong tendensi konflik dan pertarungan kelasnya dengan mendefinisikannya sebagai sifat dari organisasi sosial seperti jejaring (network), norma, kepercayaan sosial (social trust) yang memfasilitasi kerjasama untuk mencapai keuntungan bersama. Gagasan ini selanjutnya bergaung besar dan digunakan sebagai elemen utama dalam proyek-proyek pembangunan Good Governance. Seperti diutarakan oleh John Harris dalam Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital (2002; 6), yang mengritik penggunaan variabel social capital dalam diskursus pembangunan, bahwa analisis social capital digunakan dalam kajian pembangunan maupun analisis sosial untuk mempertemukan aparatus negara, agensi pembangunan dan aktor bisnis untuk membangun aksi kolektif. Karena itu, analisis yang berpijak pada variabel modal sosial ini melupakan variabel struktural relasi kuasa yang eksis (existing power relationship) yang mempengaruhi ketimpangan sosial maupun posisi tawar dari masing-masing aktor. Bagi Harris, modal sosial adalah instrumen anti-politik dalam narasi pembangunan untuk menempatkan kajian pembangunan semata-mata sebagai proses kolaborasi antara aktor strategis pembangunan dan melupakan pengaruh dari distribusi kekuasaan maupun variabel dominasi elite politik dalam tatanan sosial yang eksis di dalamnya. Dalam konteks struktur ekonomi politik yang korup yang ditandai dengan hadirnya oligarkhi ekonomi politik yang menentukan ruang publik paska rezim otoriter, maka pendekatan modal sosial bukan saja tidak dapat bekerja namun aktivasi nilai-nilai tersebut di dalamnya berpeluang memperkuat bekerjanya tatanan sosial yang cenderung korup tersebut.
Berangkat dari pembacaan kritis atas pendekatan kultural yang begitu kuat mempengaruhi cara pandang terhadap kajian politik Islam di Indonesia pasca-otoritarianisme, ada beberapa pertanyaan kritis yang patut untuk diletakkan diatas meja. Dalam konteks bertahtanya kekuatan oligarkhis yang memegang konsentrasi kekuasaan ekonomi-politik yang melimpah dan mampu berdiri di atas hukum dan kelembagaan demokrasi serta menggunakan kekuasaan mereka untuk membayar institusi-institusi demokrasi seperti di Indonesia (Jeffrey Winters 2011), dimanakah letak dari kekuatan aktivisme maupun intelektual Islam pro-demokrasi maupun liberal? Apakah mereka mampu menghadapi pembajakan kelembagaan politik demokrasi dan konsisten dengan agenda demokrasi liberal mereka, ataukah mereka justru terserap menjadi instrumen dan kaki tangan dari kekuatan oligarkhis tersebut yang kontras dengan agenda-agenda reformis yang selama ini mereka kumandangkan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut agaknya mengkhawatirkan bagi arah masa depan kalangan Muslim Demokratik liberal di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa aktor-aktor strategis dari kalangan ini dalam real aliansi formasi ekonomi-politik di Indonesia, telah terinkorporasi dan bergantung secara basis material dengan kekuatan politik oligarkhis tersebut sebagai lembaga pemikiran yang memberikan supply pengetahuan-pengetahuan liberal terhadapnya. Akibatnya, aktivitas-aktivitas predatoris dan pembajakan lembaga demokrasi maupun tatanan pelembagaan hukum dan ekonomi politik yang dilakukan oleh kalangan oligarkhis tertutupi oleh pencitraan diskursus liberal yang diolah dan ditampilkan oleh para intelektual-intelektual kondang pendukung gagasan Islam demokratik-liberal. Pada beberapa kasus yang menyangkut penghancuran hak milik privat dan penghancuran ekologis, seperti pada kasus lumpur Lapindo, para proponen Islam demokratik-liberal yang telah menjadi kaki tangan oligarkhis terbukti bungkam seribu basa. Sementara para aktivis Muslim demokratik yang masuk didalam arus politik formal dan memiliki jabatan-jabatan strategis didalam partai, telah terjebak dalam permainan predatoris yang dalam sirkulasi kapital yang bergulir semuanya berujung pada pertarungan bertendensi demokrasi kriminal oleh para elite-elite oligarkhis di Indonesia (seperti pada kasus bank Century, penggelapan pajak maupun kasus Hambalang dan Wisma Atlet). Sehingga meskipun dalam konteks ide mereka menyodorkan agenda-agenda reformasi liberal secara ekonomi-politik, dan sesekali menunjukkan bahwa mereka juga memiliki perhatian terhadap agenda-agenda politik progresif, namun dalam akar koalisi ekonomi-politik yang mereka bangun terindikasi ikut terlibat atau diam terhadap bentuk-bentuk manifestasi praktik demokrasi kriminal di Indonesia.
Beberapa fakta-fakta sosial di atas agaknya menyajikan gambaran muram tentang aktivitas politik kalangan Muslim Demokratik di Indonesia, apabila dilihat dari konteks pertautan kepentingannya dengan kontestasi kekuatan sosial di Indonesia? Selama 15 tahun terakhir, ternyata mereka tidak memiliki perhatian serius atas agenda-agenda demokrasi yang mereka perjuangkan sendiri, seperti penegakan hukum yang imparsial, pemberantasan korupsi, penyelenggaraan pemilu yang fair maupun agenda-agenda pembangunan yang melayani kepentingan publik (mengingat pada ranah-ranah tersebutlah kerapkali kaum oligarkh melakukan aktivitas pembajakan demokrasi). Pada kenyataannya mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap agenda-agenda yang menjadi jargon politik liberal mereka sendiri, ketika dalam praktiknya hal itu bertentangan dengan kepentingan kaum oligarkhi. Sehingga, sebenarnya perhatian utama mereka hanyalah pada relasi-relasi formasi kekuatan sosial dominan yang dapat memberikan, merawat dan menjaga kemakmuran mereka sendiri. Akhirnya, penglihatan tajam terhadap agenda Muslim demokrasi ini membawa pada sebuah teguran keras bagi para aktivisnya, karena alih-alih mereka menjadi pejuang otentik demokrasi seperti yang mereka suarakan selama ini, sebaliknya kaum Muslim demokratik liberal inilah yang menjadi bagian dari penghalang dan masalah dari agenda demokrasi yang selama ini mereka kemukakan.
Kenyataan ini menjadi sebuah peringatan penting bagi kalangan Muslim demokratik progresif, bahwa deviasi dan kontradiksi internal dalam gagasan liberal yang tengah menjadi praktik aktor demokrasi Muslim Indonesia, tengah membawa praktik politik ide-ide pengetahuan liberal di Indonesia menuju takdir kebangkrutannya. Inilah saatnya menempuh jalan lain, jalan baru yang lebih bermartabat dan terhormat bersama-sama dengan koalisi rakyat dan kekuatan sosial yang selama ini tertindas di Indonesia, untuk mengusung artikulasi kepentingan mereka bersama dengan kelompok-kelompok yang beragam mengusung agenda demokrasi progresif abad ke-21.***
Kepustakaan:
Assyaukanie, Luthfi (2009). Islam and the Secular State in Indonesia. ISEAS.
Bourdieu, Pierre. (1980). Le Capital Social: Notes Provisoires. Actes de la Recherce en Science Sociales.
Hadiz, Vedi R dan Khoo Boo Teik (2010), Critical Connections: Islamic Politics and Political Economy in Indonesia and Malaysia. Institute of Developing Economics.
Harriss, John (2002). Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital. Anthem Press.
Hefner, Robert W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Cambridge.
Halliday, Fred (2005). The Middle East in International Relations: Power, Politics and Ideology.Cambridge
Ismail, Salwa (2006). Rethinking Islamist Politics: Culture, the State and Islamism. IB Tauris.
Mujani, Saiful (2007). Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia. Gramedia.
Putnam, Robert. (1993). Making Democracy Works: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton NJ.
Robison, Richard (2010). How Policy Agendas are Shaped by Different Concepts of Political Economy. The Elephant in the Room: Politics in the Development Problem. ADRA.
Winters, Jeffrey A. 2011. Oligarchy. Cambridge University Press.
Airlangga Pribadi, pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
No comments:
Post a Comment