by: Julia Maria van tiel
Jika berbeda pendapat dengan kelompok anti JIL, serta merta ia akan dituding sebagai JIL – Jaringan Islam Liberal – sekalipun ia beragama lain ataupun seorang ateis. Artinya siapa saja yang menolak turut berkampanye “hidup tanpa JIL” akan dicap sebagai seorang yang sesat, bodoh, dan sudah bertentangan dengan agama. Inilah situasi yang akhir-akhir ini dirasakan oleh banyak orang. Dengan kata lain, kehidupan sudah terpecah menjadi dua kelompok: yang pro liberalisme agama versus pro kekuasaan agama.
Situasi ini bukan saja bisa mengenai sesama teman kerja, kenalan, bahkan di dalam keluarga. Kampanye kedua kubu juga semakin banyak mengundang siapa ingin pro dengan siapa. Tentu saja situasi ini sudah membawa ketegangan yang semakin meningkat. Bagi yang tidak ingin menjadikan dirinya tegang, ia akan menjadi sebuah kelompok tersendiri yang kemudian disebut sebagai The Silent Mayority. Dalam kelompok yang diam-diam saja ini juga banyak yang beranggapan bahwa, jangan ikut-ikutan keduanya, yang penting adalah siapkan diri untuk kehidupan masa yang akan datang di surga yang penuh berkah. Karenanya kelompok yang inosens tidak mengerti persoalan ini juga tertuduh sebagai ingin mencari selamat tetapi justru membiar-biarkan kekacauan yang sudah ada dan memberikan kesempatan tindak kekerasan bisa meluas dan membesar. The silent mayority pun menjadi ajang bulan-bulanan ditarik kesana kemari antara pro liberalisme atau pro kekuasaan agama.
Isyu Liberalisme
Isyu liberalisme dimulai di abad pertengahan dalam perlawanan rakyat eropa terhadap ketiranian agama (Katolik pada waktu itu) dan atau terhadap kekuasaan absolut raja-raja.Kekuasaan absolut raja yang menjadikan dirinya adalah sumber hukum, menyebabkan pemberontakan rakyatnya. Begitu juga ketiranian pemerintahan melalui hukum-hukum dari kitab suci, telah menyebabkan pemberontakan rakyatnya. Situasi ini sangat meluas di belahan Eropa pada waktu itu, karena banyak korban hukuman mati yang dirasa tidak adil telah diberikan kepada rakyat.
Liberalisme adalah filosofi pembebasan dari tiranian, kebebasan berpikir, keputusan dengan dasar rasionalisme dan fakta empirik atau ilmiah. Kebebasan berpikir lebih dilandasi pada kematangan berpikir yang kemudian mampu mengendalikan perilaku sesuai norma, etika dan kemanusiaan.
Paham liberalisme kemudian menjiwai negara-negara yang demokrasi dan sekuler, dengan dasar hukum positip yang disusun secara demokratis dan konstitusional, untuk kemudian mengembalikan fungsi agama sebagai kebutuhan individu.
Agama tidak lagi dimanfaatkan oleh kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan tiranian menekan rakyat memaksakan kehendak atas nama agama. Politik liberal berupaya melindungi individu dari tekanan pihak lain, dan menjamin kebebasan individu sesuai dengan norma, moral dan etika yang diakui secara universal. Namun upaya perjuangan ini bukanlah mudah seperti membalikkan telapak tangan. Negara-negara Eropa terus menerus berperang selama beratusan tahun. Kita menganal ada English Civil War, ada France Revolution, dan perang-perang lain yang menumbangkan kerajaan-kerajaan tirani yang menggunakan hukum agama. Hingga adanya kesepakatan antar negara yang membangun pemerintahan demokrasi dan berkonstitusi. Situasi ini baru bisa tercapai setelah perang dunia kedua, sekalipun masih ada hambatan penegakan karena sebagian negara Eropa masih menggunakan dasar idiologi sosialisme politik kiri garis keras komunisme yang bersebarangan dengan negara-negara lainnya.
Namun liberalisme dalam bahasa sehari-hari kita di Indonesia, pengertiannya sudah berubah, berbeda dari awal sejarah berkembangnya. Di masyarakat kita pengertiannya menjadi berkebabasan tanpa norma dan tidak punya moral. Siapapun yang sudah menyalahartikannya, namun liberalisme sudah disalahartikan sebagai kebebasan tanpa moral, produk negara-negara kapir yang memerangi agama. Disinilah terjadi perselisihan pendapat antara pejuang penegakan liberalisme sebagaimana cita-cita politik dengan para pemegang agama yang konservatif. Kelompok liberal sudah merasa ditidak-adili dengan cara memberinya pengertian perjuangannya dalam bentuk kesalahapahaman pengertian. Bentuk perselisihan seperti ini agaknya bukan barang baru, sebab fenomena seperti ini bagai sejarah yang terulang saat era pencerahan abad pertengahan yang biasa disebut sebagai The Dark Ages.
Isyu pluralisme
Pluralisme mempunyai pengertian keberagaman. Begitu juga pluralisme agama yang artinya dalam masyarakat terdapat beragam agama. Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai masyarakat yang madani. Disini setiap agama mempunyai kedudukan - hak dan kewajiban yang sama sebagai anggota masyarakat, serta saling menghargai, yang artinya agama menjadi inklusif.
Sekalipun demikian Diana L Eck dari Havard University mengatakan bahwa:
1) pengertian pluralisme agama bukan hanya adanya keberagaman belaka, namun juga bagaimana kita harus mampu menghadapi keberagaman tersebut;
2) pengertian pluralisme agama bukan saja menuntut kita agar mampu melakukan toleransi antar agama namun juga harus mampu mencari bentuk saling pengertian bersama dari berbagai perbedaan yang ada;
3) pengertian pluralisme bukanlah sesuatu yang relatif, tetapi adalah sebuah komitmen, dimana kita tetap menjaga identitas kita maupun agama kita – tanpa kita merasa terisolasi – namun dengan nyaman kita bisa eksis di tengah-tengah masyarakat.
Bandingkan pengertian pluralisme yang dikemukakan oleh MUI kita (Fatwa haram bagi pluralisme – liberalisme agama dan sekulerisme tahun 2005):
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Nampak sekali bahwa pengertian pluralisme agama yang dikemukakan oleh MUI dan diharamkan itu memang berbeda dengan pengertian secara mainstream (umum). MUI sudah membuat pengertiannya sendiri. Karena menggunakan istilah yang sama, yaitu pluralisme, maka mau tak mau pengharaman kepada bentuk pluralisme agama yang ditunjuk MUI ini telah mengenai semua pengusung/pejuang/pendukung pluralisme dengan pemeluk agama apapun demi terciptanya Indonesia damai dengan segala keberagamannya.
Pengusung/pejuang/pendukung ini tertuduh sebagai kelompok sesat, jelas sudah menciptakan ketegangan tersendiri di tengah masyarakat kita. Bagi yang merasa tidak tersesat akan merasa tidak nyaman sebab takut ikut tersesat. Bagi yang tertuduh tersesat, jelas akan merasa didiskriminasi dan diisolasi.
Tak mentoleransi adanya perbedaan akan menyebabkan suatu kelompok menjadi sebuah kelompok yang ekslusif, yang dapat mengarah pada tiranian kelompok, tidak tolerans, sifat diskriminatif, dan menghukum dengan hukum sepihak.
Isyu sekulerisme
Filsafat sekulerisme diawali oleh angan seorang ahli hukum dan ahli filsafat Francis Bacon (1561 – 1627), seorang warga Inggris, dalam buku roman utopianya The New Atlantis. Bacon membuat cerita, kisah di sebuah pulau di laut Atlantik dekat Peru, dimana rakyatnya yang datang dari aneka ragam kebangsaan mampu bersatu dan damai karena adanya suatu hukum yang demokrasi, dan segala keputusan dalam mengendalikan kehidupan berdasarkan keputusan rasional dan ilmiah. Padahal semua pendudukannya beragama Katolik. Di pulau itu hukum agama tidak lagi digunakan sebagai acuan hukum. Berbeda dengan situasi di Inggris pada waktu itu, dimana agama Katolik berkuasa menentukan hidup matinya seseorang berdasarkan kitab sucinya yang kemudian menyebabkan peperangan dan pecahnya agama Katolik menjadi agama aliran kristen lainnya. Perang agama sepanjang sejarah beratusan tahun akhirnya sudah merubah cara manusia melihat persoalan.
Oleh Raja Inggris, James, roman utopia ini justru diangkat dan dikemukakannya di parlemen agar apa yang digambarkan dalam roman utopia itu bisa diwujudkan di kerajaan Inggris. Disinilah momen pertama pemerintahan yang sekuler dikumandangkan dan kemudian menginspirasi hampir semua negara di dunia. Pemerintahan diatur dengan sebuah hukum yang dirancang bersama secara demokrasi dalam sebuah konstitusi, dan agama yang semula menjadi supremasi hukum dikembalikan dalam fungsi semula yaitu sebagai kebutuhan individu, dan tidak lagi ikut campur dalam pemerintahan yang bisa disalahgunakan demi kelanggengan suatu kelompok.
Namun apa yang kita alami di negara kita? Kata sekuler digambarkan bagai sebuah kata yang tidak menghargai agama. Negara-negara sekuler digambarkan sebagai negara kafir, negara tidak beragama, tidak punya moral, dan jahat. Kesimpulan ini jelas sangat naif, sebab di semua negara sekuler Eropa, rakyatnya justru mendapatkan perlindungan beragama dengan cara meletakkan undang-undang jaminan kebebasan beragama dan larangan diskrimimasi, atau sebaliknya larangan pemaksaan kehendak. Agama menjadi tanggung jawab diri pribadi, bukan sebuah indoktrinasi demi kepetingan kekuatan kelompok.
Liberalisme, sekulerisme, pluralisme kini menjadi hit thema yang sangat hot di negara kita.
Dengan banyaknya blog-blog maupun berita-berita media online yang justru sudah memberikan berita negatip terhadap liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme, sementara rakyat kita sebagian besar masih buta akan bentuk politik, idiologi, maupun pengaturan sosial ini, bisa jadi rakyat kita tergiring pada pengertian yang miring. Dan itu akan sangat membahayakan kehidupan bermasyarakat dalam negeri maupun kehidupan antar negara.