http://17-08-1945.blogspot.com/2013/12/koran-digital-hasibullah-satrawi-antara.html
Hasibullah Satrawi
SECARA legal dan formal, hanya ada dua partai di Indonesia saat ini
yang dapat disebut sebagai partai Islam, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Hal itu tak lain
karena keduanya secara resmi menggunakan Islam sebagai asas mereka.
Menariknya ialah masyarakat tak hanya melabeli istilah `partai Islam'
kepada partaipartai yang secara eksplisit menggunakan Islam sebagai visi
ataupun asas mereka seperti PPP dan PBB. Istilah partai Islam juga
dilabelkan kepada partai-partai yang secara visi ataupun asas tidak
menggunakan Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mungkin
sebabnya dua partai yang disebutkan terakhir itu didirikan dan
dinakhodai para tokoh Islam. Atas pertimbangan itu pula tulisan ini
tetap menggunakan isilah `partai Islam' untuk merujuk kepada
partai-partai yang berbasis Islam di luar PPP dan PBB.
Salah tingkah
Dalam beberapa waktu terakhir partai Islam acap mengalami
`salah tingkah'; begini dan begitu merasa kurang pas.
Hingga dianggap perlu adanya perubahan-perubahan untuk menyesuaikan
ataupun me mantapkan keadaan mereka.
Apa yang dialami PKS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh nyata dari
sikap salah tingkah tersebut, yaitu ketika partai dakwah tersebut
meneguhkan diri sebagai partai terbuka pada Mukernas 2012 di Jakarta.
Sikap salah tingkah yang dialami partai-partai Islam tidak bisa
dilepaskan dari hasil pemilu. Dalam beberapa kali hasil pemilu,
partai-partai Islam kerap mengalami kegagalan untuk menjadi pemenang.
Padahal, Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Dengan kata lain, bila dipilih seluruh masyarakat Indonesia yang ber
agama Islam, niscaya partai-partai Islam akan menjadi pemenang pemilu,
alih-alih menjadi penghuni semitetap papan tengah.
Namun, realitas politik berkata lain. Hasil pemilu berkalikali
menunjukkan masyarakat Indonesia (termasuk yang beragama Islam) lebih
memilih partai-partai lain yang notabene menjadi pesaing partai-partai
Islam. Tentu itu menjadi realitas yang sangat pahit bagi partai-partai
Islam.
Tidak semata-mata karena mereka kalah 'di lumbung sendiri', lebih dari
itu karena sebagian dari mereka kerap menggunakan sentimen keagamaan
untuk mendapatkan
Dukungan dari umat Islam Indonesia, baik di atas kertas ataupun di atas
panggung kampanye, tapi faktanya mereka tetap juga kalah.
Pertanyaannya kemudian ialah kenapa partai-partai Islam selalu kalah
dalam sejarah pemilu di Indonesia?
Menurut sebagian pihak, itu disebabkan partai-partai Islam tidak
bersatu. Akibatnya, suara masyarakat Indonesia yang beragama Islam
yang beragama Islam pun terpecah-pecah.
Jawaban itu mung kin tidak sepenuhnya salah, tapi dipastikan juga tidak
sepenuhnya benar. Faktanya partai-partai nasionalis seperti Partai
Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai
Golkar pun tidak bersatu. Namun, partai-partai nasionalis kerap
mendapatkan dukungan lebih banyak jika dibandingkan dengan partai Islam.
Tidak ada pembeda
Menurut hemat penulis, ada faktor lain yang tak kalah
menentukan bagi kekalahan partai-partai Islam selama ini, yaitu karena
tidak ada pembeda antara partai-partai Islam dengan partai-partai
nasionalis, khususnya bila ditinjau dari perilaku sebagian kader mereka
yang bersifat pragmatis. Di atas kertas, perbedaan ideologi bisa dan
mungkin memang hendak ditonjolkan partai-partai politik di Indonesia
untuk menarik minat pemilih hingga partai politik (parpol) meneguhkan
ideologi yang berbeda-beda, mulai kebangsaan hingga agama.
Namun, secara perilaku, hampir tidak ada perbedaan antara kader partai
Islam dan partai nasionalis. Dalam persoalan korupsi, contohnya, hampir
tidak ada bedanya antara perilaku kader partai Islam dan partai
nasionalis. Bahkan ada sebagian kader partai Islam yang justru terlibat
dalam skandal paling sakral dalam keyakinan mayoritas umat Islam di
Indonesia, yaitu skandal perempuan.
Dalam konteks perilaku sebagian kader partai yang serupa walaupun tak
sama ini, pembedaan secara ideologi acap dipahami tak lebih dari sekadar
baik jualan maupun dagangan parpol. Hal itu juga berlaku bagi
partai-partai Islam. Dengan kata lain, pemilihan Islam sebagai ideologi
partai bukan semata-mata pertimbangan dan perjuangan ideologis,
melainkan sekadar jualan untuk menarik minat masyarakat. Diharapkan,
melalui sentimen keislaman, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam bisa memilih partai Islam.
Pada tahap tertentu, partai berbasis Islam justru kerap menerjemahkan
keislaman mereka dengan semangat islamisme, seperti dalam persoalan
pro-kontra wacana pembubaran ormas-ormas tertentu yang kerap bertindak
anarkistis, pemberantasan kemaksiatan, dan pembubaran Densus 88
Antiterorisme. Sikap demikian tentu dimaksudkan untuk menunjukkan
konsistensi `keislaman' kepada publik.
Persoalannya ialah sejauh ini masyarakat pemilih menampakkan adanya
kecenderungan untuk berpihak kepada moderatisme jika dibanding kan
dengan islamisme, dan mengedepankan semangat kebangsaan daripada
semangat keagamaan. Setidak tidaknya dalam perpolitikan dan kekuasaan.
Itulah kurang lebih yang bisa menjelaskan kenapa partai berbasis Islam
kerap mengalami kekalahan demi kekalahan dalam sejarah pemilihan umum di
negeri ini. Setidaknya bila dibandingkan dengan perolehan suara yang didapatkan
partai-partai nasionalis yang kerap digdaya bila dibandingkan dengan
partai-partai Islam. Dengan kata lain, kekalahan tersebut terjadi karena
partai Islam selama ini acap terjebak di antara islamisme dan pragmatisme.
Alih-alih memperkuat visi kebangsaan, partai Islam justru kerap
menampakkan semangat islamisme, khususnya terkait dengan
persoalan-persoalan populis sebagaimana disebut sebelumnya. Akibatnya
ialah semakin jauh jarak yang memisahkan antara partai-partai Islam
bersama semangat islamisme mereka dan masyarakat pemilih bersama
semangat kebangsaan mereka.
Partai-partai Islam di Indonesia sejatinya mengambil pembelajaran
berharga dari pengalaman partai-partai Islam di Timur Tengah seperti
Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wa al-'Adalah) di Mesir
dan Partai An-Nahdlah di Tunisia, khususnya dalam dua tahun terakhir.
Pada awalnya, dua partai Islam itu, yang sama-sama lahir dari rahim
Ikhwanul Muslimin (IM), berhasil menjadi partai penguasa setelah
bertahun-tahun kerap dibungkam paksa oleh penguasa. Alih-alih memperkuat
visi kebangsaan, justru kedua partai tersebut kerap dituduh melakukan
islamisasi hingga pemerintahan yang dipimpin keduanya jauh dari stabil,
bahkan berakhir tragis seperti yang terjadi pada pemerintahan Mohammad
Mursi di Mesir.
Bila ditinjau dari pelbagai aspek, apa yang terjadi di Mesir pada masa
pemerintahan Ikhwanul Muslimin masih dan akan selalu menjadi perdebatan;
apakah hal itu termasuk kudeta atau bukan? Apakah hal itu bisa disebut
sebagai revolusi kedua atau rekayasa militer? Masih ada
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Namun, tidak demikian secara politik.
Dalam perspektif politik, apa yang dialami IM di Mesir merupakan
kekalahan telak yang tidak menyisakan perdebatan sedikit pun hingga
mereka harus kehilangan kursi kekuasaan yang baru diduduki seperti sekarang.
Oleh karena semua yang telah disampaikan, partai Islam di Indonesia
sejatinya memperkuat visi kebangsaan yang ada dan memperjuangkannya
secara konsisten hingga publik merasakan adanya perbedaan antara partai
Islam dan partai lainnya. Bukan justru menjebakkan diri dalam semangat
islamisme dan pragmatisme yang telah ditolak publik Nusantara semenjak
Indonesia baru akan dilahirkan.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2013/12/17/ArticleHtmls/Antara-Islamisme-dan-Pragmatisme-17122013012019.shtml?Mode=1#
No comments:
Post a Comment