http://kupretist.wordpress.com/2014/03/16/sekularisme-pluralisme-liberalisme-dalam-tubuh-umat-islam/
Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme dalam Tubuh Umat Islam Indonesia
Saat ini wacana pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama masih menjadi isu kontroversial di Indonesia. Terutama sejak Majelis Ulama Indonesia, dalam Munasnya yang ke-7, pada 25-29 Juli 2005 di Jakarta, mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Dalam pandangan MUI, pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. [1] Liberalisme agama adalah memahami nas-nas agama (Alquran dan Sunah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur berdasarkan kesepakatan sosial. [2]
Dalam penjelasan Fatwa tersebut, MUI berpendapat bahwa umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada “perang non-fisik” yang disebut ghazwu al-fikr (perang pemikiran). Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan, dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme dan liberalisme agama, dua pemikiran yang datang dari Barat, yang akhir-akhir ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.
Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan ibadah dalam Islam; seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah, serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula paham Ibahiyah/Permisifisme (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya. Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Relativisme agama semacam ini jelas dapat mendangkalkan akidah. Paham pluralisme dengan pengertian setuju untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya klaim kebenaran masing-masing agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti. Oleh karena itu, MUI memandang perlu bersikap tegas terhadap berkembangnya pemikiran sekuler dan liberal di Indonesia. [3]
Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri, tetapi tetap berkomitmen untuk saling menghargai satu sama lain, dan mewujudkan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Definisi yang tercantum di dalam fatwa tersebut bersifat empirik, bukan bersifat akademis. Maksudnya adalah bahwa paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama merupakan paham yang hidup dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Oleh sebab itu, definisi tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama sebagaimana dirumuskan oleh para ulama peserta Munas VII MUI bukanlah definisi yang mengada-ada, melainkan untuk merespon apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para pengusung pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama.
Beberapa pengamat seperti Anis Malik Thoha dan Adian Husaini menganggap bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama merupakan paham yang berupaya mereduksi agama-agama dengan sejumlah konsep dan karakteristiknya seperti relativisme, sinkretisme, perenialisme. Selain itu, konsep pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama, menyimpan agenda terselubung pihak Barat dan Kristen untuk menyerang Islam.[4] Pertentangan Timur dan Barat ini pernah mendapatkan sindiran dari Sutan Takdir Alisjahbana yang mana sosoknya sendiri dinilai kebarat-baratan. Dalam tulisannya yang berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, dia menulis;
“… Masyarakat dan kebudayaan bangsa kita harus tumbuh mengarah ke Barat serupa ini, boleh jadi akan membangkitkan amarah beberapa golongan yang dengan tiada sengaja dan tiada insyaf meninabobokan rakyat yang banyak dengan ucapan yang kosong dan tiada berarti: Timur halus budinya, sedangkan Barat egoistis, materialistis dan intelektualistis. Mereka mempunyai anggapan seakan orang Timur wali yang suci dan segala orang Barat penjahat yang tiada berhati demikian, pasti akan kaget mendengar ucapan yang mengatakan, bahwa orang Timur harus berguru kepada orang Barat.” [5]
Pemahaman simplifistik yang selalu mempertentangkan antara Timur dan Barat sering kali memunculkan tudingan bagi para sarjana muslim yang belajar ke Barat dapat terkontaminasi sekaligus menjadi antek Barat. Istilah-istilah pada masa kolonial pun kerap digunakan sebagai alat justifikasi. Semisal Daud Rasyid yang mengatakan bahwa Islam adalah asli pribumi, sedangkan sekularisme adalah penjajah. Segelintir orang pribumi belajar kepada penjajah dan menyebarkan ajaran penjajah kepada orang pribumi lainnya yang notabene beragama Islam.[6]
Reaksi dukungan dan penolakan terhadap fatwa MUI datang dari beberapa ormas Islam, di antaranya adalah NU dan Muhammadiyah. Dalam keputusan muktamar Muhammadiyah ke-46 dinyatakan bahwa Muhammadiyah menolak paham pluralisme yang mengarah kepada sinkretisme, dan relativisme sebagaimana dalam fatwa MUI.[7] Di lain pihak, seperti kalangan NU, terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai fatwa MUI tersebut.
Syukran Ma’mun berpendapat bahwa paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme bertentangan dengan Islam. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia menolak ketiga paham tersebut karena dapat merusak tradisi dan keberagamaan warga NU.[8] Sementara itu, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Indonesia bukan suatu negara yang didasari oleh satu agama tertentu, dan MUI bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal benar atau salah, sedangkan Hasyim Muzadi menyatakan fatwa MUI itu merupakan langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama.[9] Ulil Abshar-Abdalla berpendapat bahwa fatwa MUI merupakan penyebab mundurnya gerakan keberagaman. Fatwa tersebut menganggap bahwa pluralisme membahayakan akidah atau keimanan seseorang sehingga bisa melemahkan keyakinan agama yang dipeluknya. Selain itu, fatwa tersebut menggambarkan bagaimana sikap sinisme MUI terhadap ide-ide pluralisme dan sebagainya.[10]
Penolakan terhadap fatwa MUI juga datang dari kalangan intelektual muslim seperti Azyumardi Azra yang berpendapat bahwa MUI tidak dapat melarang umat Islam dari kebebasan berpikir karena pluralisme, liberalisme dan sekularisme bukanlah ideologi, melainkan cara berpikir. Fatwa MUI menentang kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia secara umum.[11] Abd. Moqsith Ghazali berpendapat bahwa fatwa tersebut mengidap sejumlah masalah teologis dan sosial yang tidak ringan.[12] Pertama, pengharaman ini bertentangan dengan norma-norma ajaran Alquran yang justru mendorong tersemainya pluralisme agama. Kedua, pengharaman pluralisme agama tersebut menentang realitas keragaman yang meliputi pelbagai ruang kehidupan, termasuk dalam kehidupan keberagamaan. Tidak saja dalam ruang lingkup keluarga besar seperti masyarakat negara, bahkan dalam lingkup keluarga, setiap orang senantiasa berada dalam kemajemukan.Ketiga, fatwa pengharaman itu menunjukkan sikap dan watak para perumusnya yang tidak toleran, cenderung eksklusif, dan memandang umat agama lain dalam kegelapan dan kesesatan.Keempat, pengharaman atas pluralisme agama menunjukkan perihal ketidakjelasan konsep dan apa yang dimaksudkan dengan pluralisme agama oleh MUI.
Perbedaan sikap antara yang mendukung dan menolak fatwa MUI bersumber dari perbedaan kerangka berpikir. Meski begitu, Ma’ruf Amin beralasan bahwa MUI melihat fenomena pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama dari sisi syariat, bukan dari pemikiran.[13] Demikian pula Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa liberalisme, sekularisme, pluralisme adalah paham yang sesat dan menyesatkan sehingga dapat menyebabkan umat Islam keluar dari Islam (murtad) dan kafir. Adapun orang Islam yang mengusung paham tersebut haruslah bertobat. Jika tidak bertobat berarti telah murtad dan hukuman mati wajib dijatuhkan pada seseorang yang murtad.[14] Akan tetapi, definisi yang dicantumkan oleh MUI dalam pandangan Dawam Rahardjo tampak rancu. Seolah berdasarkan realitas empiris, namun mengacu pada wacana filsafat Islam. Dicontohkan olehnya soal liberalisme yang didefinisikan sebagai pemahaman mengenai teks-teks sakral agama dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. Jika benar demikian, maka definisi tersebut sebenarnya lebih merupakan paham rasionalisme yang memang ada dalam filsafat Islam seperti yang dikembangkan oleh aliran Mu‘tazilah, atau Ibn Rusyd, dan Shi‘ah.[15]
Kebebasan berpikir dalam Islam, menurut Ali Yafie, berbeda dengan peradaban Barat. Apabila kebebasan berpikir yang lahir di Barat hasil dari pengalaman sejarah akibat kungkungan kekuasaan gereja yang mempunyai pengadilan inkuisi pada abad pertengahan, sedangkan dalam dunia Islam kebebasan berpikir berpangkal pada inti ajaran Islam sendiri. Akal diberikan kedudukan penting dalam ajaran Islam sebagai sumber daya pengendali kehidupan dan basis kemaslahatan manusia, sementara Alquran dan Sunah membimbing dan mengarahkan manusia ketika menggunakan akal untuk melakukan pengamatan, penelitian, dan perbandingan atas segala kejadian yang terjadi di bumi, langit, maupun di dalam kehidupan manusia.[16]
Liberalisme dalam konteks ekonomi merupakan doktrin yang menekankan pada kebebasan individu, pembatasan intervensi negara, jenjang tahapan proses-proses sosial, dan ekonomi pasar bebas. Dalam perkembangannya, liberalisme juga menerima gagasan-gagasan peran negara dalam menyejahterakan masyarakat, dan mendorong kebijakan ekonomi-ekonomi yang berbasis sosial seraya tetap menjunjung asas kebebasan individu serta membuka peluang bagi sektor swasta.[17] Dalam konteks politik, liberalisme adalah ideologi yang menegaskan bahwa individu bisa menikmati sejumlah hak dan wilayah privat dari campur tangan pemerintah. Karakteristik utamanya adanya pemisahan antara sektor publik dan privat.
Pada ranah keagamaan, liberalisme adalah bentuk pemahaman dalam beragama yang mengusung serta memperkenankan kebebasan berpikir dalam mengintepretasikan sumber-sumber doktrin, etika, atau ajaran agama.[18] Sarah Stroumsa mengartikan liberalisme sebagai pemikiran bebas, merujuk pada apa yang diistilahkan oleh al-Shahrastani sebagai al-istibdad bi al-ra’yi, adalah ciri orang-orang yang secara eksklusif menggunakan pendapat pribadi daripada tradisi-tradisi yang berasal dari kitab wahyu.[19] Ciri tersebut dapat dijumpai dalam dunia Islam sejak permulaan abad-ke-3 H, yang mana menurut Gamal al-Banna, pemikiran hukum Islam berkembang seiring dengan berbagai macam ijtihad dan model-model metodologis yang dikembangkan pada masa itu. Akan tetapi, ketika pintu ijtihad tertutup, kebebasan berpikir dengan sendirinya terkunci rapat selama sepuluh abad lamanya.[20]
Menurut Fazlur Rahman, liberalisme agama merupakan sikap kritis dalam menginterpretasikan teks agama secara kontekstual. Upaya ini diperlukan untuk menghindari dogmatisme historis yang menghalangi umat Islam dari kemajuan.[21] Prinsip liberalisme agama apabila ditarik ke dalam konteks keislaman, prinsip-prinsipnya dapat ditemukan pada aliran ra’yu sebagaimana yang dirinci oleh Ahmad Sahal: Pertama, teks agama tidak mengatur kehidupan secara total karena yang terpenting bukanlah ketentuan teknis dalam bunyi harfiah nas yang mencakup seluruh kehidupan melainkan prinsip moralitas universal yang menjadi maqashid al-shari‘ah. Kedua, penghargaan terhadap peranan utama akal dalam menafsirkan teks dengan sendirinya menghargai kemajemukan manusia karena konteks historis yang melatarinya juga majemuk. Ketiga, nas selalu merupakan nas yang ditafsirkan. Bahkan pemahaman harfiah pun salah satu bentuk tafsir sementara tafsir selalu bersifat relatif. Pemaknaan yang dilakukan manusia tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat kontingen dan akan menghadirkan pemaknaan yang beragam.[22]
Kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, khususnya yang berkaitan dengan agama, adalah karakteristik liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan kebebasan menganut bentuk-bentuk kehidupan tertentu. Toleransi terhadap berbagai macam pendapat yang berbeda tentang agama menjadi konsep yang penting, karenanya dibutuhkan landasan teologis sebagai pondasinya. Menurut Muhammad Legenhausen, upaya tersebut kemudian memunculkan pluralisme yang belakangan digunakan untuk menyerang otoritas keagamaan serta kemapanan klaim-klaim kebenaran yang ada dalam setiap agama.[23]
Arus mainstream dalam komunitas muslim umumnya memahami pluralisme agama bukan dalam pengertian pengakuan atas kebenaran yang dibawa masing-masing agama sebagai jalan menuju Tuhan, melainkan hanya dimaknai sebagai sikap toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Selama ini konsep toleransi antarumat beragama secara etis berfungsi menjembatani berbagai macam kepentingan dari kelompok-kelompok keagamaan sekaligus merupakan nilai universal dalam menjalin ko-eksistensi dan interaksi antaragama dan budaya yang berbeda. Sampai pada tahap ini, pluralisme agama berada pada pemaknaan paling subtil, yakni sebagai respon terhadap kepercayaan, praktik, simbol, atau atribut yang berbeda dan dianggap menyimpang. Respon tersebut tetap ditunjukkan tanpa menggunakan cara koersif dan paksaan, sebaliknya membiarkan adanya kebhinekaan (diversity) dan menyesuaikan diri untuk hidup berdampingan.[24]
Akan tetapi, pluralisme agama sering kali dikonotasikan sebagai paham relativisme. Semisal, pendapat yang dikemukakan oleh John Hick tentang dualitas kebenaran; yang bersifat absolut ketika kebenaran itu hanya berada dalam lingkaran kelompok atau orang-orang yang mempercayainya (it is in it self), dan yang bersifat relatif ketika dipandang dari luar kelompok tersebut. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang belum tentu juga dianggap sebagai kebenaran oleh orang lain. Pada dasarnya, kebenaran hadir dalam persepsi manusia (it appears in perception) dan masing-masing individu mempunyai hak yang setara untuk meyakini sesuatu yang dianggap oleh dirinya sebagai kebenaran.[25]
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap agama mempunyai klaim-klaim kebenaran yang bersifat eksklusif, tak terkecuali dalam Islam, seperti klaim bahwa kebenaran adalah milik Allah semata maka hanya Islam agama yang paling benar meskipun dalam setiap periode sejarah dapat dijumpai berbagai macam agama.[26] Klaim-klaim tersebut berasal dari pengetahuan di dalam agama yang ditransmisikan dan dilestarikan dari generasi ke generasi dengan baik oleh otoritas-otoritas keagamaan. Akan tetapi, pluralisme agama berupaya untuk menekan dan menghapus semua bentuk eksklusifitas yang terdapat di dalam agama-agama dengan jargon bahwa semua agama adalah sama, banyak jalan menuju Tuhan. Bahkan, sampai mengatakan bahwa kebenaran yang dibawa agama bersifat relatif. Hal tersebut justru merupakan suatu bentuk reduksi, yaitu pluralisme agama sebagai suatu teologi toleransi, ternyata tidak toleran terhadap sisi-sisi ekskulifitas yang sangat nyata dapat dijumpai di dalam agama-agama.[27]
Klaim eksklusif di dalam agama yang dipandang sebagai instrumen alamiah dan sangat penting bagi identifikasi diri dan kelompok dalam rangka menentang klaim kaum lain terhadap kebenaran absolut, dalam pandangan Abdulaziz Sachedina adalah permasalahan mendasar dalam formulasi identitas politik klasik, yakni otoritarianisme religius berdasarkan klaim penyelamatan eksklusif. Di samping itu, adanya klaim eksklusif merupakan alat efektif untuk kepentingan legitimasi dan integrasi karena klaim tersebut menjadikan anggota-anggotanya sebagai sarana praktis untuk meneguhkan identitas komunal kolektif. Identitas mendasar seperti itu dapat dijadikan pula sebagai motif–dan karenanya sangat berperan–dalam rangka menyerang orang-orang yang tidak mengikuti solidaritas kaum beriman dan untuk menanamkan hegemoni terhadap kelompok lain.[28]
Ada tiga kutub tipologis berkaitan dengan paradigma dalam memandang kemajemukan umat beragama; eksklusifisme, inklusifisme, dan pluralisme. Akan tetapi, tipologi tersebut juga mendapat kritikan. Ian Markham, Gavin D’Costa, Mark Heim, Francis Clooney, berpendapat bahwa tipologi tersebut terlalu abstrak, tidak konsisten, melebar ke isu lain di luar isu teologis keagamaan, dan tipologi tersebut bukanlah merupakan pilihan sikap atau posisi yang harus dipilih seseorang dalam beragama dan berinteraksi dengan orang lain di luar agamanya. Di samping penolakan, ada juga yang menambahkan jenis lainnya karena menilai tiga jenis itu terlalu sempit apabila dihadapkan dengan realitas, seperti Andreas Grünschloß yang menambahkan inferiorisme, dan Richard Plantinga yang menambahkan universalisme. Paul Knitter membuat tipologi dengan penamaan berbeda, the replacement model untuk eksklusifisme, the fulfillment model untuk inklusifisme, the mutuality model untuk pluralisme, dan Knitter menambahkan the acceptance model.[29]
Farid Esack berpendapat bahwa pluralisme mencirikan adanya kemajemukan yang mana di dalamnya niscaya terdapat perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, perlu adanya sikap penerimaan dan berinteraksi positif. Penerimaan yang dimaksud adalah mengakui, memahami, dan menghormati eksistensi yang lain (the other) dengan keterlibatan aktif menjalin komunikasi, berinteraksi secara inklusif, serta hidup berdampingan di dalam masyarakat.[30] Menurut Nurcholis Madjid, pluralisme agama dalam konteks teologis berarti kesadaran bahwa setiap agama mempunyai nabi, ajaran dan ritual tersendiri yang berbeda antara satu agama dengan agama lain. Sedangkan dalam konteks sosiologis, adanya tuntutan keterlibatan aktif dari semua lapisan penganut agama untuk membangun sebuah kebersamaan dengan suatu keyakinan bahwa dengan kebersamaan itu maka suatu bangsa dapat tumbuh dengan baik dan mampu melahirkan karya besar bagi kemanusiaan.[31]
Akan tetapi, ketika masuk pada wilayah pemikiran keagamaan, tidak jarang dijumpai bahwa pluralitas pemikiran keagamaan dianggap sebagai kekacauan. Maka dari itu, timbul wacana untuk menyeragamkan berbagai macam bentuk kemajemukan tersebut dan biasanya cara yang digunakan dengan mempersilakan otoritas politik untuk mendominasi pemikiran keagamaan, seperti terjadi di masa Khalifah Abu Ja‘far al-Manshur (754-776M) yang hendak melakukan taqnin(kodifikasi hukum) atas usulan Ibn Muqaffá. Berbekal alasan untuk menghindari kekacauan hukum agama dan bertujuan menerapkan hukum tunggal yang absolut maka berimplikasi pada munculnya kepentingan negara untuk mengontrol pemikiran keagamaan, menyeleksi tafsir dan kebebasan berpikir. Proyek kodifikasi ini menjadi seruan kepada khalifah untuk mengukuhkan otoritasnya tanpa ragu, termasuk dalam wilayah syariat. Dengan demikian, satu-satunya institusi yang bisa memproduksi kebenaran adalah negara dengan segala aparatusnya.[32] Kesatuan otoritas antara politik dan agama mengakibatkan persoalan politik dipandang sebagai persolan agama. Demikian pula sebaliknya, persoalan agama menjadi persoalan politik. Sementara itu, perkembangan liberalisme mengguncangkan konsep kesatuan otoritas tersebut, yang kemudian memunculkan sekularisme. Setidaknya, liberalisme merupakan karakteristik dari sekularisasi yang mana dalam penilaian MUI sebagai pemisahan urusan dunia dari agama, bahkan mengeliminir agama dari kehidupan masyarakat baik pada ranah privat dan publik.
Semangat kebebasan berpikir sama halnya dengan kebebasan berbicara, berekspresi dan menjalankan praktik-praktik keagamaan. Oleh karena itu, mensyaratkan keterpisahan antara urusan agama dan politik di dalam ruang privat dan publik. Sebuah proses di mana sektor-sektor masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga dan simbol keagamaan, niscaya memerlukan pemikiran-pemikiran yang bebas, kritis, dan rasional. Setidaknya ada empat karakteristik sekularisasi yang diidentifikasi oleh Donald Smith: (1) pemisahan jagad politik dari ideologi dan struktur organisasi keagamaan; (2) perluasan politik untuk menjalankan fungsi pengaturan dalam wilayah sosial ekonomi yang sebelumnya berada dalam yurisdiksi agama; (3) demistifikasi budaya politik untuk menekankan tujuan-tujuan temporal nontransendental serta cara-cara yang rasional dan pragmatis; (4) dominasi politik atas keyakinan, praktik serta organisasi keagamaan.[33]
Beberapa kalangan menilai bahwa sekularisme ialah ideologi tertutup yang anti-agama, menyisihkan agama dari ruang publik, dan menjauhkan masyarakat dari Tuhan. Menurut Abdullahi Ahmed An-Na‘im, definisi tersebut ternyata tidak valid. Bahkan untuk diterapkan pada negara-negara Barat yang biasa dianggap sekuler.[34] Sekularisme yang terjadi di Barat telah melalui proses transformasi sosial selama beberapa abad, tidak diimpor dari luar, atau diterapkan dengan paksa dari atas melainkan muncul secara organik dari bawah ke atas. Lain halnya dalam komunitas muslim, baik di Timur Tengah dan Asia, sekularisme bukanlah produk dari perubahan sosial-ekonomi, teknologi, atau budaya. Tidak terkait dengan dinamika internal masyarakatnya. Sekularisme hadir untuk mendukung rencana jangka panjang proyek kolonialisasi. Oleh karena itu, penolakan terhadap sekularisme di dunia Islam merupakan refleksi dari negara-negara pascakolonial.[35]
Sekularisme mengharuskan negara bersikap netral dan tidak berpihak kepada agama manapun. Walau demikian, ketidakberpihakan negara bukan berarti dalam posisi netral karena negara pun turut berperan dalam praktik-praktik politisasi agama. Jane Monnig Atkinson berpendapat bahwaagama dalam konteks Indonesia menjadi bias dan mempunyai cakupan makna yang lebih sempit karena dipahami sebagai agama-agama yang diakui oleh negara. Orang yang beragama berarti telah memeluk salah satu dari agama resmi, sedangkan yang belum beragama adalah orang-orang yang tidak mengonversikan dirinya ke dalam agama-agama yang telah diakui negara (state-recognized religions). Implikasinya adalah seseorang tidak akan diakui telah beragama oleh negara jika belum menganut agama resmi tersebut.[36]
Sangat penting untuk melihat bagaimana peran negara dalam mewacanakan antara yang beragama dan yang belum beragama. Pada tahun 1961, Kementrian Agama menggagas pengertian bahwa yang dimaksud dengan agama adalah; kepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa, adanya Nabi dan kitab suci, dan mempunyai komunitas penganutnya. Definisi agama tersebut tentunya mengadopsi agama-agama monoteistik, terutama yang berasal dari rumpun semit; Islam dan Kristen. Menurut Niels Mulder, definisi tersebut diformulasikan oleh Kementrian Agama untuk meng-counter aliran kebatinan/kepercayaan yang berkembang sejak 1950-an. Sebagaimana tercatat pada tahun 1953, kurang lebih terdapat 360 kelompok aliran kebatinan/kepercayaan. Kelompok-kelompok tersebut mempunyai pengaruh signifikan dalam pemilu pada tahun 1955, di mana para elitnya dengan mudah memobilisasi massa untuk menggunakan hak pilih mereka, yang mayoritas ditujukan pada partai-partai berhaluan nasionalis atau komunis. Implikasinya partai-partai berasaskan Islam hanya mendapat tak lebih dari 42 prosen suara.[37]
Pada saat yang sama BKKI (Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia) telah dibentuk sebagai respon terhadap PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang dibentuk Kementrian Agama pada tahun 1952. BKKI sempat mengajukan pada Presiden Soekarno pada tahun 1957 agar aliran kebatinan setara dengan agama, namun hal tersebut mendapat penolakan.[38]Legitimasi PAKEM semakin menguat semenjak mempunyai cabang-cabang di seluruh provinsi. Dalam surat instruksi No 34/Pakem/S.E./61 tertanggal 7 April 1961, Badan Koordinasi PAKEM pusat memberikan otoritas bagi seluruh cabang dalam menginvestigasi buku-buku keagamaan, brosur, traktat, dan materi-materi yang diproduksi di dalam negeri maupun diimpor dari luar negeri. Kekuasan PAKEM menjadi tak terbatas dalam menjustifikasi aliran keagamaan dan/atau kepercayaan yang sesat dan menyesatkan dan diduga berbahaya bagi masyarakat. Pada tahun 1967, Kejaksaan Agung mengambil alih kontrol terhadap PAKEM setelah pada tahun 1955, kontrol terhadap PAKEM diambil alih Kementrian Kehakiman dari Kementrian Agama. Di masa Orde Baru, PAKEM juga digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi gerakan-gerakan politik kelompok-kelompok keagamaan.[39]
Kebebasan beragama meskipun dijamin dalam konstitusi negara, tetapi juga dibatasi oleh kerangka politik korporatisme. Hal tersebut tampak dari dibentuknya sejumlah lembaga keagamaan yang digagas oleh negara, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, dan Hindu Dharma Indonesia.[40] Negara melakukan proses institusionalisasi dengan membentuk lembaga-lembaga agama sebagai pemegang otoritas yang memproduksi dan menjustifikasi kebenaran suatu agama. Sementara itu, kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain menjadi tidak terjustifikasi dan pada gilirannya makna substansial agama digantikan oleh lembaga agama atau agama yang dilembagakan, seperti halnya apa yang terjadi dengan MUI.
[41]
Meskipun MUI merupakan institusi hasil bentukan pemerintah Orde Baru, tetapi citra dan bayang-bayang pemerintah Orde Baru tidak bisa begitu saja dengan mudah dihilangkan dari tubuh MUI. Pembentukan MUI dalam situasi politik di masa Orde Baru turut memberikan legitimasi kepada MUI sebagai pemegang otoritas agama.
Di era reformasi, otoritas tersebut mendapatkan tekanan dari publik, seperti Dawam Rahardjo yang menilai fatwa MUI tentang liberalisme, pluralisme, dan sekularisme agama adalah refleksi proses radikalisasi umat Islam Indonesia mengingat kedekatan MUI dengan kelompok-kelompok radikal pasca tumbangnya rezim Orde Baru.[42] Abdurrahman Wahid dan Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa MUI secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap kekerasan keagamaan, karena setiap fatwa aliran sesat yang dikeluarkan MUI kerap berbuah aksi penyerangan atas kelompok keyakinan tertentu.[43] Sebaliknya, MUI menolak pendapat demikian karena fatwa-fatwa terhadap aliran sesat sudah dikeluarkan MUI sejak tahun 1970-an. Semisal fatwa sesat terhadap aliran Ahmadiyah yang dikeluarkan pada tahun 1980, tidak muncul kekerasan pasca fatwa tersebut. Baru belakangan ini saja setelah 20 tahun lebih muncul kekerasan di masyarakat, apakah kekerasan harus menunggu puluhan tahun. Maka sulit dibenarkan mengaitkan kekerasan dengan fatwa yang dikeluarkan MUI. Menurut MUI permasalahannya adalah tindakan pidana terhadap penodaan agama yang cenderung dibiarkan oleh aparat pemerintah.[44]Pada titik inilah terjadi perbedaan pandangan. MUI menilai kelompok-kelompok yang telah difatwa sesat sebagai pelaku tindak pidana penodaan agama. Akan tetapi, mereka yang bertolak belakang dengan MUI memandangnya sebagai ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Di masa Orde Baru, hubungan ulama vis-á-vis pemerintah tidaklah mudah. Di masa itu pemerintah menerapkan standar ganda bagi gerakan-gerakan politik umat Islam. Akan tetapi, ketika kebijakan negara untuk mematikan aktivitas politik umat Islam dirasa semakin kuat, reaksi protes dan gerakan oposisi dari kalangan ormas-ormas keislaman juga kian deras.[45] Pasca lengsernya Presiden Soeharto dan kemudian digantikan oleh Habibie, MUI sangat yakin perihal keberpihakan Habibie atas dukungan negara terhadap proses Islamisasi. Di lain pihak, tak bisa dipungkiri jika Habibie pun menghadapi situasi pelik dalam mengonsolidasikan demokrasi di mana salah satu tantangannya datang dari kalangan kelompok-kelompok Islam yang menuntut agar Islam dijadikan sebagai ideologi negara yang manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama secara formal dalam hukum positif, yang tentu saja mendapat penentangan dari kelompok nasionalis.[46]
Perlu diingat bahwa sejumlah kritik dilancarkan terhadap proses pengangkatan Habibie yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi karena diselenggarakan di istana negara dan bukan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau parlemen. Meski demikian, pada tanggal 27 Mei 1998 MUI mengadakan pertemuan sejumlah pimpinan ormas dan tokoh agama guna memproduksi sebuah pernyataan politik berupa rekomendasi atau tawsiyah baik kepada presiden maupun kepada umat Islam, dalam rangka menyatakan dukungan kepada Habibie sebagai presiden.[47]
Demikian pula pada pemilu 1999, MUI mengeluarkan tiga tawsiyah yang banyak disalahpahami sebagai fatwa sehingga menimbulkan polemik. Tawsiyah pertama dan kedua pada tanggal 20 April dan 20 Mei berkaitan dengan muncul beberapa partai berbasis keislaman, baik mayoritas konstituen maupun sering diasosiasikan dengan ormas keislaman tertentu, namun ternyata di antara partai-partai itu ada yang mendeklarasikan asas ideologisnya adalah Islam, atau Pancasila, atau bahkan keduanya Islam dan Pancasila. MUI menilai hal tersebut akan membingungkan umat, apalagi pemilu 1999 merupakan pemilu multipartai pertama setelah era Orde Baru yang hanya ada tiga partai saja. Adapun tawsiyah ketiga pada tanggal 1 Juni berkaitan dengan pemilu 1999 agar berpartisipasi dalam pemilu dan memilih calon anggota parlemen yang beragama Islam dan menaati Allah serta mempunyai kepentingan bagi kemajuan umat dan Islam. Di samping itu MUI juga mengingatkan kembali kesadaran masyarakat agar menentang kembalinya komunisme di Indonesia. Berdasarkan tawsiyah tersebut, mengindikasikan adanya ancaman bagi Islam dan umatnya apabila kemudian mereka memilih calon-calon dari non-muslim. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid menuding MUI mengintervensi persoalan politik.
Kritikan Wahid lainnya juga dialamatkan kepada MUI, seperti terhadap kongres umat Islam Indonesia yang diselenggarakan oleh MUI pada tahun 1998. Selanjutnya, terhadap tawsiyah MUI seputar pemilu 1999. Kemudian setelah Wahid menjadi presiden, MUI juga disinggung soal ketergantungan pada Kementrian Agama atau pemerintah dalam hal finansial. Di samping kritik, sering kali pernyataan Wahid dinilai MUI bertentangan dengan kepentingan Islam, seperti di antaranya mengenai hubungan Indonesia dengan Israel, isu komunisme, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, MUI mengambil jalan oposisi di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid.[48]
Dalam arena politik Indonesia, pasca 1999 terdapat kegagalan dan hasil mengecewakan baik dalam Pemilu 1999, 2004, dan amandemen konstitusi pada tahun 2002 untuk membuat Indonesia menjadi negara Islam. Hal tersebut merupakan kemunduran besar bagi gerakan Islam politik. Permintaan otonomi atau desentralisasi di sejumlah daerah turut membawa konsekuensi dan membuka diskusi ruang publik menyangkut persoalan yang terjadi di semua bidang. Perubahan yang cepat di masa transisi dan munculnya aspirasi politik pada tingkat lokal yang diangkat ke tingkat nasional adalah dinamika yang mempersulit klaim dan tujuan untuk mendirikan negara Islam. Pergeseran orientasi MUI dari state-oriented menjadi umma-oriented di tahun 2000 menunjukkan bahwa MUI menegaskan diri sebagai pelayan umat dan berusaha lebih independen dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi, penegasan MUI sebagai Pelayan Umat dapat dimaknai bahwa MUI sedang memainkan peran otoritasnya.[49]
John Bowen menggambarkan bahwa pada tahun 2005, kondisi Indonesia tak ubahnya suatu bangsa yang berada di tengah persaingan klaim yang berkompetisi untuk menentukan bagaimana orang harus hidup dan jenis masyarakat seperti apa yang seharusnya diterapkan di Indonesia.[50]Tatkala MUI mengeluarkan fatwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama, kontroversi muncul seputar interpretasi dan penjelasan MUI mengenai istilah liberalisme, pluralisme, dan sekularisme agama. MUI yang sedang mereposisi dirinya pasca Orde Baru dan menghindari stigma sebagai pendukung rezim tersebut, mendapatkan kritik tajam dari komponen masyarakat seperti komunitas akademis dan organisasi kemasyarakatan seperti Jaringan Islam Liberal.
Kongres MUI dan sejumlah fatwa yang dihasilkan MUI pada tahun 2005 tersebut karena adanya kefrustasian atas semakin merebaknya pemikiran liberal di tengah umat Islam selama rezim Orde Baru, sampai tampilnya gerakan-gerakan yang mengusung liberalisme pasca tumbangnya rezim tersebut. Baik MUI dan sejumlah organisasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), menganggap munculnya kelompok atau individu yang membawa gagasan liberal Islam adalah proyek hegemoni Barat di dunia Islam.[51] Sejumlah bantuan dana sengaja digelontorkan lembaga atau organisasi luar negeri untuk membiayai pihak-pihak yang bergerak dalam penyebaran paham liberalisme, pluralisme, dan sekularisme agama.[52]
Pada tahun 1980-an pemerintah mengirimkan sarjana-sarjana untuk melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pemberangkatan beberapa intelektual muslim ke Barat merupakan upaya pemerintah untuk menjembatani pertentangan di antara intelektual muslim dan sekular dalam menyikapi proyek pembangunan pemerintah yang mengusung ide-ide modernisasi. Kalangan Intelektual sekular dan non-muslim menuduh kekuatan Islam sebagai penghambat modernisasi dan anti pembangunan serta anti-Pancasila. Menurut mereka, modernisasi mengandung arti westernisasi karena modernisasi berasal dari pengalaman negara-negara Barat. Sementara itu, para intelektual muslim menerima ide-ide modernisasi secara selektif agar dapat mengambil yang bermanfaat dan menghindari hal-hal yang tidak diharapkan. Namun, muncul kegelisahan di kalangan umat, seperti datang dari ormas Islam DDII, yang melihat kecenderungan pemikiran yang dibawa oleh intelektual muslim lulusan Barat itu terlalu liberal. Bahkan, mendapat kedudukan strategis di departemen agama, yang tentu saja menimbulkan iritasi di mata ormas Islam semacam DDII.[53]
Pada 1990-an, diskusi di kalangan umat Islam Indonesia diperkaya dengan konsep al-ghazw al-fikr (benturan pemikiran), yang mengacu pada semua bentuk invasi budaya Barat: film, musik populer, gaya hidup, dan terutama gaya pemikiran serta sikap terhadap agama; liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Istilah itu sendiri merupakan gejala globalisasi: diciptakan di jazirah Arab yang dibumbui teori-teori konspirasi kemudian dengan cepat menyebar ke belahan dunia lain, seperti Indonesia. Istilah ini biasa digunakan untuk membingkai kelompok-kelompok atau perorangan yang dianggap membawa ide-ide liberal dan progresif. Kritik mereka, di sisi lain, cenderung sangat menolak segala bentuk tradisi lokal sebagai penyimpangan dari Islam otentik. Namun, di sisi lain melindungi keuniversalan Islam dan kemurniannya dari serangan ideologis dan pemikiran yang hendak melemahkan dan menghancurkan Islam.
Penolakan umat Islam Indonesia terhadap liberalisme, pluralisme, dan sekularisme sesungguhnya dapat dipahami sebagai kewajaran. Hal tersebut tidak lain karena lebih dari dua abad lalu, di setiap wilayah dunia Islam telah terjadi apa yang disebut Charles Kurzman sebagai perdebatan paralel di antara tiga tradisi interpretasi sosio-religius; Islam adat, revivalis, dan liberal. Ketiga jenis tradisi itu memberikan berbagai macam sudut pandang yang signifikan bagi sejarah wacana Islam masa kini.
Dalam pandangan Kurzman, Islam adat ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan yang bersifat lokal yang dapat dijumpai di tiap wilayah berpenduduk mayoritas muslim. Ketika dinasti-dinasti besar Islam mengalami keruntuhan dan transmisi pengetahuan mengalami percepatan baik yang berada di pusat-pusat pengajaran di Timur Tengah hingga menyebar ke belahan dunia Islam lainnya, muncullah gerakan kebangkitan yang berupaya membersihkan Islam dari praktik-praktik yang dipandang tidak Islami dan bertentangan dengan sumber-sumber ortodoks. Gerakan ini disebut revivalis karena berupaya menggantikan otoritas adat dengan otoritas teks, menggantikan tradisi Islam adat dengan ajaran Islam yang benar sesuai dengan apa yang dipahami oleh kaum revivalis.
Ketika kaum revivalis berusaha untuk menyembuhkan dunia Islam dari hal-hal yang berbau bidah, takhayul, khurafat, dengan cara menekankan kembali pentingnya sumber-sumber ortodoksi Islam yang otentik dan orisinal. Mereka menyerukan keutamaan periode Islam paling awal untuk menegaskan ketidakabsahan praktik-praktik keagamaan masa kini yang jauh dari kemurnian Islam. Sementara itu, kalangan Islam liberal menghadirkan masa lalu itu untuk kepentingan modernitas. Ciri khasnya adalah berusaha menggabungkan penekanan tersebut dengan fokus lain terhadap disiplin-disiplin keilmuan Barat. Oleh karena itu, kalangan liberal sering disebut modernisme Islam.[54]
Dalam konteks Indonesia, modernisme Islam dikategorikan sebagai lawan dari tradisionalisme. Kalangan modernis diwakili oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang dianggap sangat responsif terhadap modernitas, menerima pembaruan, dan purifikasi ajaran agama. Sedangkan kalangan tradisionalis yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, sering dikesankan sulit menerima pembaruan, memelihara bidah, takhayul dan khurafat dalam menjalankan ajaran agamanya.[55] Dengan demikian, yang disebut modernis dalam pandangan Kurzman—jika melihat konteks Indonesia—bukan hanya kalangan liberal, tetapi juga revivalis.
Kalangan modernis sebagai gerakan pembaruan berupaya mengentaskan masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan. Seruan melepaskan diri dari ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad mengemuka. Kemajuan umat Islam harus ditopang dengan semangat ilmiah, rasional, dan etos kemodernan. Konsep modern yang ditafsirkan adalah sesuai dengan prinsip kemodernan yang ada dalam Islam maupun Barat. Rasionalisasi dan kontekstualisasi menjadi ciri di ranah teologis, seperti konsep absolut dan relatif yang ditawarkan Harun Nasution.[56]
Dalam pandangan Harun Nasution, peranan akal bagi manusia sangat besar dan berdampak signifkan dalam rangka memajukan peradaban dan kebudayaan manusia. Begitu besar perhatian umat Islam terhadap kedudukan akal, telah mendorong munculnya pemikiran rasional yang pada gilirannya menumbuhkan pengetahuan-pengetahuan dan perkembangan teknologi di masa keemasannya. Demikian pula turut memberikan sumbangsih terhadap kebangkitan renaisans di Eropa pada abad pertengahan serta berkembangnya peradaban Eropa modern yang ada sekarang ini. Untuk mencapai kondisi tersebut, apa yang dibutuhkan umat Islam di era modern ini adalah mengembangkan sikap rasional untuk mengubah mental inferior dan pasif.[57]
Akan tetapi, menurut Uhlin, para pemikir modernis juga mendapatkan kritik karena tidak memiliki akar tradisional dan menjadi terlalu kebarat-baratan.[58] Kritik itu datang ketika Madjid menggulirkan ide sekularisasi. Bahkan, kritikan terhadapnya juga datang dari kalangan modernis itu sendiri yang kebanyakan alergi dengan penggunaan istilah sekularisasi. Apa yang dimaksudkan dengan sekularisasi dalam pandangan Madjid bukanlah penerapan sekularisme, melainkan sebuah proses pencerahan agar umat Islam sanggup membedakan nilai-nilai yang dianggap islami, mana yang transendental dan mana yang temporal.[59]
Kemudian muncul kalangan neomodernis yang berpandangan bahwa kekuatan politik tidak harus menjadi prioritas organisasi-organisasi muslim. Kalangan neomodernis mendukung karakter sekular Republik Indonesia dan membela ideologi Pancasila, yakni dalam artian menolak seruan berdirinya negara Islam, partai-partai politik muslim dan gerakan Islam politik. Kalangan neo-modernis, khususnya yang berkembang setelah era reformasi semakin berkembang, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir liberal di tubuh umat Islam, baik yang berasal dari Timur Tengah dan juga Indonesia. Transmisi pengetahuan tidak lagi mirip tradisi konvensional yang duduk mendengar apa kata ulama atau pemuka agama. Berbagai bidang ilmu mulai masuk ke ranah tafsir terhadap teks agama. Intertekstualitas dan hermeneutika saling menjalin untuk memunculkan wajah, atau dalam bahasa Ulil Abshar, menyegarkan kembali pemikiran keislaman. Sebagaimana prose dekonstruksi yang tak pernah berakhir, tapi terus berproses tanpa henti, munculnya kalangan liberal di tengah umat Islam bukan berarti tanpa tantangan, apalagi mereka menerima ide-ide sekularisme dan pluralisme yang selama ini tabu untuk dibicarakan.
1) Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Sekretariat MUI dan Penerbit Erlangga, 2011), 93.
2) Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, 91.
3) Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, 93.
4) Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), 48. Lihat pula Adian Husaini, Pluralisme Agama Haram: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 70-6, 126.
5) Tulisan Sutan Takdir Alisjahbana ini dikutip oleh Achdiat dalam bukunya. Lihat Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), 9.
6) Daud Rasyid, “Membentengi Islam Dari Berbagai Distorsi Pemikiran,” dalam Adian Husaini,Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), vii-xii.
7) Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-46 tanggal 3-8 Juli 2010, lihat “Dari Pluralisme Hingga Dialog Antar Peradaban,” dalam Suara Muhammadiyah 02, no. 96 (Januari 2011): 52-3.
8) Dwi Hardianto, “Harlah NU Kikis Habis Paham SEPILIS,” SABILI, vol. XV, no. 16 (21 Februari 2008): 106.
12) Abd. Moqsith mencantumkan beberapa ayat yang menurutnya sebagai prinsip-prinsip pluralisme dalam Alquran; Q.S. al-Ma’idah (5): 69, Q.S. al-An‘am (6): 108, Q.S. al-Kafirun (109):6, dan al-Baqarah (2): 256. Lihat Abd. Moqsith Ghazali, “Fatwa MUI dan Keterancaman Pluralisme Agama,”
13) Adian Husaini, Pluralisme Agama Haram: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, 6.
14) Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), 26-30.
15) Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan, Kebebasan, dan Kebangsaan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 156-7.
16) Muhammad Ali Yafie, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam,” dalam Ijtihad dalam Sorotan, ed. Haidar Bagir dan Syafiq Basri, cet. 4 (Mizan: Bandung, 1996), 78-9.
17) Chris Rohmann, A World of Ideas (New York: Ballantine Books, 1999), 231. Lihat pula John Stuart Mill, On Liberty and Utilitarianism (New York: Bantam Books, 1993), 14.
18) Keith Ward, “The Importance of Liberal Theology,” dalam The Future of Liberal Theology, ed. Mark D. Chapman (Burlington, VT: Ashgate, 2002), 39.
19) Sarah Stroumsa, Para Pemikir Bebas Islam, terj. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LKiS, 2006), 5.
20) Gamal al-Banna, al-Ta‘addudiyyah fi Mujtama‘ Islami (Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, 2001), 17-9.
21) Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 141-5.
22) Ahmad Sahal, “Umar bin Khatab dan Islam Liberal,” dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia,ed. Luthfi Assyaukanie (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2002), 6-7.
23) Muhammad Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, terj. Arif Mulyadi dan Ana Farida (Jakarta: Shadra Press, 2010), 9-16.
24) David Little, “Rethinking Religious Tolerance: A Human Right Approach,” dalam Religion & Human Rights: Toward an Understanding of Tolerance and Reconciliation, ed. David Little dan David Chidester (Atlanta: The Academic Exchange, Emory University, 2001), 9.
25) John Hick, An Interpretation of Religion (New Haven: Yale University Press, 1989), 241.
26) Ä€yatullah Murtadha Muthahhari, Islam and Religious Pluralism, terj. Sayyid Sulaiman Ali Hasan (Ontario: Islamic Publishing House, 2004), 47. Lihat pula Muhammad ‘Imarah, al-Islam wa-al-Ta‘addudiyyah (Kairo: Dar al-Irshad, 1997), 322-23.
27) Muhammad Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, 98, 109.
28) Abdulaziz Sachedina, Beda Tapi Setara: Pandangan Islam Tentang Non-Islam, terj. Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 60-61.
29) Perry Schmidt-Leukel, “Exclusivism, Inclusivism, Pluralism,” dalam The Myth of Religious Superiority: Multifaith Explorations of Religious Pluralism, ed. Paul F. Knitter (New York: Orbis Books, 2005), 14-17.
30) Bandingkan dengan beberapa konsep tentang pluralisme yang dirangkum oleh Alwi Shihab. Lihat Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld Publication, 1988), xii. Lihat pula Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju sikap terbuka dalam beragama, cet. 5 (Bandung: Mizan Pustaka, 1999), 39-41.
31) Nurcholis Madjid, “Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam,” dalam Passing Over: Melintasi Batas Agama, ed. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (Jakarta: Gramedia, 1996), 57.
32) Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali danMariana Ariestyawati (Jakarta: Serambil Ilmu Semesta, 2006), 60-62.
33) Dikutip dari Yudi Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia (Bandung dan Yogyakarta: Jalasutra, 2007), 6-7. Lihat pula Donald E. Smith, Religion and Political Development (Boston: Little Brown and Company, 1970), 85-7.
34) Lihat Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a(Cambridge, Massachusetts, and London: Harvard University Press, 2008), 3-5.
35) Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory for Muslim Societies (Oxford: Oxford University Press, 2009), 141.
36) Jane Monnig Atkinson, “Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian Minority Religion,” dalam Indonesian Religions in Transition, ed. Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (Tucson: The University of Arizona Press, 1987), 177.
37) Niels Mulder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java: Cultural Persistence and Change (Singapore: Singapore University Press, 1978), 4-9.
38) Eka Darmaputera, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Context(Leiden: E.J. Brill, 1988), 84.
39) Trisno Susanto, “The Challenges of Religious Freedom: An Indonesian Experience,” Paper ini dipresentasikan dalam seminar 56th General Assembly of EKUMINDO, Stuttgart, 14-16 September 2006.
40) Untuk pengertian politik korporatism dapat dilihat dalam Donald J. Porter, Managing Politics and Islam in Indonesia (London dan New York: RoutledgeCurzon, 2002), 9-13.
41) Donald J. Porter, Managing Politics and Islam in Indonesia, 62.
42) Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan, Kebebasan, dan Kebangsaan, 155. Lihat pula R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru,” dalam Islam, Politik dan Modernisasi, terj. Ahmad Sahal dan Saiful Muzani (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), 126.
45) Allan Samson, “Religious Belief and Political Action in Indonesian Islamic Modernism,” dalamPolitical Participation in Modern Indonesia: Monograph Series No. 19 Yale University of Southeast Asia Studies, ed. R. William Liddle (New Haven dan Connecticut: Yale University,1973), 118-19.
46) Irfan Suryahardi Awwas, “Menerapkan Piagam Cerdas,” dalam Syariat Yes Syariat No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945, ed. Kurniawan Zein dan Sarifuddin (Jakarta: Paramadina, 2001), 33-35.
47) Pernyataan sikap ini ditandangani oleh beberapa pimpinan ormas termasuk di antaranya Muhammadiyah, NU, al-Irsyad, al-Wasliyah, Persis, dll. Lihat Moch. Nur Ichwan, “‘Ulama’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Suharto,” dalam Islamic Law and Society, vol. 12, no. 1 (Brill Academic Publishers, 2005): 55.
48) Moch. Nur Ichwan, “‘Ulama’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Suharto,”, 62-65.
49) Lihat Moch. Nur Ichwan, “‘Ulama’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Suharto,”, 71.
50) John Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 5.
51) Piers Gillespie, “Current Issues in Indonesian Islam: Analysing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism, and Secularism,” dalam Journal of Islamic Studies, vol. 12, no. 2 (2007): 239-40.
53) Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (New Jersey: Princeton University, 2000), 109-10. Lihat pula Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, cet. 2 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004) 45-46.
54) Charles Kurzman, ed., Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), xv-xxiii.
55) Lebih jauh lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980). Hingga kini, banyak sekali orang yang melakukan kritik terhadap tipologi Deliar ini yang dianggap sudah tidak relevan untuk dipertahankan, seperti Fachry Ali dan Bahtiar Effendy yang mengajukan empat macam tipologi pemikiran Islam, yaitu: modernisme Islam, neomodernisme Islam, sosialisme demokrasi Islam, internasionalisme dan universalisme. Sedangkan Syafi’i Anwar menawarkan enam macam; formalistik, substantivistik, transformatif, totalistik, idealistik, dan realistik. Kemudian Mujamil Qomar menawarkan distingsi berbeda, yaitu: antisipatif, eklektik, divergen, integralistik, dan responsif.
56) Ajaran Islam yang bersifat universal dan tetap itu biasanya dikenal dengan ajaran yang mutlak. Ajaran ini mencakup tiga bentuk ajaran, yakni qath‘i al-wurud, qath‘i al-dalalah, dan qath‘i al-tanfidh. Sedangkan ajaran yang bersifat relatif meliputi zhann al-wurud, zhann al-dalalah, zhann al-tanfidh. Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. 2 (Jakarta: UI Press, 1986), 34. Lihat pula dengan Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, Jilid I (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 102. Lihat pula Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 79-82.
57) Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. 9 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 13.
58) Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, terj. Rofik Suhud (Bandung: Mizan, 1998), 74-77. Lihat pula lima prinsip demokrasi dalam Islam menurut Amien Rais; Keadilan, Musyawarah, Kesetaraan, kebebasan, pertanggungjawaban. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1987), 46-49, 55-56.
59) Sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 140-42.