- Laporan terbaru yang dirilis Human Rights Watch mengklaim Indonesia gagal dalam melindungi kelompok agama minoritas dari aksi kekerasan intoleransi yang terus berkembang.
- Ini terutama terjadi di Provinsi Jawa Barat yang mudah bergolak. Di sini kasus intoleransi dan kekerasan atas nama agama terus meningkat.
Ada 57 kasus pada 2010 dan melonjak menjadi 102 kasus tahun lalu.
Serangan brutal terhadap sebuah gereja di Bandung Jawa Barat, saat jemaatnya sedang melakukan kebaktian Minggu, belum lama ini terjadi.
Puluhan jemaat melarikan diri saat 40 lelaki dari Front Pembela Islam, FPI, menyegel pintu gerbang Gereja dan menghancurkan apa saja di hadapan mereka.
Para penyerang yang menggunakan penutup muka hitam, bahkan mencekik Pendeta Gereja itu dengan dasinya.
Corry Maukar, istri sang pendeta, memohon agar mereka berhenti.
“Tolonglah kami jangan diganggu. Kami mau ibadah. Kami jangan diserang, kami pengen ibadat. Tolong jangan diserang. Itu aja yang kami minta. Hormati ibadah kami jangan sampai kami ibadah terus kami diserang. Saya mohon sekali supaya FPI menghargai kami. Kami nga pernah menyakiti, berbuat salah pada mereka, mengapa mereka benci banget ke kami. Ituloh. Setiap kami ibadah diserang, harus diserang. Bahkan mereka membawa tombak, kan membuat kami takut. Kami nga punya salah dan nga mengganggu mereka. Mereka semua orang jauh, orang-orang yang nga kami kenal. Tapi sekarang ini kami sudah kenal karena mereka beberapa kali datang. Jadi kami mohon supaya janganlah kami diganggu. Kami mau ibadah sama Tuhan... ya.”
Gereja ini telah mengalami kekerasan serupa selama lebih dari dua tahun terakhir.
Menurut FPI, Gereja tidak punya IMB yang sah sebagai tempat beribadat - meski jemaat sudah melakukan kebaktian di tempat yang sama selama lebih dari 26 tahun.
“Ah itu dah nga terhitung ya. Akhir-akhir ini banyak orang yang datang yang katakan nanti sama saya, sama saya. Kemaren terakhir banyak keluar uang ya. Kemaren terakhir saya jual mobil. Ternyata orang itu juga nga bisa ya .”
Dua hari setelah serangan itu, sang Pendeta ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi karena melakukan peribadatan tanpa izin.
Dan bukan hanya umat Kristen yang menjadi korban kekerasan berdasarkan agama di provinsi itu.
Awal bulan ini, sekitar 50 orang jemaah Ahmadiyah di Bekasi Jawa Barat, dikurung dalam masjidnya yang dipagari seng, yang didirikan oleh pemerintah daerah.
Dede Sujana juru bicara kelompok itu mengatakan Jemaat Ahmadiyah di sana seringkali diancam, sebelum mesjid ditutup oleh pemda.
“Listrik diputus. Mereka sudah menyiapkan semen, pasir entah untuk apa itu. Saya juga nga ngerti. Semua titik-titik untuk pintu masuk sudah dipagar betis. Semua titik menuju Masjid itu sudah diblokir. Jadi tidak ada yang bisa masuk untuk Sholat Jumat, selain 50 anggota saya yang ada dari semalam.”
Pemerintah daerah Bekasi membenarkan penutupan Masjid itu berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Barat. Juga dengan adanya Keputusan Bersama Menteri 2008 yang melarang anggota Ahmadiyah Indonesia untuk menyebarkan keyakinan agama mereka.
Ini hanya sedikit contoh diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di negara yang kerap dipuji para pemimpin dunia sebagai model untuk kerukunan umat beragama.
Laporan dari Human Rights Watch baru-baru ini menyoroti meningkatnya aksi intoleransi beragama dan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas agama di Indonesia.
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch asal Indonesia, menyatakan keprihatinan yang mendalam.
“Ratusan gereja ditutup, dibakar, setiap tahun, juga anggota Ahmadiyah diserang, bahkan kadang dibunuh dan infrastruktur hukum semakin kuat dalam mendiskriminasi kaum minoritas. Itu sebabnya kita prihatin melihat perkembangan ini dan mengapa Human Rights Watch memutuskan untuk melakukan penelitian soal ini.”
Laporan itu juga menggambarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang yang “tidak konsisten dalam membela hak kebebasan beragama.”
“Yang kita butuhkan di saat yang mendesak ini, adalah pemerintah Indonesia harus memberlakukan tidak ada toleransi terhadap kekerasan agama."
Tapi juru bicara pemerintah mengkritik laporan itu dan menyebutnya "provokatif" dan kurang objektif.
Menurut Bahrul Hayat, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, desakan agar pemerintah campur tangan adalah permintaan yang berlebihan.
“Saya kira tidak tepat kalau disebut sebagai peningkatan konflik agama. Yang kedua, konflik tidak hanya terkait dengan agama tapi juga masalah lainnya. Termasuk proses pemilu di daerah dan kadang ada juga isu-isu biasa yang di luar pemahaman kita tapi terjadi di masyarakat saat ini.”
Dia mengakui memang ada kasus-kasus kekerasan agama tapi menurut dia, ini tidak mengkhawatirkan.
“Indonesia adalah tempat yang cocok untuk melihat kerukunan umat beragama. Tentu saja bukan tempat yang sempurna tapi saya ingin mengatakan kalau prestasinya lebih baik dan semakin baik dari waktu ke waktu dan saya berharap masyarakat juga makin dewasa.”
Tapi coba katakan itu pada jemaat GKI Yasmin di Bogor.
Sejak 2010, gereja ini disegel pemerintah daerah setempat.
Bahkan dua putusan Mahkamah Agung dan perintah Ombudsman Indonesia diacuhkan pejabat setempat yang beralasan kalau masyarakat menentang kehadiran gereja tersebut.
Juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging, memimpin aksi protes kebaktian di depan Istana Presiden.
“Ini semacam permainan politik. Ini bukan soal hukum karena jika demikian tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah daerah atau nasional sekalipun, selain menjalankan putusan MA. Sekarang berdasarkan hukum nasional mengenai otonomi daerah, Presidenlah yang memberikan keputusan final, baru Mahkamah Agung. Sekarang kami sedang menunggu keputusannya dan gerakannya sebagai Presiden.”
Dan apakah Anda merasa ada kemungkinan ia akan mengikuti putusan itu?
“Mengacu pada pernyataannya akhir-akhir ini, saya ragu kalau Presiden akan melakukan itu. Terutama jika tidak ada tekanan yang lebih besar kepada pemerintah.”
Meski suaminya di penjara, Corry Maukar, sesekali mengadakan ibadah di tempat yang dirahasiakan.
Ia pun juga mendapat peringatan akan dipenjara.
Namun, Corry tetap berharap suatu hari nanti jemaatnya akan segera bersatu kembali tanpa takut akan diserang.
“Sebab sudah tertulis di Firman Tuhan, satu saat akan sama-sama bersatu dan saya tahu Muslim-Muslim itu pada baik. Tetangga semua Muslim tapi kami sangat baik ya. Bahkan mereka bilang mereka Muslim tapi tidak seperti FPI. Mereka nga suka dengan kelakuan FPI itu memalukan Muslim. Mereka sering mengtakan demikian. Saya yakin semua Muslim baik-baik. Mereka ada yang meninggal kami sama-sama. Kalau saya ada susah mereka datang. Kami sama-sama seperti saudara ya. Dan banyak diantara Muslim mengatakan FPI itu memalukan mereka, memalukan agama Islam. Agama Islam bukan seperti itu ajarannya. Ya saya tahu kita dengan Muslim akan tetap bersatu. Saling menghargai, saling menghormati, saling sayang menyayangi. Mereka pun kalau ada kesusahan datang saya bisa bantu saya bantu.”
No comments:
Post a Comment