http://cetak.kompas.com/read/2011/01/03/04082439/revitalisasi.islam.rahmata
Senin, 3 Januari 2011 | 04:08 WIB
Oleh Zuhairi Misrawi
Di Alexandria, Mesir, malam tahun baru menjadi malam kelabu. Bom mobil meledak di depan Gereja Qadisiyin (Kristen Koptik), menewaskan 21 warga dan 20-an lainnya terluka parah. Kegembiraan bermetamorfosis menjadi nestapa dan kesedihan. Sementara ini, jaringan Al Qaeda diduga aktor di balik aksi barbar tersebut.
Tidak hanya itu, selepas aksi teroristik terjadi bentrok fisik antara kalangan Muslim dan Kristen. Bagi warga Mesir, tahun 2011 telah menjadi mimpi buruk dalam konteks hubungan Islam dan Kristen, yang sebenarnya dalam sejarah dikenal harmonis dan toleran.
Fakta tersebut merupakan pelajaran terbaik, bahwa perlu perhatian semua pihak agar kerukunan antaragama, khususnya Islam-Kristen, di republik ini senantiasa ditumbuhkembangkan. Survei Moderate Muslim Society mencatat, kelompok Kristen merupakan korban intoleransi terbesar sepanjang tahun 2010, yaitu 34 kasus dari 81 aksi intoleransi.
Oleh sebab itu, kalangan Muslim sebagai kelompok terbesar mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan paham Islam rahmatan lil ’alamin, yaitu keberislaman moderat yang membangun toleransi dan harmoni dengan semua kelompok agama, keyakinan, dan aliran kepercayaan lainnya.
Dalam hal ini, kita perlu mengangkat kembali pemaknaan agama sebagai elan persaudaraan. KH Ahmad Shiddiq telah merumuskan sebuah pandangan menarik soal perlunya meneguhkan tiga model persaudaraan, yaitu persaudaraan keislaman (al-ukhuwwah al-islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwwah al-wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (al-ukhuwwah al-basyariyyah).
Pribumisasi Islam
Di pengujung tahun 1980-an, Gus Dur juga merumuskan Islam rahmatan lil ’alamin melalui ”Pribumisasi Islam”. Menurut Gus Dur, Islam mesti diletakkan dalam konteks kebudayaan masyarakat setempat. Islam dan kebudayaan hendaknya melakukan adaptasi dan akulturasi tanpa kehilangan identitas masing-masing. Islam harus melindungi, bahkan merayakan, kebhinekaan agama dan kebudayaan.
Diskursus tersebut merupakan sebuah episode baru dalam rangka memecahkan ketegangan yang muncul di antara berbagai kelompok dan aliran keagamaan, di antaranya sejak proyek dikotomi santri-abangan-priayi Clifford Geertz dalam Religion of Java pada tahun 1960-an.
Jauh sebelum mencuatnya formalisasi agama pascareformasi yang mengedepankan wajah Islam yang cenderung Arabistik, kecenderungan untuk mengaitkan Islam dengan Arab merupakan sebuah fenomena yang mencuat ke permukaan dalam pergulatan keislaman di Tanah Air. Menjadi seorang Muslim rasanya tidak nyaman jika tidak menggunakan istilah-istilah Arab dan mengadopsi kebiasaan Arab. Identitas keislaman selalu diidentikkan dengan Arab, sedangkan yang bertentangan dengan identitas tersebut disebut abangan, atau bukan santri.
Secara sosiologis, Gus Dur memandang fenomena tersebut sebagai gejala ketidakpercayaan diri kalangan Muslim dalam menghadapi penetrasi budaya Barat akibat proyek besar globalisasi. Hegemoni kebudayaan yang dilakukan oleh Barat melalui proyek pendaratan dan pendataran ideologinya, khususnya kapitalisme dan neoliberalisme, telah menyebabkan umat Islam berada di persimpangan ketertindasan dan keterpurukan, terutama dalam sektor ekonomi, politik dan budaya.
Posisi umat Islam sebagai konsumen globalisasi pada umumnya berada di pinggiran. Meskipun ada beberapa negara Muslim yang belakangan menjadi pemain inti dalam globalisasi, seperti negara-negara Teluk, hal tersebut tidak merepresentasikan keseluruhan umat Islam yang umumnya hidup dalam bayang-bayang kemiskinan.
Menurut Gus Dur, sikap sebagian umat Islam dalam merespons globalisasi dengan arabisasi bukanlah solusi yang tepat. Alih-alih ingin memberikan alternatif bagi keterpurukan posisi umat Islam dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi, justru langkah tersebut semakin memperkeruh suasana karena justru menambah persoalan baru: benturan kebudayaan.
Arabisasi tidak hanya bertentangan dengan spirit globalisasi yang menekankan demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kebudayaan Nusantara yang sudah berlangsung beberapa abad yang lalu.
Oleh sebab itu, Pribumisasi Islam menjadi salah satu alternatif untuk mempertahankan khazanah Islam Nusantara dari gempuran globalisasi di satu sisi dan arabisasi di sisi lain. Islam mesti diletakkan dalam konteks kebudayaan masyarakat setempat. Islam dan kebudayaan hendaknya melakukan adaptasi dan akulturasi tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Dalam hal ini, Pribumisasi Islam tidak memahami kebudayan-kebudayaan lokal sebagai musuh dan hambatan dalam beragama, tetapi sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang justru dapat memperkukuh eksistensi dan akselerasi misi Islam sebagai rahmatan lil ’alamin. Salah satu misi utama Islam dalam konteks kebudayaan adalah menebarkan harmoni dan akulturasi dengan berbagai macam kebudayaan yang tumbuh dalam masyarakat setempat.
Pada abad ke-15 dan ke-16, Wali Sanga merupakan eksemplar Pribumisasi Islam. Fase ini merupakan gugusan awal dari tegaknya ekspresi keberagamaan yang ramah terhadap kebudayaan lokal. Sunan Bonang melakukan sintesis antara Islam dan kebudayaan lokal melalui tembang tombo ati dan memasukkan kisah-kisah Islam pewayangan Jawa. Langkah serupa dilakukan Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, yang melestarikan kebudayaan lokal, baik yang bersumber dari tradisi Hindu maupun tradisi Jawa (Jurnal Tashwirul Afkar: 2003).
Pribumisasi Islam dapat dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, secara historis-sosiologis, Islam adalah agama yang lahir dalam ruang dan waktu. Kedua, tafsir atau hermeneutika merupakan metodologi yang paling efektif dalam akulturasi Islam dan kebudayaan lokal. Ketiga, dalam ranah politik dan ruang publik pada umumnya, Islam menganut prinsip kemaslahatan sebagai pijakan dalam menentukan sebuah kebijakan.
Revitalisasi
Pribumisasi Islam yang mengakar kuat di bumi Nusantara merupakan salah satu potensi dalam rangka mengembangkan Islam rahmatan lil ’alamin. Ekspresi keberislaman yang moderat telah memungkinkan umat Islam membangun harmoni dengan kebudayaan dan tradisi agama lain.
Dalam konteks kekinian, umat Islam dapat menerima demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen untuk memperkuat tali kebangsaan dan kemanusiaan. Maka dari itu, diktum ”mempertahankan tradisi masa lalu yang baik sembari mengambil tradisi kemodernan yang lebih baik” (al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah) merupakan sebuah langkah yang tepat untuk membangun peradaban dan keadaban publik dalam konteks keindonesiaan.
Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, perlunya mengembangkan paham keislaman yang senantiasa mendialogkan antara teks dan konteks. Pergulatan teks dan konteks yang dinamis akan melahirkan pemikiran-pemikiran konstruktif. Interaksi antara teks dan konteks akan membebaskan penafsir dari fanatisme terhadap teks dan fanatisme terhadap konteks. Pergulatan teks dengan konteks akan melahirkan pemikiran alternatif, khususnya dalam rangka menjadikan teks senantiasa relevan dengan konteks.
Kedua, mengembangkan paham keislaman yang mendorong terwujudnya kemaslahatan publik. Pemikiran keislaman sejatinya mendorong dan merespons kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan langsung dengan kemaslahatan publik. Sejumlah isu kontemporer, seperti terorisme, lingkungan, kemiskinan, buruh migran, perdagangan anak, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain mesti direspons kalangan Muslim. Pemikiran keislaman harus lebih peka dalam merespons persoalan kebangsaan, kerakyatan, dan keumatan sehingga pemikiran keislaman tidak berada di menara gading.
Ketiga, mengembangkan paham keislaman yang mendorong pada kesadaran kewarganegaraan dan multikulturalisme. Faktanya, di sejumlah negara yang mayoritas penduduknya plural seperti di Tanah Air, problem perlindungan terhadap kalangan minoritas masih menjadi persoalan. Pemikiran keislaman kontemporer harus mampu memecahkan problem raibnya hak-hak kalangan minoritas dan mendorong terciptanya hak kewarganegaraan yang berlandaskan persamaan hak di depan hukum, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Keempat, pemikiran keislaman kontemporer harus mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender. Problem dunia Islam modern, yaitu perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, masih menjadi fenomena yang mengemuka. Sebab itu, perlu pemikiran keislaman yang secara serius mengonstruksi pentingnya kesetaraan dan keadilan jender.
Beberapa hal di atas merupakan langkah penting untuk mengembangkan Islam rahmatan lil ’alamin, yang merupakan jati diri Islam Nusantara. Kebhinekaan yang mewujud pada bangsa ini harus dilihat sebagai kekuatan untuk membangun peradaban dengan spirit keberagamaan yang toleran, humanis, dan berkeadilan.
Karena itu, tahun 2011 harus dijadikan tahun toleransi antaragama dan komitmen untuk mengakhiri segala macam bentuk kekerasan atas nama agama.
Zuhairi Misrawi Ketua Moderate Muslim Society; Kader Muda Nahdlatul Ulama