http://www.tempo.co/read/news/2013/12/20/173538851
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muthi menolak adanya fatwa sesat terhadap Syiah dari lembaga keagamaan mana pun di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia. Menurut dia, fatwa sesat dari MUI di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, terbukti menjadi alat melegitimasikan kekerasan terhadap pengikut Syiah dan memicu konflik horizontal antar umat Islam. "Fatwa dari mana pun harus tidak untuk mengkafirkan dan menyesatkan," ujar Muthi kepadaTempo, Kamis, 19 Desember 2013.
Muthi menanggapi desakan Front Jihad Islam (FJI) yang mendesak MUI DIY mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran Syiah di Yogyakarta. FJI mengklaim mencatat 10 organisasi berhaluan Syiah di DIY. (Baca: Front Jihad Desak MUI Yogya Nyatakan Syiah Sesat)
Menurut Muthi, fatwa sesat itu berpotensi besar menimbulkan persoalan kebangsaan serius di Indonesia. Lembaga seperti MUI di daerah mana pun sebaiknya tidak lagi mengeluarkan fatwa penyesatan, khususnya untuk Syiah. Alasannya, hal itu memperbesar konflik antar umat Islam. "Umat Islam sudah mengalami banyak situasi sulit dan persoalan, jangan ditambah dengan masalah-masalah seperti ini," ujar dia.
Dia menyarankan MUI Pusat maupun daerah menghindari fatwa semacam pengadil kebenaran atau kesesatan akidah dan keyakinan setiap kelompok Umat Islam mana pun. Sebaliknya, dia menambahkan, MUI mengambil posisi tegas untuk memediasi perbedaan dan pertentangan pendapat antar organisasi Islam di Indonesia. "MUI harus berperan sebagai pemersatu umat Islam," kata Muthi.
Muthi tidak sepakat dengan pendapat FJI mengenai salah satu alasan desakannya, yakni buku terbitan MUI Pusat yang berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Menurut dia, buku itu keluar justru sebagai pernyataan sikap MUI Pusat untuk menolak memberikan fatwa penyesatan ke Syiah Indonesia. "Umat Islam harus bisa memberikan sumbangan konstruktif untuk Indonesia," kata dia.
Sikap serupa muncul dari Pengurus Wilayah NU Daerah Istimewa Yogyakarta. Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta, KH. Asyhari Abta, menyatakan MUI DIY tidak perlu menggubris permintaan FJI. Kyai dari Pesantren Yayasan Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta ini menganggap fatwa sesat malah bisa memicu konflik antar kelompok berbeda paham agama. "Bisa memperuncing perbedaan dan memicu tabrakan antar kelompok," ujar dia.
Asyhari mengatakan, sekalipun MUI DIY menemukan ada indikasi penyimpangan upaya maksimal hanya perlu dilakukan dengan dialog dan nasihat. Penyesatan pada ajaran malah bisa mendorong tudingan sesat ke kelompok-kelompok lain. "Sesat atau tidak sesat itu keputusannya di Allah Subhanahu Wataala," ujar dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
http://17-08-1945.blogspot.com/2013/12/koran-digital-hasibullah-satrawi-antara.html
Hasibullah Satrawi
SECARA legal dan formal, hanya ada dua partai di Indonesia saat ini
yang dapat disebut sebagai partai Islam, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Hal itu tak lain
karena keduanya secara resmi menggunakan Islam sebagai asas mereka.
Menariknya ialah masyarakat tak hanya melabeli istilah `partai Islam'
kepada partaipartai yang secara eksplisit menggunakan Islam sebagai visi
ataupun asas mereka seperti PPP dan PBB. Istilah partai Islam juga
dilabelkan kepada partai-partai yang secara visi ataupun asas tidak
menggunakan Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mungkin
sebabnya dua partai yang disebutkan terakhir itu didirikan dan
dinakhodai para tokoh Islam. Atas pertimbangan itu pula tulisan ini
tetap menggunakan isilah `partai Islam' untuk merujuk kepada
partai-partai yang berbasis Islam di luar PPP dan PBB.
Salah tingkah
Dalam beberapa waktu terakhir partai Islam acap mengalami
`salah tingkah'; begini dan begitu merasa kurang pas.
Hingga dianggap perlu adanya perubahan-perubahan untuk menyesuaikan
ataupun me mantapkan keadaan mereka.
Apa yang dialami PKS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh nyata dari
sikap salah tingkah tersebut, yaitu ketika partai dakwah tersebut
meneguhkan diri sebagai partai terbuka pada Mukernas 2012 di Jakarta.
Sikap salah tingkah yang dialami partai-partai Islam tidak bisa
dilepaskan dari hasil pemilu. Dalam beberapa kali hasil pemilu,
partai-partai Islam kerap mengalami kegagalan untuk menjadi pemenang.
Padahal, Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Dengan kata lain, bila dipilih seluruh masyarakat Indonesia yang ber
agama Islam, niscaya partai-partai Islam akan menjadi pemenang pemilu,
alih-alih menjadi penghuni semitetap papan tengah.
Namun, realitas politik berkata lain. Hasil pemilu berkalikali
menunjukkan masyarakat Indonesia (termasuk yang beragama Islam) lebih
memilih partai-partai lain yang notabene menjadi pesaing partai-partai
Islam. Tentu itu menjadi realitas yang sangat pahit bagi partai-partai
Islam.
Tidak semata-mata karena mereka kalah 'di lumbung sendiri', lebih dari
itu karena sebagian dari mereka kerap menggunakan sentimen keagamaan
untuk mendapatkan
Dukungan dari umat Islam Indonesia, baik di atas kertas ataupun di atas
panggung kampanye, tapi faktanya mereka tetap juga kalah.
Pertanyaannya kemudian ialah kenapa partai-partai Islam selalu kalah
dalam sejarah pemilu di Indonesia?
Menurut sebagian pihak, itu disebabkan partai-partai Islam tidak
bersatu. Akibatnya, suara masyarakat Indonesia yang beragama Islam
yang beragama Islam pun terpecah-pecah.
Jawaban itu mung kin tidak sepenuhnya salah, tapi dipastikan juga tidak
sepenuhnya benar. Faktanya partai-partai nasionalis seperti Partai
Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai
Golkar pun tidak bersatu. Namun, partai-partai nasionalis kerap
mendapatkan dukungan lebih banyak jika dibandingkan dengan partai Islam.
Tidak ada pembeda
Menurut hemat penulis, ada faktor lain yang tak kalah
menentukan bagi kekalahan partai-partai Islam selama ini, yaitu karena
tidak ada pembeda antara partai-partai Islam dengan partai-partai
nasionalis, khususnya bila ditinjau dari perilaku sebagian kader mereka
yang bersifat pragmatis. Di atas kertas, perbedaan ideologi bisa dan
mungkin memang hendak ditonjolkan partai-partai politik di Indonesia
untuk menarik minat pemilih hingga partai politik (parpol) meneguhkan
ideologi yang berbeda-beda, mulai kebangsaan hingga agama.
Namun, secara perilaku, hampir tidak ada perbedaan antara kader partai
Islam dan partai nasionalis. Dalam persoalan korupsi, contohnya, hampir
tidak ada bedanya antara perilaku kader partai Islam dan partai
nasionalis. Bahkan ada sebagian kader partai Islam yang justru terlibat
dalam skandal paling sakral dalam keyakinan mayoritas umat Islam di
Indonesia, yaitu skandal perempuan.
Dalam konteks perilaku sebagian kader partai yang serupa walaupun tak
sama ini, pembedaan secara ideologi acap dipahami tak lebih dari sekadar
baik jualan maupun dagangan parpol. Hal itu juga berlaku bagi
partai-partai Islam. Dengan kata lain, pemilihan Islam sebagai ideologi
partai bukan semata-mata pertimbangan dan perjuangan ideologis,
melainkan sekadar jualan untuk menarik minat masyarakat. Diharapkan,
melalui sentimen keislaman, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam bisa memilih partai Islam.
Pada tahap tertentu, partai berbasis Islam justru kerap menerjemahkan
keislaman mereka dengan semangat islamisme, seperti dalam persoalan
pro-kontra wacana pembubaran ormas-ormas tertentu yang kerap bertindak
anarkistis, pemberantasan kemaksiatan, dan pembubaran Densus 88
Antiterorisme. Sikap demikian tentu dimaksudkan untuk menunjukkan
konsistensi `keislaman' kepada publik.
Persoalannya ialah sejauh ini masyarakat pemilih menampakkan adanya
kecenderungan untuk berpihak kepada moderatisme jika dibanding kan
dengan islamisme, dan mengedepankan semangat kebangsaan daripada
semangat keagamaan. Setidak tidaknya dalam perpolitikan dan kekuasaan.
Itulah kurang lebih yang bisa menjelaskan kenapa partai berbasis Islam
kerap mengalami kekalahan demi kekalahan dalam sejarah pemilihan umum di
negeri ini. Setidaknya bila dibandingkan dengan perolehan suara yang didapatkan
partai-partai nasionalis yang kerap digdaya bila dibandingkan dengan
partai-partai Islam. Dengan kata lain, kekalahan tersebut terjadi karena
partai Islam selama ini acap terjebak di antara islamisme dan pragmatisme.
Alih-alih memperkuat visi kebangsaan, partai Islam justru kerap
menampakkan semangat islamisme, khususnya terkait dengan
persoalan-persoalan populis sebagaimana disebut sebelumnya. Akibatnya
ialah semakin jauh jarak yang memisahkan antara partai-partai Islam
bersama semangat islamisme mereka dan masyarakat pemilih bersama
semangat kebangsaan mereka.
Partai-partai Islam di Indonesia sejatinya mengambil pembelajaran
berharga dari pengalaman partai-partai Islam di Timur Tengah seperti
Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wa al-'Adalah) di Mesir
dan Partai An-Nahdlah di Tunisia, khususnya dalam dua tahun terakhir.
Pada awalnya, dua partai Islam itu, yang sama-sama lahir dari rahim
Ikhwanul Muslimin (IM), berhasil menjadi partai penguasa setelah
bertahun-tahun kerap dibungkam paksa oleh penguasa. Alih-alih memperkuat
visi kebangsaan, justru kedua partai tersebut kerap dituduh melakukan
islamisasi hingga pemerintahan yang dipimpin keduanya jauh dari stabil,
bahkan berakhir tragis seperti yang terjadi pada pemerintahan Mohammad
Mursi di Mesir.
Bila ditinjau dari pelbagai aspek, apa yang terjadi di Mesir pada masa
pemerintahan Ikhwanul Muslimin masih dan akan selalu menjadi perdebatan;
apakah hal itu termasuk kudeta atau bukan? Apakah hal itu bisa disebut
sebagai revolusi kedua atau rekayasa militer? Masih ada
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Namun, tidak demikian secara politik.
Dalam perspektif politik, apa yang dialami IM di Mesir merupakan
kekalahan telak yang tidak menyisakan perdebatan sedikit pun hingga
mereka harus kehilangan kursi kekuasaan yang baru diduduki seperti sekarang.
Oleh karena semua yang telah disampaikan, partai Islam di Indonesia
sejatinya memperkuat visi kebangsaan yang ada dan memperjuangkannya
secara konsisten hingga publik merasakan adanya perbedaan antara partai
Islam dan partai lainnya. Bukan justru menjebakkan diri dalam semangat
islamisme dan pragmatisme yang telah ditolak publik Nusantara semenjak
Indonesia baru akan dilahirkan.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2013/12/17/ArticleHtmls/Antara-Islamisme-dan-Pragmatisme-17122013012019.shtml?Mode=1#
UNTUK INTROSPEKSI
https://www.facebook.com/indonesia17081945/posts/607632155941098
Oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menobatkan Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling Islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustadz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Para ustadz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. “Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab”, katanya.
Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.
Namun, pertanyaan yang kemudian dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan Hadis.
Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata, persamaan hak bagi setiap warga Negara untuk memperoleh pelayanan Negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan:
… it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and government policies.
Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih diakibatkan oleh perilaku masyarakatnya atau pada sistem pemerintahnya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.
Semarak dakwah dan ritual
Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tidak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, tapi justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?
Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam – syahadat, shalat, puasa, zakat, haji – dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi jika ada pertanyaan:
How Islamic are Islamic Political Parties? menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan Hadis. Lalu diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya.