thread dari akun Twitter @Agamajinasi
Wisata halal dan muslim friendly tourism itu BEDA, pak!
https://m.liputan6.com/bisnis/read/4053486/ipang-wahid-danau-toba-diarahkan-ke-muslim-friendly-tourism
https://m.liputan6.com/news/read/4038936/tim-quick-win-bentukan-jokowi-mulai-garab-33-destinasi-di-kawasan-toba
https://m.liputan6.com/lifestyle/read/4029549/pembangunan-pariwisata-danau-toba-ditragetkan-rampung-pada-2020
Yakin gak ganggu budaya lokal? Kalo berkali2 dibohongin mah orang juga males percaya hahaha.
https://news.detik.com/berita/d-4690582/pemprov-kaji-wisata-halal-danau-toba-jamin-tak-ganggu-budaya-lokal
Muslim friendly (tourism) itu contohnya banyak: Mau sholat gak dilarang Arah kiblat dikasih tau (walaupun ini redundant, segoblok apa elo sampe kudu minta ada arah kibat di kamar hotel? Atau gak punya hp?) Minta makanan/minuman halal tanpa kandungan babi atau alkohol disediain
Tapi yang terjadi di halal tourism itu adalah hal2 seperti ini: - segregated swimming pools Jadi udah mulai dorong lebih jauh. Bukan cuma diakomodasi, tapi juga minta lebih. Yang otomatis mengurangi wilayah orang lain.
- makanan halal yang tadinya cuma tanpa kandungan babi dan alkohol, didorong lebih jauh jadi: - yang motong dagingnya, atau yang mempersiapkan makanannya mesti muslim, kudu syarii - makanan halalnya kudu disertifikasi sama organisasi islam
Kalo ini masih terjadi di Indonesia sih gpp, butcher atau chef atau sertifikasi halalnya SUDAH ada. SUDAH terfasilitasi terlepas ada atau gak adanya wisata halal ini. Tapi bayangin kalo ini terjadi seperti di Thailand, Jepang, atau di negara2 eropa? Dan ini benar terjadi.
Awalnya cuma minta arah kiblat, lalu minta sajadah, lalu minta ruangan untuk sholat, lalu... ... minta kudu ada masjid! Mau jadi turis atau mau menetap tinggal di negara asing, cuk?
Yang menolak wisata halal seperti biasa dilabel jadi islamophobic. Anti islam! Hahahaha. Padahal yg terjadi sebenarnya bukan anti islamnya (toh gak anti situ mau makan makanan halal, mau sholat), tapi kekuatiran agresifnya semangat agama itu disebarkan lewat berbagai macam cara.
Yang pro wisata halal coba punya empati sedikit lah. Taroh dirimu di posisi orang lain. Misalnya neh. Bayangin jika turis2 dari eropa mau berwisata ke aceh tapi kudu minta ada gereja di sana buat kebaktian. Jelas gak masuk akaln
Atau misalnya lagi, misalnya turis2 asing yang hedonis mau mabok2an dan ngobat selama berwisata di aceh. Lalu mereka komplen kalo gak difasilitasi. Juga gak masuk akal!
Jadi "muslim-friendly" atau "whatever-friendly"-nya ini kudu dipikirkan. Sejauh mana loe bisa friendly kalo si "friend"-nya itu agresif, ngelunjak, pushing the boundaries, lalu sampe "dikasih hati minta jantung"?
Letak permasalahannya di situ. Bukan soal islam vs anti islam. Itu justru argumen licik yang sengaja mengaburkan masalah. Itu yang jadi polemik. Makanya wajar ada penolakan. Ketika PROGRAM wisata halal dipaksakan ke daerah2 di mana mayoritasnya justru bukan muslim.
Padahal di daerah2 wisata lokal tsb seperti di danau toba, di bali , sudah ada masjid, sudah ada warung padang, apalagi yang mau didorong? Kenapa mesti bersikeras memproklamirkan daerah tsb sbg wisata halal? Itu yang membuat orang jadi berpikir dan was2.
Belum ditambah di mana sebaliknya, di daerah2 mayoritas muslim, non muslim kesulitan beribadah. Jd polanya sudah terbaca: di daerah mayoritas muslim ditahan supaya non muslim gak berkembang, sementara di daerah2 mayoritas non muslim, semangat2 keagamaan islam menyelinap masuk.
Ini belum ngomongin soal program2 wisata halal di luar negeri ya. Seperti di jepang atau di thailand. Gue tau kok organisasi2 kaya crescentrating atau GMTI. Gimmick semuanya itu.
Cara kerja mereka spt ini: Bikin program halal tourism di negara tertentu, kasih proposal ke penguasa lokal, lalu kolaborasi, lalu undang media untuk liput. Voila! Di media2 judulnya bakal seperti ini: thailand/japan support halal tourism.
Memang ada kenaikan jumlah wisatawan muslim ke negara2 lain. Dan itu tentu bikin happy negara2 tsb, duit masuk. Tapi yang belum terjadi, ketika nanti ada konflik. Ketika para turis itu minta lebih. Sampe sejauh mana permintaan2 itu akhirnya dianggap "too much"? It's inevitable.
Nih gue kasih contoh artikel. Kalo loe biasa nulis artikel loe pasti bisa liat gimmick-nya:
https://www.bangkokpost.com/business/1696452/thailand-ready-to-tap-busy-muslim-travel-market
Dari artikel2 kaya gitu loe bisa liat inisiatifnya gak berawal dari pemerintah negara tsb. Tapi dari perusahaan2 yang memang punya interest sama halal tourism. Jadi di-twist. Seakan2 ini inisiatif berawal dari dalam sendiri. Padahal bukan.
Elo pro wisata halal, muslim muslimah hijrah, ya silakan. It's your right. Tapi yg dari luar grup lo mungkin akan kepikiran, if all your interests are about your religion, why visiting europe? Why japan? Why thailand? Ternyata emang gak jauh2. Jadinya wisata ziarah. Pilgrimage.
Dan ini Sukre Sarem, si lecturer yang "terpikat" dengan ide halal tourism. Sekilas gue pikir jonru ginting udah pindah ke Thailand.
Betul. Pokoknya asal masuk aja dulu. Dapet dukungan dari pemerintah setempat. Ntar yang serba gak halal digerus secara perlahan. It has happened and will happen again.
Harus diacungin jempol buat penduduk di bali atau danau toba yang menolak wisata halal ini. Mereka sadar agresifnya yang satu ini bagaikan kanker. Kalo pun NKRI udah digerogoti, mereka bertahan bela daerah mereka. Cuma itu yg mereka punya.
Karena memang ada agendanya
Memang jumlah wisatawan muslim itu naik secara global. Walaupun ini grossly counted ya. Karena ngitungnya per negara. Apa semua turis dari Indonesia itu muslim? Dan dari semua turis muslim, apa semuanya itu menuntut adanya wisata halal?
Tapi biarpun naik, tetap secara jumlah, wisatawan global dari negara2 mayoritas non muslim itu masih jauh lebih banyak. Kok gak fokus ke sana? Hahaha.
Yang menggelikan itu, kenapa appeasing ke "wisatawan2 muslim" tapi gak pernah digalakkan untuk appeasing "wisatawan2 non muslim". Of course the former is increasing, but numbers so far have always sided with the latter. I see dishonesty there.
Let's be real. Gak usah ngemeng sana sini. Bungkus dengan kalimat2 persuasif macam2. Mari masuk ke no bullshit zone. Kalo itu gak dilakukan, yah isu2 kaya gini muter2 aja kaya pusaran air di toilet.
Think about this: Lo mau jadi turis ke negara asing kaya jepang, eropa, atau thai. Yg jelas2 muslim di sana minoritas. What do you expect sih? Trus lo ikut tour package, sementara lo kudu stick sama sholat 5 waktu. Apa tournya kudu berhenti nyari masjid utk lo bisa sholat?
Tentu beda kaya perempuan yang misalnya lagi dapet. Trus mesti ganti tampon or whatever. Butuh kamar mandi. Well, EVERYBODY needs a bathroom to pee, to poop. But does everyone or every tourist in a japan or thai need a mosque? Apa mereka butuh kolam renang terpisah dan syari?
Kalo gue jadi turis, dan gue muslim yang strict sama urusan2 syariah, gue pasti bakal cari tourist attractions yang fit sama profile gue. Sama kaya turis2 asing yang maunya surfer, mau hang gliding, mau hiking, apa iya mereka milih tempat2 wisata kaya museum, perpustakaan?
Itu yang gue bilang appeasing. Sampe sejauh mana. Justru umumnya turis berwisata ke daerah lain karena pengen liat sesuatu yang tiap hari dia gak liat, pengen alamin yang extraordinary bukan yang ordinary.
Justru umumnya turis berwisata ke daerah lain karena pengen liat sesuatu yang tiap hari dia gak liat, pengen alamin yang extraordinary bukan yang ordinary.
Joke-nya kemaren itu raja arab ke Indonesia juga begitu kan. Raja dari negara yang strict syariah, wisatanya ke bali. Lah itu make sense. Dia pengen liat pantai. Pengen liat pura.
Ngapain dia ke aceh? Mending tidur di rumah. Sama aja rasanya kan. Rasa syariah.
Itu yang gue bilang appeasing. Sampe sejauh mana.
Salahnya propaganda soal halal tourism di negara2 lain adalah untuk mengadu domba antara Indonesia dengan negara2 lain. Argumen tipikalnya: Negara2 lain aja demen bikin wisata halal, ini kok malah anti? Dasar liberal, sekuler, pluralis!
Tourism itu banyak jenisnya. Lo pikir halal tourism itu mendominasi di jenis2 tourism hahaha. Udah pernah denger kosher tourism lom? Atau haredim tourism? Tuh mirip2 sama halal tourism, malah mereka itu ori. Lebih dulu ada.
Tapi haredim tourism itu gak maksa. Gak agresif. Mereka itu ultra orthodox jews. Mirip kaya amish di amrik. Anti listrik. Anti nonton tv. Mau wisata? Maennya ke gunung. Ke alpen. Meditasi. Cocok. Gak maksa2 orang ikut maunya mereka.
Yup. Trus lo balikin aja argumen2 mereka soal wisata halal: Wisatawan2 non muslim maunya begini. Kita jamin gak bakal ganggu budaya lokal. Inget mereka imbanyak. Bisa datengin profit, ciptain banyak lapangan kerja. Kamu anti? Berarti kamu anti orang lain bisa dapet pekerjaan!
Ini ustadz @ustadtengkuzul gak ngerti bedanya hak sama privilege.
Feeding yourself itu hak, mendapatkan pekerjaan itu hak. Nyetir itu privilege. Travel (as a tourist) itu privilege. Susah emang anak bungsu dari agama2 tauhid, semua dianggap haknya dia.
Kalo pun ada, angka dan outputnya gak seheboh seperti yang digembar gemborkan di sini. Yang nyelenggarain itu2 aja. Kalo gak tourism company yang ownernya muslim, atau pengusaha muslim lokal di negara itu yg catut2 nama negara dia.
The right to travel itu exist. Ada. Tapi itu ngomongin soal mobilisasi. Misalnya lo pindah rumah. Atau pindah negara. Itu salah satu dari human rights. Tapi kalo lo jadi turis dan kudu travel-ing, itu bukan right. Tapi privilege.
Dan itu baru jadi turis ya. In general. Udah dibilang privilege. Bagaimana dgn lingkup yang lebih sempit: jadi turis muslimin yang menuntut adanya wisata halal? Justru lebih privilege lagi.
Kalo lo anggak pinteran dikit, lo mungkin bisa berargumen: Tapi beragama itu HAM. Dilindungi oleh konvensi PBB! Yup. Di situ menariknya. Ranah privilege dicampur sama ranah hak. Gue kasih contoh, kejadian nyata...
Ada muslim tinggal di luar negeri. SIM-nya dia dicabut (mungkin karena gak bayar denda atau langar lalin berkali2). Lalu dia nyetir tanpa SIM. Ditangkep. Trus komplen kalo hak dia beragama dilanggar, karena dia ngakunya dia mau sholat di masjid.
Dia sholat itu hak. Tapi dia nyetir itu privilege, bukan hak. Boleh sholat. Bahkan di masjid sekali pun. Tapi cara lo untuk pergi ke masjid dibatasi. Silakan jalan kaki. Tapi kalo lo naik mobil padahal sim lo gak ada, ya resikonya ketangkep. Jadi hak dia beragama gak dilanggar.
Gitu juga wisata halal. Lo mau makan makanan halal itu hak lo. Sholat itu hak lo. Tapi kalo lo udah nuntut bahwa selama lo berwisata kudu ada kolam renang yg terpisah, atau kudu ada masjid dekat obyek wisata, atau yg motong daging sapi di resto kudu muslim, itu privilege.
Ini agak mirip sama kejadian2 soal hijab. Lo gak dilarang berjilbab. Bahkan suster2 katolik juga pake veil. Yang biasanya dikeluhkan itu adalah yang nutup muka. Karena wajah adalah identitas. Lo mau pake itu di rumah lo silakan. Tapi kalo udah di publik? Nanti dulu.
Biasanya ada counter-argument yang konyol, misalnya: Apa bedanya sama helm. Pengendara motor pake juga. Itu kan nutupin muka. Betul. Tapi begitu polisi berhentiin loe, kalo polisi minta lo buka helm utk liat muka lo (biar dicocokin sama sim), loe kudu buka. Sama atau beda?
Kalo polisi minta veil lo dibuka supaya bisa liat muka lo, apa polisinya mesti muslim? Atau kudu polisi yang muslimah? Gimana sama paham islam yg muslimah pun gak bisa liat aurat muslimah lain?
Jadinya repot kan? Hence, privilege.
Gue bahkan pernah sampe jelasin ke muslim pake analogi gini karena dia gak ngerti:
Bayangin ada agama yg atur bahwa sidik jari itu aurat. Trus penganut agama itu ke airport, dan nolak diamb sidik jarinya. Menurut lo gimana?
Sidik jari itu kaya wajah. Keduanya identitas.
Jadi seringkali bukan soal hak2 seseorang beragama itu diberangus.
But like we said yesterday: the devil is in the details.
Permasalahannya itu seringkali soal detail2 agama yang pelik, dan tumpang tindih sama hak2 orang lain bahkan tumpang tindih sama ranah publik.
Tapi hal2 kaya gini gue ragu apa diajarin di (ilmu2) agama.
Biasanya hal2 begini justu diajarinnya di pendidikan2 sekuler non-agama, di dunia barat.
Ada batas atau distinctive yang jelas antara right and entitlements, antara hak dan privilege, atau antara privat dan publik.
Ini contoh lain, gak usah pake agama;
Mendapatkan makanan yg sehat itu adalah hak. Tapi lo bisa gak nyelonong masuk rumah orang lain, trus buka kulkas dia?
Dapetin pekerjaan yg layak itu hak. Tapi bisa gak lo dateng ke gedung BCA, misalnya, trus minta posisi direktur?
Btw soal wisata halal ini, gue jadi inget temen gue yang ngebet pengen snorkeling.
Tapi masalahnya dia punya seizure (epilepsi). Thus sejak kecil gak pernah mau (belajar) berenang.
Gimana coba?
Kemaren itu iseng gue godain dia.
Lo ikutan submarine tourism aja. Sama aja efeknya. Bisa underwater tour, dan lo tetep safe.
Gue pikir gak ada salahnya lo minta kolam renang terpisah, atau koki khusus. Itu duit sebenarnya. Kalo ada investor yang mau bikin hotel syarii. Khusus buat lo. Charge-nya pasti mahal.
Udah kaya private tour ala billionaires gitu.
Tapi seriously, jaman internet gini, kalo lo mau murah meriah ya gampang.
Daripada ikutan bayar tour mahal, mending duitnya lo pake buat beli tv big flat screen, trus lo tonton deh travel documentaries sambil lampu dimatiin.
Efeknya gue rasa gak beda2 jauh lol.
Menuntut travel/tourism kudu begini dan begitu, jadinya sama kaya lo bepergian tapi kudu punya "safe space" yang gede.
Space-nya itu yang sebenarnya dipermasalahin. Kalo gak mau dipermasalahin, ya tinggal bayar extra. Like I said, private tour. Jamin diakomodasi 100%.
Wisman ke Aceh 2018: 33 ribu
Wisman ke danau toba 2018: 250 ribu
Ini gak apple to apple loh ya. Propinsi vs 1 wilayah wisata. Perbandingannya 8:1.
Orang2 macam
ngapain belagak ngomong soal buka pintu rejeki dan income buat warga danau toba.
Urus saja aceh itu.
Saking semangatnya malah
gak kena mention hahaha.
Susah memang kalo argumen2 mereka ini sebatas propaganda aja. Begitu dicek kok angkanya menakjubkan.
Jangan2 wisata halal malah bikin jumlah wismannya mirip kaya jumlah wisman di aceh. Ogah.
33 ribu setaun untuk 1 provinsi mah kebangetan.
Itu padahal provinsi syariah. Kenapa kok gak menarik banyak wisman yang muslimin? Bukankah menurut kaum islamis, semakin halal semakin meningkat jumlahnya?
Gue yakin ini salah satu provinsi yang menyerap jumlah wisman terendah.
Premis argumennya patah sendiri lewat angka.
Aneh memang. Mau menerapkan wisata halal, yang disasar malah kantong2 non muslim.
Sementara kantong2 muslim yg juga punya tujuan wisata kaya aceh kok gak benar2 digarap. Angkanya segitu2 aja gak dianggap sbg kegagalan.
Makin yakin halal tourism ini cuma sebatas gimmick.
Penasaran gue soal dalil2 wisata (bukan travel loh ya, beda itu. Telat ente kalo mau ngutip ayat2 soal travel).
Ada yg tau nabi pernah wisata ke mana sih? Yg getol teriak2 soal sunnah nabi mana suaranya?
Love to have someone prove me wrong.
Tapi sejauh ini, gue yakin emang gak ada.
Karena konsep wisata atau tourism itu emang konsep baru. Konsep yang baru ada mungkin 2-300 taun terakhir ini.
Ini konsep gila sebenarnya. Tapi jadi konsep yang akhirnya diterima mainstream. Jadi normal.
Wisata atau tourism itu kasarnya bisa didefinisikan sebagai:
Travelling just for fun.
Jadi lo pergi ke suatu daerah, minimal 24 jam, lo nginep di sana, liat2, penasaran, celingak celinguk, trus enjoy the view (kaya gunung, danau, sungai)...
... trus loe balik ke rumah!
Sebelum ada konsep ini, orang bakal bilang lo gila. Ngapain lo ke sono. Kaya gak ada kerjaan.
Ya emang karena itu bukan work.
Orang bisa berwisata karena bukan pekerjaan. Awalnya dilakukan sama kaum2 bangsawan eropa. Lanjut ke kaum aristokratnya.
Ekses dari having too much money and too much time.
Berarkhir dilakukan oleh semakin banyak orang.
Wisata ziarah atau pilgrim itu jelas bukan wisata. Itu adalah keharusan. Sebagai bagian dari ibadah.
Kenapa jadi berubah, masuk jadi salah satu jenis wisata?
Karena akhirnya diurus sama tour operators. Ada duit di situ, bisa making profit.
Ini yg kadang bikin gue dilema.
Ngeliat konsep2 modern, kaya internet, atau wisata atau tourism begini, bisa dicampur sama konsep2 yg datang dari abad ke 6 spt syariah atau halal.
Gak masalah dicampur.
Tapi begitu dicampur, lo mau nariknya ke mana, ke depan atau ke belakang?
Jadi salah satu contoh lain lagi -kaya konsep nation state, konsep demokrasi- yang sebenarnya adalah konsep2 modern.
Tapi kemudian dicampur. Originalitasnya jadi hilang.
Bagaikan penumpang gelap di kereta yg perlahan bisa ambil alih fungsi masinis. Train is off the rail now.